Bisakah Kita Tenang?

Selasa, 4 Juni 2019

Bisakah Kita Tenang?

Baca: Yohanes 14:25-31

14:25 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu;

14:26 tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.

14:27 Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.

14:28 Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku.

14:29 Dan sekarang juga Aku mengatakannya kepadamu sebelum hal itu terjadi, supaya kamu percaya, apabila hal itu terjadi.

14:30 Tidak banyak lagi Aku berkata-kata dengan kamu, sebab penguasa dunia ini datang dan ia tidak berkuasa sedikitpun atas diri-Ku.

14:31 Tetapi supaya dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku, bangunlah, marilah kita pergi dari sini.”

Janganlah gelisah dan gentar hatimu. —Yohanes 14:27

Bisakah Kita Tenang?

Darnell memasuki ruang fisioterapi dengan kesadaran bahwa ia akan mengalami rasa sakit yang amat sangat. Terapis merentangkan dan menekuk lengan Darnell, lalu menahannya dalam posisi yang sudah berbulan-bulan tidak dialaminya sejak cedera. Setelah menahan setiap posisi yang tidak nyaman itu selama beberapa detik, sang terapis akan berkata kepada Darnell dengan lembut: “Ok, sekarang bisa rileks.” Belakangan, Darnell berkata, “Rasanya aku mendengar kalimat itu setidaknya lima puluh kali setiap sesi: ‘Ok, sekarang bisa rileks.’”

Saat merenungkan kata-kata tersebut, Darnell menyadari bahwa kalimat tersebut juga dapat diterapkan dalam sisi kehidupannya yang lain. Ia bisa rileks dan menjadi tenang dalam kebaikan dan kesetiaan Allah serta tidak terus-terusan khawatir.

Menjelang kematian-Nya, Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya perlu mempelajari hal tersebut. Tak lama lagi mereka akan menghadapi masa-masa sukar dan penganiayaan. Untuk membesarkan hati mereka, Yesus berkata bahwa Dia akan mengutus Roh Kudus untuk tinggal bersama mereka dan mengingatkan mereka akan semua yang telah diajarkan oleh-Nya (Yoh. 14:26). Dengan demikian, Dia dapat berkata, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. . . . Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27).

Ada banyak hal yang dapat membuat kita gelisah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kepercayaan kita kepada Allah dapat semakin bertumbuh dengan senantiasa mengingat bahwa Roh Kudus tinggal di dalam kita—dan Dia memberikan kita damai sejahtera-Nya. Ketika kita mengandalkan kuasa-Nya, kita dapat mendengar-Nya berkata dengan lembut: “Jangan gelisah, dan tenanglah.” —Anne Cetas

WAWASAN
Yohanes 13-17 dikenal sebagai Pengajaran di Ruang Atas atau Pesan Terakhir. Setelah pelayanan-Nya selama tiga tahun, tibalah waktunya Kristus pergi (13:1). Dalam 24 jam selanjutnya, Dia akan disalib, dan dalam beberapa minggu Dia akan kembali kepada Bapa di surga (14:3-4). Karena itu, Yesus memakai waktu yang istimewa ini untuk menghibur, mengajar, dan menguatkan orang-orang yang telah Dia pilih untuk melanjutkan pelayanan-Nya. Selain memberitahukan bahwa Roh Kudus akan diutus (14:16-17, 26; 15:26; 16:7-11) sebagai Penolong (yang akan menyertai untuk menolong dan membantu mereka), Yesus juga membagikan kebenaran-kebenaran lain yang menguatkan para murid sebagai wakil-Nya. Kebenaran tentang melayani dan mengasihi sesama (13:1-15,34-35; 15:12-17), tinggal di dalam-Nya dan berbuah banyak (15:1-11), dan tentang kebencian serta aniaya dunia (15:18-16:4). —Arthur Jackson

Apa yang membuat kamu gelisah? Manakah sifat Allah yang dapat menolongmu untuk belajar lebih mempercayai-Nya?

Tuhan Yesus, ajarlah aku menjadi tenang dengan mempercayai kesetiaan-Mu, menyadari kehadiran-Mu, dan mengalami damai sejahtera-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 21-22; Yohanes 14

Handlettering oleh Kent Nath

Sulit Membuat Keputusan? Libatkanlah Tuhan dalam Hidupmu

Oleh Airell Ivana, Bandung

Kelas 3 SMA—momen di mana keputusan tentang masa depan harus dibuat.

Aku bingung. Di jenjang ini, semua siswa harus menentukan, antara melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau langsung bekerja. Aku ingin berkuliah. Namun, saat itu aku belum memiliki bayangan sama sekali tentang dunia perkuliahan, dan jurusan-jurusan apa saja yang bisa kutempuh hingga masing-masing prospek karirnya.

Orang tuaku menginginkanku untuk langsung bekerja saja karena alasan finansial—mereka tidak sanggup membiayaiku untuk berkuliah. Orang tuaku juga memintaku memeriksa motivasiku untuk berkuliah, apakah karena aku benar-benar ingin belajar atau hanya karena gengsi semata karena mayoritas teman-temanku melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Aku menuruti saran orang tuaku, aku pun berpikir ulang. Tapi, aku merasa dilema. Di satu sisi aku belum siap memasuki dunia kerja. Di sisi lain, aku takut untuk kuliah. Aku takut jika kuliahku nantinya menjadi zona nyamanku, karena aku hanya perlu belajar dan tidak perlu menghadapi tekanan-tekanan dalam dunia pekerjaan.

Di tengah-tengah kebimbangan, aku berdoa dan berserah kepada Tuhan. Aku membutuhkan hikmat Tuhan untuk menentukan pilihan yang tepat. Ia menjawab doaku lewat pameran pendidikan yang diadakan di sekolahku.

Salah satu universitas menarik perhatianku karena menawarkan jurusan yang kuminati, yaitu Teknik. Lebih menariknya lagi, universitas tersebut memiliki program 3 tahun untuk Strata 1—satu tahun lebih cepat dari S1 pada umumnya. “Kalau hanya 3 tahun, mungkin biayanya tidak akan terlalu membebani orang tua,” pikirku.

Aku kembali membawa pergumulanku dalam doa. Apakah ini benar-benar jawaban yang Tuhan tunjukkan padaku? Jika Tuhan memang mengizinkan, aku percaya Tuhan akan membukakan jalan bagiku.

Setelah aku berdiskusi dengan orang tuaku, puji Tuhan mereka mengizinkanku berkuliah di tempat yang kuinginkan. Mereka juga akan berusaha mencari penghasilan tambahan untuk membiayai kuliahku.

Dunia perkuliahan dimulai. Berbagai tantangan kuhadapi, salah satunya adalah mengatur waktu antara mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan melakukan tanggung jawabku sebagai ketua himpunan mahasiswa. Sempat terpikir untuk mundur dari jabatanku, tetapi aku bersyukur Tuhan memberiku kekuatan untuk menjalaninya sampai akhir.

Meskipun kuliah dengan jurusan pilihanku, aku ingin cepat-cepat lulus dan segera bekerja penuh waktu karena keterbatasan uang jajan yang diberikan oleh orang tuaku. Uang yang diberikan hanya cukup untuk makan dan membeli keperluan kuliah. Aku memperoleh uang tambahan dengan mengajar les privat dan menjadi asisten dosen. Kondisi finansial yang cukup menantang membuatku sempat sedikit menyesali keputusanku untuk tidak langsung bekerja. Namun, aku percaya Tuhan sendiri yang menuntunku ke jalan yang kutempuh saat itu (Ulangan 31:8). Aku berjalan dalam rencana-Nya dengan tuntunan-Nya.

Tidak pernah luput dari penyertaan Tuhan, aku berhasil menyelesaikan perkuliahan dalam 3 tahun—sesuai janjiku pada orangtuaku.

Saat ini aku sudah bekerja, dan aku masih seorang yang sulit membuat keputusan. Menyadari hal itu, aku selalu melibatkan Tuhan dalam setiap prosesnya. Tuhan mengingatkan kita akan janji-Nya dalam Yesaya 41:10, “Janganlah takut, sebab aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab aku ini Allahmu; aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

Ketika kita bingung akan langkah yang harus kita ambil, izinkan Tuhan mengambil alih kemudi hidup kita. Ia akan mengantarkan kita pada rencana indah-Nya. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Belajar Menyayangi Diriku Sendiri

“Tak kenal maka tak sayang”, ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita. Jika dicermati, rasanya memang tidak mungkin menyayangi seseorang jika kita belum mengenalnya. Mengenal adalah langkah pertama untuk dapat menyayangi.

Terjaga Sepanjang Malam

Senin, 3 Juni 2019

Terjaga Sepanjang Malam

Baca: Mazmur 63:1-9

63:1 Mazmur Daud, ketika ia ada di padang gurun Yehuda.63:2 Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.

63:3 Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu.

63:4 Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.

63:5 Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.

63:6 Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji.

63:7 Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam, —

63:8 sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.

63:9 Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku.

Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam. —Mazmur 63:7

Terjaga Sepanjang Malam

Saat masih kuliah, libur musim panas saya lalui dengan bekerja di sebuah resor di pegunungan Colorado yang sangat indah. Para karyawan diberi tugas jaga malam secara bergiliran—untuk mengawasi situasi kalau-kalau terjadi kebakaran hutan yang dapat membahayakan tamu-tamu saat tidur. Tugas yang awalnya tampak melelahkan dan tidak dihargai menjadi kesempatan unik bagi saya untuk berdiam diri, merenung, dan menemukan penghiburan dalam hadirat Allah yang kudus.

Raja Daud dengan sungguh-sungguh mencari Allah dan haus akan hadirat-Nya (MZM. 63:2), bahkan dari atas tempat tidurnya di “sepanjang kawal malam” (ay.7). Mazmur tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa Daud sedang gelisah. Lewat kata-katanya, mungkin Daud sedang merasakan kesedihan yang mendalam terhadap pemberontakan Absalom, anaknya. Namun, malam hari menjadi waktu bagi Daud untuk menemukan pertolongan dan pemulihan dalam “naungan sayap [Allah]” (ay.8)—dalam kuasa dan hadirat-Nya.

Mungkin kamu juga sedang menghadapi krisis atau kesulitan dalam hidupmu, dan malam hari terasa begitu menggelisahkan. Mungkin ada “Absalom” yang membebani hati dan jiwamu. Atau mungkin, beban-beban lain seperti masalah keluarga, pekerjaan, atau keuangan sering mengusik jam istirahatmu. Kalau itu yang terjadi, anggaplah masa-masa kamu sulit tidur tersebut sebagai kesempatan untuk berseru dan bergantung kepada Allah. Izinkanlah tangan kasih-Nya menopangmu (ay.9). —Evan Morgan, penulis tamu

WAWASAN
Catatan pendahuluan dalam Mazmur 63 berbunyi, “Mazmur Daud, ketika ia ada di padang gurun Yehuda.” Mazmur 61-63 kemungkinan ditulis Daud ketika ia mencari tempat perlindungan semasa pemberontakan putranya, Absalom (2 Samuel 15-18). Apa yang kita ketahui tentang Absalom? Mengapa ia memberontak terhadap ayahnya? Absalom, anak Daud dari Maakha (3:3), adalah pria rupawan yang terkenal dengan rambutnya yang panjang dan tebal (14:25-26). Ketika adiknya yang cantik, Tamar, diperkosa dengan kejam oleh saudara sebapa mereka, Amnon, Absalom melindungi adiknya dan menunggu ayah mereka untuk menghukum Amnon. Dua tahun kemudian, setelah kemarahan Absalom mendidih sementara Daud belum juga turun tangan, Absalom memerintahkan untuk membunuh Amnon, kemudian melarikan diri. Belakangan, ayah dan anak itu berkumpul kembali, tetapi semuanya sudah sangat terlambat. Sikap diam Daud memicu Absalom untuk berusaha merebut takhta. —Alyson Kieda

Bagaimana janji-janji Allah dapat menguatkan kamu di saat menghadapi tantangan yang membuat kamu terjaga pada malam hari? Bagaimana caramu mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam yang sulit seperti itu?

Ya Allah, terima kasih Engkau selalu terjaga dan menemani saya di sepanjang malam.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 19-20; Yohanes 13:21-38

Handlettering oleh Mesulam Esther

Background photo credit: Dennis Agusdianto

Menurut Gambar Allah

Minggu, 2 Juni 2019

Menurut Gambar Allah

Baca: Kejadian 1:26-31

1:26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”

1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

1:29 Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.

1:30 Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian.

1:31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. —Kejadian 1:27

Menurut Gambar Allah

Ketika mulai muncul bercak-bercak putih di kulit cokelatnya yang indah, seorang perempuan muda merasa ketakutan, seolah-olah jati dirinya hilang atau memudar. Dengan riasan tebal, ia berusaha menutupi “bercak-bercak”, begitu ia menyebutnya—yang disebabkan oleh kelainan kulit bernama vitiligo, yaitu kehilangan pigmen melanin yang menghasilkan warna.

Kemudian, pada suatu hari, ia bertanya kepada dirinya sendiri: Mengapa hal ini harus kusembunyikan? Dengan bergantung pada kekuatan dari Allah untuk bisa menerima dirinya sendiri, ia pun berhenti memakai riasan tebal. Tak lama kemudian, ia mulai mendapat perhatian luas karena kepercayaan dirinya. Akhirnya, ia menjadi pengidap vitiligo pertama yang menjadi model iklan untuk salah satu merek kosmetik berskala global.

“Semuanya ini anugerah,” katanya kepada pembawa acara berita TV, sambil menambahkan bahwa semangatnya didorong oleh iman, keluarga, dan para sahabat.

Kisah wanita tersebut mengingatkan kita bahwa setiap dari kita diciptakan menurut gambar Allah. “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Bagaimanapun penampilan kita, kita semua menyandang gambar Allah. Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita mencerminkan kemuliaan-Nya; dan sebagai pengikut Yesus kita diubahkan untuk menjadi wakil-Nya di dunia.

Apakah kamu bergumul untuk mencintai dirimu? Hari ini, lihatlah pada cermin dan tersenyumlah untuk Allah. Dia telah menciptakanmu menurut gambar-Nya sendiri. —Patricia Raybon

WAWASAN
Bacaan hari ini berisi dua pokok penting. Pertama, umat manusia berbeda dari semua makhluk hidup lainnya karena kita dijadikan menurut gambar Allah. Kedua, tugas pertama yang Allah berikan kepada kita adalah untuk berkuasa atas semua ciptaan di bumi (Kejadian 1:26). Ada banyak perdebatan tentang makna “gambar Allah.” Hal itu bisa saja merujuk kepada intelektual, moral, atau kerohanian. Namun, yang menarik adalah ungkapan “supaya mereka berkuasa [atas semua ciptaan lain]” (ay.26). Dijadikan dalam gambar Allah memampukan kita menyelesaikan mandat untuk berkuasa atas segala ciptaan. —J.R. Hudberg

Mana yang lebih penting bagi kamu—bagaimana orang memandangmu atau bahwa mereka melihat Allah hadir dalam dirimu? Dengan cara apa kamu dapat menampilkan diri sebagai gambar Allah kepada sesama?

Tolonglah aku menerima cara-Mu menciptakanku, ya Tuhan. Berkuasalah dalam hatiku agar orang lain dapat melihat-Mu dalam diriku.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 17-18; Yohanes 13:1-20

Handlettering oleh Agnes Paulina

Sharing: Kegagalan Apakah yang Pernah Membuatmu Terpuruk?

Kegagalan apakah yang pernah membuatmu terpuruk? Bagaimana kamu bangkit mengatasinya?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat menjadi inspirasi bagi sobat muda yang lainnya.

Objek dalam Cermin

Sabtu, 1 Juni 2019

Objek dalam Cermin

Baca: Filipi 3:7-14

3:7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.

3:8 Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,

3:9 dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.

3:10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,

3:11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.

3:12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

3:13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,

3:14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

[Aku] berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.—Filipi 3:14

Objek dalam Cermin

“Harus. Lari. Lebih cepat.” Begitulah ucapan legendaris Dr. Ian Malcolm, diperankan oleh Jeff Goldblum, dalam adegan film Jurassic Park keluaran tahun 1993 saat ia dan dua rekannya melarikan diri dari amukan tiranosaurus dengan mengendarai sebuah mobil jip. Ketika pengemudi melihat ke belakang dari kaca spion, rahang dari reptil raksasa itu terlihat tepat di atas kata-kata: “OBJEK DALAM CERMIN MUNGKIN LEBIH DEKAT DARIPADA YANG TERLIHAT.”

Adegan tersebut sukses memadukan ketegangan dengan rasa humor. Namun, adakalanya kita memang merasa bahwa “raksasa-raksasa” dari masa lalu seakan terus mengejar kita. Kita melihat dalam “cermin” kehidupan dan kesalahan demi kesalahan masa lalu terlihat begitu menjulang, hendak menelan kita dengan rasa bersalah atau malu.

Rasul Paulus mengerti bagaimana masa lalu mempunyai potensi untuk melemahkan kita. Selama bertahun-tahun ia pernah mencoba hidup tanpa Kristus sama sekali, bahkan menganiaya umat Kristen (flp. 3:1-9). Penyesalan akan masa lalu bisa saja melemahkan dirinya.

Namun, Paulus menemukan keindahan dan kekuatan dalam hubungannya dengan Kristus sehingga ia terdorong untuk melepaskan hidup lamanya (ay.8-9). Ia pun terbebas untuk memandang ke depan dan tidak lagi menoleh ke belakang dalam ketakutan atau penyesalan: “Ini yang kulakukan: Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan” (ay.13-14).

Penebusan kita dalam Kristus telah membebaskan kita untuk hidup bagi-Nya. Kita tidak perlu membiarkan “objek dalam cermin” mendikte arah langkah kita untuk maju. —Adam Holz

WAWASAN
Dalam Filipi 3:13, Paulus berkomitmen, “Ini yang kulakukan. . .” Ada tiga hal yang kemudian disebutkannya, dan setiap poin memiliki makna penting. Pertama, Paulus hendak “melupakan apa yang telah di belakang.” Hal ini mungkin merujuk pada hal-hal yang membuatnya “menaruh percaya pada hal-hal lahiriah” di masa lalu (ay.4-6) karena dahulu ia menghidupi Yudaisme dengan sekuat tenaga. Kedua, Paulus “mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapan[nya].” Ia tidak menjelaskan maksudnya, tetapi pernyataan ini sejalan dengan Filipi 1:21, yaitu bahwa “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Terakhir, ia berkomitmen untuk “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah” (3:14)—analogi ini mengacu pada hadiah yang diterima oleh pemenang dalam lomba atletik Yunani. Secara keseluruhan, tujuan akhir Paulus adalah menyelesaikan semua panggilannya dalam Kristus. —Bill Crowder

Bagaimana pemahaman Paulus tentang pengampunan Yesus bagi kita menolongmu mengatasi pergumulan soal masa lalu kamu? Bila kamu bergumul dengan konsekuensi dari keputusan di masa lalu, kepada siapa kamu meminta tolong agar dapat terus melangkah maju?

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 15–16; Yohanes 12:27-50

Handlettering oleh Priska Sitepu