Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Apa yang pertama kali muncul di pikiranmu ketika mendengar kata “gosip”?

Kalau kita melihat sejenak ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gosip diartikan sebagai: cerita negatif tentang seseorang. Tidak diwajibkan bahwa cerita itu benar atau tidak, selama bersifat negatif, maka hal itu sudah bisa disebut sebagai gosip. Gosip juga tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Jadi, ketika kita membahas atau menceritakan kehidupan dengan orang lain dengan tujuan yang negatif, kita sudah bergosip.

Gosip bisa dengan mudah kita temukan. Di Instagram aku mendapati ada sebuah akun gosip yang followers-nya menyentuh angka 5,3 juta! Berbagai berita kabar burung seputar kehidupan public figure diunggah hampir tanpa sensor hingga menimbulkan banyak polemik. Di kolom komentar postingan-postingan di akun itu ada banyak tanggapan yang isinya menjelek-jelekkan orang lain, bahkan ada pula yang isinya ujaran kebencian. Namun demikian, akun ini tetap disukai dan diikuti oleh banyak orang. Aku pun merasa prihatin. Fenomena ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa ada beberapa warganet Indonesia yang memang kesukaannya adalah menjadi pengonsumsi gosip. Jika gosip sedemikian mudahnya kita jumpai, maka pertanyaannya adalah: bolehkah kita sebagai orang Kristen bergosip?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat fenomena gosip secara lebih dalam. John Piper menyebutkan, “Gossip can be true, but most always negative.” Cerita-cerita yang digosipkan bisa jadi adalah fakta, tetapi hampir selalu disampaikan dengan tujuan yang negatif. Dan, tujuan negatif inilah yang menjadi aspek terpenting dalam gosip, yaitu: menceritakan kejelekan orang lain dengan tujuan supaya diri sendiri tampak lebih baik.

Alkitab mungkin tidak secara eksplisit menyebutkan kapan dan bagaimana dosa gosip terjadi. Namun, kita dapat menilik bagian Alkitab ketika Tuhan Yesus sedang berkhotbah di bukit. Tuhan Yesus dengan tegas melarang para pengikutnya untuk menghakimi sesamanya.

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:1-3).

Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak ada dosa atau kesalahan yang lebih buruk atau lebih baik. Dosa adalah dosa. Karena itu, seharusnya seseorang tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mereka merasa berhak untuk menceritakan atau bahkan menyebarkan keburukan orang lain (bergosip). Menceritakan keburukan orang lain adalah bentuk kesombongan dan Allah tidak berkenan akan orang yang meninggikan dirinya sendiri (Matius 23:12). Seorang pengkhotbah di kampusku pernah mencoba menjelaskan apa itu dosa secara sederhana. Dalam bahasa Inggris, dosa disebut “S-I-N”, di mana “I” (aku) berada di center (tengah). Semua tentang aku; akulah yang terbaik, akulah yang paling utama. Dengan demikian, tidak heran jika dosa gosip yang adalah menceritakan kejelekan orang lain dapat tumbuh dengan suburnya.

Selain itu, Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain, sebagaimana tertulis dalam Yakobus 3:9-10:

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.”

Allah mengaruniakan kita kemampuan berbicara untuk menunjukkan kasih kita dalam hal saling membangun. Sebagaimana kesatuan anggota tubuh, demikian juga sesama umat percaya seharusnya bersatu. Masing-masing kita memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, hal itu tidak berarti kalau kita dapat menghina kekurangan orang lain, melainkan seharusnya kita bersama-sama berusaha saling menguatkan dan membangun (1 Korintus 12:21-26).

Jika ada seseorang dalam lingkungan kita yang berbuat hal buruk dan perlu dikritik, hendaknya kita menyampaikan hal itu kepadanya dengan “selalu rendah hati, lembah lembut, dan sabar” (Efesus 4:2). Bukan untuk menjatuhkannya, melainkan untuk membangun dan menolongnya memperbaiki karakternya. Perkataan yang keluar dari mulut kita seharusnya adalah perkataan yang penuh kasih, bukan yang bisa menyulut kebencian.

Dengan demikian, jelaslah bahwa gosip bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh orang Kristen. Selain menjadi bukti kesombongan pribadi, gosip bertentangan dengan panggilan umat percaya untuk saling mengasihi dan membangun. Karena itu, mari periksa percakapan kita dengan orang lain hari ini: sudahkah kita menunjukkan kasih kita?

Baca Juga:

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Aku bekerja sebagai seorang sales yang dituntut untuk mencapai target dalam penjualan. Suatu ketika, rekan kerjaku berbuat curang. Segala usaha kerasku pun seolah sia-sia. Aku kecewa, namun melalui proses inilah Tuhan sedang membentukku.

Bagikan Konten Ini
10 replies
  1. Priska Anastasia
    Priska Anastasia says:

    ini sangat memberkati. terima kasih.
    next time mungkin bisa buat artikel renungan tentang “bolehkah orang kristen menyindir?”

  2. Ellynda Rusdiana Dewi
    Ellynda Rusdiana Dewi says:

    Amen
    Artikel yg luar biasa ????????
    Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Iman timbul dr pendengaran akn Firman TUHAN dan pentingnya menjaga hati krn dr situlah terpancar kehidupan. Apa yg Kita dengar ambil yg positiv dan padamkan yg negativ.
    GBu n fam

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *