Bapa yang Bernyanyi

Senin, 8 Oktober 2018

Bapa yang Bernyanyi

Baca: Zefanya 3:14-20

3:14 Bersorak-sorailah, hai puteri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem!

3:15 TUHAN telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu. Raja Israel, yakni TUHAN, ada di antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi.

3:16 Pada hari itu akan dikatakan kepada Yerusalem: “Janganlah takut, hai Sion! Janganlah tanganmu menjadi lemah lesu.

3:17 TUHAN Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai,

3:18 seperti pada hari pertemuan raya.” “Aku akan mengangkat malapetaka dari padamu, sehingga oleh karenanya engkau tidak lagi menanggung cela.

3:19 Sesungguhnya pada waktu itu Aku akan bertindak terhadap segala penindasmu, tetapi Aku akan menyelamatkan yang pincang, mengumpulkan yang terpencar dan akan membuat mereka yang mendapat malu menjadi kepujian dan kenamaan di seluruh bumi.

3:20 Pada waktu itu Aku akan membawa kamu pulang, yakni pada waktu Aku mengumpulkan kamu, sebab Aku mau membuat kamu menjadi kenamaan dan kepujian di antara segala bangsa di bumi dengan memulihkan keadaanmu di depan mata mereka,” firman TUHAN.

Tuhan Allahmu ada diantaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, . . . Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak sorai. —Zefanya 3:17

Bapa yang Bernyanyi

Sebelum saya dan istri mempunyai anak, tidak ada yang memberitahukan kami tentang pentingnya bernyanyi. Anak-anak kami sekarang berusia enam, delapan, dan sepuluh tahun. Ketika ketiganya masih lebih kecil, mereka sempat sulit tidur. Tiap malam, saya dan istri bergantian menidurkan mereka sambil berharap mereka akan segera terlelap. Ratusan jam saya habiskan untuk menggendong mereka, sambil menyanyikan lagu ninabobo yang (semoga) membuat mereka cepat tidur. Namun, ketika malam demi malam saya bernyanyi untuk mereka, sesuatu yang menakjubkan terjadi: rasa kasih sayang dan ikatan saya dengan anak-anak makin bertambah dalam lewat cara-cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tahukah kamu, Alkitab juga menggambarkan Bapa kita di surga bernyanyi bagi anak-anak-Nya? Sama seperti saya menenangkan anak-anak dengan nyanyian, Nabi Zefanya memberikan gambaran tentang Bapa Surgawi yang bernyanyi gembira karena umat-Nya: “Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, . . . Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (3:17).

Sebagian besar nubuat Zefanya berisi peringatan akan datangnya penghakiman bagi mereka yang menolak Allah. Namun, itu bukanlah akhirnya. Zefanya tidak menutup dengan penghakiman, melainkan dengan gambaran tentang Allah yang tidak saja menyelamatkan umat-Nya dari semua penderitaan mereka (ay.19-20), tetapi juga yang mengasihi dengan lembut dan bersukacita karena mereka dengan sorak-sorai (ay.17).

Allah bukan hanya “pahlawan yang memberi kemenangan” dan memperbarui kita (ay.17), tetapi juga Bapa penuh kasih yang dengan lemah lembut melantunkan nyanyian kasih-Nya bagi kita. —Adam Holz

Bapa, tolong kami menyambut kasih-Mu dan “mendengar” lagu yang Kau nyanyikan.

Bapa Surgawi bergembira melihat anak-anak-Nya seperti orangtua yang bernyanyi untuk bayinya yang baru lahir.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 30-31; Filipi 4

Sambutan yang Hangat

Minggu, 7 Oktober 2018

Sambutan yang Hangat

Baca: Ibrani 13:1-3

13:1 Peliharalah kasih persaudaraan!

13:2 Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.

13:3 Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga adalah orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih hidup di dunia ini.

Marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. —Galatia 6:10

Sambutan yang Hangat

Dalam liburan kami baru-baru ini, saya dan istri mengunjungi sebuah kompleks olahraga yang terkenal. Pintu gerbangnya terbuka lebar, sehingga kami merasa tidak masalah masuk ke dalamnya. Kami sangat senang menyusuri lapangan dan mengagumi rumput lapangan yang terawat dengan baik. Namun, saat kami mau meninggalkan tempat itu, seseorang menegur kami dan mengatakan bahwa kami tidak seharusnya berada di tempat itu. Tiba-tiba saja kami diingatkan bahwa kami adalah orang luar—dan kami merasa tertolak.

Dalam liburan itu, kami juga beribadah di sebuah gereja. Pintunya juga terbuka dan kami pun masuk. Alangkah bedanya perlakuan yang kami terima! Banyak orang menyambut kami dengan hangat dan membuat kami betah. Kami meninggalkan gereja tersebut dengan perasaan disambut dan diterima.

Sayangnya tidak jarang orang luar yang datang ke sebuah gereja menangkap pesan yang memang tak terucapkan, tetapi jelas dirasakan, yakni, “kamu tak seharusnya berada di sini.” Namun, Kitab Suci memanggil kita untuk menunjukkan keramahtamahan kepada semua orang. Yesus berkata bahwa kita harus mengasihi sesama seperti diri kita sendiri, yang berarti menyambut mereka dalam hidup dan gereja kita (Mat. 22:39). Dalam kitab Ibrani, kita diingatkan untuk “memberi tumpangan kepada orang” (Ibr. 13:2). Lukas dan Paulus menginstruksikan kita untuk aktif mengasihi sesama yang mempunyai kebutuhan fisik dan sosial (Luk. 14:13-14; Rm. 12:13). Dan di antara komunitas orang percaya, kita memiliki tanggung jawab istimewa untuk menunjukkan kasih (Gal. 6:10).

Ketika kita menyambut semua orang dengan kasih Kristus, kita mencerminkan kasih dan belas kasihan Sang Juruselamat. —Dave Branon

Tuhan, bukalah hati kami untuk menyambut siapa saja yang masuk ke dalam hidup kami dengan menunjukkan kasih Kristus dan keramahtamahan kepada mereka. Mampukan kami untuk menolong mereka merasakan kehangatan kasih Yesus.

Ketika kita menunjukkan keramahtamahan kepada orang lain, sesungguhnya kita sedang membagikan kebaikan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 28-29; Filipi 3

Berkelip-kelip

Sabtu, 6 Oktober 2018

Berkelip-kelip

Baca: Filipi 2:14-16

2:14 Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan,

2:15 supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,

2:16 sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.

[Bercahayalah] di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan. —Filipi 2:15-16

Berkelip-kelip

“Twinkle, Twinkle, Little Star” adalah lagu pengantar tidur berbahasa lnggris yang terkenal. Liriknya yang berasal dari puisi karya Jane Taylor mengungkapkan keajaiban alam semesta ciptaan Allah dengan bintang-bintang yang tergantung “tinggi di langit”. Bait berikutnya yang jarang dinyanyikan menyatakan bahwa bintang-bintang itu memberikan panduan: “Kerlipmu yang terang menyinari jalan pengembara dalam gelapnya malam.”

Dalam suratnya, Paulus menantang jemaat di Filipi untuk hidup benar dan suci sehingga mereka “bercahaya . . . seperti bintang-bintang di dunia” ketika memberitakan kabar baik kepada orang-orang di sekitar mereka (2:15-16). Mungkin kita bingung bagaimana kita dapat bercahaya seperti bintang. Kita sering merasa tak layak dan tidak yakin apakah “cahaya” kita cukup memberikan pengaruh. Namun, bintang hanya perlu memancarkan terang. Terang mengubah dunia kita, dan juga mengubah kita. Allah menciptakan terang ke dalam dunia kita (Kej. 1:3); dan melalui Yesus, Allah membawa terang rohani ke dalam hidup kita (Yoh. 1:1-4).

Kita yang memiliki terang Allah dalam diri kita harus bercahaya sedemikian rupa sehingga orang-orang di sekitar kita melihat cahaya itu dan tertarik untuk mengenal sumbernya. Seperti bintang-bintang yang tergantung di langit malam, terang kita memberikan pengaruh karena natur dari terang itu sendiri: ia bercahaya! Saat kita bersinar, kita mengikuti perintah Paulus untuk “berpegang pada firman kehidupan” di tengah dunia yang kelam, dan kita menarik orang lain untuk datang kepada sumber pengharapan kita: Tuhan Yesus Kristus. —Elisa Morgan

Allah yang baik, kiranya sinar-Mu terpancar dari kerapuhan diri kami di saat kami terus memegang firman kehidupan dan dan memberitakannya kepada sesama.

Yesus membawa terang ke dalam hidup kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 26-27; Filipi 2

Ketika Seorang Teman Meninggalkan Imannya

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend Leaves The Faith

Seorang teman dekatku mengirimiku pesan yang isinya berkata kalau dia tidak lagi menjadi orang Kristen. Aku segera menanggapinya dengan bertanya, “Kamu serius?”

Temanku itu tumbuh besar di gereja yang sama denganku, dan kami pernah melakukan pelayanan bersama. Meski dia lebih muda dariku, dia dapat berbicara dengan lebih bijak; aku selalu melihatnya sebagai seseorang yang secara rohani lebih dewasa daripadaku.

Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia tidak lagi menjadi orang Kristen itu mengejutkanku. Aku membaca pesan itu lagi dan lagi, berharap kalau aku yang salah mengerti isi pesannya. Tapi, tidak ada hal yang ambigu di pesan itu. Apa yang seharusnya aku katakan sekarang? Apakah karena dia tidak percaya lagi maka dia tidak mau aku membagikan kabar Injil kepadanya?

Sebagai seorang introver, aku cenderung bergaul hanya dalam lingkaran teman-teman yang erat di gereja, dan aku tidak melangkah ke luar untuk melayani orang lain. Aku takut akan penolakan. Aku selalu menganggap bahwa menjangkau orang-orang yang meninggalkan imannya adalah tanggung jawab mereka yang lebih ekstrover dan lebih dewasa kerohaniannya daripada aku.

Tapi, ketika seorang temanku sendiri yang meninggalkan imannya, aku tahu aku tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun. Sebagai temannya, aku perlu bertindak. Namun, ketika aku tahu betul bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk menjangkaunya, aku tidak tahu pasti bagaimana atau di mana aku harus memulainya.

Seiring aku bergumul untuk kembali berelasi dengan temanku, lima hal inilah yang mungkin dapat kita pikirkan:

1. Temanmu tetaplah temanmu

Setelah temanku mendeklarasikan pernyataannya yang mendadak, aku bergumul untuk memandangnya tetap sebagai teman yang kepadanya aku bisa meluangkan waktu berjam-jam untuk berbicara. Ketika mengobrol tentang buku-buku atau kejadian-kejadian konyol dalam kehidupan kami, aku terganggu dengan pemikiranku sendiri yang seolah menganggap bahwa hubungan kami tidak lagi sama. Mungkin dia pun memiliki pertanyaan yang sama: apakah teman-teman Kristennya akan memperlakukannya dengan berbeda karena sekarang dia tidak lagi percaya pada Tuhan? Apakah mereka pula akan meninggalkannya karena keputusan yang dia ambil?

Ketika teman kita meninggalkan iman, itu bisa menjadi pukulan yang telak buat kita. Buatku sendiri, itu mungkin terasa seperti pengkhianatan. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan ingin kita terus menjadi teman yang sama bagi mereka, memperlakukan mereka sama seperti dulu kita memperlakukannya. Tuhan mau kita memandang mereka sebagai anak-anak-Nya dan sesama orang berdosa yang membutuhkan kasih dan perhatian Tuhan—seperti kita semua (Roma 5:8).

Teman-teman kita yang telah meninggalkan iman kita bukanlah “proyek baru” yang harus kita segera paksa untuk kembali ke iman Kristen. Mereka masih teman kita, teman yang memiliki kebutuhan, keinginan, dan hobi yang tidak berubah.

2. Luangkan waktu dan dengarkanlah mereka

Apa yang temanku butuhkan saat itu bukanlah orang yang mengajaknya untuk segera kembali ke iman Kristen. Dia tidak membutuhkan pemaparan Injil yang dikemas secara komprehensif atau menarik atau lainnya. Yang dia butuhkan adalah seorang teman untuk mendengarkannya.

Meluangkan waktu untuk memahami mengapa teman kita meninggalkan imannya dan bagaimana proses itu dapat terjadi adalah hal yang penting. Kita perlu mengingat bahwa banyak dari mereka telah melalui proses yang menyakitkan dan mereka akan lebih menghargai seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan mereka, daripada seseorang yang sangat bersemangat untuk menginjili mereka kembali seolah-olah mereka belum pernah mendengar Injil sebelumnya. Hal ini juga menunjukkan respek kepada teman kita, menyadari bahwa mereka tidak mengambil keputusan ini dengan enteng, dan mungkin mereka juga terbawa oleh pengaruh emosional.

Ketika kita memahami mereka terlebih dulu, kita menunjukkan kasih dan perhatian Tuhan buat mereka. Mendengarkan mereka juga adalah cara untuk meyakinkan mereka bahwa pertemanan adalah tempat yang aman untuk mereka berbagi dan terbuka dengan jujur tentang apa yang sesungguhnya mereka hadapi.

3. Ketahui iman yang kamu nyatakan

Aku malu untuk mengakui bahwa inilah yang menjadi pergumulan terbesarku. Aku tidak berpikir bahwa mengetahui iman kita itu sama artinya dengan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan apologetika sulit yang dilontarkan ke kita. Tapi, setidaknya, kita harus mengetahui jelas mengapa kita menjadi orang Kristen.

Ketika di suatu makan malam temanku bertanya mengapa aku menjadi orang Kristen, pikiranku mendadak bingung. Aku sadar aku tidak memikirkannya dengan hati-hati atau menyiapkan jawaban yang tepat. Pada akhirnya, sambil tergagap-gagap aku berusaha menjawab jawaban yang bahkan aku sendiri tidak yakin.

Alasan mengapa kita yakin dengan iman kita adalah pertanyaan umum yang diajukan oleh orang bukan Kristen, dan Alkitab menasihati kita untuk “selalu siap untuk memberi jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki” (1 Petrus 3:15 BIS). Ketika kita tidak melengkapi diri untuk memberikan jawaban dengan yakin, kita kehilangan kesempatan yang berharga dari Tuhan untuk membagikan kesaksian tentang apa arti iman bagi kita pribadi kepada orang lain, pun kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan mereka.

4. Renungkanlah bagaimana kita mungkin bisa memberi dampak dalam keputusan mereka

Meskipun keputusan untuk meninggalkan iman pada akhirnya bergantung pada individu dan masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Tuhan, mungkin ada faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhinya.

Di dalam kasus temanku, aku—bersama teman-teman lainnya—telah berpikir salah bahwa hanya karena dia aktif pelayanan, relasi dia dengan Tuhan ada dalam keadaan yang baik. Jadi, kami pun abai untuk melayani dia. Kami meluangkan lebih banyak waktu kami bersama mereka yang masih enggan datang ke gereja atau merasa tidak terhubung dengan gereja, tapi kami pula bahwa seseorang di antara kami pun ternyata butuh perhatian yang sama.

Mungkin itulah hal-hal kecil yang menyebabkan mereka merasa jauh dari Tuhan. Kita mungkin tidak mengabaikan, mengucilkan, atau menolak mereka menjadi bagian dari komunitas tempat kita dipanggil; tapi mungkin kita terlalu lambat untuk mendengarkan apa yang jadi pergumulan mereka, atau kita terlalu berfokus untuk mengasihi dan menghabiskan waktu bersama orang lain.

Apa yang kita lakukan (dan yang tidak kita lakukan) yang membuat mereka merasa jauh dan meragukan Tuhan? Apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menarik mereka lebih dekat pada Tuhan? Langkah-langkah praktis apakah yang harus kita lakukan untuk meningkatkan cara kita berperilaku? Dalam kata lain, bagaimana caranya kita menjadi teman yang lebih baik? Bagaimana caranya kita bisa lebih peka terhadap kebutuhan mereka?

Menyadari kebenaran yang sulit ini menolong kita untuk menjadi teman yang baik, dan juga menjadi kesaksian yang lebih baik tentang Kristus bagi orang-orang di sekitar kita.

5. Sadari bahwa hati Tuhan jauh lebih pedih daripada kita

Kalau teman kita itu berharga buat kita, terlebih lagi Tuhan memandang mereka. Kalau kita, para pendosa, dapat mengasihi teman kita, terlebih lagi Tuhan yang sempurna dapat mengasihi mereka.

Kalau kita ingin teman kita bersekutu kembali dengan Tuhan, terlebih lagi Tuhan sendiri, yang telah mengutus anak-Nya untuk melakukannya (Yohanes 3:16). Kita bisa yakin bahwa hati Tuhan adalah untuk semua pendosa yang berbalik kepada-Nya dalam pertobatan (Yehezkiel 18:23). Sebagaimana Tuhan yang adalah penyabar dan tidak akan pernah lalai terhadap anak-anak-Nya (2 Petrus 3:9), kiranya kita belajar untuk tidak pernah menyerah mendoakan teman-teman kita.

Marilah kita belajar untuk percaya dalam Tuhan, tidak meragukan kasih setia dan kebaikan-Nya, serta berpegang pada janji-janji-Nya dalam Alkitab bahwa Tuhan akan menyelesaikan setiap pekerjaan baik yang telah dimulai-Nya di dalam setiap kita (Filipi 1:6).

Aku berharap temanku akan kembali kepada Kristus suatu hari nanti. Dan hingga saat itu tiba, aku akan terus berdoa memohon Tuhan mengubah hati mereka berbalik kepada-Nya, mempercayai dan menyerahkan hidup mereka pada kehendak Tuhan yang berdaulat.

Baca Juga:

Anthonius Gunawan Agung: Teladan Hidup dari Sang Pahlawan di Tengah Bencana

Selamat jalan Anthonius, kisah kepahlawananmu adalah setetes madu yang manis di tengah getirnya bencana.

Menjadi Lebih Baik

Jumat, 5 Oktober 2018

Menjadi Lebih Baik

Baca: Mazmur 51:11-15

51:11 Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku!

51:12 Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!

51:13 Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!

51:14 Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!

51:15 Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.

Buatlah aku gembira lagi karena keselamatan daripada-Mu, berilah aku hati yang rela untuk taat kepada-Mu. —Mazmur 51:14 BIS

Menjadi Lebih Baik

Suatu waktu, sekelompok nelayan penangkap ikan salmon di Skotlandia sedang berkumpul di sebuah restoran setelah seharian memancing. Saat salah seorang dari mereka menggambarkan ikan yang ditangkapnya kepada teman-temannya, tangannya tidak sengaja menyenggol gelas kaca hingga terpental ke dinding. Gelas itu pun pecah dan meninggalkan noda pada permukaan dinding restoran yang dicat putih. Pria tersebut meminta maaf kepada pemilik restoran dan menawarkan diri untuk membayar kerusakan yang ada, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya terhadap dinding yang sudah ternoda. Tiba-tiba, seorang pria yang duduk tidak jauh dari situ berkata, “Jangan khawatir.” Ia berdiri, mengambil alat lukis dari sakunya, dan mulai menggambar sketsa di sekitar noda pada dinding itu. Lambat laun terlihatlah gambar kepala rusa yang anggun. Pria itu adalah Sir E. H. Landseer, seorang pelukis binatang yang terkemuka di Skotlandia.

Daud, raja Israel yang terkemuka dan penulis Mazmur 51, pernah mempermalukan dirinya dan bangsanya sendiri karena dosanya. Ia berzina dengan istri salah seorang sahabatnya dan merekayasa kematian sahabatnya itu—dua perbuatan yang layak dihukum mati. Sepertinya hidupnya sudah hancur total. Namun, ia memohon kepada Allah: “Buatlah aku gembira lagi karena keselamatan daripada-Mu, berilah aku hati yang rela untuk taat kepada-Mu” (ay.14 BIS).

Seperti Daud, mungkin kita pernah melakukan perbuatan yang memalukan di masa lalu dan kenangan itu terus menghantui kita. Andai saja kita bisa mengulang atau memperbaiki peristiwa itu. Namun, yakinlah bahwa Allah yang beranugerah tidak hanya mengampuni dosa kita, tetapi juga mengubah kita menjadi lebih baik. Dia tidak pernah menyia-nyiakan apa pun. —David H. Roper

Tuhan, aku gagal lagi. Ampunilah aku. Ubahlah aku. Kembalikanlah aku. Ajarilah aku untuk setia mengikuti jalan-Mu.

Allah memiliki mata yang Maha Melihat dan hati yang Maha Pengampun.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 23-25; Filipi 1

Lock Screen: Mazmur 96:3

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!
“Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di antara segala suku bangsa.” (Mazmur 96:3)

Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

Berani Berdiri Teguh

Kamis, 4 Oktober 2018

Berani Berdiri Teguh

Baca: Efesus 6:10-18

6:10 Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya.

6:11 Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis;

6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.

6:13 Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.

6:14 Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan,

6:15 kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;

6:16 dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat,

6:17 dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah,

6:18 dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,

Perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. —Efesus 6:12

Berani Berdiri Teguh

Teresa Prekerowa masih remaja ketika tentara Nazi menyerang tanah kelahirannya, Polandia, pada awal Perang Dunia ke-2. Masa itu merupakan permulaan terjadinya Holocaust, ketika para tetangganya yang berdarah Yahudi mulai menghilang karena ditangkap oleh Nazi. Teresa dan orang-orang sebangsanya lalu mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan tetangga-tetangga mereka dari ghetto di Warsawa dan pembersihan etnis yang dilakukan pihak Nazi. Kelak Teresa menjadi salah seorang sejarawan penting di bidang Perang Dunia dan Holocaust. Namun, keberaniannya untuk berdiri teguh menentang kejahatan besar itulah yang membuatnya mendapat penghormatan masuk dalam daftar Orang Baik dari Berbagai Bangsa yang tercatat pada Museum Peringatan Holocaust Yad Vashem di Yerusalem.

Keberanian memang dibutuhkan untuk menentang kejahatan. Kepada jemaat di Efesus, Paulus mengatakan, “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12). Jelaslah lawan yang tak terlihat itu tidak akan dapat dihadapi dengan kekuatan kita sendiri, karena itu Allah memberi kita sumber daya rohani yang diperlukan (“seluruh perlengkapan senjata Allah”) untuk memampukan kita “bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (ay.11).

Apa saja yang mungkin Allah mau kita lakukan dengan berani? Mungkin kita dipanggil untuk menentang suatu ketidakadilan atau ikut membantu seseorang yang terancam menjadi korban. Apa pun bentuk konflik yang mungkin terjadi, kita bisa memiliki keberanian—karena Allah kita telah menyediakan segala hal yang kita butuhkan untuk berdiri teguh bagi-Nya dan bertahan melawan kejahatan. —Bill Crowder

Allah memampukan kita untuk berdiri teguh bagi-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 20-22; Efesus 6

Anthonius Gunawan Agung: Teladan Hidup dari Sang Pahlawan di Tengah Bencana

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Bencana alam menyisakan tangis dan pilu. Namun, kadang di balik kisah pilunya, lahir pula kisah-kisah teladan yang mengetuk pintu hati kita.

Ketika gempa bumi melanda kawasan Palu, Donggala, dan Mamuju di Sulawesi Tengah, Anthonius Gunawan Agung (22) sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang Air Traffic Controller (ATC) alias pemandu penerbangan pesawat di Bandar Udara Mutiara Sis Al Jufri, Palu. Kala itu Antonius bertugas memandu Kapten Ricosetta Mafella yang menerbangkan pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6231 menuju Makassar.

Pukul 17:55 pintu pesawat telah ditutup. Pukul 18:02 Anthonius mengizinkan pesawat untuk lepas landas. Tapi, belum sempat pesawat itu mengangkasa, gempa bumi berkekuatan 7,7 skala richter mengguncang. Orang-orang segera bergegas menyelamatkan diri, tapi Anthonius bergeming meski sudah diteriaki untuk segera turun dari menara pengawas. Anthonius tidak menghiraukan guncangan gempa yang terjadi, dia fokus dengan tanggung jawabnya memandu pesawat hingga mengudara dengan sempurna.

Safe flight Batik Air, take care,” ucap Antonius untuk menutup komunikasinya dengan Kapten Mafella yang saat itu sudah dalam posisi aman di udara.

Namun, kemalangan pun menimpa Anthonius. Kalimat itu jugalah yang rupanya menjadi kalimat perpisahannya. Sejurus kemudian atap menara tempatnya bertugas ambruk. Anthonius tak punya lagi waktu menyelamatkan diri. Dia gugur dalam tugasnya sebagai seorang ATC.

Apa yang dilakukan oleh Anthonius Agung adalah tindakan yang heroik. Dedikasi Anthonius kala gempa terjadi memberikan kesempatan hidup kepada seluruh penumpang dan awak dalam pesawat. Dalam ungkapan dukacitanya kepada Anthonius, Kapten Mafella menuliskan, “Thank you for keeping me and guarding me till I’m safety airborne… Wing of honor for Anthonius Gunawan Agung as my guardian angel at Palu. Rest peacefully my wing man. God be with you.” Tak terbayangkan apabila saat itu Anthonius memilih lari menyelamatkan diri di saat roda pesawat masih berada di landasan, mungkin Kapten Mafella beserta seluruh awak dan penumpangnya tidak akan sampai mengudara dengan selamat.

Kisah Anthonius ini adalah sekelumit dari kisah-kisah heroik lainnya yang mengetuk pintu hati kita. Pun, kisah ini mengingatkan kita akan dedikasi dan pengorbanan yang juga dilakukan oleh Tuhan Yesus. Kematian Yesus di kayu salib memberikan kesempatan hidup tak hanya bagi satu jiwa, melainkan bagi semua manusia yang mau menerima Dia sebagai Tuhan. Sebagai anak Allah yang mengambil rupa manusia seutuhnya, Yesus bisa saja lari dari panggilan-Nya. Yesus mungkin takut akan apa yang harus Dia hadapi. Tapi, di taman Getsemani, Dia memilih untuk berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Yesus memilih taat pada Bapa. Yesus tidak melarikan diri dari panggilan-Nya kendati Dia tahu ada penderitaan besar yang harus Dia hadapi. Hingga akhirnya, melalui kematian Yesus kita pun dibayar lunas dari dosa-dosa kita dan melalui kebangkitan-Nya, kita dan orang-orang yang percaya kepada-Nya beroleh jaminan keselamatan berupa kehidupan yang kekal (Yohanes 3:16).

Anthonius telah mengakhiri pertandingan imannya dengan baik. Dan bagi kita yang masih diberi kesempatan di dunia, inilah waktunya untuk kita menghidupi kehidupan dengan sebaik-sebaiknya, dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab sampai tiba waktunya ketika Tuhan memanggil kita pulang kembali kepada-Nya.

Selamat jalan Anthonius, kisah kepahlawananmu adalah setetes madu yang manis di tengah getirnya bencana.

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Aku Menunggu

Ketika segalanya menjadi lebih cepat, kita cenderung menganggap menunggu itu sebagai sebuah proses yang berat. Namun, bukankah sesungguhnya dalam hidup ini kita selalu menunggu sesuatu?

Meminta Pertolongan

Rabu, 3 Oktober 2018

Meminta Pertolongan

Baca: Markus 10:46-52

10:46 Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan.

10:47 Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”

10:48 Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!”

10:49 Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!” Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.”

10:50 Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus.

10:51 Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!”

10:52 Lalu kata Yesus kepadanya: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.

Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” —Markus 10:51

Meminta Pertolongan

E-mail dari seorang teman tiba di penghujung hari yang melelahkan. Saya belum sempat membacanya karena saya sedang bekerja sampai larut malam untuk merawat anggota keluarga yang sakit parah. Saya benar-benar tak punya waktu untuk hal lain.

Namun, keesokan harinya, saya membuka e-mail itu dan membaca pertanyaan teman saya: “Apa yang kamu ingin kulakukan untukmu?” Karena merasa malu, saya ingin menjawab tidak ada. Kemudian saya menghela napas dan menenangkan diri. Saya merasa pertanyaannya itu tidak asing.

Benar saja! Yesus pernah mengajukan pertanyaan seperti itu saat Dia mendengar seorang pengemis buta berseru kepada-Nya di jalanan Yerikho. Yesus berhenti dan mengajukan pertanyaan serupa kepada Bartimeus, pengemis itu. Yesus bertanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (Mrk. 10:51).

Suatu pertanyaan yang menakjubkan, karena itu menunjukkan bahwa Yesus, Sang Penyembuh, rindu menolong kita. Namun sebelumnya, kita diundang untuk mengakui bahwa kita membutuhkan-Nya dan kemudian merendahkan diri kita. Bartimeus si pengemis memang berkebutuhan—miskin, sendirian, mungkin kelaparan, dan dikucilkan. Namun, karena menginginkan kehidupan yang baru, ia pun menyatakan kebutuhannya yang paling mendasar, “Rabuni, supaya aku dapat melihat.”

Bagi orang buta, itu adalah permohonan yang jujur. Yesus segera menyembuhkannya. Teman saya juga ingin saya jujur kepadanya. Jadi saya berjanji kepadanya untuk berdoa agar saya tahu kebutuhan saya yang paling mendasar dan, yang lebih penting, saya rela menceritakan kebutuhan saya kepadanya. Apa kebutuhan kamu yang paling mendasar saat ini? Bila ada seorang teman yang bertanya, katakanlah kepadanya. Lalu nyatakanlah permohonanmu itu kepada Allah. —Patricia Raybon

Tuhan, aku memerlukan-Mu. Aku ingin menceritakan isi hatiku kepada-Mu saat ini. Tolonglah agar hatiku juga rela menerima pertolongan dari sesamaku.

Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. —1 Petrus 5:5

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 17-19; Efesus 5:17-33