Belajar untuk Tidak Khawatir

Oleh Priscila Stevanni, Jakarta

Seandainya jalan hidup manusia berlapis karpet merah, tentu kita tidak akan pernah ragu, khawatir, atau bahkan takut menghadapi masa depan.

Pernahkah kamu membayangkan jadi seseorang yang mendapatkan kesempatan istimewa untuk berjalan di atas karpet merah? Karpet merah membuat langkah kita terasa aman dan nyaman karena ia melapisi semua kerikil yang mengganggu jalan kita. Tapi, sayangnya, kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berjalan di atas karpet merah tersebut. Kehidupan kita lebih sering dipenuhi oleh jalanan yang berbatu, berlubang, tidak lurus, bahkan tertutup kabut hingga kita tak dapat melihat apa yang ada di depan.

Momen awal tahun mungkin membuat kekhawatiran kita semakin terpampang jelas. Apa yang akan terjadi di tahun ini? Apakah kita akan gagal lagi? Mampukah kita menghadapi tahun ini beserta gelombang-gelombangnya yang bersambut?

Setiap Kamis pagi, di rumah sakit tempatku menjalani internship, selalu diadakan kebaktian yang boleh diikuti oleh semua karyawan dan pasien yang berobat di sana. Pagi itu, di tengah perjalanan menuju ruang kebaktian, aku bertemu dengan seorang anak yang duduk di atas kursi roda. Aku mengenalnya sebagai salah satu pasien di sini. Sebut saja namanya Glen. Glen berusia delapan tahun dan ia menderita leukemia. Ia merupakan pasien ‘langganan’ yang sering masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Selama dua bulan aku sudah beberapa kali melihatnya dirawat.

Kemoterapi yang dijalani Glen tidak selalu berjalan lancar. Ia berkali-kali mengalami reaksi alergi; berulang kali harus ditransfusi; dan berulang kali harus menunda kemoterapi hingga kondisi tubuhnya cukup stabil untuk menerima obat. Kondisi Glen dapat berubah dengan cepat. Ia bisa tiba-tiba sesak dan demam di tengah kemoterapinya, nyeri perut hebat, hingga menggigil semalaman.

Aku pernah bertemu dengan Glen di bangsal. Saat aku memeriksa dan menanyakan keadaannya, aku melihat bahwa Glen adalah anak yang berani. Ia tidak mengeluhkan sakit yang dirasakannya. Pernah suatu ketika, ia harus menjalani transfusi darah berkantong-kantong, namun ia masih bisa menghibur ibunya yang menemaninya.

Perjumpaanku dengan Glen dan melihatnya hadir di kebaktian pagi itu membuatku merasa ditegur. Di tengah ketidakpastian hidupnya, Glen tetap datang kepada Tuhan. Glen mungkin tidak tahu apa yang ia akan hadapi di masa depan. Kondisinya bisa saja membaik, namun bisa juga memburuk tiba-tiba. Tapi, yang kutahu adalah Glen, si pejuang kecil ini tidak pernah menyerah. Di tengah ketidakpastian akan hari esok, ia berserah kepada Bapa.

Aku berkaca pada diriku sendiri, betapa aku perlu belajar dari Glen. Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depan yang terkadang tidak jelas. Aku lupa bahwa firman Tuhan dengan jelas mengatakan:

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”—Matius 6:31-33.

Rasa takut akan masa depan memang merupakan suatu keniscayaan dalam kemanusiawian kita. Tidak ada karpet merah bagi kita, pun jalan hidup kita tidak selalu terbentang jelas tanpa kabut. Namun, ketakutan dan keraguan kita tidak boleh jadi penghalang untuk iman kita tetap tumbuh. Sebaliknya, di tengah kekhawatiran dan keraguan yang mengusik, kita dapat datang kepada Tuhan yang selalu menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan dalam perjalanan hidup kita.

Jehovah Jireh!

Baca Juga:

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Tapi, ketika itu tidak terjadi, tak jarang kita pun meragukan Tuhan.

Namun, inilah 3 hal yang menolongku untuk menghadapinya.

Berusaha Mengesankan

Rabu, 23 Januari 2019

Berusaha Mengesankan

Baca: Matius 15:1-11,16-20

15:1 Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata:

15:2 “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.”

15:3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?

15:4 Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.

15:5 Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah,

15:6 orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.

15:7 Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:

15:8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.

15:9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

15:10 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka:

15:11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

15:16 Jawab Yesus: “Kamupun masih belum dapat memahaminya?

15:17 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?

15:18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.

15:19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

15:20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.”

Karena dari hati timbul segala pikiran jahat . . . . Itulah yang menajiskan orang. —Matius 15:19-20

Berusaha Mengesankan

Dalam perjalanan karyawisata yang dilakukan oleh suatu kelas perguruan tinggi, seorang dosen sangat pangling melihat salah satu mahasiswi unggulannya. Di kelas, ia biasa memakai sepatu setinggi 15 cm. Namun, saat berjalan dengan sepatu santai, tingginya tak lebih dari 153 cm. “Sepatu bertumit itu adalah tinggi badan impianku,” katanya sambil tertawa. “Tetapi sepatu bot ini adalah diriku apa adanya.”

Tampilan fisik tidak menentukan jati diri kita, karena yang terutama adalah hati. Yesus menegur keras orang Farisi dan ahli Taurat yang sangat mengedepankan aspek lahiriah. Mereka bertanya kepada Yesus mengapa para murid tidak mencuci tangan sebelum makan seperti adat istiadat Yahudi (Mat. 15:1-2). Yesus balik bertanya, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (ay.3). Lalu Dia menunjukkan bagaimana mereka berusaha mencari-cari celah hukum untuk mempertahankan harta agar tidak perlu merawat orangtua (ay.4-6), sehingga mereka sesungguhnya tidak menghormati orangtua dan melanggar hukum kelima (Kel. 20:12).

Jika kita mengutamakan tampilan luar dan mencari-cari celah dalam perintah Allah yang sudah jelas, kita sedang melanggar maksud dari hukum yang diberikan-Nya. Yesus berkata, “Dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan,” dan hal-hal buruk lainnya (Mat. 15:19). Hanya Allah yang dapat memberi kita hati yang bersih oleh kebenaran Anak-Nya, Yesus Kristus. —Tim Gustafson

Tuhan, kami cenderung mengandalkan usaha sendiri untuk membuat Engkau dan orang lain terkesan. Tolong kami bersikap tulus dalam semua hubungan kami dan memiliki hati yang dipulihkan lewat pengampunan-Mu.

Allah tidak akan terkesan ketika motivasi kita adalah untuk mengesankan orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 7-8; Matius 15:1-20