Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Perbedaan bukan hal yang baru di kehidupan kita. Kita sering menyaksikan harmoni keindahan dari perbedaan. Dalam beberapa hal, pandangan atas pilihan berbeda yang kita buat sering disalahartikan. Kita dianggap aneh, melawan arus. Karena tidak seperti pilihan orang-orang pada umumnya, kita harus melintasi jalur sunyi. Dianggap sok suci, ketika tidak memberi contekan. Direndahkan tatkala gagal seleksi sekolah favorit atau kampus bergengsi. Dinilai salah, saat pacaran beda suku.

Selepas dari SMP, aku memutuskan melanjutkan studi di sekolah kejuruan. Berkas pendaftaran kuantar, setelah orang tuaku tidak menyetujui pilihanku. Sebelumnya aku di terima di SMA, salah satu yang bergengsi dan direkomendasikan oleh sekolahku. Namun, hasil tes yang kuikuti rupanya gagal membawaku masuk ke kelas yang biaya pendidikannya disubsidi. Jika bersekolah di sana, orang tuaku harus membayar keperluan sekolah secara mandiri tanpa potongan. Melihat rincian biaya yang akan dikeluarkan setiap bulan, bapak dan ibu menolak pilihanku. Padahal, menurutku sekolah favorit itu bisa menjembatani kesuksesanku.

“Emas akan tetap jadi emas sekalipun di kubangan lumpur. Sekolah di mana pun, kalau kamu sunguh-sungguh akan tetap berhasil”. Pernyataan ini kuterima, tiap kali aku berusaha memaksakan kehendakku. Motto pendidikan kejuruan berhasil memikatku. Iming-iming lulusan terampil yang siap kerja menjadi satu-satunya alasanku yang masuk akal ketika mendaftar ke SMK. Selebihnya hanya karena kesal, tidak jadi bersekolah di SMA favorit.

Tahun pertama bersekolah sulit kujalani. Bukan hanya karena tidak dari hati, suasana belajarnya juga berbeda dari bayanganku. Pembelajarannya kebanyakan praktik. Memoriku masih merekam jelas momen saat kami harus menjual produk perusahaan yang bekerja sama dengan sekolahku. Tidak mudah bagiku memenuhi tugas untuk nilai kewirausahaan itu.

Aku juga minder ketika bertemu teman SMP-ku. “Kenapa ke SMK?”, Pertanyaan yang sering diajukan temanku sembari mengernyit. Label bandel dan stigma siswa SMK yang tidak sebagus SMA membuat mereka menyayangkan pilihanku. Pandangan yang sama juga beredar secara publik. “Nanti langsung kerja ke Batam saja ya”, “Jadi TKI saja, anak SMK biasanya langsung diterima”. Pernyataan yang menunjukkan pandangan mereka tentang terbatasnya kesempatan berkuliah bagi anak SMK. Berita tentang anak SMK yang tawuran sampai merusak fasilitas umum juga seolah mempertegas stigma negatif yang sudah ada entah dari kapan.

Walau tidak bisa dipukul rata untuk semua siswa SMK, penilaian yang tidak menyenangkan itu sempat membuatku pesimis. Ibarat pelari di luar lintasan, aku merasa salah jalan karena mengambil pilihan yang berbeda.

Perbedaan target sekolah kejuruan dan sekolah menengah lainnya membuat proses belajar di SMK tidak seserius di SMA, apalagi untuk urusan teori. Menciptakan lulusan yang siap kerja membuat kegiatan belajar kebanyakan bersifat praktik. Mau tidak mau, kondisi itu mempersempit kesempatan anak SMK untuk bersaing secara akademis apalagi untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Pendalaman materinya jauh berbeda. Pilihan program studi di kampus juga tidak terbuka untuk semua kejuruan yang ada di SMK.

Mirip dengan Abraham dan Sara di Kejadian 17-18. Abraham yang sudah tua dan Sara yang juga sudah menopause, menertawakan Tuhan ketika Ia menjanjikan anak laki-laki bagi mereka. Tepat seperti yang difirmankan-Nya, di masa tuanya Sara melahirkan anak laki-laki bagi Abraham (Kejadian 21:2).

Demikian halnya dengan masa putih abu-abu yang sudah kulewati. Tuhan terus mengikis rasa minder yang pernah kumiliki. Ia juga memakai beberapa temanku untuk mengikuti lomba, bersaing dengan perwakilan dari beberapa sekolah yang dianggap favorit. Di antara para alumni, kami juga ada yang berhasil menjadi sarjana. Banyak juga dari mereka yang terus menjaga nama baik sekolah di dunia kerja ataupun dalam bermasyarakat. Akhir-akhir ini juga, secara nasional banyak karya anak SMK yang bisa dipakai untuk keperluan bangsa ini. Sebagai salah satu alumni SMK, aku berharap semoga semakin banyak karya dari teman-teman yang memutuskan sekolah kejuruan. Mengikis stigma-stigma negatif yang ada di masyarakat.

Bersekolah di SMK atau di SMA bahkan tidak bersekolah pun, Tuhan memiliki tujuan tersendiri bagi setiap ciptaan-Nya. Kita bisa mengetahui hal itu dari riwayat penciptaan Allah dari hari pertama hingga hari keenam (Kejadian 1). Allah melihat semua pekerjaan tangan-Nya itu baik dan menceritakan kemuliaan-Nya (Mazmur 19: 1-15).

Memasuki bulan ketujuh di tahun ini, teman-teman mungkin sedang berhadapan dengan pilihan yang sarat dengan label atau cap tertentu. Menyambut tahun ajaran baru yang artinya harus menentukan sekolah atau kampus tujuan. Atau teman-teman sedang berjalan melintasi jalan sunyi dan berjuang mematahkan ‘mitos’ tertentu. Terbentur dengan kalimat-kalimat yang menurunkan semangat seperti: ‘kuliah itu harus di negeri’, ‘anak kota mah manja, mana sanggup mandiri jauh dari orang tua’ ‘susah cari kerja di masa pandemi, apalagi untuk fresh graduate’.

Walau tidak mudah, semoga Allah sumber pengharapan memenuhi sukacita kita melintasi jalan sunyi (Roma 15:13). Menuju kemenangan atas pilihan-pilihan sesuai ketetapan-Nya yang kadang berlawanan dengan pandangan banyak orang. Keputusan terbentur kebiasaan umum yang direncanakan-Nya untuk mendatangkan kebaikan. (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Pernikahan kami baru seumur jagung ketika Tuhan memanggil dia yang kukasihi ke pangkuan-Nya. Namun, dari kisah yang terasa getir ini, aku merasakan manisnya kasih setia Tuhan.

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. rudy rahabeat
    rudy rahabeat says:

    Terima kasih atas refleksinya yang inspiratif. Jalan yang lebar menuju kebinasaan

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *