Rangkuman Singkat Yakobus 3:17-4:12

Minggu ini, kita diingatkan untuk mengejar hikmat dari Tuhan, bukan dunia.

Bagaimana caramu menerapkannya di dalam kehidupanmu?

Yuk kita simak infografik ini untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan pelajaran dari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus yang sudah kita pelajari selama seminggu ini.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Bagikan apa yang kamu dapat dari #WSKSaTeYakobus di Instagram Story kamu! Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Pernah Memfitnah?

Hari ke-24 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Pernah Memfitnah?

Baca: Yakobus 4:11-12

4:11 Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya.

4:12 Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?

Pernah Memfitnah?

Apakah kamu ingat dengan film komedi remaja berjudul Mean Girls di tahun 2004 yang dibintangi oleh Lindsay Lohan dan Rachel McAdams? Dalam film itu, ada satu benda penting dalam alur cerita, yaitu sebuah buku yang disebut “the Burn Book”. Buku tersebut adalah catatan berbagai rumor, gosip, rahasia, dan nama ejekan yang diberikan kepada semua murid perempuan dan beberapa guru di sekolah itu. Isi buku tersebut pada akhirnya terungkap, dan segala fitnah, pernyataan yang tidak benar dan merusak pribadi tiap-tiap orang itu membawa dampak yang serius. Banyak pertengkaran muncul dan ada hukuman yang harus ditanggung.

Mungkin kita terheran-heran bagaimana bisa ada orang yang begitu kejam menuliskan hal-hal yang demikian buruk tentang orang lain. Namun, saat aku memikirkan lagi hal ini, aku menyadari satu hal: Apakah kita memiliki Burn Book kita sendiri? Mungkin kita memang tidak menuliskan dalam sebuah buku atau menyuarakan semua yang kita pikirkan. Namun, bila kita harus mendaftarkan semua pendapat kita tentang orang lain, kemungkinan besar pemikiran itu tidaklah semurni dan sebaik yang kita sangka.

Salah satu hal yang disebutkan Yakobus saat membicarakan konflik dalam suratnya, adalah soal menghakimi. Mengatakan hal yang tidak benar dan menghakimi orang lain dengan sembarangan adalah penyebab umum munculnya berbagai konflik.

Sangatlah mudah untuk memfitnah atau menghakimi orang lain, terutama dalam komunitas Kristen. Mungkin salah satu jemaat tidak bisa ke gereja karena ada masalah mendesak dalam keluarganya. Bukannya menyatakan kepedulian dan menghubungi orang tersebut, kita segera menyimpulkan bahwa orang itu sudah kehilangan imannya. Mungkin salah satu jemaat didiagnosa kanker, dan kita curiga penyebabnya adalah sebuah dosa yang disembunyikan. Di Facebook, kita melihat foto salah satu jemaat di sebuah bar, dan mulai menduga-duga berapa banyak alkohol yang ia minum.

Terkadang, ada juga rumor atau rahasia yang memang terbukti benar. Namun, ini bukan soal benar atau salah. Inti masalahnya terletak pada bagaimana cara kita memakai informasi yang kita ketahui. Jika tidak hati-hati, kita bisa memakai informasi itu untuk menghakimi orang Kristen lainnya sehingga muncul konflik. Padahal, bila kita mengasihi orang tersebut, kita seharusnya datang untuk memberitahukan apa yang benar, dengan cara yang bijak dan penuh kasih.

Menegur orang yang suka menghakimi tidak berarti mengatakan hukum tidak lagi perlu diterapkan. Kita tetap harus hidup menurut hukum Tuhan dan menegur dosa. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menempatkan diri kita di atas hukum. Saat kita mencela orang lain dengan sikap yang demikian, kita sebenarnya bertindak atas dasar kesombongan—karena kita pikir kita ini lebih baik. Kita menyatakan diri kita sebagai pembuat hukum, padahal satu-satunya yang memegang kendali adalah Tuhan, sebagaimana yang ditegaskan Yakobus dalam ayat 12.

Di akhir film Mean Girls, para murid yang terlibat dalam kasus fitnah itu berhadapan satu dengan yang lain, saling mengakui kesalahan mereka, saling memaafkan dan saling berdamai. Tidak mudah, tetapi itu adalah langkah yang memerdekakan mereka semua untuk bisa hidup dalam damai. Sebagai sesama saudara seiman, kiranya kita juga hidup dengan semangat untuk berdamai. Mari selalu menjaga pikiran dan niat hati kita, jangan sampai kita membuat Burn Books di dalamnya. Mari selalu berusaha memperbaiki dan memulihkan hubungan-hubungan yang kita punya, bukan merusaknya. —Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Mesulam Esther
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal apa kita bisa menghakimi orang lain meski kita sebenarnya tidak bermaksud untuk itu?

2. Apa perbedaan antara menghakimi dan cepat mengenali apa yang tidak beres? Bagaimana kita bisa cepat mengenali dan menyingkapkan keberadaan dosa tanpa menghakimi orangnya?

3. Jika kamu menemukan kebenaran tentang dosa seseorang yang perlu ditegur, bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain sekarang tinggal di Singapura, dan dia sedang belajar bahwa pemuridan yang sejati itu ditandai dengan kesetiaan dan ketaatan. Dia suka menulis karena inilah yang menolongnya menikmati pengalamannya, dan juga karena Tuhan telah memanggilnya untuk melakukan ini. Jika tidak sedang bermimpi kala malam, Charmain suka menyantap semangkuk es krim, menonton televisi, dan membaca buku.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Bernyanyi dalam Roh

Minggu, 24 Maret 2019

Bernyanyi dalam Roh

Baca: 2 Tawarikh 5:7-14

5:7 Kemudian imam-imam membawa tabut perjanjian TUHAN itu ke tempatnya, di ruang belakang rumah itu, di tempat maha kudus, tepat di bawah sayap kerub-kerub;

5:8 jadi kerub-kerub itu mengembangkan kedua sayapnya di atas tempat tabut itu, sehingga kerub-kerub itu menudungi tabut serta kayu-kayu pengusungnya dari atas.

5:9 Kayu-kayu pengusung itu demikian panjangnya, sehingga ujungnya kelihatan dari tempat kudus, yang di depan ruang belakang itu, tetapi tidak kelihatan dari luar; dan di situlah tempatnya sampai hari ini.

5:10 Dalam tabut itu tidak ada apa-apa selain dari kedua loh yang ditaruh Musa ke dalamnya di gunung Horeb, ketika TUHAN mengikat perjanjian dengan orang Israel pada waktu perjalanan mereka keluar dari Mesir.

5:11 Lalu para imam keluar dari tempat kudus. Para imam yang ada pada waktu itu semuanya telah menguduskan diri, lepas dari giliran rombongan masing-masing.

5:12 Demikian pula para penyanyi orang Lewi semuanya hadir, yakni Asaf, Heman, Yedutun, beserta anak-anak dan saudara-saudaranya. Mereka berdiri di sebelah timur mezbah, berpakaian lenan halus dan dengan ceracap, gambus dan kecapinya, bersama-sama seratus dua puluh imam peniup nafiri.

5:13 Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: “Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan,

5:14 sehingga imam-imam itu tidak tahan berdiri untuk menyelenggarakan kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah Allah.

Hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. —Efesus 5:18-19

Daily Quotes ODB

Semasa Kebangunan Rohani di Wales pada awal abad kedua puluh, guru Alkitab dan penulis G. Campbell Morgan menceritakan apa yang ia lihat di sana. Ia meyakini Allah Roh Kudus bergerak di tengah umat-Nya “bagaikan gelombang besar saat lagu-lagu pujian dinyanyikan.” Morgan menulis bahwa ia menyaksikan bagaimana musik dapat menyatukan seluruh jemaat dalam kebaktian-kebaktian yang mendorong jemaat untuk berdoa tanpa diminta, mengakui dosa, dan menyanyi secara spontan. Ketika ada yang terbawa perasaan dan berdoa terlalu lama, atau mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang lain, seseorang akan mulai bernyanyi perlahan. Yang lain pun mengikuti, satu demi satu, hingga akhirnya terbentuk paduan suara yang kekuatannya menenggelamkan suara-suara lain.

Alkitab juga memiliki kisah-kisah tentang bagaimana musik memainkan peranan penting dalam kebangunan rohani seperti yang digambarkan Morgan. Musik digunakan untuk merayakan kemenangan (Kel. 15:1-21); dalam doa pentahbisan Bait Suci (2Taw. 5:12-14); dan sebagai bagian dari strategi militer (20:21-23). Kita memiliki buku nyanyian di tengah-tengah Alkitab (Mzm. 1-150). Lalu di Perjanjian Baru, dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus, kita membaca tentang gambaran hidup dalam Roh: “Berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani”(EF. 5:19).

Di tengah perselisihan, dalam penyembahan, dan dalam segala aspek kehidupan, musik yang lahir dari iman dapat menolong untuk menyatukan suara kita. Melalui lagu-lagu zaman lampau dan masa kini, kita terus-menerus diperbarui, bukan oleh kuat dan gagah kita, tetapi oleh Roh dan nyanyian-nyanyian tentang Allah kita. —Mart DeHaan

Nyanyian apa yang baru-baru ini terasa begitu mengena di hatimu? Bagaimana musik dapat semakin mendekatkan hubunganmu dengan Allah?

Roh Allah menaruh pujian dalam hati mereka yang mau mendengarkan-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 16-18; Lukas 2:1-24

Waktunya Tunduk kepada Allah

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Waktunya Tunduk kepada Allah

Baca: Yakobus 4:7-10

4:7 Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!

4:8 Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!

4:9 Sadarilah kemalanganmu, berdukacita dan merataplah; hendaklah tertawamu kamu ganti dengan ratap dan sukacitamu dengan dukacita.

4:10 Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu.

Waktunya Tunduk kepada Allah

Aku ingat sewaktu kecil aku senang mewarnai ayat-ayat dan perintah yang aku suka, bagian Alkitab yang enak didengar dan mudah untuk ditaati. Alkitabku bisa dibilang cukup bersih, karena ada banyak kebenaran yang tidak mudah aku terima dan terapkan, dan karenanya, aku memilih untuk mengabaikannya.

Lagipula, mengapa aku harus mengasihi sesamaku seperti diriku sendiri (Markus 12:31) jika aku bisa saja berfokus untuk mengasihi diriku sendiri? Mengapa aku harus lebih dahulu mengampuni (Matius 18:22) orang-orang di sekitarku saat orang-orang itu bersikap kejam kepadaku? Mengapa aku harus hidup dalam damai (Roma 12:18) jika aku bisa berdiri sendiri dan memilih siapa yang harus aku singkirkan?

Pergumulan yang sungguh tidak mudah.

Terus terang saja, tunduk kepada Allah—baik kepada firman-Nya atau pribadi-Nya—lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dibutuhkan komitmen yang besar untuk menyingkirkan keegoan kita dan hak-hak yang menurut kita sudah selayaknya kita dapatkan, demikian pula untuk taat kepada Tuhan dengan kerendahan hati. Mengakui kedaulatan Tuhan dan percaya bahwa Dia tak pernah gagal, bukan sesuatu yang gampang diterapkan. Kita bisa merasa takut, apalagi saat menyadari bahwa mempercayai Tuhan itu berarti melepaskan kendali atas situasi yang sedang kita hadapi. Dunia dan daging kita secara konsisten terus menggoda kita dengan dusta, mengatakan bahwa akan lebih baik dan menyenangkan bila kita tetap mengendalikan situasi dan membuat keputusan-keputusan yang memuaskan keinginan dan harga diri kita yang egois.

Meski demikian, Yakobus mengajar kita untuk tunduk kepada Tuhan dengan kerendahan hati (ayat 7). Aku bersyukur bahwa Yakobus tidak sekadar meninggalkan kita dengan sebuah perintah tanpa banyak penjelasan tentang bagaimana menaati perintah itu. Yakobus di sini menyediakan kita langkah demi langkah prosesnya dan menyimpulkan semuanya dengan tema yang sama tentang ketaatan yang rendah hati dalam ayat 10.

Sebelumnya, Yakobus sudah menyoroti tentang konsekuensi persahabatan kita dengan dunia (Yakobus 4:4). Sekarang, ia mengingatkan kita bahwa penundukan diri yang ditunjukkan melalui ketaatan kita kepada Tuhan itu harus dilakukan dengan sengaja. Dibutuhkan perubahan total dalam hati—sebuah resolusi untuk mencintai Tuhan daripada dunia. Yakobus menantang kita untuk mengesampingkan keinginan kita, mempertimbangkan dan melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan.

Kita diberitahu untuk tunduk dengan dua pendekatan—dengan melawan iblis (ayat 7b), dan mendekat kepada Allah (ayat 8a). Melawan berarti menolak dengan kesadaran penuh, aktif dan terus-menerus. Kita seperti sedang berperang melawan iblis, menangkis setiap tuduhan dan dusta yang ia lemparkan, dan pada akhirnya menang melawan godaan.

Menjauh dari iblis, kita berbalik arah dan mendekat kepada Allah. Ini dapat dilakukan melalui doa dan membaca firman-Nya. Datang mendekat kepada Tuhan mengharuskan kita untuk menahirkan tangan kita dan menyucikan hati kita (ayat 8b). Kita harus melakukannya dengan fokus yang jelas dan tekad yang kuat—kita tidak lagi mengizinkan hati kita goyah dan kembali pada kondisi lama kita yang berdosa.

Semua tindakan ini menyimbolkan usaha luar dalam yang kita lakukan demi berdamai dengan Allah. Sebuah instruksi untuk membersihkan apa yang tidak tampak (pikiran kita) dan juga apa yang tampak (perbuatan) kita. Bahkan faktanya, diri kita yang berdosa itu begitu kotor dan menjijikkan di hadapan Tuhan sehingga kita diperintahkan untuk “Sadari kemalanganmu, berdukacita dan merataplah” (ayat 9). Sebab itu, memilih untuk datang kepada Tuhan dalam pengakuan dan pertobatan adalah tindakan yang berharga. Pada saat itulah pengudusan mulai terjadi.

Melakukan semua hal di atas mungkin terdengar sulit dan melelahkan, tetapi Yakobus melanjutkan suratnya untuk meyakinkan kita tentang hadiah yang akan kita terima. Saat kita mendekati Tuhan dengan tangan yang bersih dan hati yang sudah disucikan, kita tidak sekadar menerima pujian. Kita menerima hadiah terbesar—Tuhan sendiri—saat Dia datang mendekat kepada kita (ayat 8).

Secara pribadi, selalu mengarahkan mataku pada upah yang luar biasa ini menyemangatiku untuk datang kepada Tuhan setiap hari dalam ketaatan dan pertobatan saat aku memilih untuk menyerahkan kehidupanku kepada-Nya.

Kiranya hadiah terbesar itu menyemangati kamu juga. —Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Claudia Rachel
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Adakah dosa atau kebiasaan tertentu yang sulit kamu hilangkan untuk menaati Tuhan?

2. Langkah-langkah nyata apa yang dapat kamu ambil untuk mendekat kepada Allah?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance adalah pembaca yang rajin dan juga seorang pecandu Milo. Jika dia tidak sedang membaca buku, dia mungkin sedang menonton drama Korea atau bermain gitar. Dia suka menemani anak-anak dan berharap bisa bekerja di bidang itu di masa depan. Sebagai seseorang yang percaya bahwa segala kesulitan di dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak didapat di surga, dia bangga dapat berjuang keras untuk Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Tersembunyi di Balik Awan

Sabtu, 23 Maret 2019

Tersembunyi di Balik Awan

Baca: 2 Korintus 4:16-18

4:16 Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.

4:17 Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.

4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.

Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan. —2 Korintus 4:18

Daily Quotes ODB

Fenomena supermoon langka muncul pada bulan November 2016, ketika bulan pada orbitnya berada di titik terdekat dengan bumi dalam masa enam puluh tahun terakhir, sehingga terlihat lebih besar dan lebih terang dibandingkan pada waktu-waktu lain. Namun, sayang sekali hari itu langit di tempat saya berada sedang tertutup awan kelabu. Meskipun saya dapat melihat keindahan fenomena tersebut lewat foto-foto yang dikirim teman dari tempat lain, saat menengadah ke langit, saya perlu meyakini bahwa ada supermoon tersembunyi di balik awan.

Rasul Paulus menghadapi banyak kesulitan, tetapi ia percaya bahwa apa yang tidak kelihatanlah yang bertahan selamanya. Ia mengatakan bahwa “penderitaan ringan yang sekarang ini” akan menghasilkan “kemuliaan kekal” (2Kor. 4:17). Oleh karena itu, ia “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan,” karena yang “tak kelihatan adalah kekal” (ay.18). Paulus merindukan agar iman kita—seperti iman jemaat Korintus—bertumbuh, sehingga walaupun menderita, kita tetap percaya kepada Allah. Mungkin kita tidak bisa melihat Dia, tetapi kita percaya bahwa Dia memperbarui batin kita dari hari ke hari (ay.16)

Saya teringat kepada Allah yang tidak kelihatan tetapi kekal ketika saya menatap awan-awan hari itu dan mengetahui bahwa supermoon tersembunyi di baliknya. Saya pun berharap, apabila suatu saat nanti saya merasa Allah jauh dari saya, saya akan memusatkan perhatian pada apa yang tidak kelihatan. —Amy Boucher Pye

Apa maksudnya bagi kamu untuk memperhatikan yang tidak kelihatan? Bagaimana pengharapan kamu dalam Yesus menolongmu menghadapi segala kesulitan hidup?

Tuhan Allah, terkadang aku merasa Engkau jauh dariku. Tolonglah aku untuk mempercayai bahwa Engkau selalu dekat, entah aku dapat merasakan kehadiran-Mu ataupun tidak.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 13-15; Lukas 1:57-80

Ketika Aku Belajar Memahami Arti Doa yang Sejati

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Berdoa. Itulah salah satu kegiatan yang kusukai. Jika orang lain mungkin merasa suntuk saat berdoa, itu tidak bagiku. Dalam doaku, aku bisa bercerita tentang apa saja kepada Tuhan. Sejak duduk di SMP, aku memiliki jam-jam doa pribadi: pagi sebelum berangkat sekolah, sore setelah pulang sekolah, dan malam hari. Kegiatan itu kulaksanakan dengan teratur selama kurang lebih 15-30 menit.

Namun, seiring bertambahnya usiaku, kesibukanku mulai bertambah. Aku mulai kesulitan konsisten berdoa di jam-jam yang sebelumnya sudah kutetapkan itu, khususnya saat sore sepulang sekolah. Ada saja kegiatan seperti bimbel, kerja kelompok hingga larut malam, atau diajak teman nongkrong. Seringkali pula ibuku memintaku menolongnya. Biasanya saat aku hendak mulai berdoa, dia memanggilku untuk membersihkan rumah. Rasanya selalu ada saja yang harus kukerjakan sepulang sekolah untuk membantunya.

Kegiatan-kegiatan itu akhirnya membuatku tidak lagi konsisten berdoa. Terkadang aku hanya berdoa seperlunya, bahkan dengan kekesalan karena saat hendak mulai berdoa, ibuku memberiku pekerjaan rumah. Pernah suatu kali, aku tidak mau menyelesaikan apa yang dimintanya dan mempertegas jam-jam doaku kepada ibuku.

Ibuku lalu berkata, “Nak, berdoa itu nggak cuma diam di kamar. Kamu membantu mama, jadi berkat di rumah, itu juga berdoa namanya. Gak baik juga doa seperti itu sampai lupa tanggung jawabmu.”

Tak hanya ibuku, ayahku juga berkata hal yang sama. “Nak, punya jam doa itu bagus. Tapi, bukan berarti harus saklek dan kaku dengan jam doamu itu. Lebih fleksibel sedikit, tetapi tetap setiap hari berdoanya.”

Aku tertegun dan berusaha mencerna kedua nasihat itu. Lalu sebuah kalimat dari Matius 23:23 pun membuatku gelisah, “Tetapi celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”

Aku sempat bertanya dalam diriku, apakah aku sudah melakukan hal yang terpenting? Apakah mengusahakan waktu untuk berdoa itu salah? Apakah mengorbankan waktu demi berdoa itu tidak tepat?

Jacques Ellul dalam bukunya yang berjudul Prayer and Modern Man berkata bahwa doa yang sejati melampaui apa yang mampu diungkapkan oleh bahasa. Dalam Perjanjian Lama, kata-kata yang digunakan dalam menggambarkan doa adalah kata kerja aktif (Ellul dalam Gary Thomas, Sacred Marriage, halaman 106). Berdoa adalah sebuah aktivitas yang aktif, di mana seseorang berbuat dan bertindak sesuatu. Berdoa lebih dari sekadar duduk diam dan melakukan penyembahan. Kita dapat berdoa melalui tindakan kita menolong orang lain.

Dalam bukunya yang berjudul Sacred Marriage, Gary Thomas bahkan berkata, “Ketika doa menjadi sekadar tindakan menundukkan kepala dan menutup mata, daya dan ruang lingkup kita dalam berelasi dengan Tuhan pun menjadi terbatas”.

Aku pernah mengalaminya. Ketika aku terlalu fokus dan mengorbankan waktu-waktu yang seharusnya bisa kupakai untuk menolong ibuku untuk berdoa sesuai dengan jam yang telah kutetapkan, aku merasa kosong. Aku merasa Tuhan sepertinya tidak mendengarkanku. Padahal, tanpa kusadari ketika aku berdoa, jawaban dari doaku terwujud melalui kegiatanku dalam menolong ibuku itu. Entah melalui percakapanku dengannya maupun lewat peristiwa tak terduga saat aku menolongnya. Bahkan, tak hanya ibuku saja, tetapi juga dengan orang-orang di sekelilingku di mana aku berinteraksi dengan mereka.

Sekarang aku lebih bijaksana dalam mengatur jam doaku. Aku menetapkan waktu doa regulerku bukan pada jam-jam sibuk di mana aku harus banyak berhubungan dengan orang lain, supaya aku bisa menikmati doa yang hangat bersama Tuhan. Namun, jika suatu ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolonganku di waktu doaku, aku dapat tetap menolongnya sambil hatiku bercakap dengan Tuhan. Aku percaya bahwa doa dan komunikasi dengan Tuhan tidak dibatasi pada ruang dan waktu, aku dapat berdoa kepada-Nya di manapun dan kapanpun dengan didasari kerinduan untuk berelasi dengan-Nya.

Meski begitu, aku tetap berkomitmen untuk konsisten berdoa di jam-jam yang sudah kutetapkan karena di sinilah aku belajar untuk mengikut Kristus, menyangkal diriku, dan memikul salib setiap hari.

Harapanku, biarlah kita semua dapat hidup menjadi berkat bagi orang lain dan juga menjaga komitmen doa kita setiap hari.

Baca Juga:

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Ketika pengalaman hidup yang mengenaskan terjadi, apakah memang Tuhan benar-benar tidak memberikan kita perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Persahabatan dengan Dunia

Hari ke-22 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Persahabatan dengan Dunia

Baca: Yakobus 4:4-6

4:4 Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.

4:5 Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!”

4:6 Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”

Persahabatan dengan Dunia

Beberapa tahun lalu, aku pernah menjadi seorang pekerja lepas untuk sebuah majalah yang banyak membahas soal pacuan kuda.

Semua berjalan dengan baik pada awalnya. Namun, setelah mengerjakan beberapa tugas, aku menyadari bahwa pacuan kuda itu ternyata lebih dari sekadar kuda mana yang berhasil lebih dahulu tiba di garis akhir. Mataku lalu terbuka melihat dunia perjudian, tempat orang akan melakukan segala sesuatu hanya demi memenangkan lebih banyak uang. Para pengelola pacuan kuda akan berusaha meningkatkan nilai pertaruhan dengan menyelenggarakan berbagai aktivitas menarik yang menyenangkan dan semula tidak tampak berbahaya—misalnya pawai anak dan orangtua, dengan sesi gratis manikur dan pedikur (perawatan kuku tangan dan kaki). Sebenarnya, aktivitas semacam itu dimaksudkan bukan sekadar untuk menjaga dan membuat anak-anak sibuk dengan aktivitas sendiri, melainkan untuk mendorong orang memasang lebih banyak taruhan. Mereka menawarkan, misalnya, memasang 5 taruhan akan mendapatkan satu sesi gratis perawatan manikur.

Aku mulai merasa terganggu saat mengetahui bahwa di balik semua aktivitas yang tampak hebat itu ada sisi gelap yang meraup keuntungan dari keserakahan para penjudi. Banyak orang menghabiskan uang lebih dari kemampuan mereka—seringkali ribuan dolar sekali jalan. Seorang wanita pernah memberitahuku bahwa semua uangnya sudah habis dan ia pulang ke rumah tanpa uang sepeserpun.

Semua itu membuatku berpikir. Bagaimana bisa aku, seorang Kristen, terus bekerja untuk majalah yang mempromosikan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang penting bagiku? Alkitab dengan jelas memanggil kita untuk menjadi para pengelola uang yang bijaksana (Matius 25:14-29) dan menjaga diri kita agar tidak serakah dan tidak cinta uang (Ibrani 13:5).

Aku pun memutuskan untuk keluar karena aku tidak ingin menempatkan diriku dalam posisi yang bisa mempengaruhiku untuk berjudi dan mengompromikan nilai-nilai yang aku pegang. Aku takut suatu hari nanti aku juga bisa ikut mereka berjudi.

Yakobus menunjukkan konflik nilai, keinginan, dan gaya hidup antara orang-orang duniawi dan umat Tuhan dalam ayat 4. Ia menyebut mereka yang mengaku percaya Tuhan, tetapi menjalin asmara dengan dunia sebagai “orang-orang yang tidak setia”. Ia memperingatkan mereka atas ketidaksetiaan mereka terhadap Tuhan.

Yakobus juga mengajar kita bahwa persahabatan dengan dunia menjadikan kita sebagai musuh Allah. Dalam persahabatan kita saling berbagi dan menerima nilai-nilai serta keyakinan satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, kita bisa makin menyerupai sahabat kita. Karena ada rasa saling percaya, sahabat bisa saling memberi masukan dan saling mempengaruhi. Seorang penulis bernama Jim Rohn berkata, “Kamu adalah rata-rata dari lima orang yang paling sering melewatkan waktu bersamamu.”

Bila kita mengizinkan diri kita untuk dipengaruhi dunia dan “bersahabat” dengan dunia, kita pun akan mulai mencintai dunia, kita akan mulai menyukai perilaku dan kebiasaannya. Pada saat itu terjadi, kita akan menjadi musuh-musuh Allah.

Meski demikian, tidak berarti kita lantas harus menjauhkan diri dari segala hal yang ada di dunia ini. Sebaliknya, kita dipanggil untuk berhati-hati agar tidak menjadi serupa dengan apa yang diajarkan dunia (Roma 12:2), tetapi mengarahkan pikiran kita pada apa yang Tuhan sukai (Kolose 3:2). Kita dapat menerapkan firman Tuhan tersebut dengan tidak menjadi hamba uang, memilih untuk hidup sederhana, dan secara konsisten memberi kepada orang lain.

Tuhan, melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam kita menghendaki kita mengikuti Dia dengan sepenuh hati (Yakobus 4:5). Dia Allah yang cemburu (Keluaran 20:5) dan Dia satu-satunya pribadi yang patut kita ikuti dengan setia. Seorang pengajar Alkitab bernama Kent Hughes dalam buku tafsiran surat Yakobus yang ia tulis, mencatat bahwa cemburu merupakan elemen yang esensial dari cinta sejati. Ia berkata: “Cinta sejati Roh Kudus kepada kita membuat-Nya tidak bisa menoleransi saat kita berpaling kepada yang lain. Cinta yang sangat personal ini seharusnya membuat kita tidak lagi perlu mencari cinta yang lain.”

Namun, yang membuat kita bisa tetap setia kepada Tuhan jelas bukan usaha kita sebagai manusia yang terbatas. Yakobus meyakinkan kita dalam ayat 6 bahwa Tuhan memberikan kita kasih karunia yang lebih besar. Dia berjanji untuk menolong kita dalam kelemahan, hambatan, dan tantangan yang kita hadapi. Janji-Nya ini nyata bagi semua orang yang rendah hati dan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan sepenuh hati, mereka yang bersedia hidup menurut jalan-Nya.

Setiap hari kita menghadapi peperangan antara mengikuti kepentingan dunia dan kepentingan Tuhan. Kiranya kita terus berpegang pada cinta Tuhan yang begitu besar kepada kita dan selalu memilih Dia lebih dari dunia—berapapun harga yang harus dibayar. —Alvin Chia, Singapura

Handlettering oleh Febronia

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Adakah sesuatu di hidupmu yang dapat menjauhkanmu dari Tuhan?

2. Apa yang dapat kamu lakukan agar kamu tidak menjadi sahabat dunia?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Alvin Chia, Singapura | Alvin Chia selalu lapar. Dua hal yang tidak bisa dia lakukan adalah berhenti makan setelah makan makanan berat dan berdiri diam di halte bus. Tapi, meski begitu dia tahu betul bahwa hanya Tuhan yang bisa memberinya kepuasan sejati, dan hanya Tuhan jugalah yang memampukannya untuk berdiam. Alvin pernah bekerja sebagai jurnalis olahraga, tapi dia sendiri tidak berolahraga.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Menanggung Beban Kesalahan

Jumat, 22 Maret 2019

Menanggung Beban Kesalahan

Baca: 1 Petrus 3: 8-14

3:8 Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati,

3:9 dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat. Sebab:

3:10 “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu.

3:11 Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya.

3:12 Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.”

3:13 Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?

3:14 Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.

Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan. —1 Petrus 3:9

Daily Quotes ODB

Tanggal 30 Januari 2018, setelah hampir tiga puluh delapan tahun dijebloskan ke penjara, Malcolm Alexander dibebaskan. Bukti DNA telah membebaskan Alexander, yang selama proses pengadilan tetap gigih menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Pengacara yang tidak kompeten (belakangan izin praktiknya dicabut), bukti yang tidak kuat, dan taktik penyelidikan yang meragukan telah membuat seseorang yang tidak bersalah harus mendekam dalam penjara selama hampir empat dekade. Namun, ketika dibebaskan, Alexander masih menunjukkan rasa syukur atas anugerah besar yang diterimanya. “Tidak perlu marah,” katanya. ”Saya tidak punya waktu untuk marah.”

Perkataan Alexander itu menunjukkan kebesaran hati yang luar biasa. Seandainya kita diperlakukan tidak adil dan harus mendekam di penjara selama tiga puluh delapan tahun serta kehilangan nama baik, besar kemungkinan kita akan sangat marah dan mendendam. Meskipun Alexander harus menanggung beban kesalahan yang ditimpakan kepadanya selama puluhan tahun, ia tidak mau kalah oleh ketidakadilan itu. Alih-alih menghabiskan energi untuk membalas dendam, Alexander menerapkan apa yang diperintahkan oleh Rasul Petrus: “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan” (1ptr. 3:9).

Kitab Suci melangkah lebih jauh: daripada membalas dendam, Rasul Petrus justru mendorong kita untuk memberkati (ay.9). Kita mengampuni dan mendoakan mereka yang telah memperlakukan kita secara tidak adil. Tanpa membenarkan perbuatan jahat mereka, kita bisa “membalas” mereka dengan belas kasihan Allah. Tuhan Yesus sudah menanggung dosa-dosa kita di kayu salib supaya kita menerima anugerah-Nya dan meneruskannya kepada orang lain—termasuk mereka yang pernah menyakiti kita. —Winn Collier

Bagaimana kamu dapat berbelaskasihan kepada orang yang telah menyakitimu tanpa membenarkan tindakannya? Bagaimana cara kamu “memberkati” mereka?

Tuhan, sulit untuk tidak membalas mereka yang telah menyakiti hatiku. Tolonglah agar aku mampu menunjukkan belas kasihan dan anugerah-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 10-12; Lukas 1:39-56

Apa yang Kamu Inginkan?

Hari ke-21 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Apa yang Kamu Inginkan?

Baca: Yakobus 4:1-3

4:1 Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?

4:2 Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa.

4:3 Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.

Apa yang Kamu Inginkan?

Sengketa, pertengkaran, pembunuhan. Yakobus memakai beberapa bahasa yang sangat tajam dalam bagian ini. Mungkin kamu bisa berpikir, “Hmm, ayat Alkitab ini bukan untukku. Aku bukan orang yang suka berargumen, apalagi bertengkar tanpa alasan yang jelas”. Lagipula, Yakobus mengalamatkan suratnya itu kepada kedua belas suku Yahudi yang terpencar di antara bangsa-bangsa non-Yahudi, tidak kepada kita, bukan?

Namun, Yakobus pada dasarnya memperingatkan kita bahwa semua konflik dan argumen itu berakar dalam keinginan kita yang egois untuk memuaskan hasrat pribadi kita—entah itu kekuasaan, kesenangan, atau kemakmuran. Itu berarti kita semua yang tinggal di dunia ini pasti akan bergumul mengatasi hasrat mengejar segala kesenangan yang ditawarkan dunia (1 Yohanes 2:16; Titus 3:3). Saat kita tidak punya atau tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, terjadilah sengketa atau pertengkaran—adakalanya bisa berujung pada pembunuhan. Ini sebenarnya kisah lama yang sudah ada sejak zaman Kain hingga para pembunuh zaman sekarang. Kenyataan yang harus kita hadapi adalah: kita tinggal di dalam dunia yang menghargai dan mengejar hasrat pribadi, berapapun harga yang harus dibayar.

Sebelum kita menyimpulkan bahwa kita tidak seburuk Kain atau seorang pembunuh massal, pikirkanlah pertengkaran terakhir yang kita alami—entah itu dengan orang tua, saudara, teman, atau rekan kerja kita. Apa akar penyebabnya? Apakah itu gengsimu untuk mengakui kesalahanmu? Apakah itu keegoisanmu yang tidak mau memberikan pertolongan karena tidak mau zona nyamanmu terganggu? Apakah itu kemarahanmu yang membuat argumenmu meledak? Apakah itu iri hati yang membuatmu bergosip tentang teman sekolah atau rekan kerjamu? Bila kita mengambil waktu sebentar, kita akan menyadari betapa penyebabnya kebanyakan berkaitan dengan kecenderungan diri kita sendiri untuk mendapatkan apa yang kita mau dan untuk melindungi kepentingan pribadi kita (meski itu harus mengorbankan orang lain).

Pada akhirnya, Yakobus berkata bahwa kita tidak memiliki dan tidak bisa mendapatkan apa yang kita mau karena kita tidak memintanya dari Tuhan, atau karena kita meminta dengan motif yang salah.

Segala pemberian yang baik berasal dari Tuhan dan Dia memberikannya dengan murah hati setiap kali kita sungguh-sungguh mencari hikmat-Nya atau melaksanakan kehendak-Nya dalam segala sesuatu yang kita kerjakan (Yakobus 1:5, 17). Itu sebabnya Yakobus mengajak kita untuk mengevaluasi niat di balik permohonan doa kita: apakah tujuan utamanya adalah untuk memenuhi keinginan pribadi kita atau untuk memenuhi kehendak Tuhan? Apakah kita meminta Tuhan memberikan kita nilai yang baik, keberhasilan kerja, atau berkat-berkat tertentu untuk memuliakan Dia, atau untuk memuaskan kecintaan dan kesenangan pribadi kita belaka?

Jalan keluarnya adalah memohon Tuhan menyelaraskan hasrat hati kita dengan-Nya supaya kerinduan-kerinduan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Ketika hasrat kita tidak bertumpu pada keinginan daging kita tetapi pada keinginan menyenangkan dan menghormati Tuhan, Dia berjanji bahwa apapun yang kita minta atau inginkan akan diberikan kepada kita (Matius 7:7-8). Hasil yang akan kita terima bukanlah sengketa, pertengkaran, atau pembunuhan—melainkan hikmat, damai, dan buah-buah kebenaran (Yakobus 3:16-18).—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Nasihat apa yang belakangan kamu dengar dari dunia tentang mengejar apa yang kamu harapkan?

2. Kebenaran apa yang mendorong atau menantangmu untuk mencari Tuhan sungguh-sungguh dalam doa-doamu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Wendy adalah seorang penulis yang bercita-cita tinggi, seorang jurnalis televisi, dan juga seorang murid Kristus. Dia berharap agar Tuhan dapat menggunakan apa yang sudah Dia berikan dalam dirinya untuk memuliakan-Nya melalui kata-kata dan pekerjaan yang Wendy tekuni. Wendy merasa harinya sempurna ketika dia bisa meluangkan waktu berkualitas bersama Tuhan, membaca novel, dan mengagumi ciptaan Tuhan dengan mendaki gunung atau bersepeda.

Bagikan apa yang kamu dapat dari #WSKSaTeYakobus di Instagram Story kamu! Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus