Yesus Kristus dan Celana Kolor

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Judul di atas mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Ceritanya begini:

Beberapa waktu silam, saat jemaat di gereja kami sedang beribadah Jumat Agung, remaja kami menampilkan suatu drama Jalan Salib yang mengharukan.

Yesus Kristus diperankan dengan sangat hidup oleh Yordan, sang wakil ketua remaja, dan para pemeran prajurit Roma serta wanita-wanita yang menangisi kematian-Nya juga diperankan secara apik oleh anak-anak remaja belasan tahun itu.

Nah, puncak drama ini ada di adegan ketika Kristus disalibkan.

Tanpa sengaja, para “prajurit Roma” tadi melepaskan peniti di salah satu bagian jubah yang dikenakan oleh “Yesus Kristus”, yang mana peniti yang satu itu jangan sampai dilepas sebenarnya.

Yemima, pembina mereka yang menjadi sutradara drama ini, sudah mewanti-wanti mereka agar peniti yang satu itu jangan sampai dilepas.

Tetapi toh, para “prajurit Roma” itu lupa, atau mungkin karena terlalu menjiwai peran mereka, dengan semangat khas pasukan Roma, semua peniti di jubah “Yesus” itu pun dilepas.

Alhasil, seluruh kain atau jubah putih yang menutupi badan bagian atas dan bawah “Yesus” itu melorot semua.

Drama mengharukan yang mencapai puncaknya di penyaliban Sang Mesias itu mempertontonkan: Yesus Kristus yang disalibkan dengan celana kolor kotak-kotak.

Sebagian jemaat, termasuk paduan suara remaja yang sudah berbaris di depan, hampir tak bisa menahan tawa.

Namun tawa itu segera lari dari bibir kami sebab para pemain drama itu tidak menunjukkan mimik malu atau grogi sedikitpun akibat “kesalahan teknis” itu.

Bahkan mereka menganggap dilucutinya semua jubah Kristus itu adalah bagian dari skenario drama.

Semua pemeran berakting serius dan menghayati. Yordan, Daniel, Dylan, Adriel, Albert, Bhisma, dkk, yang berada di “Golgota” benar-benar tampil prima.

Mereka menjalankan detail instruksi sutradara dengan baik, kecuali urusan peniti tadi.

Melucuti jubah Yesus memang bagian dari skenario, tetapi tidak semua jubah perlu dilucuti, hanya yang bagian atas saja, yang bawah tidak perlu dilepas.

Namun, semua sudah terjadi. Peniti itu sudah tidak pada tempatnya, entah siapa yang mencabutnya. Celana kolor “Yesus” pun menjadi sorotan ratusan pasang mata yang memadati gereja kami.

Aku berdiri di belakang kamera milik Yordan. Tak kuhiraukan adegan ganjil itu. “Yang penting Yordan masih pakai kolor,” begitu pikirku.

Bayangkan jika tidak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya saat puncak drama ditampilkan?

Ahh, lebih baik jangan dibayangkan lah.. tak elok..

Aku teruskan tugasku memotret drama itu. Ironis memang karena ini seperti “senjata makan tuan”, kamera milik Yordan dipakai untuk memotret dia dan celana kolor kotak-kotak miliknya di puncak drama penyaliban Sang Juruselamat.

Tetapi Yordan memiliki hati yang luas dan mental yang matang, ia tetap bisa menguasai dirinya selama memerankan Yesus Kristus hingga akhir, sampai ia menjerit, “Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Salut kepada Yordan, ia sungguh berbakat sebagai aktor.

Celana kolor itu bukan alasan baginya untuk membuyarkan konsentrasi jemaat pada klimaks penyaliban Kristus.

Drama itu memang berlangsung tidak lebih dari 11 menit, tetapi drama itu takkan bisa dilupakan oleh jemaat.

Pesan sakral Jumat Agung yang terkandung drama remaja kemarin terasa lancar dan deras mengalir ke dalam sanubari kami.

Pikiranku pun terbang ke tanah Palestina dua puluh abad lampau.

Celana kolor yang dipakai “Yesus” di Golgota kemarin membuatku memikirkan lagi, “Bukankah Kristus sewaktu Ia disalibkan begitu menderita karena dosa-dosa kita?

Selain cambukan, hinaan, tonjokan, dan semua aksi memilukan itu, Kristus juga ditelanjangi.

Ya, Ia bukan hanya disalib, tetapi disalib dengan telanjang.

Mari kita perhatikan sejumlah nats berikut:

Matius 27:35,“Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi”; Markus 15:24, “Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing”;

Lukas 23:34b, “Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya”.

Tiga ayat ini menunjukkan bahwa pada saat Yesus disalibkan, para prajurit yang menyalibkan-Nya membagi-bagi pakaian-Nya.

Injil Yohanes malah menginformasikan ternyata yang diambil dan dibagi-bagi oleh para prajurit itu bukan hanya pakaian-Nya, tetapi dikatakan juga jubah-Nya (19:23).

Kata “jubah” berasal dari kata Yunani “khitona” yang artinya adalah pakaian dalam.

Alkitab NIV menulis, “When the soldiers crucified Jesus, they took his clothes (pakaian), dividing them into four shares, one for each of them, with the undergarment (pakaian dalam) remaining. This garment was seamless, woven in one piece from top to bottom” (Yohanes 19:23).

Di sini NIV menerjemahkan kata pertama dan kedua dengan tepat tetapi kata ketiga diterjemahkan ‘garment’ (pakaian), yang agak kurang cocok karena dalam bahasa Yunani kata kedua dan ketiga adalah sama.

Jadi, kata “garment” pun sebaiknya diterjemahkan sebagai pakaian dalam (yang ikut dilucuti).

Karena itu, dari nats ini dapat dipahami bahwa Yesus disalibkan dalam keadaan telanjang.

Ini jelas adalah sesuatu yang sangat memalukan. Ia ditelanjangi dan menjadi tontonan semua orang yang melihat-Nya.

Maka tak heranlah para wanita yang menjadi murid Kristus tidak berani berdiri dekat salib-Nya ketika mereka di Golgota, sangat mungkin karena mereka tidak tega melihat guru mereka dalam kondisi telanjang seperti itu.

Drama yang tanpa sengaja mempertontonkan celana kolor kotak-kotak itu mengingatkan aku dan kamu bahwa Tuhan Yesus disalibkan dengan telanjang bulat.

Penelanjangan Kristus ini menunjukkan betapa rusaknya manusia berdosa.

Seharusnya kita yang ditelanjangi, dipermalukan, disiksa, dan mengerang di neraka sebagai hukuman atas keberdosaan kita, namun itu semua dipikul oleh Yesus Kristus.

Ia memikul itu semua agar kita tidak menerima hukuman Allah.

Yesus Kristus adalah Allah, Ia rela dipermalukan dan ditelanjangi, supaya manusia bisa diselamatkan dari hukuman Allah.

Upah dosa adalah maut, dan kita semua telah berdosa, tidak seorangpun dari kita yang tidak berdosa.

Oleh sebab itu kita perlu datang kepada Dia yang tersalib dengan telanjang itu, agar kita beroleh keselamatan dan jubah kebenaran yang membuat kita tidak lagi telanjang di hadapan Allah dan tidak lagi malu ketika berjumpa muka dengan muka di hadapan-Nya.

Baca Juga:

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Lahir dan tinggal di Indonesia tentunya bukan sebuah kebetulan, memuliakan-Nya melalui panggilan kita masing-masing harus menjadi tujuan utama kita. Sudahkah kau temukan panggilanmu?

Merayakan Kreativitas Allah

Senin, 12 Agustus 2019

Merayakan Kreativitas Allah

Baca: Roma 12:3-8

12:3 Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.

12:4 Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,

12:5 demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.

12:6 Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.

12:7 Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar;

12:8 jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita. —Roma 12:6

Merayakan Kreativitas Allah

Lance Brown, seorang seniman buta warna, naik ke atas panggung diiringi alunan musik yang memenuhi aula gereja. Dengan membelakangi jemaat, ia berdiri di depan kanvas putih besar, dan mencelupkan kuasnya ke cat hitam. Dengan lincah, tangannya bergerak membuat gambar salib. Lewat goresan demi goresan di atas kanvas, Lance menuturkan kisah penyaliban dan kebangkitan Kristus. Ia menutup beberapa bagian kanvas dengan cat hitam, lalu menambahkan warna biru dan putih untuk menyelesaikan lukisan yang kini terlihat abstrak itu dalam waktu kurang dari enam menit. Kemudian ia memegang kanvas itu, membaliknya, dan tampaklah sebuah gambar yang tersembunyi, yaitu wajah Yesus yang penuh kasih.

Brown berkata bahwa ia sempat ragu saat seorang teman mengusulkan agar ia melukis cepat di dalam sebuah kebaktian. Namun, sekarang ia pergi ke seluruh dunia untuk membawa jemaat menyembah Tuhan sambil ia melukis dan bercerita tentang Yesus.

Rasul Paulus menegaskan nilai dan tujuan dari bermacam-macam karunia yang Allah bagikan kepada umat-Nya. Setiap anggota keluarga Allah diperlengkapi dengan karunia untuk memuliakan Dia dan membangun hidup orang lain dalam kasih (rm. 12:3-5). Paulus mendorong kita untuk mengenali karunia kita dan menggunakannya untuk membangun orang lain dan membawa mereka kepada Yesus, lewat pelayanan yang kita lakukan dengan tekun dan penuh sukacita (ay.6-8).

Kepada masing-masing dari kita, Allah telah memberikan karunia rohani, talenta, keterampilan, dan pengalaman untuk melayani dengan sepenuh hati baik di belakang maupun di depan layar. Saat kita merayakan kreativitas Allah, Dia pun memakai keunikan kita masing-masing untuk memberitakan Injil dan membangun hidup umat-Nya dalam kasih. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Pasal 12 merupakan titik balik dalam surat Roma. Sebelumnya, Rasul Paulus menjelaskan karya keselamatan Allah, dengan Yesus sebagai Adam kedua yang datang untuk menebus yang terhilang karena ketidaktaataan nenek moyang kita di taman Eden. Selanjutnya, Paulus beralih kepada cara menghidupi keselamatan itu. Pertama, dengan menasihati setiap orang yang telah ditebus untuk menjadi “persembahan yang hidup” (ay.1), fokusnya adalah menjadi pribadi yang berkenan kepada Allah dengan melayani sesama. Selanjutnya, ada karunia-karunia rohani untuk memperlengkapi anak-anak Allah dalam pelayanan mereka kepada orang lain (ay.3-8). Daftar karunia rohani lain ada dalam 1 Korintus 12:7-11, dan peran kepemimpinan (karunia untuk gereja) terdapat di Efesus 4:11. Melalui setiap karunia tersebut, Roh Kudus memampukan kita untuk berfungsi dalam pelayanan rohani masing-masing. —Bill Crowder

Siapa yang dapat kamu dorong untuk memakai karunia, talenta, dan keterampilan yang mereka miliki untuk melayani orang lain dengan penuh sukacita? Bagaimana caramu memakai karuniamu secara unik untuk melayani-Nya?

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 84-86; Roma 12

Handlettering oleh Kent Nath

Sekalipun

Minggu, 11 Agustus 2019

Sekalipun

Baca: Habakuk 3:17-19

3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,

3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.

3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).

Namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. —Habakuk 3:18

Sekalipun

Pada tahun 2017, kesempatan terbuka bagi kami untuk menolong para korban bencana Badai Harvey di Amerika Serikat di kota Houston. Awalnya kami hendak menguatkan mereka yang tertimpa musibah, tetapi dalam prosesnya, iman kami sendiri yang diuji dan dikuatkan saat kami mendampingi mereka di dalam gereja dan rumah mereka yang rusak oleh bencana.

Keteguhan iman yang ditunjukkan oleh sejumlah orang setelah mengalami musibah itulah yang kita lihat diungkapkan oleh Nabi Habakuk di akhir nubuatan yang diberikannya pada abad ke-7 sm. Ia menubuatkan bahwa akan datang masa-masa yang sukar (1:5-2:1); keadaan akan memburuk terlebih dahulu sebelum kemudian membaik. Di akhir nubuatannya, sang nabi merenungkan tentang kemungkinan hilangnya harta benda dan kata “sekalipun” muncul lebih dari sekali: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang” (3:17).

Bagaimana sepatutnya kita menghadapi kehilangan yang tak terbayangkan seperti merosotnya kesehatan, kehilangan pekerjaan, kematian orang yang dikasihi, atau bencana alam yang meluluhlantakkan semuanya? “Syair di Masa Sukar” yang dicatat Nabi Habakuk memanggil kita untuk kembali beriman dan percaya kepada Allah, sumber keselamatan (ay.18), kekuatan, dan keteguhan (ay.19) di masa lalu, masa sekarang, dan untuk selama-lamanya. Pada akhirnya, mereka yang percaya kepada-Nya tidak akan pernah dikecewakan. —Arthur Jackson

WAWASAN
Kitab Habakuk adalah salah satu dari dua belas kitab Nabi Kecil dalam Perjanjian Lama; disebut Nabi Kecil karena masa pelayanan kenabian mereka relatif pendek. Kitab Habakuk yang singkat ini hanya terdiri dari tiga pasal dan merupakan suatu percakapan antara sang nabi dengan Allah, berupa doa atau keluhan Habakuk dan jawaban-jawaban Allah. Karena pasal 3 diapit oleh catatan musik—(shigionoth—nada ratapan, ay.1; “Dengan permainan kecapi,” ay.19), ada kemungkinan Habakuk adalah seorang Lewi dan pemusik di Bait Allah. Seperti nabi-nabi lainnya, Habakuk meratapi kejahatan yang terjadi pada masanya. Walaupun Yehuda mengalami pembaharuan singkat di bawah pemerintahan Yosia, bangsa itu kembali berpaling dari Allah karena pengaruh buruk kekuasaan raja Manasye dan Amon. Dalam bacaan hari ini, Habakuk menegaskan kepercayaannya kepada Allah apapun yang terjadi (ay.17-19). —Alyson Kieda

Bagaimana cara Allah menjawab kebutuhanmu di masa-masa sulit? Bagaimana kamu dapat menguatkan orang lain pada saat mereka menghadapi krisis?

Bapa, di saat hidup terasa sulit dan tak menentu, jagalah imanku agar tetap teguh di dalam Engkau, sumber keselamatan dan kekuatanku.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 81-83; Roma 11:19-36

Handlettering oleh Vivi Lio

Pengaruh Dorongan

Sabtu, 10 Agustus 2019

Pengaruh Dorongan

Baca: Kisah Para Rasul 15:12-21

15:12 Maka diamlah seluruh umat itu, lalu mereka mendengarkan Paulus dan Barnabas menceriterakan segala tanda dan mujizat yang dilakukan Allah dengan perantaraan mereka di tengah-tengah bangsa-bangsa lain.

15:13 Setelah Paulus dan Barnabas selesai berbicara, berkatalah Yakobus: “Hai saudara-saudara, dengarkanlah aku:

15:14 Simon telah menceriterakan, bahwa sejak semula Allah menunjukkan rahmat-Nya kepada bangsa-bangsa lain, yaitu dengan memilih suatu umat dari antara mereka bagi nama-Nya.

15:15 Hal itu sesuai dengan ucapan-ucapan para nabi seperti yang tertulis:

15:16 Kemudian Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh, dan reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan,

15:17 supaya semua orang lain mencari Tuhan dan segala bangsa yang tidak mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku demikianlah firman Tuhan yang melakukan semuanya ini,

15:18 yang telah diketahui dari sejak semula.

15:19 Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah,

15:20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.

15:21 Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota, dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat.”

Maka diamlah seluruh umat itu, lalu mereka mendengarkan Paulus dan Barnabas menceriterakan segala tanda dan mujizat yang dilakukan Allah. —Kisah Para Rasul 15:12

Pengaruh Dorongan

Saat Benjamin West masih kecil, ia pernah mencoba menggambar kakak perempuannya tetapi tidak berhasil. Ibunya melihat hasil karyanya itu, mencium kepala Benjamin, lalu berseru, “Itu kan Sally!” Di kemudian hari, Benjamin berkata, ciuman ibunya itulah yang menjadikannya sebagai seniman—dan akhirnya menjadi pelukis terkenal di Amerika. Begitu besar pengaruh dorongan!

Seperti anak yang baru belajar menggambar, Paulus tidak punya cukup kredibilitas di awal masa pelayanannya, tetapi Barnabas meneguhkan panggilan Tuhan atas dirinya. Lewat dorongan Barnabas, jemaat mau menerima Saulus sebagai orang percaya (Kis. 9:27). Melalui dorongan Barnabas juga, jemaat yang baru bertumbuh di Antiokhia dapat menjadi salah satu gereja yang paling berpengaruh dalam kitab Kisah Para Rasul (11:22-23). Lalu, melalui dorongan Barnabas, dan juga Paulus, jemaat di Yerusalem mau menerima orang-orang percaya yang bukan Yahudi sebagai umat Allah (15:19). Jadi, dalam banyak hal, kisah jemaat mula-mula benar-benar menjadi kisah tentang pengaruh besar dari dorongan.

Demikian pula dalam kehidupan kita. Kita mungkin menganggap dorongan hanyalah soal mengucapkan kata-kata yang baik dan manis kepada seseorang. Namun, jika kita berpikir begitu, kita gagal menyadari pengaruh kekal dari dorongan. Sesungguhnya, dorongan adalah salah satu sarana yang dipakai Allah membentuk hidup kita masing-masing dan juga gereja.

Mari bersyukur kepada Allah untuk dorongan yang kita terima dan berusahalah meneruskannya kepada orang lain. —Peter Chin

WAWASAN
“Maka diamlah seluruh umat itu.” Keterangan dalam Kisah Para Rasul 15:12 ini tampak remeh, tetapi sangat penting. Ada pertentangan dan perbantahan keras (ay.2) antara Paulus dan Barnabas dengan beberapa orang percaya lain. Orang-orang ini bersikeras bahwa umat Kristen non-Yahudi harus mengikuti hukum Yahudi dan disunat. Menurut catatan Kisah Para Rasul, “Sesudah beberapa waktu lamanya berlangsung pertukaran pikiran mengenai soal itu, berdirilah Petrus dan berkata kepada mereka” (ay.7). Bisa dibayangkan betapa panas suasana diskusi itu, tetapi Petrus menyampaikan pembelaan yang masuk akal untuk iman orang-orang non-Yahudi (ay.7). Ia mengatakan bahwa mereka juga memiliki Roh Kudus, sama seperti umat percaya dari bangsa Yahudi (ay.8). Petrus menambahkan, “Kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita [umat percaya Yahudi] akan beroleh keselamatan sama seperti mereka [umat percaya non-Yahudi] juga. Tanggapan Petrus yang tenang terhadap perdebatan ini, serta kesaksian Paulus dan Barnabas, telah menjaga dan memperkuat kesatuan dalam gereja. —Tim Gustafson

Apakah kamu mengalami bagaimana dorongan telah mempengaruhi hidupmu? Siapa yang pernah mendorong kamu, dan bagaimana mereka melakukannya? Bagaimana kamu dapat mendorong seseorang dalam hidupmu minggu ini?

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 79-80; Roma 11:1-18

Handlettering oleh Claudia Rachel

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Oleh Blessdy Clementine, Jakarta

Sejak SMP, aku sangat menyukai kegiatan sosial. Aku merasa bahagia ketika berbagi sembako kepada petugas kebersihan di sekitar Jakarta, mengunjungi panti asuhan dan panti wredha, menghabiskan waktu bersama anak-anak di yayasan kanker, dan sebagainya. Hal ini terus berlanjut hingga SMA melalui program kerja OSIS, yaitu memberikan kursus bahasa Inggris gratis bagi petugas keamanan dan petugas kebersihan sekolah. Ketika lulus SMA sampai kuliah, aku mengikuti berbagai kegiatan kerelawanan dan menemukan dunia sosial sebagai passion hidupku.

Pengalaman pertama ke pelosok Indonesia

Awal tahun 2018, di tahun pertama perkuliahan, sahabatku yang juga memiliki minat tinggi pada kegiatan sosial memberitahuku tentang sebuah organisasi yang mengadakan kegiatan voluntourism ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, yaitu jalan-jalan sambil mengajar anak-anak di sana. Mendengar hal itu, seketika jantungku berdebar-debar. Aku benar-benar antusias untuk menjadi salah satu pesertanya!

Aku begitu bersyukur karena orang tuaku sepenuhnya mendukungku untuk melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Bagi mereka, traveling adalah cara untuk “berinvestasi” wawasan. Mengetahui bahwa kali ini aku akan jalan-jalan sambil berbagi ilmu dengan sesama membuat mereka memandang kegiatan ini sebagai sesuatu yang positif.

Mengajar anak-anak di pelosok menjadi suatu hal baru yang sangat menggugah hatiku. Kondisi sekolahnya tidak menyerupai sekolahku di Jakarta. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong, lantainya tanah tanpa semen, meja dan kursinya kayu yang tidak diamplas, dengan papan tulis kapur. Suara dari kelas sebelah jelas terdengar, yang membuat siswanya tidak bisa berkonsentrasi penuh. Tenaga pendidiknya amat terbatas, siswanya memakai seragam yang lusuh dan bertelanjang kaki. Tetapi, semangat belajar anak-anak itu sungguh tidak tertandingi. Binar mata mereka ketika memperhatikanku dan teman-temanku memimpin pembelajaran di kelas tidak akan pernah kulupakan.

Sejak itu, aku rindu untuk bisa berkontribusi lebih banyak lagi pada pendidikan Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian. Aku ingin mengikuti program lainnya dengan jangka waktu lebih panjang dan di tempat yang lebih membutuhkan. Aku pun berdoa memohon kesempatan ini pada Tuhan.

Doaku terjawab. Tuhan membuka kesempatan demi kesempatan selanjutnya. Relasi yang kuperoleh dari acara-acara sosial yang pernah kuikuti dipakai Tuhan untuk memberikanku informasi tentang berbagai program pengabdian masyarakat bagi para mahasiswa yang ingin berkontribusi di pelosok.

Pengabdian ke Mentawai

Bulan Juli yang lalu, aku mengikuti program pengabdian masyarakat ke Dusun Salappa, Mentawai, Sumatera Barat. Perjalanan menuju Dusun Salappa terbilang panjang: jalur udara dari Jakarta ke Padang, dilanjutkan 4 jam perjalanan dengan kapal cepat ke Pulau Siberut, jalur darat menuju Desa Muntei, lalu menyusuri sungai menggunakan Pompong (sampan kayu) menuju Dusun Salappa selama 4,5 jam perjalanan. Meski cukup melelahkan, aku sangat menikmati perjalanan yang menawarkan pemandangan alam yang indah.

Sesampainya di Dusun Salappa, kami disambut hangat oleh senyuman anak-anak dan sapaan warga dusun yang menerima kami dengan tangan terbuka. Dusun Salappa adalah dusun dengan 91 kepala keluarga. Warganya tinggal di rumah-rumah panggung (karena sering terkena banjir kala musim hujan) yang terbuat dari kayu dengan atap yang terbuat dari daun sagu. Mata pencaharian utama warganya adalah petani, dengan komoditas berupa sagu, ubi, keladi, dan pisang. Aliran listrik tidak ada sama sekali—untuk penerangan pada pagi hingga sore hari, warga Salappa bergantung pada cahaya matahari dan pada malam hari bergantung pada generator bensin dan senter tenaga surya sumbangan dari pemerintah. Air bersih yang minim diperoleh dari sumur tadah hujan yang dibuat sendiri oleh warga dan kondisi airnya jauh dari jernih. Untuk saat ini, air PDAM sudah mulai mengalir ke dusun tersebut.

Aku dan 15 teman relawan lainnya terbagi menjadi sejumlah divisi, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Divisi pendidikan membuat sejumlah program untuk siswa TK dan SD (karena SMP dan SMA berada di Desa Muntei), divisi kesehatan mengadakan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis dan sejumlah penyuluhan kesehatan, sedangkan divisi lingkungan bertugas melaksanakan program bersih-bersih desa, sosialisasi pemilahan sampah dan penyuluhan penanaman bibit tanaman baru.

Sebagai bagian dari divisi pendidikan, salah satu tanggung jawabku adalah melancarkan program pengenalan profesi dan memberi semangat bagi adik-adikku di sana untuk bercita-cita tinggi dan belajar dengan tekun. Kami mengumpulkan surat-surat dari teman-teman di Jakarta dengan berbagai latar belakang profesi, lalu membagikannya kepada setiap anak agar dapat menginspirasi mereka.

Selama lima hari menjalankan program di Salappa, kami tinggal di rumah-rumah warga dan menikmati kehidupan sebagai warga Salappa. Kami belajar bahasa Mentawai, makan makanan khas mereka, dan berinteraksi secara intens dengan warga. Bagiku, kehidupan di desa yang serba sederhana terasa menyenangkan. Di malam hari, kondisi desa gelap gulita, tapi di langit ratusan bintang berkilauan dengan amat jelas. Keluarga tempatku tinggal memperlakukanku sebagai anggota keluarga mereka sendiri, membuatku nyaman dan sejenak lupa akan hiruk pikuk kota Jakarta. Aku merasa tersentuh ketika keluarga angkatku di Salappa berkata:

Di, kapanpun kamu mau kembali ke Mentawai, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu. Terima kasih banyak sudah berkunjung ke Salappa.

Setiap saat aku berjalan sendirian maupun bergandengan dengan adik-adik di Salappa, aku hanya bisa berkata, “Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang berharga ini!”

Terpanggil untuk Pelosok

Semenjak kali pertamaku pergi ke pelosok Indonesia, aku menyadari bahwa ini adalah sebuah panggilan yang Tuhan berikan bagiku. Aku semakin yakin ketika bercerita kepada orang-orang di sekitarku tentang pengalamanku tinggal di pelosok dengan segala kondisinya yang memprihatinkan. Ketika mereka menganggap tantangan yang ada di pelosok itu sebagai sesuatu yang harus dihindari, aku justru semakin terdorong untuk datang dan merasakan apa yang dirasakan warga setempat. Ketidaknyamanan yang ada tidak pernah menghalangiku untuk terus maju—itulah yang membuatku yakin bahwa ini adalah tugas khusus dari Tuhan untuk kukerjakan bersama-Nya.

Passion yang Tuhan letakkan dalam hatiku untuk saudara-saudara sebangsa dan tanah air di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) harus terus kutunaikan menjadi sebuah aksi nyata untuk dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, tidak jarang pula aku merasa ragu: akankah aku sanggup hidup sementara saja di medan-medan yang sulit? Di saat-saat seperti itu, Tuhan meneguhkanku melalui kalimat dalam sebuah buku.

Ketika aku meresponi panggilan-Nya dengan hati yang taat dan bersungguh-sungguh, Tuhan sendiri yang akan memampukanku dan menyediakan apa yang kuperlu.

Janji Tuhan tidak pernah diingkari. Aku diberikan kemampuan beradaptasi, sukacita, kesehatan, kekuatan, dan rasa nyaman. Lebih dari itu, Tuhan juga selalu mengirimkan donatur-donatur di setiap program pengabdian yang kuikuti untuk memberikan berbagai jenis bantuan bagi pemenuhan kebutuhan warga pelosok.

Panggilan Tuhan, anak muda, dan Indonesia

Aku percaya, Tuhan menempatkanku dan kita semua di Indonesia dengan sebuah tujuan. Setiap kita memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi bagi kesejahteraan Indonesia. Dalam Yeremia 29:7, Allah berkata, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

Apakah kontribusi bagi negeri ini harus selalu dengan menjadi seorang presiden, menteri, PNS, polisi, dan tentara? Tentu saja tidak terbatas pada profesi-profesi tersebut! Dalam 1 Korintus 12:12-31, Rasul Paulus berpesan bahwa dalam tubuh Kristus, tidak ada yang lebih penting atau kurang penting dari yang lain sebab kita semua memegang peran yang berbeda-beda dan sama pentingnya. Tuhan memberikan kita talenta dan potensi masing-masing yang harus terus kita kembangkan dan kita gunakan untuk sesama kita demi kemuliaan nama Tuhan, di ladang pelayanan kita masing-masing. Ladangku adalah desa-desa di pelosok negeri, bisa jadi ladangmu adalah di kantor tempatmu bekerja, di gereja tempatmu melayani, atau di lingkungan tempat tinggalmu.

Mungkin banyak dari kita yang masih belum menemukan passion dan belum mengetahui panggilan Tuhan bagi hidup kita. Aku berdoa supaya kita semua diberikan hikmat dari Tuhan, serta kerinduan dan ketekunan untuk menemukannya. Tetapi, kiranya hal itu tidak menghentikan kita untuk tetap melakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk negeri kita tercinta, dimulai dari langkah-langkah kecil. Menjadi relawan adalah salah satunya!

Selagi kita masih muda—dengan bekal semangat yang membara dan kondisi fisik yang masih mendukung—aku mengajak kita semua untuk bekerja di ladang Tuhan tempat di mana kita tinggal, yaitu negara kita, Indonesia. Biarlah kecintaan kita pada Indonesia tidak hanya sebatas kata-kata, tetapi nyata dalam pelayanan kita. Tuhan Yesus memberkati kita, anak-anak muda Indonesia!

Baca Juga:

Mereka Tanggung Jawab Kita

Jika kita bisa menangis di dalam gereja, maka kita pun harus juga bisa menangis untuk jiwa-jiwa di luar gereja yang membutuhkan pertolongan tangan kita.

Cinta yang Tak Terpadamkan

Jumat, 9 Agustus 2019

Cinta yang Tak Terpadamkan

Baca: Kidung Agung 8:6-7

8:6 —Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!

8:7 Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina.

Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. —Kidung Agung 8:7

Cinta yang Tak Terpadamkan

Saat pertama kalinya kami melihat parit di belakang rumah kami, bentuknya hanyalah aliran kecil air di sela-sela bebatuan di tengah teriknya matahari musim panas. Papan-papan kayu yang berat berfungsi sebagai jembatan yang memudahkan kami untuk menyeberang. Beberapa bulan kemudian, hujan deras turun di daerah kami selama beberapa hari berturut-turut. Parit kecil yang jinak itu tiba-tiba berubah menjadi sungai berarus deras dengan kedalaman kurang lebih 1 meter dan lebar 3 meter! Daya laju air sempat menyapu jembatan kayu di sana hingga berpindah tempat beberapa meter jauhnya.

Air yang deras memiliki kemampuan menghanyutkan hampir apa saja yang menghalanginya. Namun, ada yang tidak dapat dihancurkan oleh banjir atau kekuatan lain yang mengancamnya, yaitu cinta atau kasih. “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya” (Kid. 8:7). Cinta yang teguh dan mendalam sering hadir dalam hubungan asmara, tetapi hanya dapat terungkap sepenuhnya dalam kasih Allah kepada umat manusia melalui Putra-Nya, Yesus Kristus.

Ketika hal-hal yang kita andalkan ternyata lenyap, wajarlah jika kita merasa kecewa. Namun, kekecewaan tersebut dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk memahami kembali makna kasih Allah kepada kita. Kasih-Nya lebih tinggi, lebih dalam, lebih kuat, dan lebih lama bertahan daripada apa pun yang ada di bumi ini. Apa pun yang kita hadapi, kita menghadapinya bersama Dia di sisi kita—Dia menopang, menolong, dan mengingatkan bahwa kita dikasihi oleh-Nya. —Jennifer Benson Schuldt

WAWASAN
Selama berabad-abad, Kidung Agung telah menyulitkan para pakar Alkitab sehingga timbullah beragam penafsiran terhadap kitab yang unik ini. Karena nuansa keintiman dalam puisi yang diinspirasikan oleh Allah ini, sejumlah pakar Yahudi memaknainya sebagai alegori yang menggambarkan relasi Allah dengan Israel. Itu sebabnya, hingga kini, beberapa bagian Kidung Agung dibacakan pada Paskah orang Yahudi—perayaan musim semi yang merayakan penyelamatan Allah terhadap Israel. Banyak teolog (sejak Origen, bapa gereja mula-mula) memahaminya sebagai kiasan dari Kristus dan gereja-Nya. Namun, dalam tafsiran modern, sejumlah pakar memahami Kidung Agung secara lebih literal—yakni sukacita kasih sepasang suami istri dalam pernikahan. Kitab ini merupakan sajak misterius yang merayakan keindahan cinta. —Bill Crowder

Bagaimana kamu yakin bahwa Allah akan selalu mengasihimu? Apa hasil dari kasih Allah dalam hidupmu?

Bapa Surgawi, terima kasih karena Engkau telah menghiburku dengan kasih-Mu di saat-saat aku ditolak atau mengalami kekecewaan. Tolonglah aku untuk percaya bahwa aku dapat bergantung kepada-Mu untuk menjawab setiap kebutuhan jiwaku.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 77-78; Roma 10

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Langit Menceritakan Kemuliaan Allah

Kontribusi foto oleh: Putra Anugerah(@putra_ge)

Bulan ini, Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-74. Sepanjang tahun inilah Tuhan telah menyertai perjalanan bangsa kita, dan aku percaya Tuhan ‘kan tetap menyertai dan memberkati bangsa ini.

Aku lahir dan besar di Jakarta. Ibu kota negeri ini yang seringkali disebut dengan kota yang macet, padat, dan juga penuh polusi. Kalau melirik ke hal-hal buruknya, mungkin akan ada lusinan hal yang bisa dikeluhkan. Tapi, meski begitu, di balik segala hal yang terkesan buruk, tentulah ada hal baik yang patut disyukuri.

Ketika tubuh ini telah letih bekerja seharian, aku menengadah ke langit. Aku melihat gugusan awan yang berpendar terkena cahaya jingga matahari senja. Kupikir ada banyak keajaiban yang langit suguhkan padaku, namun aku seringkali tidak menyadarinya. Kulihat matahari yang selalu terbit dan tenggelam, terlepas dari apapun keadaan cuaca. Awan-awan, yang kelihatannya mungkin hanya seperti gumpalan kapas nan ringan, rupa-rupanya adalah benda yang berat. Tatkala aku mencari tahu, kudapati jawaban bahwa bobot segumpal awan adalah sekitar 500 ton, atau setara dengan bobot 100 ekor gajah!

Waw! Aku terkagum. Matahari dan gumpalan awan nan berat itu melayang di angkasa, diciptakan, dan ditopang Allah sendiri! Allah menciptakan segala sesuatu dengan indah.

Merenungkan hal ini, aku diteguhkan bahwa jika Allah sanggup mengendalikan angkasa nan luas dan mendandaninya dengan sedemikian rupawan laksana senja yang kutatap hari ini, bukankah Dia juga sanggup memegang kendali atas bangsa kita dan juga hidup kita?

Mazmur 19:2 mengatakan demikian: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.”

Aku percaya tangan Tuhan sedang merenda dan mengerjakan kebaikan di tengah bangsa kita. Namun, pertanyaannya adalah: maukah aku dan kamu dipakai-Nya untuk menjadi alat kebaikan-Nya, untuk menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kasih-Nya kepada segenap insan di bangsa ini?

Aku mau selalu mendoakan bangsaku, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanku juga (Yeremia 29:7).

Warisan Iman

Kamis, 8 Agustus 2019

Warisan Iman

Baca: 2 Timotius 1:5-14

1:5 Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.

1:6 Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu.

1:7 Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.

1:8 Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah.

1:9 Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman

1:10 dan yang sekarang dinyatakan oleh kedatangan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.

1:11 Untuk Injil inilah aku telah ditetapkan sebagai pemberita, sebagai rasul dan sebagai guru.

1:12 Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.

1:13 Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus.

1:14 Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.

Aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike. —2 Timotius 1:5

Warisan Iman

Jauh sebelum Billy Graham memutuskan untuk beriman kepada Kristus di usia enam belas tahun, kedua orangtuanya sudah setia mengikut Tuhan Yesus. Masing-masing dari mereka beriman saat bertumbuh dalam keluarga yang sudah percaya kepada Yesus. Setelah menikah, orangtua Billy meneruskan warisan iman itu dengan terus membimbing anak-anak mereka di dalam Tuhan, dengan bersama berdoa, membaca Alkitab, dan setia beribadah di gereja. Teguhnya dasar yang diletakkan oleh orangtua Graham dalam hidup Billy menjadi bagian dari cara Allah membawanya beriman dan kemudian menerima panggilan sebagai penginjil.

Timotius, salah seorang anak muda yang dididik Rasul Paulus, juga merasakan manfaat dari adanya fondasi spiritual yang teguh. Paulus menulis, “Imanmu yang tulus ikhlas, . . . pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike.” Warisan iman itu membantu menyiapkan dan mengarahkan hati Timotius untuk beriman kepada Kristus.

Sekarang Paulus mendorong Timotius untuk meneruskan tradisi iman (ay.5), untuk “mengobarkan karunia Allah” yang ada pada dirinya melalui Roh Kudus, yang “membangkitkan kekuatan” (ay.6-7). Dengan kuasa Roh, Timotius dimampukan untuk bersaksi dan menderita demi Injil tanpa rasa malu (ay.8). Warisan rohani yang kuat memang tidak menjamin bahwa kita akan beriman, tetapi teladan dan bimbingan orang lain dapat membantu menyiapkan jalan kepada iman. Setelah kita menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, Roh Kudus akan membimbing kita dalam pelayanan, dalam menjalani hidup bagi-Nya, dan juga dalam menolong pertumbuhan iman sesama. —Alyson Kieda

WAWASAN
Pada surat kedua Paulus untuk Timotius, terdapat beberapa perkataan terakhir menjelang ajalnya. Dalam keadaan dipenjara di Roma karena memberitakan Injil dan menyatakan bahwa bukan Kaisar melainkan Yesus adalah Tuhan, Paulus sedang menantikan waktu eksekusinya yang sudah dekat (2 Timotius 1:8; 11-12; 2:8-9; 4:6). Saat hari-hari hidupnya tinggal sedikit, perkataan Paulus justru mencerminkan kepercayaannya pada Allah, perhatiannya pada tubuh Kristus (jemaat), dan kasih sayangnya kepada anak rohaninya—Timotius—yang disebut Paulus sebagai rekan sekerja yang paling dipercayainya (Filipi 2:19-22). —Mart DeHaan

Siapa atau apa yang dipakai Allah untuk menolong meletakkan dasar imanmu? Dapatkah kamu melakukan hal yang sama dalam hidup seseorang hari ini?

Tuhan, terima kasih untuk orang-orang percaya yang telah menolong membentuk imanku. Tolonglah aku bersandar kepada Roh Kristus agar aku mempunyai kekuatan untuk bersaksi dengan berani bagi nama-Mu!

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 74-76; Roma 9:16-33

Handlettering oleh Novelia

Lock Screen: Bangga Menjadi Indonesia

Sobat muda, kita patut bersyukur tinggal di negeri yang indah dan rupawan. Lautannya luas dan gunung-gunungnya megah. Itu semua adalah sedikit cerminan dari betapa ajaib, hebat, dan indah-Nya Tuhan, Sang Pencipta.

Bulan ini, WarungSaTeKaMu spesial lockscreen dengan background image alam Indonesia. Kiranya lockscreen ini dapat mengingatkanmu untuk bangga menjadi Indonesia.

Foto yang ada di Lockscreen ini merupakan milik @izalmory

Foto yang ada di Lockscreen ini merupakan milik Izal Mory (@izalmory).

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu

Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu.