Meneladani Sang Konselor Sejati

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Lebih cantik, lebih pintar, lebih kaya—bagiku, itulah yang disebut sebagai kelebihan. Namun, bagi orang lain, aku memiliki kelebihan yang berbeda dari apa yang kupahami sebagai kelebihan. Padahal, apa yang dianggap orang lain sebagai kelebihanku sepertinya adalah hal yang biasa dan dimiliki oleh banyak orang: mendengarkan dan mendoakan.

Ketika menerima kata-kata pujian tentang kedua hal itu dari orang lain, aku hanya tersenyum tipis dan kadang menjawab dengan, “Ah, masa?” atau “Amin…”. Aku merespon dengan cara seperti itu bukan karena merasa senang dipuji, tetapi karena aku merasa belum sepenuhnya menjadi seorang pendengar dan pendoa yang baik.

Seringkali keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitarku juga menyampaikan bahwa mereka sangat tersentuh dengan kata-kata yang kuucapkan dalam doaku. Mereka bilang, aku adalah pendoa yang baik. Namun, lagi-lagi aku merasa apa yang kulakukan adalah hal yang biasa-biasa saja, karena setiap orang bisa berdoa dan setiap kata yang disampaikan dalam doa tidak ada yang salah. Sikap hati saat berdoa adalah hal yang terpenting.

Aku sangat sering mendengarkan curhat dari orang lain, baik orang yang sudah maupun baru kukenal. Entah mengapa, mereka yang baru saja mengenalku bisa langsung merasa nyaman untuk bercerita kepadaku, bahkan meminta aku untuk mendoakan mereka.

Suatu malam, aku merasakan ada yang berbeda saat sedang mendengarkan curhatan seorang junior di kampusku dulu. Usai kami berbincang lewat WhatsApp, aku membaca kembali setiap kata dan kalimat yang kusampaikan. Aku tersenyum dan merenung, “Tuhan, kenapa aku bisa menyampaikan hal ini ya?”. Aku juga teringat bahwa setiap kali ada orang yang bercerita kepadaku, baik langsung maupun lewat media sosial, mereka selalu menyampaikan, “bawa aku dalam doamu setiap hari”. Aku mulai merenung, apakah mendengarkan dan mendoakan memang dua hal yang Tuhan karuniakan bagiku?

Aku teringat pada pengalamanku ketika mengikuti konseling. Sebuah konseling terdiri dari dua pihak, yaitu konselor dan konseli (atau klien). Konselor mampu menolong konseli untuk menyampaikan masalah yang sedang ia hadapi serta memberikan solusi agar si konseli bisa pulih dan kembali melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan baik.

Malam itu juga aku mendapati sebuah jawaban bahwa hanya karena pertolongan dari Yesus Kristus, Sang Konselor Sejati, aku dimampukan untuk mendengarkan dan mendoakan orang lain. Sang Konselor Sejati terlebih dahulu memulihkan hidupku dengan berbicara lewat firman-Nya dalam Alkitab dan memberiku kekuatan lewat doa, sehingga aku dimampukan untuk menjadi konselor bagi orang lain.

Untuk menjadi konselor yang baik bagi orang-orang di sekitar kita, tentunya kita harus terlebih dahulu memiliki relasi yang intim dengan Sang Konselor Sejati. Mendengar suara-Nya dan mengenal kehendak-Nya adalah hal utama yang harus selalu kita kejar hari demi hari. Tuhan sendiri yang akan memampukan kita untuk menjalani panggilan-Nya dalam hidup kita, yaitu untuk menjadi ‘konselor-konselor’ Ilahi.

Mendengarkan dan mendoakan—dua cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menyatakan kasih Yesus kepada sesama. Kita dapat menolong orang lain dengan mengajak mereka datang kepada Yesus, Sang Konselor Sejati yang memberi kelegaan.

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).

Baca Juga:

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Tapi, kemudian aku sadar bahwa ada yang keliru dalam motivasiku melayani-Nya.

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *