Lock Screen: 1 Yohanes 2:17

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!
“Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:17)

Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: God Convicted Me Of My Bad Work Attitude

Baru-baru ini aku mendengar seorang rekan kerjaku bertanya pada manajernya tentang seorang staf lainnya. Staf itu baru bergabung dengan perusahaan kami enam bulan lalu, tapi selama beberapa waktu belakangan ini, rekan kerjaku itu tidak melihatnya.

Manajer itu menjawab, “Dia sudah mengundurkan diri. Dia selalu marah ketika aku coba mengoreksi kesalahannya.” Aku terkejut mendengar ini karena manajer itu adalah salah satu orang terbaik yang pernah kutemui.

Pernyataan manajer itu mengingatkanku pada sikap lamaku terhadap pekerjaan. Ketika aku memasuki dunia kerja pertama kali, aku tidak cukup rendah hati untuk menerima koreksi-koreksi. Ketika manajerku mengoreksi kesalahanku—entah itu kecil atau besar—aku suka membantah dan membuat banyak alasan untuk membenarkan diriku sendiri. Aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan itu, yang ada aku malah merasa kesal.

Hasilnya, aku tidak pernah menerima penilaian yang baik dan seringkali aku berganti-ganti pekerjaan. Aku selalu berharap kalau pekerjaan baruku akan lebih baik, tapi aku tidak pernah mengubah sikapku yang keras kepala.

Hingga akhirnya perubahan sikapku terjadi ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi melalui masa-masa pencobaan dalam hidupku. Dengan membaca Alkitab, aku belajar bagaimana seharusnya aku berperilaku sebagai orang Kristen di tempat kerja.

Aku sangat terinspirasi oleh firman Tuhan dari Filipi 2:14-15, “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.”

Saat aku membaca ayat itu, aku menyadari bahwa aku sering membantah dan bersungut-sungut ketika manajerku menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Bagaimana caranya supaya aku tidak beraib dan tiada bernoda? Bagaimana caranya aku bisa menjadi anak Tuhan yang tiada bercela ketika perilakuku tidak memuliakan Tuhan? Aku sangat malu dengan sikapku.

Di kesempatan yang lain, aku menemukan perkataan Yesus dalam Matius 23:12, “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Aku diingatkan lagi bahwa Tuhan menghargai sikap yang rendah hati. Selalu membantah saat aku membuat kesalahan bukanlah tindakan kerendahan hati, dan itu tidak menyenangkan Tuhan. Memiliki kerendahan hati dan semangat untuk mau diajar adalah hal yang menyenangkan Tuhan. Karena aku adalah anak Tuhan, aku harus menunjukkan sifat-sifat yang menyenangkan Tuhan di tempat kerjaku.

Berfokus kepada masa depan

Aku pun mengubah sikap kerjaku. Awalnya aku begitu mudah merasa kecewa dan merasa lebih rendah daripada yang lain. Sikap buruk ini telah ada dalam diriku selama 10 tahun aku bekerja. Entah berapa banyak promosi dan kenaikan gaji yang aku lewatkan karena sikap burukku itu.

Namun kemudian aku menyadari bahwa berkutat pada kesalahan-kesalahanku di masa lalu tidak akan membuatku jadi lebih baik. Untuk mengubah diriku menjadi lebih baik, aku perlu move-on dari masa lalu. Aku tidak bisa mengulang kembali masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahanku dulu, tapi aku bisa memilih untuk bertindak secara positif, belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan bekerja dengan lebih baik.

Aku juga dikuatkan melalui kisah-kisah dalam Alkitab tentang kesetiaan Tuhan kepada Israel. Meskipun mereka berpaling menjauh dari Tuhan lagi dan lagi, Tuhan tidak pernah menyerah terhadap mereka. Tuhan memberitahu mereka untuk tidak mengingat-ingat lagi masa lalu. Tuhan ingin agar mereka melihat ke masa depan (Yesaya 43:18, Yoel 2:25). Mungkin aku telah berbuat salah selama 10 tahunku dulu, namun aku dapat mengakui kesalahan dan sikap kerjaku yang memalukan itu kepada Tuhan, sebab Dia akan menerimaku dengan belas kasihan dan anugerah-Nya (Ibrani 4:15-16).

Ketika aku berdiam dalam kebaikan Tuhan, aku diingatkan untuk mengerjakan tanggung jawabku dengan kekuatan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, supaya Tuhan dimuliakan (1 Petrus 4:11). Setiap harinya, kepada Tuhan aku meminta kekuatan supaya aku bisa menggunakan setiap kesempatan untuk melayani dan memuliakan Dia dalam pekerjaanku.

Setelah beberapa waktu, manajerku melihat ada perubahan dalam sikap kerjaku. Dia melihatku mau belajar dan bisa diandalkan, jadi dia mulai mempercayaiku dengan beberapa proyek baru dan tanggung jawab yang lebih. Apa yang diberikan manajerku inilah yang jadi kesempatan buatku membuktikan perubahan-perubahan positif dalam diriku. Dengan tiap kesempatan itu, tanggung jawab yang kuemban menjadi lebih menantang dan kadang aku pun merasa khawatir apakah aku bisa menangani beban pekerjaan yang bertambah itu atau tidak. Namun, aku memohon pertolongan dari Tuhan dan menyerahkan pekerjaanku kepada-Nya setiap waktu. Dialah yang menjadi sumber kekuatanku dan alasanku untuk bisa tetap tersenyum meskipun tekanan menghimpitku.

Di akhir tahun, tibalah waktunya untuk penilaian kinerjaku. Manajerku memberikan tanggapan positif mengenai performa kerjaku dan dia juga berkata kalau dia terkejut dengan perubahan sikap kerjaku. Setelah bekerja 10 tahun, itulah kali pertama aku mendapat tanggapan kerja yang baik dan kenaikan gaji yang wajar.

Aku telah belajar untuk memiliki pola pikir Kerajaan Allah dalam pekerjaanku. Sebagai anak-anak Tuhan, kita lebih dari sekadar mampu untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Ketika atasan kita menunjukkan kesalahan-kesalahan kita, izinkanlah tanggapan dari mereka itu sebagai sarana untuk kita bertumbuh supaya kita bisa lebih dan lebih kompeten lagi melakukan bagian kita, dan memuliakan Tuhan melalui pekerjaan kita.

Baca Juga:

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Membangun Jembatan

Rabu, 5 September 2018

Membangun Jembatan

Baca: Yohanes 4:7-14,39-42

4:7 Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: “Berilah Aku minum.”

4:8 Sebab murid-murid-Nya telah pergi ke kota membeli makanan.

4:9 Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)

4:10 Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup.”

4:11 Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?

4:12 Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?”

4:13 Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi,

4:14 tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”

4:39 Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.”

4:40 Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Iapun tinggal di situ dua hari lamanya.

4:41 Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya,

4:42 dan mereka berkata kepada perempuan itu: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”

Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. —Galatia 3:28

Membangun Jembatan

Di lingkungan tempat tinggal kami, rumah-rumah dikelilingi oleh tembok beton yang tinggi. Pada sisi atas sebagian besar tembok itu terpasang kawat berduri yang dialiri listrik. Tujuannya? Untuk menangkal pencuri.

Namun, lingkungan kami juga sering mengalami pemadaman listrik. Saat listrik padam, bel di pintu gerbang depan tidak berfungsi. Jika itu terjadi, orang yang mau berkunjung ke lingkungan kami bisa jadi kepanasan di bawah terik matahari atau basah kuyup diguyur hujan di sisi luar tembok. Namun, sekalipun bel itu bekerja dengan baik, yang boleh masuk ke lingkungan kami hanyalah orang-orang tertentu. Tembok yang dimaksudkan untuk kebaikan kami tersebut ternyata juga dapat menjadi tembok diskriminasi—bahkan terhadap pengunjung yang jelas-jelas tidak berniat jahat.

Perempuan Samaria yang Yesus temui di sumur juga mengalami diskriminasi serupa. Pada masa itu, orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang Samaria. Ketika Yesus meminta minum, perempuan itu berkata, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Yoh. 4:9). Setelah perempuan itu mulai terbuka kepada Yesus, ia pun mengalami perubahan yang secara positif mempengaruhi dirinya dan banyak orang di kotanya (ay.39-42). Yesus menjadi jembatan yang merobohkan tembok permusuhan dan perbedaan.

Kecenderungan untuk mendiskriminasi itu nyata, dan kita perlu mengenalinya dalam kehidupan kita. Seperti yang Yesus teladankan kepada kita, kita dapat menjangkau semua orang tanpa memandang suku bangsa, status sosial, atau reputasi mereka. Yesus datang menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan sesama. —Lawrence Darmani

Tuhan, terima kasih Engkau mengajarku untuk tidak mendiskriminasi orang lain. Mampukan aku melihat mereka dengan mata-Mu agar aku memuliakan-Mu.

Yesus telah merobohkan tembok-tembok diskriminasi.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 146-147; 1 Korintus 15:1-28

Melampaui Bintang-Bintang

Selasa, 4 September 2018

Melampaui Bintang-Bintang

Baca: Mazmur 8:1-10

8:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur Daud.8:2 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.

8:3 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.

8:4 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:

8:5 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

8:6 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.

8:7 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:

8:8 kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;

8:9 burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.

8:10 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!

Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. —Mazmur 8:2

Melampaui Bintang-Bintang

Pada tahun 2011, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat yang biasa dikenal dengan NASA merayakan 30 tahun perjalanan penelitian antariksa yang dilakukannya. Dalam tiga dekade itu, pesawat demi pesawat ulang-alik telah membawa lebih dari 355 orang ke luar angkasa dan membantu pembangunan Stasiun Luar Angkasa Internasional. Setelah berhenti mengoperasionalkan lima pesawat ulang-aliknya, NASA kini mengalihkan fokusnya pada eksplorasi luar angkasa jarak jauh.

Manusia telah menginvestasikan sejumlah besar waktu dan uang, dan beberapa astronot bahkan mengorbankan hidup mereka, untuk mempelajari luasnya lingkup alam semesta. Meski demikian, bukti keagungan Tuhan terbentang jauh lebih luas, melampaui apa yang sanggup diperhitungkan oleh manusia.

Ketika mengingat Allah, Perancang dan Penopang alam semesta yang mengetahui nama setiap bintang (Yes. 40:26), kita dapat mengerti alasan pemazmur Daud memuji kebesaran Allah (Mzm. 8:2). Sidik jari Tuhan ada pada “bulan dan bintang-bintang yang [Dia] tempatkan” (ay.4). Sang Pencipta langit dan bumi memang berkuasa atas segalanya, tetapi Dia tetap dekat dengan anak-anak yang dikasihi-Nya. Dia mengingat dan memperhatikan mereka masing-masing dari dekat (ay.5). Dalam kasih-Nya, Allah memberi kita kuasa, tanggung jawab, dan hak yang istimewa untuk memelihara dan mengeksplorasi bumi yang telah dipercayakan-Nya kepada kita (ay.6-9).

Sewaktu kita memperhatikan langit malam yang bertabur bintang, Sang Pencipta mengundang kita untuk mencari-Nya dengan tekun dan dengan segenap hati. Dia mendengar setiap doa dan nyanyian pujian yang keluar dari hati dan bibir kita. —Xochitl Dixon

Ya Pencipta alam semesta yang penuh kasih, terima kasih karena Engkau selalu mengingat kami.

Kebesaran Allah terbukti dalam kedahsyatan-Nya yang mengagumkan dan kedekatan-Nya yang meneduhkan.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 143-145; 1 Korintus 14:21-40

Artikel Terkait:

Bukan di Mulut Saja

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Oleh Charles, Jakarta

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Mungkin kamu akan menjawab, “Tidak adil!” Seharusnya kalau mau adil, Ani, Budi, dan Chandra sama-sama mendapatkan 10 buah apel. Benar begitu?

Pertanyaannya, jika kamu adalah Chandra yang mendapatkan 15 buah apel, apakah kamu juga akan mengatakan hal yang sama?

Banyak orang mengeluh, “Hidup ini tidak adil!” Ketika ditanya, kenapa tidak adil?, jawaban mereka biasanya seperti ini:

Kenapa aku yang lebih rajin bekerja, tapi dia yang dapat gaji lebih banyak?

Kenapa dia bisa jalan-jalan keluar negeri, sementara aku cuma bisa jalan-jalan keliling kota?

Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?

Kenapa teman-temanku sudah pada menikah, sedangkan aku: pacar saja belum punya?

Kenapa rumahnya lebih bagus dari rumahku? Kenapa dia lebih cakep? Kenapa dia punya ini-itu, sedangkan aku tidak?

Kenapa Tuhan tidak juga menjawab doa-doaku?

Banyak orang merasa hidup ini tidak adil karena mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang “lebih” daripada mereka: lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih pintar, lebih sehat, lebih harmonis, lebih kuat, lebih terkenal, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita pikirkan lagi, bukankah itu tidak adil juga jika kita hanya membandingkan diri kita dengan yang “lebih”? Bagaimana dengan yang “kurang”? Pernahkah kita bertanya-tanya seperti ini:

Kenapa aku punya pekerjaan, sedangkan banyak orang yang menganggur?

Kenapa aku bisa berjalan, di saat ada orang yang hanya bisa terbaring di ranjang?

Kenapa aku masih bisa memilih makan apa hari ini, di saat ada orang yang begitu miskin sampai-sampai tidak bisa makan tiap hari?

Kenapa aku bisa mengenal Tuhan Sang Juruselamat, di saat banyak orang masih belum pernah mendengar tentang Dia?

Bukankah hidup ini memang tidak adil?

Kalau kita mau adil, mari buka mata dan hati kita untuk melihat tidak hanya orang-orang yang mempunyai “lebih” dari kita, tapi juga lihatlah mereka yang tidak mempunyai apa yang kita miliki. Kalau kita tidak suka ketidakadilan, bukankah hal yang bijak jika setidaknya kita sendiri berlaku adil?

Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda, kenyataan ini tidak seharusnya membuat kita iri hati. Sebaliknya, kita akan bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, dan tergerak untuk berbagi kepada orang lain, untuk setidaknya membuat hidup ini menjadi lebih adil bagi mereka. Marilah mulai dari diri kita sendiri.

Selain itu, ada satu aspek lain yang perlu kita renungkan.

Suatu hari, ketika Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya, murid-murid-Nya bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2).

Ketika ada hal yang kurang baik terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam: salah siapakah ini? Apakah salah orang buta itu? Ataukah salah orang tuanya? Namun, jawaban Yesus membukakan sebuah aspek lain yang kadang mungkin kita lupakan:

Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Kadang apa yang kita lihat sebagai penderitaan dan ketidakadilan, sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah, agar pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita.

Jadi, bagaimanapun keadaanmu saat ini, bersyukurlah atas segala hal yang Tuhan telah berikan kepadamu. Dan jadilah berkat bagi mereka yang tidak seberuntung dirimu, agar dunia ini bisa menjadi sedikit lebih adil.

Baca Juga:

4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran

Sebagai seorang yang tidak suka terlibat konflik, menegur seseorang adalah hal yang cukup menakutkan buatku. Aku berusaha mencari posisi aman. Tapi, sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menyuarakan kebenaran. Inilah empat rumus yang perlu kita perhatian ketika kita ingin menegur seseorang.

Sharing: Apa yang Menjadi Doamu bagi Indonesia?

Hai sobat muda, apa yang menjadi doamu bagi Indonesia?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.

Jalan Menuju Pemulihan

Senin, 3 September 2018

Jalan Menuju Pemulihan

Baca: 2 Korintus 1:3-11

1:3 Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan,

1:4 yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.

1:5 Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah.

1:6 Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga.

1:7 Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami.

1:8 Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami.

1:9 Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.

1:10 Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi,

1:11 karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.

[Allah] yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. —2 Korintus 1:4

Jalan Menuju Pemulihan

Adakalanya perjalanan hidup kita terasa begitu berat, sampai-sampai kita merasa kewalahan dan seolah-olah diliputi oleh kegelapan yang tak berujung. Suatu pagi, ketika keluarga kami mengalami masa-masa sulit, istri saya menerima inspirasi baru lewat saat teduhnya. Ia berkata, “Aku rasa Allah ingin agar di masa-masa sukacita kita bisa belajar dari pengalaman yang kita terima di masa-masa kelam ini.

Paulus mengajukan pemikiran yang sama kepada jemaat di Korintus (2Kor. 1), setelah menerangkan kesulitan besar yang ia dan rekan-rekannya alami di Asia. Paulus ingin jemaat Korintus memahami bagaimana Allah bisa memakai momen terkelam yang mereka alami. Ia berkata bahwa kita telah dihiburkan sehingga kita dimampukan untuk menghibur orang lain (ay.4). Sepanjang pencobaan yang dialami Paulus dan rekan-rekannya, mereka menerima dari Allah hikmat yang dapat mereka pakai untuk menghibur dan menasihati jemaat Korintus di saat mereka menghadapi kesulitan yang serupa. Allah juga akan melakukan hal yang sama bagi kita, apabila kita bersedia mendengarkan-Nya. Dia akan memakai pencobaan kita dan mengajari bagaimana kita dapat memakai hikmah yang kita terima untuk melayani sesama.

Apakah kamu sedang berada dalam kekelaman? Kiranya perkataan dan pengalaman Paulus menguatkanmu. Percayalah bahwa Allah sedang mengarahkan langkahmu dan Dia juga mengukir kebenaran-Nya pada hatimu sehingga kamu dapat membagikannya kepada orang lain yang sedang menghadapi kesulitan yang serupa. Kamu pernah mengalaminya, dan kamu tahu jalan menuju pemulihan. —Randy Kilgore

Bapa, tolonglah orang-orang yang sedang terluka hari ini agar mereka melihat dan menyadari kehadiran-Mu yang penuh kasih dalam kekelaman yang mereka jalani.

Di masa-masa sukacita, jangan lupakan hikmat yang kamu terima di masa-masa kelam.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 140-142; 1 Korintus 14:1-20

Kekuatan bagi Perjalananmu

Minggu, 2 September 2018

Kekuatan bagi Perjalananmu

Baca: Habakuk 3:16-19

3:16 Ketika aku mendengarnya, gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.

3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,

3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.

3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).

Engkau memberi aku kekuatan seperti kaki rusa, kakiku Kaukokohkan. Engkau membimbing aku supaya aman waktu berjalan di pegunungan. —Habakuk 3:19 BIS

Kekuatan bagi Perjalananmu

Hinds’ Feet on High Places (Sekuat Kaki Rusa di Pegunungan) adalah kisah alegori klasik mengenai hidup orang Kristen yang didasarkan pada Habakuk 3:19. Kisah itu mengangkat tokoh bernama Much-Afraid (Si Penakut) yang melakukan perjalanan bersama Sang Gembala. Namun, Much-Afraid begitu takut hingga ia meminta Sang Gembala menggendongnya.

Sang Gembala menjawab dengan lembut, “Aku bisa saja menggendongmu sampai ke puncak bukit daripada membiarkanmu mendakinya sendiri. Namun, bila itu kulakukan, kamu takkan pernah bisa membuat kakimu sekuat kaki rusa, dan menjadi pendampingku dan mengikutiku ke mana pun aku pergi.”

Much-Afraid menggemakan pertanyaan Nabi Habakuk di Perjanjian Lama (dan sejujurnya, pertanyaan saya juga): Mengapa aku harus menderita? Mengapa hidupku sulit?

Habakuk tinggal di Yehuda pada akhir abad ke-7 sm sebelum bangsa Israel dibawa ke pembuangan. Sang nabi hidup dalam masyarakat yang mengabaikan keadilan sosial dan dilumpuhkan oleh ketakutan atas serbuan orang Kasdim (Hab. 1:2-11). Ia meminta Tuhan untuk campur tangan dan menghapuskan penderitaan (1:13). Allah menjawab bahwa Dia akan bertindak adil, tetapi sesuai waktu-Nya (2:3).

Dengan iman, Habakuk memilih untuk percaya kepada Tuhan. Sekalipun penderitaan tidak juga berakhir, sang nabi percaya bahwa Allah akan senantiasa menjadi kekuatannya.

Kita juga mendapat penghiburan dengan meyakini bahwa Tuhanlah kekuatan yang menolong kita bertahan di tengah penderitaan. Dia sendiri juga akan memakai masa-masa hidup kita yang sulit untuk memperdalam persekutuan kita dengan Kristus. —Lisa Samra

Tuhan, terkadang rasanya penderitaanku terlalu berat untuk kutanggung. Tolong aku untuk mempercayai-Mu dan terus berjalan bersama-Mu menyusuri kehidupan ini.

Kita dapat mempercayai Tuhan sebagai kekuatan kita di masa-masa sulit.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 137-139; 1 Korintus 13

Hati Sang Petugas Polisi

Sabtu, 1 September 2018

Hati Sang Petugas Polisi

Baca: Matius 18:1-10

18:1 Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?”

18:2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka

18:3 lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

18:4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.

18:5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”

18:6 “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.

18:7 Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.

18:8 Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal.

18:9 Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.

18:10 Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.

Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. —Matius 18:10

Hati Sang Petugas Polisi

Saat petugas polisi Vic Miglio kembali ke kantornya, ia langsung duduk dan menyandarkan diri ke dinding karena keletihan. Sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga telah menghabiskan sebagian waktunya hari itu. Peristiwa tersebut membuat seorang pria ditahan, seorang anak perempuan dilarikan ke rumah sakit, dan seorang ibu terguncang. Rasanya, kasus tersebut akan menggayuti pikiran si polisi muda itu untuk waktu yang lama.

“Kamu sudah berbuat yang terbaik, Vic,” atasannya mencoba bersimpati. Namun, kata-kata itu tidak menolong. Ada polisi yang bisa meninggalkan pekerjaan mereka di kantor, tetapi tidak bagi Vic Miglio. Hatinya begitu terbebani oleh kasus-kasus sulit seperti ini.

Hati Miglio mencerminkan belas kasihan Yesus. Murid-murid Yesus pernah datang kepada-Nya dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” (Mat. 18:1). Yesus memanggil seorang anak kecil, lalu berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (ay.3). Kemudian Dia memberikan peringatan keras kepada siapa saja yang mencoba untuk menyesatkan anak-anak (ay.6). Anak-anak begitu istimewa bagi Yesus hingga Dia mengatakan, “Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga” (ay.10).

Alangkah bahagianya mengetahui bahwa kasih Yesus bagi anak-anak juga berkaitan dengan kasih-Nya bagi kita semua! Karena itulah, Dia mengundang kita, melalui iman seperti anak-anak, untuk menjadi anak-anak-Nya. —Tim Gustafson

Tuhan, ingatkan kami untuk mengasihi anak-anak seperti Engkau mengasihi mereka, bahkan datang kepada-Mu dengan iman yang percaya seperti anak-anak.

Keluarga di bumi bisa mengecewakan kita, tetapi tidak dengan Bapa kita di surga.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 135-136; 1 Korintus 12