Dengan Kacamata yang Baru

Minggu, 30 Juni 2019

Dengan Kacamata yang Baru

Baca: Keluaran 25:31-40

25:31 “Haruslah engkau membuat kandil dari emas murni; dari emas tempaan harus kandil itu dibuat, baik kakinya baik batangnya; kelopaknya—dengan tombolnya dan kembangnya—haruslah seiras dengan kandil itu.

25:32 Enam cabang harus timbul dari sisinya: tiga cabang kandil itu dari sisi yang satu dan tiga cabang dari sisi yang lain.

25:33 Tiga kelopak yang berupa bunga badam pada cabang yang satu—dengan tombol dan kembangnya—dan tiga kelopak yang serupa pada cabang yang lain—dengan tombol dan kembangnya—;demikianlah juga kaubuat keenam cabang yang timbul dari kandil itu.

25:34 Pada kandil itu sendiri harus ada empat kelopak berupa bunga badam—dengan tombolnya dan kembangnya.

25:35 Juga harus ada satu tombol di bawah sepasang cabang yang pertama, yang timbul dari kandil itu, dan satu tombol di bawah yang kedua, dan satu tombol di bawah yang ketiga; demikianlah juga kaubuat keenam cabang yang timbul dari kandil itu.

25:36 Tombol dan cabang itu harus timbul dari kandil itu, dan semuanya itu haruslah dibuat dari sepotong emas tempaan yang murni.

25:37 Haruslah kaubuat pada kandil itu tujuh lampu dan lampu-lampu itu haruslah dipasang di atas kandil itu, sehingga diterangi yang di depannya.

25:38 Sepitnya dan penadahnya haruslah dari emas murni.

25:39 Dari satu talenta emas murni haruslah dibuat kandil itu dengan segala perkakasnya itu.

25:40 Dan ingatlah, bahwa engkau membuat semuanya itu menurut contoh yang telah ditunjukkan kepadamu di atas gunung itu.”

Apa yang tidak nampak dari pada [Allah], yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan. —Roma 1:20

Dengan Kacamata yang Baru

“Pasti luar biasa memandangi pohon dan bisa melihat setiap helai daunnya dengan jelas, bukan sekadar sekumpulan warna hijau yang kabur!”

WAWASAN
Dalam bacaan hari ini, sepuluh ayat secara khusus membahas tentang pembuatan kaki dian untuk Kemah Suci. Kaki dian hanya salah satu dari perabot dalam kemah tempat Allah akan tinggal di antara umat-Nya. Perabotan lainnya meliputi tabut perjanjian (Keluaran 25:10-22), meja (ay.23-30), mezbah korban bakaran (27:1-8), mezbah pembakaran ukupan (30:1-10), dan bejana tembaga (ay.17-21). Di samping itu, banyak barang lainnya dideskripsikan secara khusus untuk digunakan dalam penyembahan Israel: kemah itu sendiri (ukuran dan bahan-bahan); minyak untuk kaki dian; campuran ukupan; baju efod untuk imam, tutup dada, dan pakaian-pakaian lainnya. Masing-masing memiliki tujuan khusus dalam kehidupan ibadah orang Israel. —J.R. Hudberg

“Pasti luar biasa memandangi pohon dan bisa melihat setiap helai daunnya dengan jelas, bukan sekadar sekumpulan warna hijau yang kabur!” kata ayah saya. Benar sekali yang beliau katakan. Waktu itu saya berumur delapan belas tahun dan tidak terlalu senang menggunakan kacamata, tetapi benda itu mengubah cara pandang saya terhadap segala sesuatu dengan membuat semua yang terlihat kabur menjadi indah!

Ketika membaca Alkitab, saya memandang sejumlah kitab tertentu seperti melihat tanpa memakai kacamata. Tampaknya tidak banyak yang bisa dilihat. Namun, mencermati detail-detail dari bagian Kitab Suci dapat menyingkapkan keindahan dari sesuatu yang tadinya terlihat membosankan.

Itulah yang terjadi ketika saya membaca kitab Keluaran. Petunjuk yang Allah berikan untuk membangun Kemah Suci—tempat kediaman sementara Allah di antara kaum Israel—mungkin tampak seperti detail membosankan yang kabur. Namun, saya berhenti sejenak di akhir pasal 25 saat Allah memberikan arahan mengenai kandil. Kandil itu harus ditempa dari “emas murni”, termasuk kakinya, batangnya, dan kelopaknya—dengan tombol dan kembangnya (ay.31). Kelopaknya harus “berupa bunga badam” (ay.34).

Bunga badam sangatlah indah, dan Allah memasukkan keindahan alam seperti itu ke dalam Kemah Suci-Nya!

Rasul Paulus menuliskan, “apa yang tidak nampak dari pada [Allah], yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya” dapat terlihat dan dimengerti lewat ciptaan-Nya (rm. 1:20). Untuk melihat keindahan Allah, terkadang kita harus memandang karya ciptaan-Nya, dan bagian-bagian Alkitab yang kelihatannya tidak menarik, dengan kacamata yang baru. —Julie Schwab

Bagaimana kamu dapat melihat Kitab Suci dengan cara yang baru untuk melihat keindahan Allah di dalamnya? Bagaimana keindahan ciptaan-Nya menarikmu semakin dekat kepada-Nya?

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 17-19; Kisah Para Rasul 10:1-23

Handlettering oleh Oei Kristina

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Sabtu, 29 Juni 2019

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Baca: Amsal 27:1-10

27:1 Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.

27:2 Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak kaukenal dan bukan bibirmu sendiri.

27:3 Batu adalah berat dan pasirpun ada beratnya, tetapi lebih berat dari kedua-duanya adalah sakit hati terhadap orang bodoh.

27:4 Panas hati kejam dan murka melanda, tetapi siapa dapat tahan terhadap cemburu?

27:5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.

27:6 Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.

27:7 Orang yang kenyang menginjak-injak madu, tetapi bagi orang yang lapar segala yang pahit dirasakan manis.

27:8 Seperti burung yang lari dari sarangnya demikianlah orang yang lari dari kediamannya.

27:9 Minyak dan wangi-wangian menyukakan hati, tetapi penderitaan merobek jiwa.

27:10 Jangan kautinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang di rumah saudaramu pada waktu engkau malang. Lebih baik tetangga yang dekat dari pada saudara yang jauh.

Orang yang kenyang menginjak-injak madu. —Amsal 27:7

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Anak-anak saya sangat gembira, sementara saya merasa gelisah. Saat liburan, kami mengunjungi sebuah akuarium yang memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk membelai hiu-hiu kecil yang dipelihara dalam kolam khusus. Saat saya bertanya kepada petugas apakah hiu-hiu itu pernah menggigit jari pengunjung, ia menjelaskan bahwa ikan-ikan itu baru saja diberi makan dan sudah diberi makanan ekstra. Hewan-hewan itu tidak akan menggigit karena tidak merasa lapar.

Pelajaran yang saya dapat tentang membelai hiu ternyata sesuai dengan perkataan dalam kitab Amsal: “Orang yang kenyang menginjak-injak madu, tetapi bagi orang yang lapar segala yang pahit dirasakan manis” (Ams. 27:7). Rasa lapar—kekosongan yang dirasakan dalam batin—dapat melemahkan ketajaman kita dalam mengambil keputusan. Rasa lapar mendorong kita untuk mencari kepuasan diri dengan apa pun yang dapat memuaskan kita, sekalipun hal itu membawa kerugian bagi orang lain.

Namun, Allah menghendaki hidup kita tidak dikuasai oleh hasrat kita. Dia rindu kita dipenuhi oleh kasih Kristus supaya apa pun yang kita lakukan bersumber dari kedamaian dan stabilitas yang Dia sediakan. Kesadaran terus-menerus bahwa kita dikasihi tanpa syarat itulah yang memberikan kita kepercayaan diri. Kita pun dimampukan untuk menyaring hal-hal yang “baik” dalam kehidupan ini—seperti pencapaian, harta benda, dan hubungan dengan sesama.

Hanya hubungan dengan Yesus yang dapat memberikan kepuasan sejati. Kiranya kita memegang teguh kasih-Nya yang ajaib bagi kita, sehingga kita senantiasa “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (ef. 3:19) demi kebaikan kita—dan orang lain juga. —Jennifer Benson Schuldt

WAWASAN
Amsal banyak berbicara tentang hubungan antar manusia (10:12; 16:28; 17:9-10; 18:24) serta pentingnya memiliki teman-teman yang takut akan Allah (12:26; 13:20;17:17; 22:24-25; 24:1-2). Dalam Amsal 27, Salomo memuji nilai seorang sahabat sejati (ay.5-6, 9-10, 17). Kawan yang bisa dipercaya adalah orang-orang yang masuk dalam kehidupan Anda dan bisa menegur serta mengoreksi dengan kasih; mereka tidak takut ‘mengecewakan’ Anda untuk sementara (dengan teguran) demi melindungi Anda dari bahaya yang fatal (ay.5-6). Nasihat mereka yang tulus dan jujur terasa seperti aroma minyak dan wangi-wangian yang menyenangkan (ay.9). Teman sejati adalah mereka yang tetap dekat dan selalu ada saat Anda membutuhkannya, menyediakan penghiburan dan dukungan dalam masa-masa kesukaran (ay.10). Teman sejati menjadikan Anda orang yang lebih baik (ay.17). —K.T. Sim

Apa yang paling kamu kejar dalam hidup ini? Mengapa Yesus sanggup memenuhimu dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh yang lain?

Mereka yang menerima Yesus sebagai Roti Hidup tidak akan lapar lagi.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 14-16; Kisah Para Rasul 9:22-43

Handlettering oleh Tora Tobing

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Sikap Cengeng

Oleh Ananda, Jakarta

Masa kecil adalah masa-masa di mana kita mulai belajar dan mengenal berbagai perasaan, salah satunya adalah perasaan takut ketika mainan kita diambil. Namun, ketika kepunyaan kita diambil, biasanya orang tua kita akan memihak pada kita dan memberikan mainan itu kembali.

Ketika kita beranjak dewasa, kita mulai menyadari bahwa dunia tidak selalu berpihak kepada kita. Banyak ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita dan kita merasa berhak untuk menuntut keadilan jika ketidakdilan itu menimpa kita. Salah satu contoh sederhana yang mungkin sering kita alami adalah kesedihan dan kekecewaaan kita ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita. Atau, ketika banyak masalah yang datang menimpa kita padahal kita merasa sudah melakukan banyak hal untuk melayani Tuhan. Tanpa sadar, kita lupa bahwa kesedihan dan kekecewaan kita tersebut mencerminkan sebuah cara untuk mengatur Tuhan agar Dia memenuhi keinginan-keinginan kita sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

Mungkin penjelasan-penjelasan di atas terdengar membosankan karena terlalu sering kita mendengarnya dari pendeta-pendeta di gereja. Mungkin juga, ketika kita mendengarnya lagi, kita merasa hal itu tidak mungkin kita alami karena kita juga sudah terlalu sering mendengar “mengikut Kristus bukanlah perkara mudah”. Mengapa aku berkata demikian? Karena aku mengalaminya.

Selama ini aku memahami bahwa mengikut Kristus merupakan perkara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Aku pun selalu mendapatkan penguatan-penguatan dari orang-orang di sekitarku mengenai hal tersebut. Namun, ada kalanya aku tetap merasa sedih dan mempertanyakan kesedihanku kepada Tuhan.

Belakangan aku merasa lelah dengan imanku. Sudah empat tahun aku mengikut Kristus secara diam-diam (Sebelumnya sudah pernah kutuliskan di sini). Sejak kelas 3 SMA, aku menyembunyikan imanku kepada Kristus dari keluarga dan sebagian besar teman-temanku. Awalnya aku sangat menggebu-gebu dan penuh sukacita menjalaninya, namun belakangan aku merasa lelah. Semuanya terasa seperti sandiwara. Aku sedih kehilangan relasi dengan sahabat-sahabatku karena imanku. Aku pun lelah karena ada orang-orang yang justru berburuk sangka tentang imanku. Mereka mengira aku tidak sungguh-sungguh mengikut Kristus. Mereka kira aku sekadar ikut-ikuan dan terpengaruh orang lain. Bahkan, ada juga yang mengira aku mengikut Kristus demi menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.

Kelelahanku membuatku bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan mengapa aku tidak dilahirkan di keluarga Kristen? Mengapa aku harus melalui semua ini? Mengapa orang-orang itu tidak memandangku dengan baik meski aku telah mengikut Engkau? Mengapa mereka bukannya menguatkan tapi malah menjatuhkan? Mengapa ibuku semakin fanatik dengan imannya dan membuatku sulit untuk mengabarkan Injil kepadanya? Mengapa ayah kandungku meninggal saat aku SD dan aku mendapatkan ayah baru yang fanatik? Mengapa aku harus berpura-pura? Sungguh, aku lelah Tuhan hidup dalam dua ‘dunia’ seperti ini. Sampai kapan Tuhan? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?” dan sederet pertanyaan lainnya.

Pilihan sikap untuk menghadapi penderitaan

Aku menangis selama beberapa waktu sampai suatu hari aku diingatkan saat ibadah Minggu melalui firman yang ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 2:11-3:12. Dalam bacaan tersebut, Petrus mengingatkan kembali bahwa identitas baru kita dalam Tuhan tidak mengubah relasi sosial kita dalam kehidupan bermasyarakat. Petrus secara khusus mengingatkan para hamba-hamba (budak) pada ayat 18 untuk tetap tunduk kepada tuan mereka, bukan hanya kepada tuan yang baik namun juga kepada tuan yang bengis. Tidak hanya itu, setelah para budak, Petrus juga menguatkan para istri untuk tunduk kepada suami mereka, bukan hanya kepada suami yang taat, namun juga kepada yang tidak taat.

Jika kita lihat dalam ayat-ayat tersebut, Petrus menghubungkan budak dengan istri melalui teladan Kristus. Mengapa demikian? Pada saat itu, para budak dan istri adalah dua kelompok masyarakat yang penderitaannya paling mirip dengan penderitaan yang Kristus alami (Innocent suffering). Petrus mengingatkan para budak dan para istri agar tetap menghormati tuan dan suami mereka dan tetap berbuat baik kepada mereka agar terang Kristus boleh terpancar melalui setiap perbuatan baik mereka.

Tentunya ini bukan hal yang mudah. Bagi para budak, mereka adalah kaum yang tidak dianggap dan sering mengalami penderitaan. Tetapi, justru secara khusus Petrus menuliskan surat yang menguatkan mereka dan mengingatkan mereka bahwa identitas mereka adalah manusia yang Tuhan kasihi; identitas mereka tidak bergantung kepada tuan mereka dan Tuhan telah rela mengalami penderitaan yang serupa karena kasih-Nya kepada manusia. Begitupun para istri yang menerima identitas baru dalam Kristus. Mereka mungkin tidak bisa mengabarkan Injil melalui perkataaan mereka kepada suami atau keluarga mereka. Mereka dikenal sebagai kaum yang sulit dipercaya dan harus selalu patuh kepada suami mereka. Dengan iman mereka yang baru (iman kepada Kristus), masyarakat akan menganggap mereka telah mencoreng nama baik keluarga, merusak relasi mereka dengan suami dan anak-anak mereka. Bahkan, mereka bisa saja diceraikan, dibuang, dan dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, Petrus menekankan agar mereka, para istri, tetap tunduk menghormati suaminya sebagai bentuk penyembahan mereka kepada Kristus.

Tidak hanya para istri, Petrus juga melanjutkan suratnya kepada para suami yang telah beriman kepada Kristus. Dalam suratnya, Petrus mengingatkan agar para suami yang pada zaman itu sangat berhak memaksa dan mengatur kehidupan keluarganya, tetap berlaku bijaksana dan menghormati istri mereka, walaupun mungkin istri dan anak-anak mereka bukan orang percaya. Petrus mengingatkan bahwa Kristus tidak mengajarkan pemaksaan, meskipun Kristus tentu memiliki kuasa untuk memaksa atau melawan musuh-musuh-Nya dalam penderitaan-Nya.

Mendengar setiap firman yang disampaikan itu, pikiranku benar-benar melayang, membayangkan keadaan pada masa itu dan membayangkan setiap peran yang Petrus sebutkan. Aku membayangkan pasti sangat sulit bagi para budak yang sudah melakukan setiap pekerjaan mereka dengan baik namun tetap harus menerima dengan kasih setiap bentakan, cacian, dan siksaan dari majikan yang kejam. Kemudian, aku mengaitkan kondisiku saat ini dengan kondisi para istri yang mungkin mirip sepertiku. Ya, aku seperti mereka. Aku belum bisa mengabarkan kabar baik secara langsung (lisan) kepada keluargaku. Tapi, aku tetap harus berbuat baik serta menghormati mereka dengan kasih Kristus. Aku juga membayangkan seandainya aku menjadi suami pada zaman itu, mungkin aku akan sangat tergoda untuk memaksa istri dan keluargaku untuk mengikuti iman yang sama seperti yang kuikuti. Akan sangat mudah bagiku untuk menjalani hidup tanpa harus merasakan rasa malu dari masyarakat sekitar maupun teman-teman karena imanku yang berbeda dari keluargaku.

Aku kembali merefleksikan semua itu kepada teladan yang Kristus ajarkan. Aku kembali menangis. Ya, kali ini aku menangis karena aku merasa terlalu cengeng jika dibandingkan dengan mereka semua yang Petrus sebutkan, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Kristus. Aku kembali mengingat betapa Kristus sungguh mengasihiku sehingga Dia rela menderita, rela ikut “jatuh” ke dalam lumpur dosa, rela diam ketika dicaci dan dihina, bahkan rela terpisah dengan Bapa untuk menolong kita. Begitupun dengan Bapa yang rela memalingkan pandangan-Nya dari Anak yang sangat dikasihi-Nya, agar pandangan-Nya yang penuh kasih bisa sepenuhnya tercurah kepada kita.

Mungkin penderitaaan yang kita alami saat ini terasa sangat sulit untuk dilalui, namun marilah terus memandang kepada teladan yang Kristus telah berikan kepada kita. Jika Kristus sudah begitu mengasihi kita, maukah kita menerima kasih-Nya dan melalui setiap penderitaan kita dengan tetap berpengharapan dan bersukacita? Jika kita telah merasakan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, maukah kita juga mengabarkan kasih anugerah keselamatan itu kepada mereka yang belum mendengarnya melalui tiap perkataan dan tindakan kita?

Meski terkadang aku masih merasa lelah, namun kini aku selalu berusaha mengingat bahwa setiap kelelahan yang kualami tidak seberapa dengan kelelahan yang Tuhan telah alami. Selain itu, aku juga berusaha untuk melihat orang-orang lain yang mengalami penderitaan lebih berat daripada yang kualami. Semisal, ada beberapa pengungsi dari negara-negara terkoyak perang yang juga pengikut Kristus dan harus menyembunyikan imannya, sama sepertiku. Tak hanya itu, mereka pun harus bergumul dengan hal-hal lain yang lebih berat sepertit empat tinggal, makanan, bahkan kewarganegaraan. Aku tidak sedang menjalani perjalanan ini sendirian, ada Yesus yang menyertaiku juga kita sekalian.

Baca Juga:

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, sudahkah kamu menguji hatimu dalam menjalani fase ini?

Dear #SongSongCouple: Mengapa Senandung Cinta Kalian Berakhir?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Dear #SongSongCouple: Why Has Your Lovesong Ended?
Gambar diambil dari akun Instagram Song Hye-Kyo

Dear #SongSongCouple,

Rasanya belum lama kalian mengabarkan berita tentang pernikahan kalian kepada dunia, setelah kesuksesan serial drama Korea “Descendants of the Sun” (DOTS) di mana kalian berdua berperan sebagai pasangan di sana.

Satu setengah tahun berselang mengarungi pernikahan, mengapa kalian memutuskan untuk berpisah begitu saja?

Aku tidak menganggap diriku sebagai fans berat drama Korea, tetapi aku adalah salah satu dari jutaan penonton yang tercengang oleh kisah romantis dalam balutan militer yang mulai disiarkan di Februari 2016. Dalam tiga bulan aku telah menyelesaikan 16 episodenya (bahkan aku menonton ulang beberapa episodenya berkali-kali), mendengarkan soundtrack-nya, belajar memainkan lagu “You Are My Everything” di piano, dan bahkan menuliskan sebuah artikel tentang tips-tips relasi berdasar drama tersebut.

Aku begitu gembira (seperti penonton yang lain juga) ketika berita tentang kisah cinta kalian dalam drama itu berubah menjadi kisah cinta yang nyata. Tampaknya untuk sekali saja, kisah pengorbanan, romatisme, dan kemurnian cinta yang biasanya menjadi bumbu dalam drama Korea sungguh-sungguh terwujud dalam kenyataan. Jadi, seperti banyak orang lainnya, aku mengikuti berita tentang pernikahan kalian, dan turut bersukacita saat kalian berdua akhirnya resmi menikah di Oktober 2017. Aku dan teman-temanku bahkan berencana untuk membuat pesta perayaan untuk turut bergembira atas kisah dongeng kalian yang menjadi nyata yang sepertinya berlangsung bahagia selamanya.

Atau, setidaknya, itulah yang kami pikirkan bagaimana relasi kalian akan berakhir kelak.

Tetapi, banyak rumor mulai muncul ke permukaan di awal pernikahan kalian ketika Song Hye-kyo kedapatan tampil tanpa mengenakan cincin pernikahannya. Dan meskipun Song Joong-ki berusaha menghilangkan ketakutannya dengan mengatakan bahwa dia lebih “stabil secara emosional” setelah menikah hanya satu bulan yang lalu, ternyata itu tidak cukup untuk menjaga pernikahan kalian bersama.

Pada akhirnya, kisah cinta yang sempurna sekalipun tidak menjamin akan pernikahan yang sempurna. Aku telah mempelajarinya dari kisah Bradd Pitt dan Angelina Jolie. Tapi, kupikir apa yang paling mengguncangku adalah betapa singkatnya waktu pernikahan kalian.

Agensimu telah memberi keterangan bahwa kalian ingin berpisah karena “perbedaan kepribadian” dan meminta kepada media dan publik untuk tidak menulis artikel ataupun komentar yang sensasional dan spekulatif. Tapi, spekulasi pun bertebaran, bahkan di antara teman-temanku. Ada yang mengatakan kalau pernikahan dan perceraian kalian sebagai cara untuk mencari ketenaran, sementara yang lain mengatakan perceraian kalian karena ada perselingkuhan.

Sebagai fans kalian, aku berharap kalian berdua bisa memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan ini, atau setidaknya mencoba menyelesaikan masalah kalian dan mempertahankan bahtera ini lebih lama lagi. Atau, mungkin jika kalian telah belajar tentang bagaimana memberi dan menerima seperti karakter yang kalian perankan dulu, mungkin semua ini akan berakhir berbeda?

Kalian mungkin berpikir: Apa sih yang kalian tahu? Pemikiran itu tidaklah salah; semua yang kutahu hanyalah apa yang media beritahukan. Di suatu hari nanti, hanya kalian berdua yang tahu alasan paling utama di balik keputusan untuk mengakhiri bahtera pernikahan kalian. Menjadi individu yang seluruh kehidupannya tak luput dari sorotan media, aku tahu bahwa menjalani hari-hari kalian tidaklah mudah.

Tetapi, suatu hari nanti pula, pemberitaan dari media-media akan usai, dan perhatian dunia akan beralih kepada pasangan lain yang menghadapi kisah yang sama seperti kalian, meratap sekali lagi seraya mengatakan “cinta sudah mati”.

Jadi, kalau bukan karena apapun, inilah satu hal yang kupikir kita semua bisa pelajari: tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap relasi yang gagal dan dikecewakan oleh orang lain. Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjamin bahwa cinta kita kepada pasangan kita akan tetap konsisten dan tidak berakhir.

Lantas, haruskah kita kecewa dan menyerah karena seolah tidak ada “cinta sejati”? Tidak. Cinta kasih yang sesungguhnya tidak akan pernah berakhir, selama kita memalingkan diri kita kepada sumber yang sejati—bukan kepada diri kita sendiri atau sesama manusia. Cinta Sejati itu adalah Yesus. Dialah mempelai yang sejati, dan Dia telah menunjukkan betapa besar kasih-Nya hingga mati di kayu salib bagi kita (Efesus 5:25).

Ketika kalian bersiap untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, aku berharap kebenaran ini menguatkanmu. Cinta masih sangat hidup, di dalam Pribadi bernama Yesus Kristus. Dan karena cinta kasih-Nya, kita sekarang dapat mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:19).

Karya Pengalihan Allah

Jumat, 28 Juni 2019

Karya Pengalihan Allah

Baca: Kisah Para Rasul 16:6-10

16:6 Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia.

16:7 Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka.

16:8 Setelah melintasi Misia, mereka sampai di Troas.

16:9 Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: “Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!”

16:10 Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.

Mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka. —Kisah Para Rasul 16:7

Karya Pengalihan Allah

Sulit rasanya menerima jawaban “tidak” atau “belum”, terlebih ketika kita merasa Allah telah membukakan pintu pelayanan bagi kita. Di awal masa pelayanan saya, ada dua kesempatan yang saya pikir sesuai dengan karunia dan kemampuan saya, tetapi ternyata tertutup bagi saya. Setelah kekecewaan tersebut, timbul panggilan pelayanan lain, dan saya pun dipilih untuk mengisinya. Di sanalah saya menjalani tiga belas tahun pelayanan penggembalaan yang memberkati banyak jiwa.

Dalam Kisah Para Rasul 16, langkah Paulus dan rekan-rekannya dua kali dialihkan oleh Allah. Pertama, “Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia” (ay.6). Kemudian, “setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka” (ay.7). Tanpa sepengetahuan mereka, Allah mempunyai rencana lain yang tepat bagi pekerjaan dan para hamba-Nya. Kata “tidak” yang diberikan Allah atas rencana sebelumnya menempatkan para hamba-Nya dalam kesiapan untuk mendengarkan dan mempercayai penuh pimpinan Allah (ay.9-10).

Adakah dari kita yang tidak bersedih atas sesuatu yang awalnya kita anggap sebagai kehilangan yang menyakitkan? Kita merasa sangat kecewa ketika tidak mendapatkan pekerjaan yang didambakan, ketika kesempatan untuk melayani tidak terwujud, atau ketika gagal pindah ke suatu tempat yang kita tuju. Kekecewaan tersebut terasa sangat berat, tetapi seiring berjalannya waktu, kita pun sering tersadar bahwa pengalihan tersebut merupakan karya kasih Allah yang dipakai-Nya untuk membawa kita ke tempat yang Dia inginkan. Untuk itu kita bersyukur kepada-Nya. —Arthur Jackson

WAWASAN
Dalam perjalanan misinya yang kedua (Kisah Para Rasul 16:1-18:22), Paulus ingin memberitakan Injil ke daerah-daerah Asia Kecil (sekarang Turki Barat) dan Bitinia (sekarang Turki Utara); tetapi Tuhan mengarahkan Paulus ke arah Barat Laut ke Troas. Melalui penglihatan tentang seorang Makedonia, Allah memanggil Paulus untuk membawa Injil masuk ke Eropa (16:8-9). Identitas “seorang Makedonia” ini banyak diperdebatkan.
Penulis Kisah Para Rasul adalah Lukas, dan karena pemakaian kata “mereka” dalam ayat 8 berubah menjadi “kami” dalam ayat 10, maka diperkirakan bahwa sang penulis sendiri sekarang ikut dalam perjalanan ini. Lukas adalah seorang dokter dari bangsa non-Yahudi (Kolose 4:14), ia menjadi rekan seperjalanan dan penolong Paulus (Kisah Para Rasul 16:10-40; 20:4-17; Filemon 1:24). Ia juga merawat Paulus pada hari-hari terakhir hidupnya di penjara (2 Timotius 4:11). —K.T. Sim

Kehilangan apa yang awalnya kamu sesali, tetapi kemudian kamu syukuri karena tidak mendapatkannya? Bagaimana situasi itu menguatkan imanmu kepada Tuhan?

Ya Bapa, aku memuji-Mu karena dalam hikmat-Mu Engkau tahu rancangan yang terbaik untuk hidupku. Terima kasih atas perlindungan-Mu dalam setiap pengalihan yang Kau adakan.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 11-13; Kisah Para Rasul 9:1-21

Handlettering oleh Kath Melisa

Memulai Kembali Komitmen Bersaat Teduh.

Subtitle oleh Ferry Setiawan

“Saat teduhku bolong-bolong, sekarang aku mau mulai komitmen lagi untuk disiplin bersaat teduh!” Sobat muda, pernahkah kamu mengalami hal serupa? Di awal tahun, mungkin kita begitu bersemangat bersaat teduh. Tapi, seiring berjalannya waktu kita jadi merasa malas hingga lupa bersaat teduh.

Jika sudah begini, apakah memperbarui komitmen untuk kembali konsisten bersaat teduh dapat dikategorikan sebagai sebuah pertumbuhan rohani?

Yuk cari tahu jawabannya dalam video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa
Cara Mengendalikan Diri
Bagaimana Jika Kita Dicap “Sok Suci?”

Melepaskan Ikatan

Kamis, 27 Juni 2019

Melepaskan Ikatan

Baca: Kejadian 33:1-11

33:1 Yakubpun melayangkan pandangnya, lalu dilihatnyalah Esau datang dengan diiringi oleh empat ratus orang. Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel serta kepada kedua budak perempuan itu.

33:2 Ia menempatkan budak-budak perempuan itu beserta anak-anak mereka di muka, Lea beserta anak-anaknya di belakang mereka, dan Rahel beserta Yusuf di belakang sekali.

33:3 Dan ia sendiri berjalan di depan mereka dan ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat kakaknya itu.

33:4 Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.

33:5 Kemudian Esau melayangkan pandangnya, dilihatnyalah perempuan-perempuan dan anak-anak itu, lalu ia bertanya: “Siapakah orang-orang yang beserta engkau itu?” Jawab Yakub: “Anak-anak yang telah dikaruniakan Allah kepada hambamu ini.”

33:6 Sesudah itu mendekatlah budak-budak perempuan itu beserta anak-anaknya, lalu mereka sujud.

33:7 Mendekat jugalah Lea beserta anak-anaknya, dan merekapun sujud. Kemudian mendekatlah Yusuf beserta Rahel, dan mereka juga sujud.

33:8 Berkatalah Esau: “Apakah maksudmu dengan seluruh pasukan, yang telah bertemu dengan aku tadi?” Jawabnya: “Untuk mendapat kasih tuanku.”

33:9 Tetapi kata Esau: “Aku mempunyai banyak, adikku; peganglah apa yang ada padamu.”

33:10 Tetapi kata Yakub: “Janganlah kiranya demikian; jikalau aku telah mendapat kasihmu, terimalah persembahanku ini dari tanganku, karena memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah, dan engkaupun berkenan menyambut aku.

33:11 Terimalah kiranya pemberian tanda salamku ini, yang telah kubawa kepadamu, sebab Allah telah memberi karunia kepadaku dan akupun mempunyai segala-galanya.” Lalu dibujuk-bujuknyalah Esau, sehingga diterimanya.

Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka. —Kejadian 33:4

Melepaskan Ikatan

Sebuah organisasi Kristen mempunyai misi untuk mendorong terciptanya pemulihan yang dialami lewat pengampunan. Salah satu aktivitas mereka adalah peragaan yang menampilkan seseorang yang dirugikan terikat pada orang yang merugikannya dalam posisi saling memunggungi. Hanya orang yang dirugikan yang bisa melepaskan ikatan tali itu. Apa pun yang ia lakukan, orang yang bersalah terhadapnya akan tetap melekat pada punggungnya. Tanpa melepaskan tali—tanda dari pengampunan—ia tidak akan bebas.

Memberikan pengampunan kepada seseorang yang datang kepada kita dalam penyesalan atas kesalahan mereka menjadi langkah awal yang membebaskan kita dan juga mereka dari kepahitan dan kepedihan yang terus membebani kita. Dalam Kitab Kejadian, kita melihat dua kakak-beradik yang terpisahkan selama 20 tahun setelah Yakub mencuri hak kesulungan Esau. Setelah sekian lama, Allah menyuruh Yakub kembali ke negerinya (Kej. 31:3). Yakub taat, tetapi karena takut, ia terlebih dahulu mengirimkan kawanan ternak untuk Esau sebagai hadiah (32:13-15). Ketika mereka bertemu, Yakub merendahkan diri dengan bersujud di kaki Esau sebanyak tujuh kali (33:3). Bayangkan, betapa terkejutnya Yakub ketika ia melihat Esau berlari mendapatkan dirinya dan memeluknya, lalu mereka berdua bertangis-tangisan karena hubungan mereka yang telah dipulihkan (33:4). Yakub tidak lagi terbelenggu oleh dosa yang pernah dilakukannya terhadap saudaranya.

Apakah kamu merasa terbelenggu karena menolak untuk mengampuni, terbebani oleh amarah, rasa takut dan malu? Ketahuilah bahwa Allah melalui Anak-Nya dan Roh Kudus sanggup membebaskanmu jika kamu meminta pertolongan-Nya. Dia akan memampukan kamu melepaskan ikatan dan membebaskanmu. —Amy Boucher Pye

WAWASAN
Menurut kesaksian Yakub sendiri, Tuhan telah bermurah hati kepadanya dengan mengaruniakan anak-anak dan harta benda (Kejadian 33:5, 11). Namun, meski diberkati dengan keluarga dan harta duniawi, hidup Yakub belum lengkap tanpa membereskan perseteruannya dengan kakaknya. —Arthur Jackson

Menurut kamu, bagaimana perasaan Esau melihat Yakub sujud di hadapannya? Sanggupkah kamu sendiri merendahkan diri di hadapan orang yang pernah kamu sakiti? Siapa yang perlu kamu bebaskan lewat pengampunan yang kamu berikan?

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 8-10; Kisah Para Rasul 8:26-40

Handlettering oleh Marcella Liem

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Oleh Marissa Cathey, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Questions To Ask When You’re Dating

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, mungkin sebelum kita melangkah menuju masa berpacaran, kita punya banyak pertanyaan dalam pikiran kita. Contohnya, bagaimana aku bisa tahu bahwa aku sudah siap untuk berpacaran?

Meskipun aku bukan seorang ahli, ada tiga kualitas yang kudapati menjadi dasar dalam relasiku berpacaran, dan kuharap poin-poin ini bisa menuntunmu ke arah yang benar.

1. Apakah kamu tertarik pada pacarmu karena dia rupawan atau karena hatinya tertuju pada Tuhan?

Apa yang membuatmu tertarik pada seseorang? Apakah penampilan fisiknya? Karakter? Kepribadian? Karier? Aku yakin kamu bisa menambahkan beberapa sifat yang mungkin dapat membuat kita tertarik pada orang lain. Tetapi jika kita menggali lebih dalam, kita tahu bahwa tidak ada satu hal pun dari sifat ini yang akan membuat hubungan bertahan lama. Sebagai orang Kristen, kita harus memperhatikan hal yang jauh lebih penting: apakah Tuhan merupakan pemimpin hidup mereka?

Ketika aku pertama kali bertemu dengan tunanganku, Brian, aku tidak begitu tertarik padanya. Menurutku dia terlihat cukup manis, tapi aku tidak terlalu memikirkannya lebih jauh lagi setelah perjumpaan pertama kami. Namun, setelah melewati beberapa minggu bekerja di tata usaha gereja (kami berdua bekerja magang pada saat itu), menghabiskan waktu istirahat bersama-sama, dan diam-diam membicarakan tugas-tugas yang kami kerjakan, aku mulai melihat semangatnya akan Injil dan hasratnya untuk membagikan itu kemanapun dia pergi. Hal ini sangat cocok dengan hasrat dan panggilan hidupku—aku terbeban untuk melakukan misi keluar sejak beberapa tahun lalu.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa kagum pada Brian—karena dedikasi dan kesetiaannya pada Yesus. Sejak saat itu, perhatianku padanya mulai terlihat, dan aku menjadi tertarik padanya. Dapat dikatakan aku jatuh cinta. Dan ternyata dia pun juga.

Jadi, relasiku dengan Brian tidak terjadi sebagaimana diperkirakan kebanyakan orang. Alih-alih berpacaran karena ketertarikan fisik atau sifat, kebergantungannya pada Kristus sebagai penulis cerita hidupnyalah yang membuatku tertarik padanya. Aku mendapati bahwa ketertarikanku pada sifat-sifat Brian lainnya mulai mengikuti setelahnya.

2. Apakah ada peluang untuk bertumbuh secara sehat?

Mungkin kita pernah mendengar pepatah “cinta bukan cerita dongeng.” Pepatah ini benar, karena agar sebuah hubungan dapat berhasil, diperlukan tindakan, usaha, dan pengorbanan. Perasaan tidaklah cukup kuat untuk menjaga sebuah pasangan agar dapat bertahan melalui semua itu. Seberapapun kuatnya cinta pasangan tersebut, atau seberapa “lengket”nya mereka . . . perasaan bisa berubah.

Ada hari-hari di mana kami berargumen, tidak setuju tentang suatu hal, atau memiliki pandangan yang berbeda, dan kejadian-kejadian tersebut dapat membuat kami bertanya apakah Tuhan menghendaki agar kami bersama atau tidak. Dalam masa-masa itu, sangat penting bagi kami untuk menjaga diri dari perasaan frustrasi, amarah, ketidaksabaran, dan juga pembenaran diri.

Seiring kami berusaha melewati tantangan ini bersama-sama, kami belajar untuk menyediakan ruang bagi Tuhan untuk membentuk hati kami. Kami belajar untuk mengizinkan persoalan-persoalan ini menggerakkan kami untuk berdoa dan mencari nasihat di dalam Firman dan juga melalui orang-orang percaya lainnya. Sekarang inilah doa kami: agar kami memiliki kerendahan hati untuk menerima tuntunan Roh Kudus dan menaati apapun yang Tuhan katakan dalam hati kami.

Kesulitan dan pencobaan yang tak dapat dihindari dalam relasi menuntut lebih dari kekaguman antara satu dengan yang lain. Pada akhirnya, kita membutuhkan Kristus sebagai dasar kita bersama untuk membantu kita melihat bagaimana kita bisa menjadi sebuah tim yang baik, melengkapi satu sama lain, dan yang terpenting menjadi semakin serupa dengan Kristus melalui seluruh proses yang ada.

Ketika kami berdua ditarik mendekat pada Kristus dan saling membantu satu sama lain untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya, kami tidak perlu takut pada masalah—karena kami tahu bahwa dalam masa-masa pencobaan sekalipun, Tuhan sedang bekerja untuk menyucikan kita dan membuat kita kudus (Filipi 1:6).

3. Apakah perbedaan kalian memecah belah atau melengkapi?

Brian dan aku sangatlah berbeda. Aku adalah orang yang blak-blakan, berpendirian teguh, terkadang galak, dan wanita yang bebas yang berasal dari daerah yang dipenuhi hutan di Meksiko bagian tengah. Brian adalah orang yang penyendiri, penuh pertimbangan, kuat, pendiam, berasal dari kota metropolitan Hong Kong. Komentar-komentar tentang seberapa berbedanya kami nampaknya tidak pernah habis-habisnya datang, dan kami hanya tertawa karena orang-orang lain hanya mengetahui segelintir dari hal-hal lainnya.

Tentu, terkadang komentar-komentar tersebut dapat membuat kami kecil hati, terutama ketika kami mendengar orang lain berkata kami tidaklah cocok, atau kemungkinan besar menjalani hubungan yang penuh bencana karena perbedaan-perbedaan kami.

Bagi Brian dan aku, kami diingatkan bahwa pada masa-masa awal para rasul, Roh Kudus menyatukan orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya dan bahasa untuk melahirkan gereja (Kisah Para Rasul 2). Dan kita tahu bahwa pada akhirnya bukanlah budaya dan tradisi yang akan bertahan hingga kekekalan, namun apa yang kita lakukan dalam ketaatan pada Allah.

Sebagaimana keberagaman dalam tubuh Kristus memungkinkan keberagaman tersebut bekerja dengan efektif (1 Korintus 12:12-14), kita percaya hal yang sama terjadi dalam pernikahan. Bersama dengan Brian, kami menemukan bahwa kami melengkapi satu sama lain melalui kelebihan dan kekurangan kami, dan mampu menjangkau lebih banyak orang dalam lingkup dunia karena hubungan multikultural yang diberikan pada kami.

Dengan pemahaman ini, kami juga meyakini bahwa mencari Tuhan dengan pemikiran yang terbuka dan kerendahan hati merupakan hal yang penting, terutama jika teman-teman yang kami percayai atau keluarga kami memiliki kekhawatiran mengenai hubungan kami. Terkadang ada beberapa permasalahan dalam relasi kami yang tidak terdeteksi oleh kami sendiri. Di tahap ini, kami butuh masukan dari orang lain, yang bisa melihat dari sudut pandang yang lebih jernih. Satu contoh kejadian di mana masukan dari pihak luar membantu kami adalah ketika salah satu orang tua rohani kami dengan lembut memberitahuku bahwa aku harus lebih sabar dan pengertian terhadap budaya Tionghoa yang menjadi latar belakang Brian. Aku juga perlu mengurangi kesalahan-kesalahan yang disebabkan karena perbedaan kebiasaanku dengan Brian. Contoh lainnya adalah ketika teman dekat Brian memberi masukan supaya Brian lebih tegas sebagai pemimpin dalam hubungan kami, terutama ketika kami sedang berada dalam masa-masa sulit. Masukan-masukan ini menolong kami untuk melihat titik-titik buta kami, dan memampukan kami untuk bertumbuh dengan cara kami dan juga memampukan kami untuk semakin mengasihi satu sama lain.

Memeriksa perbedaan yang kita miliki dengan pasangan kita dan mencari Tuhan untuk mengerti apakah perbedaan ini menolong kita untuk bertumbuh atau membuat perpecahan di dalam hubungan kita merupakan hal yang penting untuk dilakukan.

Seringkali menemukan kepuasan dan tujuan di dalam pasangan kita merupakan hal yang mudah. Namun kita mengetahui bahwa pada akhirnya tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan kita selain Tuhan. Apapun kondisinya, kita yang utama dan terutama merupakan milik Allah. Ia mengasihi dan menghargai kita dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain (Matius 10:29-31). Dalam setiap langkah perjalanan hubungan kita, mari kita tidak mengejar apa yang berharga menurut dunia, melainkan mengejar untuk menyenangkan hati Tuhan.

Seiring kamu menggumulkan tentang berpacaran atau memulai sebuah hubungan, janganlah panik atau terlalu mencemaskan tentang seberapa baik kamu akan menjalaninya nanti. Doakanlah hal itu, dan mintalah kepada Tuhan untuk memberkatimu dengan hikmat, kekuatan, dan tuntunan-Nya. Lingkupi dirimu dengan orang-orang kudus yang dapat membantumu melewati tantangan-tantangan yang mungkin akan kamu hadapi. Gunakan kesempatan ini untuk semakin mempercayai dan mengenal Allah, dan Ia akan menunjukkan jalanmu, karena Allah adalah Allah yang setia.

Baca Juga:

Tuhan Merangkai Cerita yang Indah dalam Keluargaku

Orang tuaku pernah bertengkar hebat dan perceraian pun sempat terpikir oleh mereka. Sebagai anak, aku kecewa. Namun, di balik peristiwa buruk tersebut, nyatanya Tuhan merangkaikan cerita yang indah bagi keluargaku.

Eulogi Kamu

Rabu, 26 Juni 2019

Eulogi Kamu

Baca: Pengkhotbah 7:1-6

7:1 Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.

7:2 Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.

7:3 Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega.

7:4 Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.

7:5 Mendengar hardikan orang berhikmat lebih baik dari pada mendengar nyanyian orang bodoh.

7:6 Karena seperti bunyi duri terbakar di bawah kuali, demikian tertawa orang bodoh. Inipun sia-sia.

Karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. —Pengkhotbah 7:2

Eulogi Kamu

Hati saya sangat terkesan oleh pemakaman seorang wanita yang teguh beriman kepada Allah. Kehidupannya tidaklah spektakuler. Ia tidak banyak dikenal di luar lingkungan gereja, tetangga, dan teman-temannya. Namun, ia mengasihi Yesus, ketujuh anaknya, dan kedua puluh lima cucunya. Ia penuh kegembiraan, melayani dengan murah hati, dan masih kuat bermain softball.

Kitab Pengkhotbah berkata, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta” (7:2). “Orang berhikmat senang berada di rumah duka” karena di situlah kita mempelajari hal-hal yang terpenting (7:4). Kolumnis New York Times David Brooks menyebutkan adanya dua macam kebajikan: yang terlihat mengesankan dalam daftar riwayat hidup dan yang kamu ingin orang katakan pada pemakamanmu nanti. Kadangkala, kedua hal itu saling melengkapi, walaupun sering kali keduanya seperti bertolak belakang. Jika kita ragu, pilihlah selalu kebajikan yang kedua, yang disebut Brooks sebagai kebajikan eulogi (ucapan yang memuji atau menghormati seseorang yang sudah meninggal dunia).

Mendiang tidak memiliki daftar riwayat hidup, tetapi anak-anaknya bersaksi bahwa “ia menghayati Amsal 31” dan memenuhi gambaran wanita saleh dalam pasal itu. Ia menginspirasi mereka untuk mengasihi Yesus dan mempedulikan orang lain. Seperti Paulus berkata, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1), mereka menantang kami untuk meneladani kehidupan ibu mereka sama seperti ia telah meneladani Yesus.

Apakah yang akan dikatakan orang pada pemakamanmu? Apa yang kamu ingin mereka katakan? Belumlah terlambat untuk mengembangkan kebajikan yang akan dikenang orang. Berserahlah kepada Yesus. Keselamatan dari-Nya membebaskan kita untuk menjalani hidup mengutamakan hal-hal yang terpenting. —Mike Wittmer

WAWASAN
Dalam Pengkhotbah 7, Salomo mengatakan beberapa hal yang cukup aneh, asing, dan tidak lazim: Kematian lebih baik daripada kelahiran (ay.1). Hadiri pemakaman, bukan pesta (ay.2). Adalah bijak untuk memikirkan tentang kematian (ay.4). Dalam banyak kebudayaan, membicarakan atau bahkan memikirkan tentang kematian adalah hal yang tabu. Namun, setiap orang pasti menutup usia, karena itu Salomo menasihati kita untuk menjalani hidup dengan mengingat kematian kita kelak (ay.2), merenungkan betapa singkatnya hidup ini ketimbang mengejar kesenangan atau kesia-siaan, “karena kesedihan mempunyai pengaruh yang melembutkan hati” (ay.3 FAYH). Dengan memikirkan singkatnya hidup serta kematian yang nyata dan tak terhindarkan, kita didorong untuk memeriksa cara hidup kita dan bagaimana kita akan menghabiskan waktu-waktu yang tersisa. “Orang arif selalu memikirkan kematian” (ay.4 BIS) adalah nasihat yang baik untuk mengalihkan pandangan kita dari hal yang fana kepada yang abadi. —K.T. Sim

Apakah kamu menjalani kehidupan yang akan mempengaruhi riwayat hidup atau eulogimu? Apa pengaruhnya jika kamu hidup sehari-hari dengan kebajikan eulogi?

Bapa, berikanku keberanian untuk hidup mengutamakan yang terpenting.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 5-7; Kisah Para Rasul 8:1-25

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo