Tidak Seperti Kemarin

Kamis, 25 April 2019

Tidak Seperti Kemarin

Baca: Matius 4:1-11

4:1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.

4:3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.”

4:4 Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”

4:5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah,

4:6 lalu berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.”

4:7 Yesus berkata kepadanya: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!”

4:8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,

4:9 dan berkata kepada-Nya: “Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.”

4:10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”

4:11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.

Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan Tuhan. —Ulangan 8:3

Tidak Seperti Kemarin

Saat cucu kami Jay masih kecil, orangtuanya memberinya kaus baru saat ia berulang tahun. Ia langsung memakainya dan dengan bangga mengenakannya seharian.

Keesokan paginya, waktu ia muncul dengan kaus yang sama, ayahnya bertanya,“Jay, kamu senang dengan kaus itu?”

“Lebih senang kemarin,” jawab Jay.

Itulah masalah dari mengumpulkan harta: bahkan barang-barang yang baik dalam hidup ini tidak dapat memberi kita kebahagiaan yang menetap, sesuatu yang sangat kita dambakan. Meskipun kita memiliki banyak harta, bisa jadi kita tetap tidak bahagia.

Dunia menawarkan kebahagiaan dengan mengumpulkan banyak barang: pakaian baru, kendaraan baru, telepon atau jam tangan model terbaru. Namun, tidak ada harta yang dapat membuat kita sebahagia pada saat kita baru mendapatkannya. Kita diciptakan untuk Allah dan di luar Dia, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuat kita merasa cukup.

Suatu hari, saat Yesus sedang berpuasa dan kelaparan, Iblis menghampiri-Nya dan mencobai Dia untuk memuaskan rasa laparnya dengan menciptakan roti. Yesus melawan dengan mengutip Ulangan 8:3, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4).

Itu tidak berarti bahwa kita harus hidup hanya dari roti. Yesus justru sedang mengungkapkan sebuah fakta: kita adalah makhluk rohani dan bahwa kita tidak bisa hidup dari materi saja.

Kepuasan sejati ditemukan dalam Allah dan kekayaan rohani yang dianugerahkan-Nya kepada kita. —David H. Roper

WAWASAN

Empat puluh hari puasa Yesus di padang gurun Yudea mencerminkan empat puluh tahun perjalanan Israel di padang gurun Sinai. Dengan mengingat bagaimana Roh Allah memimpin bangsa Israel ke tanah yang gersang itu, Yesus berulang kali mengutip pengalaman tersebut (Ulangan 6:16; 8:3; 10:20), karena Dia juga menghadapi berbagai tantangan yang menguji kepercayaan-Nya kepada Allah dalam memberi makanan dan penyertaan yang menjadi dasar hidup dan misi-Nya (Matius 4:1-2; Ulangan 8:3). Dalam setiap ujian, Yesus memilih untuk percaya pada kebaikan Bapa yang Dia kenal daripada kepuasan (Matius 4:3), bantuan (ay.6), dan kompromi (ay.8-9) yang ditawarkan oleh musuh-Nya (ay.10).—Mart DeHaan

Mengapa harta kekayaan tidak dapat memberi kebahagiaan jangka panjang? Hikmah apa yang telah Anda pelajari dari harapan-harapan Anda di masa lalu?

Ajarlah kami, Allah, apa artinya hidup dengan kekayaan-Mu hari ini. Engkaulah empunya semua yang benar-benar kuperlukan!

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 21–22; Lukas 18:24-43

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Jangan Sekadar Mengeluh!

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat. Baik yang pelajar maupun pekerja, mungkin pernah mengeluh saat Minggu malam untuk menyambut hari esok, hari Senin.

Aku pun juga pernah mengeluh, baik ketika menjadi pelajar S1, maupun ketika menjadi pekerja dan bahkan kini kembali menjadi pelajar S2. Saat menjadi pekerja, Senin pagi adalah waktu mengeluhku, “Hadeuh, kerja lagi, cari uang lagi, meeting lagi.” Ketika kini aktif pelayanan di hari Sabtu dan Minggu yang menyita waktu relatif banyak, lalu hari Senin kembali kuliah, aku pun mengeluh lagi, “Aduh, kapan badan ini istirahat? Senin sampai Jumat kuliah kerja tugas, akhir pekan capek pelayanan.”

Kurasa tak hanya aku, sebagian besar dari kita pun pernah mengeluh. Sebuah alasan yang mendasari kita mengeluh adalah karena ada sebuah penderitaan yang akan atau sedang kita hadapi. Banyak hal yang bisa menjadi penderitaan bagi kita, entah itu sekolah, kuliah, pekerjaan, relasi dengan siapapun, bahkan pelayanan kita sekalipun. Penderitaan itu terlihat dari keluhan yang keluar dari bibir kita.

Tetapi, sebelum kita lanjut mengeluhkan berbagai penderitaan yang kita hadapi dalam hidup ini, ada hal-hal yang perlu kita pahami nih. Yuk kita cek.

Kita tidak sendirian dalam menghadapi penderitaan

Kita, segenap manusia yang ada di bumi, bahkan Yesus semasa hidup-Nya di dunia pun pernah melontarkan keluhan. Dalam Injil Lukas 13:34 misalnya, ketika Yesus berada di Perea, wilayah Galilea, Ia hendak memasuki Kota Yerusalem. Yesus pun mengeluh dengan kenyataan tentang kota tersebut:

“Yerusalem, Yerusalem, engkau membunuh nabi-nabi dan melempari denga batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”

Ketika Yesus berdoa di Taman Getsemani di malam sebelum Dia ditangkap, Yesus pun sempat mengatakan:

“Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku…” (Matius 26:39a).

Dua ayat di atas merupakan ucapan keluhan Yesus ketika diri-Nya diperhadapkan pada penderitaan, yaitu penderitaan di mana Dia akan diangkap, disiksa, disalibkan, dan mati. Penderitaan Yesus tentu jauh lebih besar daripada derita yang kita hadapi. So, jangan pernah merasa diri kita sendirian dalam menghadapi penderitaan. Yesus juga turut menderita, bahkan lebih menderita daripada kita.

Yesus memilih menderita sebagai tanggung jawabnya

Jika Yesus sudah tahu akan menderita, dan Dia mengeluh, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: mengapa Dia tetap memilih menderita? Di sinilah kita perlu memaknai ulang kata “derita”. Kita mungkin memahami “menderita” sebagai kondisi sengsara, susah, dan mengenaskan. Tetapi, kata derita memiliki makna lebih daripada itu secara etimologi.

Kata “derita” dalam bahasa Inggris yaitu “suffer”, yang merupakan sebuah serapan dari bahasa Latin, “sufferire”. Kata “sufferire” ini berarti menanggung, menjalani, membawa sebuah tugas tanggung jawab. Maka kita bisa memahami bahwa penderitaan merupakan sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal.

Maka, yang jadi pertanyaan, tanggung jawab apakah yang dilakukan Yesus sehingga Dia harus menderita? Tanggung jawab Yesus ialah menyatakan kasih Allah kepada ciptaan-Nya dengan hidup di dunia, mengajar dan menyatakan mukjizat serta melakukan penebusan di kayu salib. Yohanes 15:13 menyatakan:

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Yesus memilih melaksanakan tanggung jawab untuk mengasihi manusia secara total dan Dia memahami konsekuensinya atau derita yang Dia jalani, yaitu disiksa dan mati disalibkan.

Dari penjelasan logis tentang Yesus yang menderita ini, kita juga bisa melihat penderitaan dalam hidup kita. Kita menderita dalam sekolah dan kuliah, dengan harus giat belajar dan mengerjakan tugas, karena itulah konsekuensi dari kita yang ingin menjadi lebih cerdas. Begitupun ketika kita bekerja, kadang lembur dan pulang malam karena itulah konsekuensi untuk mendapatkan penghasilan. Juga dalam pelayanan, kita merasa lelah secara pikiran, meluangkan waktu, mengeluarkan biaya dan tenaga, itulah konsekuensi ketika kita melayani Tuhan dan sesama kita.

Ubahlah keluhan menjadi berkat

Setiap tokoh-tokoh Alkitab juga tidak lepas dari mengeluh. Contohnya ketika harta dan anak-anak Ayub diambil oleh Tuhan, Ayub mengutuki hari kelahirannya. Contohnya lagi seruan Daud dalam Mazmur 22:1-9, dia menyatakan, “Ya Allahku, mengapa Kau tinggalkanku…” Begitu pun Yesus, yang juga turut menderita sebagai manusia seratus persen.

Beruntung, setiap tokoh-tokoh Alkitab tersebut belajar untuk berproses melihat rencana Allah dalam hidup mereka. Begitu pula dengan Yesus, ketika Dia mengeluhkan Yerusalem dalam Lukas 13:34, Dia tetap melanjutkan perjalanan-Nya. Ataupun dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Dia berseru kepada Allah dalam Matius 26:39b,

“…melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Yesus mengubah keluhan yang terucap oleh-Nya sebagai bentuk berserah kepada maksud Allah, yaitu agar Yesus bisa menyatakan kasih Allah bagi ciptan. Yesus pun melaksanakan tanggung jawab-Nya sehingga menjadi berkat bagi kita semua, yaitu berkat keselamatan.

Kita pun pasti juga tidak bisa lepas sepenuhnya dari mengeluh, tetapi apakah kita hanya melihat penderitaan yang akan atau sedang kita jalani dari sisi negatif melulu?

Mari kita belajar, bahwa Yesus juga turut menderita bersama kita. Yesus ingin mengajarkan bahwa ada sebuah tanggung jawab yang perlu kita laksanakan walaupun memiliki konsekuensi derita, dan jadilah berkat dengan menyatakan kasih Allah lewat melaksanakan tanggung jawab kita sebaik mungkin.

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Handlettering Workshop – SMA Kristen Gloria 1 Surabaya

Selasa, 23 April 2019, WarungSaTeKaMu hadir di SMA Kristen Gloria 1, Surabaya (@sma_kristen_gloria1) untuk memberikan workshop handlettering yang dibawakan oleh @Novia_Jonatan, seorang profesional handletterer dan juga anggota dari WarungSaTeKaMu Creative Community.
Puji Tuhan, acara workshop berlangsung dengan baik. Teman-teman dari SMA Kristen Gloria 1 terlihat sangat antusias dalam belajar mengenai basic skill untuk handlettering. Semoga melalui workshop ini, sobat muda dapat semakin mengembangkan talenta seni yang mereka miliki untuk kemuliaan Tuhan.

Berikut cuplikan kegiatan handlettering workshop tersebut.

Melayani yang Terkecil

Rabu, 24 April 2019

Melayani yang Terkecil

Baca: Lukas 14:15-23

14:15 Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang.

14:17 Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap.

14:18 Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan.

14:19 Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan.

14:20 Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.

14:21 Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh.

14:22 Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, tetapi sekalipun demikian masih ada tempat.

14:23 Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh.

Apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah. —1 Korintus 1:28

Melayani yang Terkecil

Sebuah video menunjukkan seorang laki-laki berlutut di tepi jalan raya yang ramai saat sedang terjadi kebakaran hutan yang hebat. Ia tampak bertepuk tangan dan memanggil-manggil dengan nada membujuk. Apakah yang dinantikannya? Seekor anjing? Sesaat kemudian seekor kelinci muncul. Laki-laki tersebut meraup kelinci yang ketakutan itu lalu berlari menuju tempat aman.

Bagaimana tindakan penyelamatan yang sepele seperti itu bisa menjadi berita besar? Karena belas kasihan yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak berdaya sungguh menyentuh hati kita. Dibutuhkan kebesaran hati untuk memberi tempat bagi makhluk yang terkecil.

Yesus berkata bahwa Kerajaan Allah itu seperti seorang tuan yang mengadakan perjamuan dan menyiapkan tempat bagi siapa saja yang mau datang. Tidak hanya pembesar dan berpengaruh, tetapi juga “orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh” (Luk. 14:21). Saya bersyukur Allah mencari mereka yang lemah dan sepertinya tak berarti, sebab jika tidak, saya tidak akan pernah diselamatkan. Paulus berkata, “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, . . . supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:27-29).

Alangkah luar biasanya kebesaran hati Allah hingga Dia mau menyelamatkan orang kecil seperti saya! Oleh karena itu, saya perlu bertanya, seberapa besar hati saya sudah bertumbuh? Saya hanya perlu melihat sejauh mana saya telah melayani mereka yang dipandang kurang berarti oleh masyarakat, bukan bagaimana saya berusaha menyenangkan mereka yang “terpandang”. —Mike Wittmer

WAWASAN

Alkitab menggunakan gambaran perjamuan atau pesta untuk melambangkan tawaran keselamatan Allah bagi dunia ini. Yesaya menyatakan bahwa “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan” (25:6). Lukas menggunakan kiasan seseorang yang mengundang banyak tamu ke “perjamuan besar” (14:16-17). Matius mengumpamakannya dengan “perjamuan kawin” anak raja yang berlangsung satu minggu penuh (22:2). Yohanes berbicara mengenai sebuah “perjamuan kawin Anak Domba” (Wahyu 19:9), di mana umat percaya dari segala bangsa berkumpul untuk merayakan keselamatan kekal Allah. Mereka akan datang “dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub” (Matius 8:11). “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah” (Lukas 14:15).—K.T. Sim

Orang-orang seperti apa yang sulit Anda hargai? Bagaimana cara Allah menolong Anda untuk mengubah sikap Anda tersebut?

Tuhan, tolonglah kami, pelayan-pelayan-Mu, menghargai orang lain seperti yang Kau lakukan, terlepas dari siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 19–20; Lukas 18:1-23

Handlettering oleh Agnes Paulina

Handlettering Workshop – Bidang Multimedia Pelayanan Mahasiswa UK Petra, Surabaya

Halo sobat muda!
Pada Hari Senin, 22 April 2019, WarungSaTeKaMu hadir di Bidang Multimedia – Pelayanan Mahasiswa UK Petra Surabaya untuk memberikan handlettering di workshop.
Workshop ini dibawakan oleh @Novia_Jonatan, seorang handletterer dan juga anggota dari WarungSaTeKaMu Creative Community.
Puji Tuhan, acara workshop berlangsung dengan baik. Teman-teman belajar mengenai basic skill untuk handlettering. Semoga melalui workshop ini, sobat muda dapat semakin mengembangkan talenta seni yang mereka miliki untuk kemuliaan Tuhan.

Berikut cuplikan kegiatan handlettering workshop tersebut.

Melihat Cahaya Terang

Selasa, 23 April 2019

Melihat Cahaya Terang

Baca: Matius 4:12-25

4:12 Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea.

4:13 Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali,

4:14 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya:

4:15 “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, —

4:16 bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang.”

4:17 Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”

4:18 Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan.

4:19 Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”

4:20 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.

4:21 Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka

4:22 dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

4:23 Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.

4:24 Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka.

4:25 Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan.

Mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. —Yesaya 9:1

Melihat Cahaya Terang

Di kota Los Angeles, Brian, seorang tunawisma yang sedang berjuang mengatasi kecanduannya, datang ke suatu lembaga pelayanan tunawisma bernama The Midnight Mission. Itulah awal perjalanan panjang Brian menuju pemulihan.

Dalam proses pemulihan itu, Brian menemukan kembali kecintaannya kepada musik. Ia pun bergabung dengan Street Symphony—sekelompok musisi profesional yang memiliki hati untuk melayani para tunawisma. Mereka meminta Brian tampil solo membawakan karya Handel dari oratorio Messiah yang berjudul “The People that Walked in Darkness (Mereka yang Berjalan dalam Kekelaman).” Dengan menggunakan kata-kata yang ditulis oleh Nabi Yesaya pada masa kekelaman bangsa Israel, ia bernyanyi, “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yes. 9:1). Seorang kritikus musik dari majalah The New Yorker menulis bahwa Brian “membuat lirik lagu tersebut seolah-olah berasal dari kehidupannya sendiri.”

Penulis kitab Injil Matius mengutip bagian Alkitab yang sama. Sebagai murid yang dipanggil Yesus keluar dari kehidupan lamanya yang menipu kaum sebangsanya, Matius menggambarkan bagaimana Yesus menggenapi nubuatan Yesaya dengan membawa misi penyelamatan-Nya hingga ke “seberang sungai Yordan” sampai ke “Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain” (Mat. 4:13-15).

Siapa yang mengira salah seorang pemungut cukai Romawi yang kejam (lihat Mat. 9:9), seorang pecandu yang menggelandang di jalanan seperti Brian, atau orang-orang seperti kita akan mendapat kesempatan untuk menyaksikan perbedaan hidup dalam terang dan gelap melalui kehidupan kita? —Mart DeHaan

WAWASAN

Kerajaan Allah adalah sebuah jalan hidup yang berbeda dari jalan yang diterapkan oleh “kerajaan dunia,” di mana kekuatan budaya dominan ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Ketika Kekaisaran Romawi menyatakan bahwa pemerintahan mereka adalah kabar baik, Kristus menekankan bahwa hanya pemerintahan Allah sajalah kabar baik yang sejati.—Monica Brands

Bagaimana terang Kristus telah mempengaruhi Anda? Dalam hal apakah Anda memantulkan terang itu kepada orang lain?

Bapa, dalam gelapnya kehidupan kami, tolonglah kami melihat terang Anak-Mu, Tuhan dan Juruselamat kami.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 16–18; Lukas 17:20-37

Handlettering oleh Priska Sitepu

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Our Love Story Went Wrong

“Di mana kamu mendapatkan sukacita terbesarmu?”

Aku berhenti sejenak, mengingat apa yang membuatku tersenyum, apa yang membuatku bertahan menjalani keseharianku, dan apa yang paling membawa kebahagiaan untukku.

“Kurasa aku mendapatkan sukacita terbesarku . . . dalam dirimu,” Ucapku dengan lembut.

“Aku juga.”

***

Inilah bagian dari kisah cinta kita di mana kita tersenyum sambil menatap satu sama lain dengan malu-malu, menggenggam tangan dan merangkul satu sama lain dalam cinta—cinta yang penuh dengan kebahagiaan, romantis, dan terasa seperti melayang-layang.

Bagian cerita inilah yang membuat kita sadar bahwa kita sedang menghidupi kisah-kisah cinta yang diceritakan dalam dongeng, lagu, buku, dan film. Kisah cinta yang disajikan pada kita dengan segala kalimat, lirik, dan adegannya, hingga tanpa sadar kita telah membeli sesuatu yang sama berkali-kali.

Namun, justru pada bagian inilah kisah cinta kita berjalan ke arah yang keliru. Sebab, kisah cinta yang sejati tidaklah seperti itu, dan kisah cinta yang sedang kita jalani sekarang tidak akan bertahan selamanya.

***

Aku sedang menjalani hubungan dengan tunanganku, David, selama 2 tahun. Dan hari demi hari, aku semakin jatuh cinta dengannya.

Namun selalu ada bahaya ketika aku mencintainya dengan sangat. Cinta itu dapat membuatku mencintainya lebih dari cinta pertama dan terbaikku: Tuhan.

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku mendapati diriku melewati batas itu: ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengannya dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Tapi mengapa itu seperti hal yang buruk? Apa yang salah dengan lebih mencintai calon suamiku daripada Tuhan?

Itu sangat berbahaya. Hal itu menarikku dari menyembah Tuhan kepada memberhalakan seorang manusia biasa yang penuh kelemahan dan kekurangan (Roma 1:25). Terkadang aku mendapati diriku sangat mencintainya hingga aku lupa bahwa dia hanyalah manusia. Dan walaupun dia berusaha sebaik mungkin untuk mencintaiku dengan benar, dia terkadang gagal—akupun juga. Dan saat itulah kita merasa kecewa, tersakiti, dan marah pada pasangan kita.

Itu adalah dosa. Hal itu melanggar perintah pertama Tuhan pada kita: bahwa kita tidak menyembah allah lain di hadapan-Nya (Keluaran 20:3). Berhala bukan hanya patung kayu kecil atau sebuah altar di dalam rumah yang kita sembah, melainkan hal yang bertakhta di kehidupanku. Berhala adalah hal yang kucintai, dambakan dan hargai lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini.

Dan itulah hal yang mendukakan Tuhan. Tuhan bersedih ketika aku pergi menjauh dari-Nya menuju pelukan kekasih lain, sebuah karunia yang Tuhan sendiri berikan padaku, tapi yang telah kubelokkan dan kusalahgunakan untuk keegoisanku. Mengkhianati Tuhan juga menyakitiku dalam cara-cara yang tidak dapat kumengerti secara kognitif, namun kurasakan secara spiritual, ketika rohku berduka bersama dengan Roh Kudus.

Berkali-kali aku diperlihatkan pada konsekuensi dari mencintai pasanganku lebih daripada Tuhan. Namun konsekuensi ini ditujukan untuk menuntunku pada pertobatan dan untuk mendisiplinkanku untuk kebaikanku (Ibrani 12:5-11). Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh temanku: “Tuhan tidak memberikanmu seseorang untuk melihat dia mengambil tempat-Nya di hidupmu.”

Mengasihi tunanganku lebih dari Bapa seringkali menuntun pada rasa sakit dan hubungan yang merenggang. Karena ketika aku meninggikannya hingga dia menjadi tuhan dalam hidupku—sosok yang kupercaya dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhanku, yang mencintai dan mengerti diriku tanpa syarat, dan yang selalu ada denganku dalam segala kondisi, baik secara fisik maupun emosional—aku mendapati dirinya gagal memenuhi semua itu. Seharusnya hal ini tidak mengherankan, tapi aku tidak dapat menahan diriku dari perasaan kecewa, bahkan seperti merasa ditipu. Dan semua itu karena aku mempercayai kebohongan yang kubuat sendiri.

Lalu bagaimana caranya kita mengasihi pasangan kita tanpa memberhalakan mereka?

Momen ketika kami mengaku bahwa kami mendapatkan sukacita terbesar dalam pelukan satu sama lain merupakan pengalaman yang pahit namun manis—pahit karena kami tahu bahwa cinta kami dapat dengan mudah berubah menjadi berhala jika kami tidak berhati-hati; namun manis, karena kita telah menemukan orang yang jiwa kita kasihi dan yang dengannya kita akan disatukan (Kidung Agung 3:4, Kejadian 2:1-24).

Momen itu merupakan pengingat bahwa cinta romantis seperti itu, sama dengan cinta lainnya, hanyalah bayang-bayang dari Cinta terbesar yang pernah ada: cinta yang diwujudkan di kayu salib melalui Anak Allah, yang menanggung dosa-dosa kita dan mati bagi kita

Aku belajar bahwa satu-satunya cara untuk mencintai David dengan benar, dan juga satu-satunya cara David untuk mencintaiku dengan benar, adalah dengan mencintai Tuhan dengan benar (1 Yohanes 4:19). Hal ini berarti menanyakan pada diri kita siapa Tuhan bagi kita; dan jika Tuhan adalah Tuhan kita, kita meresponinya dengan menjalani hidup yang menyembah Allah dengan sepenuhnya.

Hal ini berarti menyatakan Tuhan sebagai Raja dari hati kita, dengan mengutamakan pertumbuhan relasi kita dengan Cinta pertama kita, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tidak hanya ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, atau ketika kita menghabiskan waktu dengan keluarga kita, tapi juga di saat-saat kita sedang sendiri.
Hubungan yang berpusat pada Kristus didasari oleh komitmen, kebergantungan dan keintiman. Ini artinya dengan sadar memiliih untuk mencintai Tuhan di atas pasangan kita, bersandar hanya pada Kristus sebagai batu penjuru, dan mendekat pada-Nya tiap hari, dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari.

Semenjak kami menyadari bahwa kami perlu menempatkan Tuhan di atas satu sama lain, kami telah menyediakan waktu untuk berdoa, mengucap syukur, dan merenungkan Firman-Nya bersama-sama ketika kami bertemu. Kami juga memulai kebiasaan mendoakan satu sama lain tiap hari, menanyakan hal yang ingin didoakan, dan menguatkan satu sama lain melalui Firman.

Pada akhirnya, kisah cinta kita adalah tentang mengalami apa yang pemazmur alami ketika dia menulis: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” dan bahwa “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah” (Mazmur 16:2, 11). Ini berarti menghargai Tuhan sebagai hartaku yang paling berharga, dan menikmati-Nya sebagai kenikmatan terbesarku (Matius 6:21). Inilah caranya kami menjalani kisah cinta kami dengan benar: dengan menemukan sukacita terbesar kami yang hanya ada di dalam Dia seorang, bersama-sama.

Baca Juga:

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Kekuatan Baru

Senin, 22 April 2019

Kekuatan Baru

Baca: Yesaya 40:27-31

40:27 Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: “Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?”

40:28 Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya.

40:29 Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.

40:30 Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung,

40:31 tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. —Matius 11:28

Kekuatan Baru

Di usia ke-54 saya mengikuti perlombaan maraton Milwaukee dengan dua target—mencapai garis akhir dan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 jam. Pencapaian saya akan sangat mengagumkan seandainya saja paruh kedua ditempuh selancar paruh pertama. Namun, pada kenyataannya, perlombaan tersebut sangat melelahkan, dan kekuatan baru yang saya butuhkan untuk menuntaskan paruh kedua itu tidak pernah datang. Saat saya mencapai garis finis, langkah-langkah mantap saya di awal perlombaan telah berubah menjadi langkah yang tertatih-tatih.

Perlombaan lari bukan satu-satunya yang membutuhkan kekuatan baru—perlombaan hidup ini pun membutuhkannya. Agar mampu bertahan, orang-orang yang letih lesu membutuhkan pertolongan Allah. Yesaya 40:27-31 memadukan puisi dengan nubuatan dengan sangat indah untuk menghibur dan memotivasi mereka yang membutuhkan kekuatan untuk terus maju. Kata-kata yang abadi mengingatkan mereka yang letih lesu dan kecewa bahwa Tuhan tidaklah jauh dan masih peduli (ay.27), bahwa keadaan kita yang sulit tidak pernah luput dari perhatian-Nya. Kata-kata ini memberikan penghiburan dan jaminan, mengingatkan kita pada Allah yang kuasa-Nya tak terbatas dan pengetahuan-Nya tak terhingga (ay.28).

Kekuatan baru yang dijelaskan dalam ayat 29-31 sangatlah tepat untuk kita—entah kita sedang berjuang membesarkan anak-anak dan mencari nafkah untuk keluarga, berjuang menjalani hidup yang dibebani masalah fisik maupun keuangan, atau sedang dikecewakan oleh hubungan yang renggang atau pergumulan dalam hal spiritual. Kekuatan baru itulah yang akan diterima—lewat perenungan firman Tuhan dan berdoa—oleh mereka yang menanti-nantikan Tuhan. —Arthur Jackson

WAWASAN

Yesaya—namanya berarti “TUHAN menyelamatkan”—memperingatkan Yehuda yang tidak juga mau bertobat bahwa Allah akan menggunakan dua negara adidaya, Asyur dan Babel, untuk menghukum Yehuda karena ketidaksetiaan dan penyembahan berhala mereka (Yesaya 1-39). Yesaya juga menghibur Yehuda dengan janji pemulihan dan berkat Allah setelah hukuman mereka selesai dijalani (pasal 40-66). Dalam pasal 40, Yesaya mengalihkan pandangan kepada otoritas, kedaulatan, kebesaran, dan kemuliaan Allah (ay.1-26) serta dengan lembut berbicara tentang kasih dan pemeliharaan Allah (ay.11, 27-31). Menjawab rasa terabaikan yang dialami Yehuda (ay.27), Yesaya meyakinkan mereka bahwa Allah tidak hanya berketetapan untuk memberkati mereka, tetapi juga memiliki kuasa mutlak untuk melakukannya (ay.28). Sebagai Allah Pencipta yang kekal dan maha kuasa, Dia adalah sumber kekuatan mereka (ay.29). Yesaya mengundang bangsa Yahudi yang patah semangat ini untuk bangkit memulai komitmen baru saat mereka percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya (ay.30-31).—K.T. Sim

Kapan kehidupan ini begitu menguras tenaga dan membebani Anda? Dalam area tertentu apa Anda membutuhkan kekuatan Tuhan hari ini?

Tuhan, aku datang kepada-Mu dalam kelemahan dan kelelahan, berikanlah kepadaku kekuatan yang baru.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 14–15; Lukas 17:1-19

Handlettering oleh Febronia

Dicuci Bersih

Minggu, 21 April 2019

Dicuci Bersih

Baca: Yeremia 2:13,20-22

2:13 Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.

2:20 Sebab dari dahulu kala engkau telah mematahkan kukmu, telah memutuskan tali pengikatmu, dan berkata: Aku tidak mau lagi diperbudak. Bahkan di atas setiap bukit yang menjulang dan di bawah setiap pohon yang rimbun engkau berbaring dan bersundal.

2:21 Namun Aku telah membuat engkau tumbuh sebagai pokok anggur pilihan, sebagai benih yang sungguh murni. Betapa engkau berubah menjadi pohon berbau busuk, pohon anggur liar!

2:22 Bahkan, sekalipun engkau mencuci dirimu dengan air abu, dan dengan banyak sabun, namun noda kesalahanmu tetap ada di depan mata-Ku, demikianlah firman Tuhan ALLAH.

Darah Yesus, Anak [Allah] itu, menyucikan kita dari pada segala dosa. —1 Yohanes 1:7

Dicuci Bersih

Semua jadi benar-benar kacau. Sebuah pulpen gel berwarna biru entah bagaimana bisa terselip di antara lipatan handuk-handuk putih saya dan aman dari gilingan mesin cuci, tetapi kemudian pecah saat berada di dalam mesin pengering. Alhasil, bercak biru pun menyebar ke mana-mana. Rusak sudah handuk-handuk putih saya. Diberi pemutih sebanyak apa pun tetap tidak akan bisa menghilangkan noda-noda gelap tersebut.

Meski sebenarnya enggan, akhirnya saya menjadikan handuk-handuk itu sebagai lap. Saya jadi teringat pada ratapan Nabi Yeremia dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan tentang dampak merusak dari dosa. Dengan menolak Allah dan berpaling kepada para dewa (Yer. 2:13), Yeremia menyatakan bahwa bangsa Israel telah meninggalkan noda yang tidak akan dapat hilang dalam hubungan mereka dengan Allah. “Bahkan, sekalipun engkau mencuci dirimu dengan air abu, dan dengan banyak sabun, namun noda kesalahanmu tetap ada di depan mata-Ku, demikianlah firman Tuhan Allah” (ay.22). Mereka tidak kuasa meniadakan kerusakan yang telah mereka buat.

Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan sanggup menghapus noda dosa-dosa kita. Namun, Tuhan Yesus telah melakukan apa yang tidak sanggup kita lakukan. Melalui kuasa kematian dan kebangkitan-Nya, Dia “menyucikan [orang percaya] dari pada segala dosa” (1Yoh. 1:7).

Bahkan jika ini sulit dipercaya, tetaplah bersandar pada kebenaran ini: tidak ada kerusakan akibat dosa yang tidak dapat dihapus oleh Yesus Kristus. Allah rela dan siap menghapus akibat dosa siapa saja yang bersedia kembali kepada-Nya (ay.9). Melalui Kristus, kita dapat hidup setiap hari dengan merdeka dan penuh pengharapan. —Lisa Samra

WAWASAN

Dalam bahasa asli Alkitab, ada beberapa kata yang diterjemahkan sebagai dosa, masing-masing memiliki pengertian berbeda. Dalam bacaan hari ini, Yeremia menggunakan kata yang berarti “buruk” atau “jahat” dan kerap digunakan untuk menyebut sesuatu yang memiliki dampak negatif. Namun, walaupun berbagai definisi dapat memberikan pengertian teknis tentang apa itu dosa, sering kali definisi tersebut gagal untuk menjelaskan gambaran tentang realitas dosa.
Dalam bacaan hari ini, Yeremia menggunakan empat metafora untuk menggambarkan hakikat kejijikan dosa Israel terhadap Allah—menggali kolam (ay.13), mematahkan kuk dan memutuskan tali pengikat (ay.20), persundalan (ay.20), dan pohon anggur liar (ay.21). Ketika dosa diartikan sekadar “meleset dari sasaran” (suatu tembakan yang baik tetapi tak sempurna), dosa menjadi sesuatu yang lebih mudah dimaklumi. Namun, persundalan sebagai metafora dari dosa kita adalah gambaran yang keras, tidak mudah diberi lapisan pemanis. Yeremia mengatakan bahwa tindakan Israel sangat menjijikkan sehingga usaha apapun untuk membersihkan diri mereka sendiri tidak akan mampu menghapuskan kesalahan mereka. —J.R. Hudberg

Apa yang bisa Anda lakukan dengan rasa bersalah Anda? Bagaimana Anda dapat hidup secara berbeda hari ini setelah mengetahui bahwa kematian Yesus berkuasa menghapuskan rasa bersalah dan “noda” akibat dosa Anda?

Darah Yesus menghilangkan noda akibat dosa.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 12–13; Lukas 16

Handlettering oleh Tora Tobing