#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Minggu lalu, dalam kelas diskusi di gereja, pemimpinku mengajukan pertanyaan kepada seluruh murid yang hadir. “Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama Tuhan, apa sih yang paling berubah dalam hidup kalian?”

Pertanyaan itu membuat seisi kelas jadi hening. Kami saling melirik dan tersenyum. Setelah ditunjuk, barulah satu per satu kami menjawab. Jawabannya beragam. Kebanyakan temanku berkata bahwa secara umum mereka jadi lebih sabar, lebih semangat, dan lebih bersyukur. Lalu, tibalah giliranku untuk menjawab. Karena aku tinggal merantau di luar kota, pemimpin diskusi memintaku untuk sekalian bercerita tentang pengalamanku.

Kalau aku melihat ke belakang, perjalananku selama sepuluh tahun terakhir ini rasanya begitu luar biasa. Banyak hal yang semula begitu kutakuti, ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Tuhan menuntun langkah demi langkah yang kulalui, mulai dari pindah kota untuk kuliah, pindah kota lagi untuk bekerja, hingga masalah keluarga yang sempat membuatku hampir merasa putus asa. Perjalananku kini tentu belum mencapai garis finish, tapi segala pergumulan di belakang itu mengingatkanku akan betapa baiknya Tuhan yang telah menyertaiku.

Menjawab pertanyaan “apa sih yang paling berubah dalam hidupku”, kupikir jawabanku adalah caraku memaknai perjalanan hidupku hari demi hari. Setiap masalah yang datang dalam hidupku bisa saja menghujamku ke bawah, jika aku mengizinkan diriku untuk berlarut-larut di dalamnya. Namun, jika aku menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan, Ia mungkin tidak akan menghilangkan masalah itu dengan mengubah situasi hidupku menjadi baik dalam sekejap. Tapi, Ia bisa menggunakannya untuk membentuk diriku menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya.

Tiga tahun lalu, aku mengalami masa transisi yang sempat membuatku terguncang. Setelah lulus kuliah dan bekerja ke kota lain, aku merasa masa depanku kelam. Pekerjaan yang kutekuni pernah terasa amat menjemukan dan kupikir aku telah salah mengambil langkah. Pun, aku dilanda kesepian di kota yang baru ini, hidup jauh dari keluarga dan sahabat. Aku merasa gelombang hidup di depanku terlalu besar, dan aku tidak mampu mengatasinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mendapati bahwa sesungguhnya aku tidak sendirian. Ada Tuhan yang menyertaiku. Dan, melalui inilah aku mengubah cara pandangku. Aku menganggap perjalanan hidupku ini ibarat sebuah perjalanan ke puncak bukit dari suatu tempat yang terletak di pesisir pantai. Ketika aku berada di tepian pantai, lautan yang kulihat adalah air yang penuh gelombang. Tatkala badai datang, deburan ombaknya kian besar dan membuatku takut. Namun, aku melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah ke atas sebuah bukit. Tanah yang kupijak tak selalu berumput hijau, kadang dipenuhi kerikil tajam. Pun konturnya tak selalu rata. Kadang menanjak, menurun, datar, juga berkelok-kelok.

Hingga suatu ketika, saat aku tiba di puncak bukit yang tinggi, aku melihat ke bawah. Lautan tak lagi menampakkan deburan ombaknya yang ganas. Yang kulihat hanyalah sebuah kolam biru yang luas membentang, yang menyajikan suatu ketenangan yang tiada berbatas.

Kupikir, seperti itulah perjalanan hidup kita. Tiap kita sedang dalam perjalanannya menuju puncak bukit kita masing-masing. Kita bisa memilih untuk berdiam di tepi deburan ombak dan suatu saat terseret oleh kuatnya gelombang. Tapi, kita juga bisa memilih untuk berjalan ke atas, ke tempat yang lebih tinggi. Bukan untuk menghindari segala permasalahan hidup, melainkan untuk menyikapinya dengan cara pandang yang lebih luas. Kita bisa menghadapi tahun ini dengan segala tantangannya bukan dengan rasa panik dan khawatir, melainkan dengan kedamaian dan ketenangan hati sebab Tuhan senantiasa menyertai kita. Ulangan 32:11-12 memberikan kita gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana cara Tuhan menyertai kita.

“Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.”

Kehadiran Allah dilambangkan sebagai burung rajawali yang dengan sengaja memporakporandakan sarang yang didiami anaknya. Namun, sang rajawali tetap mendampingi dan melindungi hingga anak-anaknya memiliki sayap yang kuat dan mampu terbang tinggi melintasi angkasa.

Sahabatku, sepuluh tahun, atau lebih, Tuhan kita adalah Tuhan yang setia, Tuhan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Jika kita membuka Instagram dan mengikuti #10YearChallenge, jadikanlah itu bukan sekadar momen yang mengingatkan kita akan banyaknya perubahan fisik yang terjadi dalam hidup kita, tetapi betapa Tuhan telah dan terus menyertai kita sepanjang perjalanan hidup kita.

Sahabatku, bagaimana denganmu? Hal apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Inilah sepucuk suratku untukmu.

Tak Bisa Dilepaskan

Kamis, 17 Januari 2019

Tak Bisa Dilepaskan

Baca: Hosea 11:8-11

11:8 Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak.

11:9 Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.

11:10 Mereka akan mengikuti TUHAN, Ia akan mengaum seperti singa. Sungguh, Ia akan mengaum, maka anak-anak akan datang dengan gemetar dari barat,

11:11 seperti burung dengan gemetar datang dari Mesir, dan seperti merpati dari tanah Asyur, lalu Aku akan menempatkan mereka lagi di rumah-rumah mereka, demikianlah firman TUHAN.

[Tiada yang] dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. —Roma 8:39

Tak Bisa Dilepaskan

“Satu hal apa yang tak bisa kamu lepaskan?” tanya seorang penyiar radio. Para penelepon memberi sejumlah jawaban menarik. Ada yang menyebutkan keluarga mereka, termasuk seseorang yang menceritakan kenangan tentang istrinya yang sudah wafat. Yang lain menyebutkan impian mereka, seperti menjadi seorang ibu atau berkarir di dunia musik. Kita semua memiliki sesuatu yang sangat berharga—seseorang, impian, harta milik—sesuatu yang tak bisa dilepaskan.

Dalam kitab Hosea, Allah berfirman bahwa Dia takkan melepaskan Israel, umat pilihan-Nya yang sangat berharga. Seperti seorang suami yang penuh kasih terhadap Israel, Allah menyediakan semua kebutuhannya: tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian, dan rasa aman. Namun, seperti seorang istri yang berzina, Israel menolak Allah lalu mencari kesenangan dan rasa aman dari sumber yang lain. Semakin Allah memanggil mereka, semakin mereka menjauh dari hadapan-Nya (Hos. 11:2). Meski Israel sangat menyakiti hati-Nya, Allah takkan menyerah atas mereka (ay.8). Dia akan menghukum Israel untuk kemudian menebus mereka; Dia rindu membangun kembali hubungan dengan mereka (ay.11).

Semua anak Allah dapat memiliki kepastian yang sama saat ini: kasih-Nya kepada kita membuat-Nya takkan pernah melepaskan kita (Rm. 8:37-39). Ketika kita menjauh dari Allah, Dia mendambakan agar kita kembali kepada-Nya. Ketika Allah menghukum kita, itulah tanda pengejaran-Nya, bukan penolakan-Nya. Kita ini milik-Nya yang berharga; Dia takkan pernah melepaskan kita. —Poh Fang Chia

Bapa Surgawi, terima kasih atas kasih-Mu yang tak pernah melepaskanku. Tolong aku untuk mengasihi-Mu dengan segenap hati.

Allah selalu menerima anak-Nya yang kembali kepada-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 41-42; Matius12:1-23