Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Oleh Cory Paulina, Surabaya

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan. Kami dilayani dalam kelompok pemuridan yang sama, tetapi dia jauh lebih dahulu terpanggil dan mengembangkan pelayanannya di luar kota Surabaya. Hari berganti hari, aku pun melihat bahwa pelayanan yang dikerjakannya jauh membuahkan hasil yang lebih baik. Aku sangat gelisah, kecewa dan sedih dengan diriku yang tidak bisa menghasilkan karya sebaik dia. Aku ingin diterima seperti dia, aku juga ingin terlihat sepertinya.

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, “Apakah orang lain juga memandangku baik?

Hatiku bergelut dengan asumsi-asumsi tajam yang menjatuhkan diriku sendiri. Bahkan tanpa aku sadari, jam-jam tidurku lenyap karena memikirkan mengapa aku tak bisa melakukan sebaik yang dilakukan temanku.

Dalam malam yang panjang itu, tiba-tiba aku serasa digerakkan untuk membaca buku The Emotionally Healthy Woman yang bersumber dari kisah Geri Scazzero terbitan Literatur Perkantas Jatim. Sepertinya perjalanan menuju kesehatan emosi dimulai dengan berhenti. Setelah berhenti dan menelaah buku itu, kusadari bahwa persoalannya ialah diriku sendiri. Dengan kata lain, selama ini aku tak menyadari jika aku sangat mengandalkan pengakuan orang lain supaya aku bisa merasa berharga. Namun pada kenyataannya, pemahamanku itu berlawanan dengan kebenaran kitab suci. Firman Tuhan berkata:

  1. Aku diciptakan menurut gambar Tuhan (imago Dei), berarti aku berada dalam standar yang bernilai dan berharga.
  2. Aku memiliki identitas yang baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17) ketika aku menjalin relasi dengan-Nya.

Meski aku menyadari kebenaran itu, tapi nyatanya sebagian besar identitas diriku tak terjamah 100% oleh kebenaran kasih-Nya. Jujur, aku masih bersandar penuh pada persepsi dan asumsi orang lain memandang hidupku. Dampaknya pun terasa, aku sering merasa lebih buruk dan tidak mampu menerima diriku (berdamai dengan diri sendiri) karena ada standar diri yang tidak benar.

Aku juga teringat dengan kisah ketika rasul Petrus menyangkal Yesus (Matius 26:31-75). Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (ayat 34). Aku berusaha memahami situasi dan kondisi Petrus saat itu. Mungkin dia merasakan kegalauan atas ucapan yang baru didengarnya. Setelah Yesus ditangkap, para murid-murid meninggalkan-Nya dan lari berserakan. Tapi jika kita telisik, Petrus tetap mengikuti Yesus sampai ke halaman luar saat Dia diadili.

Kemudian, Petrus dikenali oleh beberapa orang yang sadar bahwa dia adalah rekan dan murid Yesus. Lalu, Petrus menyangkal-Nya sebanyak tiga kali. Tindakan Petrus menunjukkan rasa takut terhadap penolakan orang lain. Sebelumnya, Petrus mengakui Yesus sebagai Mesias. Tapi, pengakuan itu tidak tertanam di dalam hatinya, sehingga ketika orang lain mendapatinya sebagai murid Yesus, Petrus segera mengelak. Petrus tak ingin ditolak oleh orang-orang itu karena statusnya sebagai murid Yesus.

Aku merasa diriku seperti Petrus, aku hidup dalam ilusiku sendiri. Kasih Tuhan hanya kuizinkan berada pada tingkatan tertentu, tidak sampai menjangkau kedalaman hatiku. Dalam situasi ini, konsekuensi berharap pada orang lain daripada Tuhan demi memperoleh pengakuan adalah suatu bencana bagi hubunganku dengan Tuhan dan sesama.

Dari perenunganku itu, aku mendapati kerinduanku untuk bisa lepas dan berhenti mencari pengakuan orang lain dapat diciptakan melalui hal paling mendasar dengan mengerjakan dua praktik harian:

  1. Merefleksikan kasih Tuhan.
  2. Sama seperti pengakuan Daud keberadaan kasih Tuhan dalam hidupnya “Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib” (Mazmur 9:1)

    Tentunya meminta pertolongan kasih Tuhan dan oleh Roh kudus agar terjadinya perubahan sejati dalam hidup.

  3. Kontemplasi diri.
  4. Aku memutuskan untuk belajar menyediakan waktu secara teratur supaya disiplin diri dalam membaca dan merenungkan Alkitab dalam ketenangan dan keheningan. Aku percaya ketika aku membuka hatiku untuk menerima kasih Tuhan, kasih itu akan memenuhi serta mengubah setiap aspek kehidupanku.

    “Lihatlah, betapa aku mencintai titah-titah-Mu! Ya TUHAN, hidupkanlah aku sesuai dengan kasih setia-Mu” (Mazmur 119: 159)

“Semakin Anda mendasarkan identitas diri pada kasih Tuhan, semakin kurang anda membutuhkan pengakuan orang lain demi merasa layak dicintai” – Geri Scazzero (The Emotionally Healthy Woman)

Lantas, bagaimana dengan diriku? Apakah perasaan iri hati itu hilang sekejap?

Tentu tidak, menang atas iri hati membutuhkan proses. Aku mulai belajar menerima keberadaan diriku, belajar memahami bahwa aku adalah anak yang sama-sama dikasihi oleh-Nya. Ketika mengingat apa yang telah Tuhan lakukan dan bahkan anugerah kasih-Nya nyata dalam hidupku, seharusnya itu menjadi obat yang mujarab untuk memulihkan diri serta membuatku puas di dalam-Nya.

Menjadi pribadi yang menang atas perasaan iri hati membutuhkan kesediaan diriku untuk membuka setiap ruang hatiku, dan mengizinkan kasih-Nya mengalir di dalamku. Hanya kasih-Nya yang sanggup mengubahkan hidup ini.

Baca Juga:

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

“Kamu positif”, suara dari balik telepon.

Duniaku serasa runtuh. Aku bahkan marah. Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini?

Bagikan Konten Ini
9 replies
  1. Irma Yanti Napitupulu
    Irma Yanti Napitupulu says:

    sering merasa insecure sampai lupa bersyukur hal yg sama yg kurasakan juga .terimakasih telah berbagi ini , semoga Tuhan jamah hati ini dan hati ini siap untuk diubah kan jadi pribadi yg bersyukur
    Tuhan Yesus memberkati 🙏😇

  2. Pipin Solita Sihaloho
    Pipin Solita Sihaloho says:

    Kegelisahan yang sama. Belakangan bahkan aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bisa terlelap dengan nyaman. Pengakuan. Aku kembali diingatkan bahwa sangat merusak ketika itu tak kuletakkan sepenuhnya pada Tuhan.

    Artikel yang sangat membantu.

  3. Elisabet Christy
    Elisabet Christy says:

    Terimakasih atas renunganya, kegalauan hatiku karena masih bimbang dan bingung dalam menentukan karier di masa depan menjadikanku insecure dan melupakan bahwa setiap jalan hidupku Tuhan yg sertai, Terimakasih Tuhan, biarlah kiranya hatiku Kau bentuk dan Kau kuatkan seturut dengan JalanMu. Amin

  4. Jessica Cia
    Jessica Cia says:

    Terima kasih untuk sharingnya, sangat memberkati dikala saat ini juga menghadapi masalah iri hati dan membandingkan diri dengan org lain. GBu

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *