Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reading The Bible Did Not Make Me A Better Christian

Suatu pagi asisten rumah tanggaku tidak sengaja mendengarku berdiskusi dengan suamiku dan dia salah paham. Dia pikir aku sedang membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Akibatnya, sepanjang pagi itu sikapnya kepadaku jadi dingin.

Untuk menghangatkan suasana, aku mengklarifikasi kejadian itu. Namun, apa yang kulakukan malah membuatnya bersikap makin buruk. Dia membantah ucapanku. Emosiku terpicu, nada bicaraku jadi meninggi dan kata-kata yang kurang baik keluar dari mulutku. Dia lalu keceplosan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.

Sungguhkah aku mencerminkan Kristus?

Aku pun pergi mandi, tapi apa yang barusan terjadi terulang-ulang di kepalaku. “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Kata-kata itu seolah bermakna begini buatku: “Kamu tidak ada bedanya sama orang yang tidak percaya. Firman Tuhan tidak berdampak apa-apa di hidupmu!” Pernyataan itu membuatku serasa dihakimi. Aku merasa bersalah karena telah gagal menunjukkan Kristus padanya.

Ketika dia membantahku pertama kali, ada bisikan dalam hatiku, “Maafkan! Maafkan! Aku harus jadi terang yang bersinar di tengah kegalapan hatinya”. Aku coba arahkan pandanganku kepada Tuhan dan mengingat ayat dari Matius 18:21-22 yang berkata agar kita memaafkan orang lain. Namun, aku gagal, dan kemudian aku kehilangan kesabaran dan pengendalian diri. Aku tidak mencerminkan Kristus sebagaimana aku seharusnya.

Membaca Alkitab tanpa mengizinkan Roh Kudus bekerja dalam hidupku, aku tak ubahnya orang Farisi yang mempelajari Alkitab dengan rajin, tapi menolak datang kepada Yesus (Yohanes 5:39-40).

Apakah asisten rumah tanggaku melihatku sebagai pengikut Kristus? Kupikir tidak. Kata-katanya yang dia ucapkan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Dunia seringkali melihat kita sebagai pengikut Kristus dari buah-buah yang kita hasilkan. Nada bicaraku yang tinggi dan kasar tidak mencerminkan Kristus dalamku. Buah-buah roh—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri—absen dari diriku.

Tuhan memampukanku

Aku merasa kacau, tidak benar, dan tidak layak mendapatkan kasih Tuhan, hingga kemudian aku teringat bahwa aku dibenarkan bukan karena perbuatanku sendiri, melainkan oleh Tuhan—penebusan-Nya di kayu salib (2 Korintus 5:21). Tuhan membenarkanku dari dosa-dosaku ketika aku tidak layak mendapatkannya, dan aku mendapatkan itu hanya karena iman.

Setelah ditebus-Nya, aku tahu aku harus menyingkirkan kebanggaan diriku sendiri dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja dengan penuh kuasa dalam hidupku. Dengan pertolongan Roh Kudus, aku bisa menghasilkan buah roh berupa kesabaran dan kasih untuk orang-orang di sekitarku, sehingga ketika aku berkata-kata, kata-kata yang kukeluarkan adalah yang membangun.

Sejak Yesus menebus dosaku, aku diampuni-Nya dan diberi kemerdekaan untuk menghidupi hidupku. Aku bisa mengusahakan pengampunan terhadap asisten rumah tanggaku. Yang menghalangiku untuk melakukannya adalah ego dan pembenaran diriku sendiri, yang seharusnya sudah dipaku oleh Kristus di atas kayu salib.

Dengan pemahaman ini, aku punya cukup keberanian untuk mengampuni dan berdamai dengan asisten rumah tanggaku. Aku duduk berdua dengannya, dan dengan suara tenang, kami meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi sampai kami mendapatkan pemahaman bersama.

Tanpa Tuhan yang telah menunjukkanku kebenaran, anugerah, dan belas kasihan, aku tak akan mampu melakukan ini semua. Seiring aku berusaha menghidupi imanku, aku terus mengingat bahwa upayaku membaca Alkitab hanya akan menghasilkan hafalan semata, dan aku tidak akan pernah jadi murid yang sejati jika aku tidak mengarahkan pandanganku kepada Tuhan dan apa yang diinginkan-Nya bagiku.

Baca Juga:

Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

Natal sudah berlalu, namun beberapa waktu belakangan, tema Natal “Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” terus terngiang-ngiang di benakku. Tema itu terdengar baik, tapi sekaligus juga seperti utopis bagiku.

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *