Menyembunyikan Luka Hati

Sabtu, 14 Juli 2018

Menyembunyikan Luka Hati

Baca: Ibrani 4:12-13

4:12 Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.

4:13 Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.

Firman Allah . . . sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. —Ibrani 4:12

Menyembunyikan Luka Hati

Ketika diundang menjadi pembicara di sebuah gereja lokal, saya membawakan topik tentang membawa kepedihan hati kita ke hadapan Allah untuk menerima pemulihan yang ingin diberikan-Nya. Sebelum menutup dengan doa, gembala gereja itu berdiri di tengah-tengah jemaat dan berkata, “Sebagai gembalamu, saya merasa diberkati dapat bertemu dengan kamu sekalian di sepanjang minggu dan mendengarkan kisah-kisah tentang kepedihan hati yang kamu rasakan. Namun, dalam kebaktian hari Minggu seperti ini, saya sedih melihat kamu justru menyembunyikan kepedihanmu.”

Hati saya ikut merasa pedih saat mengingat luka hati yang masih tersembunyi dan yang sesungguhnya ingin dipulihkan oleh Allah. Penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa firman Allah hidup dan kuat. Banyak orang memahami “firman” tersebut sebagai Alkitab, tetapi arti sebenarnya lebih luas dari itu. Yesus adalah Firman Allah yang hidup. Dia tahu seluruh pikiran dan perbuatan kita, tetapi meskipun demikian, Dia tetap mengasihi kita.

Yesus Kristus menyerahkan nyawa-Nya agar kita dapat datang ke hadapan Allah kapan saja. Meskipun kita tahu bahwa kita tidak perlu memberitahukan segala sesuatu kepada setiap orang yang kita kenal, kita juga tahu bahwa Allah menghendaki gereja-Nya menjadi tempat bagi kita untuk hidup apa adanya sebagai pengikut Kristus—pribadi-pribadi yang memang mengalami kepedihan, tetapi yang telah menerima pengampunan Allah. Sudah sepatutnya gereja menjadi tempat bagi kita semua untuk “saling membantu menanggung beban” (Gal. 6:2 bis).

Adakah yang sedang kamu sembunyikan dari orang lain hari ini? Apakah kamu juga mencoba untuk menyembunyikan diri dari Allah? Allah memperhatikan kita melalui Yesus, dan Dia tetap mengasihi kita. Maukah kamu mengizinkan Allah mencurahkan kasih-Nya ke dalam hatimu? —Elisa Morgan

Siapa yang kamu harapkan bisa menolong untuk menanggung bebanmu?

Allah memperhatikan kita dengan kasih Bapa.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 10-12; Kisah Para Rasul 19:1-20

Renungan Piala Dunia: Pergantian Pemain

Biasanya, digantikan keluar dalam sebuah pertandingan bukanlah hal yang menyenangkan. Kita mungkin cedera, tidak bermain dengan baik, atau pelatih mau mengubah taktik pertandingannya (dan kita tidak ada dalam rencananya; ini bukan pertanda yang baik).

Namun Tuhan menyatakan bahwa, tidak seperti di sepakbola, digantikan keluar dalam kehidupan ini adalah hal terbaik yang dapat terjadi kepada kita. Siapapun dari kita dapat menerima tawaran pergantian-Nya itu—sekalipun kita merasa sudah tidak ada harapan.

Ketika kita merelakan diri untuk digantikan, kita setuju bahwa pertandingan itu terlalu berat untuk kita. Kita tahu kita tidak dapat memenanginya. Kita tahu bahwa kita tidak punya cukup daya untuk menyelesaikannya. Kita tahu, seberapa pun kerasnya kita berusaha dan berjuang, akhirnya kita akan mati dan kehilangan semuanya. Kemenangan mustahil untuk digapai. Kalau begitu, mengapa tidak kita menerima saja pergantian pemain yang Tuhan tawarkan?

Yesus Kristus adalah pemain pengganti yang sempurna. Lebih dari 2.000 tahun yang lalu Dia datang ke bumi tidak hanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan ada, tapi juga bahwa Dia ingin memindahkan kita dari tim yang kalah kepada tim yang pasti meraih kemenangan. Alkitab memberi tahu kita bahwa Yesus datang ke dunia untuk satu tujuan utama: menggantikan kita agar kita dapat memiliki hidup-Nya. Tidak seperti kita, Dia menjalani kehidupan dengan sempurna, berkenan kepada Allah dalam segala hal, dan tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun. Kemudian Dia menerima kematian yang sepantasnya kita terima.

Dia disalibkan, bukan sebagai sebuah kecelakaan atau karena memberontak—melainkan karena rencana Tuhan. Alkitab menuliskan, “[Yesus] telah mati sekali untuk segala dosa kita [hidup kita yang mengabaikan Tuhan, hidup hanya untuk diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang kita tahu salah], Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah” (1 Petrus 3:18).

Bayangkanlah seperti ini: ketika Yesus berlari masuk ke lapangan menggantikan kita, pada laporan pertandingan, nama-Nya tertera pada semua pelanggaran yang kita telah lakukan, semua kartu peringatan yang sudah kita dapatkan, dan semua gol bunuh diri yang telah kita buat. Bukan itu saja, nama kita kemudian tertera pada catatan pertandingan sempurna yang pernah Dia mainkan! Ini adalah pergantian pemain yang menyeluruh dan luar biasa! Itulah yang Yesus lakukan bagi kita ketika Dia mati disalib.

Ketika bangkit tiga hari kemudian, Dia meyakinkan kita bahwa kematian sudah dikalahkan dengan telak. Kematian bukan lagi akhir segalanya. Ketika kita mengizinkan Dia menggantikan kita dan mau percaya kepada-Nya, kita akan mendapat awal yang sama sekali baru. Kehidupan yang baru, dan tim yang baru! Kita tidak lagi bermain untuk tim yang kalah, yang hanya berlari-lari di atas lapangan dengan sia-sia. Sekarang, Tuhan tidak lagi menjadi wasit, melainkan pelatih kita! Kita masuk di dalam tim pemenang yang diasuh-Nya.

“Bagus. Katakan ia adalah Pelé. Suruh ia bangun dan main lagi.” 

John Lambie (setelah tahu salah satu pemainnya tidak lagi mengenali dirinya sendiri setelah kepalanya terbentur)

Untuk Direnungkan

Pernahkah kamu mengalami pertolongan Tuhan tepat di saat kamu merasa sudah tidak kuat lagi menjalani hidup ini? Bagaimana Tuhan menolongmu menghadapi masa-masa sulit tersebut?

Bagikan perenunganmu di kolom komentar di bawah untuk menguatkan sobat-sobat muda lainnya.

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Sudah enam tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah karena merantau. Seringkali aku merasa homesick. Tapi, karena latar belakang keluargaku yang broken, pulang bukanlah pilihan yang mudah setiap kali aku merasa homesick.

Sejak aku memutuskan studi dan bekerja di luar kota, hubungan antara ayah dan ibuku berguncang. Ayah yang belum mengenal Tuhan menduakan ibuku. Dia menikahi perempuan lain. Ketika ibuku memberitahuku hal ini, dia menangis, sebab dia bukan hanya kehilangan Ayah, melainkan juga harta benda hasil jerih lelah yang dia upayakan bersama ayahku sejak awal menikah dulu.

Aku tidak tahu harus merespons apa terhadap permasalahan ini. Yang kutahu adalah aku kecewa pada ayahku. Aku harus kuliah sebaik mungkin supaya bisa segera bekerja dan tidak lagi bergantung secara finansial kepadanya. Singkat cerita, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku lulus tepat empat tahun dan diterima bekerja sebelum aku diwisuda.

Setelah bekerja, jarak antara kota tempat perantauanku dengan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, aku tidak bersemangat untuk pulang. Aku malas jika harus bertemu muka dengan ayahku. Kalaupun aku pulang, motivasi utamaku hanyalah untuk bertemu dengan teman-teman sekolahku dulu.

Sebuah pulang yang tidak terduga

Menjelang libur Imlek yang jatuh di hari Jumat bulan Februari lalu, kantorku memberi kebijakan kepada stafnya untuk pulang kerja lebih cepat di hari Kamis, supaya beberapa staf yang merayakan Imlek bisa bersiap-siap.

“Wah, lumayan, long-weekend nih,” aku bergumam. Aku sudah beride kalau di libur panjang akhir pekan itu aku tidak akan pulang ke rumah. Aku mau beristirahat saja di kos.

Tapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tidak tenang. Hati kecilku seolah berbisik, “Ayo, pulang, sebentar saja. Mumpung masih ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Jujur, aku enggan untuk pulang. Kutengok tiket kereta api, semuanya ludes. Kulihat tiket travel juga hasilnya sama.

“Masih ada bus kok, ayo pulanglah naik itu,” hati kecilku berbisik lagi.

Aku masih enggan, tapi setelah kupikir-pikir lagi, tidak ada salahnya dengan pulang. Kalaupun nanti aku tidak mau bertemu dengan ayahku, aku bisa pergi ke rumah temanku. Yang penting aku pulang dulu untuk bertegur sapa dengan ibuku, pikirku.

Di hari Kamis, selepas tengah hari, aku pun bergegas ke terminal bus. Setelah sembilan jam perjalanan, aku pun tiba di rumah.

Obrolan yang mengubahkanku

Karena hari itu adalah Imlek, ayahku pun pulang ke rumah. Menjelang tengah malam, saat aku sudah berbaring di kasur, aku mendengar langkah kaki ayahku. Dia berjalan menuju dapur dan bersiap memasak. Selama 25 tahun ini, keluargaku bertahan hidup dengan berjualan makanan yang kami olah sendiri. Ayahkulah yang bertindak sebagai koki utamanya.

Malam itu dia hendak menyiapkan bahan masakan untuk esok. Kutengok dari jendela, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk mendekatinya, karena biasanya aku selalu menghindar untuk mengobrol dengan ayahku.

“Loh, belum tidur kamu?” tanya Ayahku.

“Belum. Aku belum ngantuk.”

Gimana kerjaanmu sekarang?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini aneh buatku. Selama enam tahun sejak aku merantau, Ayah tak pernah sekalipun datang menengokku atau sekadar bertanya bagaimana kabarku lewat telepon. Mengapa hari ini dia bertanya begitu padaku, aku jadi bertanya-tanya.

“Ya gitu aja. Senang sih. Tapi sedih karena kalau pulang kerja sepi, gak ada teman.”

“Tahun ini tahun kamu, shiomu kan anjing. Perhitungannya lagi bagus. Kalau kamu mau bikin bisnis sendiri, kamu bisa hoki. Kalau kamu kerja ikut orang, kamu bisa dapet tanggung jawab gede.”

Aku mengangguk meski aku tidak percaya pada hitung-hitungan shio semacam itu.

Bermula dari sekadar basa-basi, tanpa terasa, obrolan itu berlanjut. Aku dan Ayah berbicara tentang banyak hal. Selama enam tahun tak menjalin komunikasi dengannya, Ayah bertutur tentang perjalanan hidupnya, tentang usaha makanannya yang kini merosot, dan bagaimana dia kini terlilit utang karena dia belum bisa terlepas dari dosa judinya.

Setelah dia selesai bertutur, gilirankulah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku di perantauan selama enam tahun. Malam itu, kami berdua untuk pertama kalinya saling berbagi kisah hidup. Saat jam sudah menyentuh angka dua dini hari, aku pamit kepada ayahku untuk tidur duluan.

Di atas kasur, aku tidak langsung tidur. Aku melipat tanganku. Aku tidak percaya bahwa aku bisa duduk berdua dan mengobrol dengan ayahku. Bahkan, dia dululah yang memulai pembicaraan denganku. Melalui obrolan malam itu, aku merasa Tuhan sepertinya menegurku.

Jujur, sejak aku mendengar kabar tentang ayahku yang menikah lagi, aku tidak lagi mendoakan keluargaku pada Tuhan. Kupikir sudah jalan takdirnya keluargaku broken, dan biarlah itu broken sampai akhirnya. Tapi, hari itu ada lilin harapan kembali yang menyala dalamku. Ayahku belum mengenal Tuhan Yesus, dan mungkin inilah yang membuatnya gegabah dalam mengambil langkah kehidupan.

Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan Ayah. Tapi, aku sadar bahwa bagaimanapun juga, dia adalah ayahku. Terlepas dari status pernikahannya sekarang, yang kutahu tidak pernah ada istilah mantan ayah ataupun mantan anak. Ikatan keluarga itu bersifat permanen. Dan, jika bukan aku yang mulai membuka hati untuk mendekati Ayah, dengan apakah Ayah akan mengenal Tuhan dan diselamatkan? Aku mengimani firman Tuhan yang berkata: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kisah Para Rasul 16:31).

Sekarang aku selalu mendoakan ayahku dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan ibuku. Aku percaya bahwa meski keluargaku broken, Tuhan bisa menggunakannya untuk kebaikan, seperti ada tertulis bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Dan, imanku perlu diwujudkan dalam perbuatan-perbuatanku sebagaimana firman-Nya berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). .

Jika dulu aku pernah mengeluh bahwa Ayah bukanlah ayah yang baik karena tidak pernah mau menjalin komunikasi denganku, kini aku belajar untuk inisiatif duluan berkomunikasi dengannya. Aku mengiriminya SMS, menanyakan kabarnya. Walau dia kadang lama membalasnya dan tidak mengangkat teleponku, kucoba terus lakukan itu. Hingga akhirnya dia pun mau meluangkan sedikit waktunya untuk menjalin komunikasi denganku. Dan, jika dulu aku selalu enggan untuk pulang, kini aku belajar meluangkan waktuku untuk pulang barang sekali dalam beberapa bulan.

Kalau aku mengingat kembali masa di mana aku enggan pulang dulu, aku tak menyangka bahwa kepulanganku di hari Imlek itu dipakai Tuhan untuk mengubahkanku terlebih dulu. Lewat obrolan hangat dengan Ayah, aku jadi mengerti bahwa sesungguhnya peluang komunikasi itu masih terbuka dan harus dirajut. Aku percaya bahwa sebelum keluargaku diubahkan, Tuhan mau akulah yang berubah terlebih dulu. Dia ingin aku tidak lagi memandang ayahku sebagai sesosok yang membuatku kecewa, tapi sebagai seorang di mana aku harus menyatakan kasih Kristus kepadanya.

Kawan, aku tahu kisahku ini belum selesai. Tapi aku percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya dalam keluargaku.

Apabila ada di antara kamu yang mengalami keretakan keluarga dan pergi menjauh, aku berdoa kiranya Tuhan memberimu kedamaian hati supaya kamu pun dimampukan untuk pulang barang sejenak dan menjangkau keluargamu dengan kasih.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Penyelamatan 13 orang yang terperangkap di dalam gua di Thailand adalah misi yang dramatis dan berbahaya. Ketika misi ini berakhir sukses, ada satu hal yang membuatku terperangah dan mengingatkanku akan sebuah pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia.

Dia Mengenal Kita

Jumat, 13 Juli 2018

Dia Mengenal Kita

Baca: Mazmur 139:1-14

139:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;

139:2 Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.

139:3 Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.

139:4 Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.

139:5 Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.

139:6 Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

139:7 Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

139:8 Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.

139:9 Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

139:10 juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

139:11 Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”

139:12 maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

139:13 Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.

139:14 Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. —Mazmur 139:1-2

Dia Mengenal Kita

Apakah Allah tahu keadaan saya saat berkendara di malam hari dan menempuh perjalanan sejauh 160 km untuk pulang ke desa saya? Saya sempat merasa ragu. Saat itu suhu tubuh saya sangat tinggi dan kepala saya sakit. Saya pun berdoa, “Tuhan, aku tahu Engkau menyertaiku, tetapi sekarang aku sedang kesakitan!”

Karena lelah dan lemas, saya menghentikan mobil di pinggir jalan dekat sebuah dusun. Sepuluh menit kemudian, saya mendengar suara, “Halo, apakah kamu perlu bantuan?” Itu suara seorang pria yang datang bersama teman-temannya dari dusun itu. Kehadiran mereka membuat saya merasa lega. Saat mereka menyebutkan nama desa mereka, Naa mi n’yala (artinya “Sang Raja tahu keadaanku!”), saya pun takjub. Saya sudah sering melewati dusun itu tanpa pernah mampir. Kali itu, Tuhan memakai nama dusun tersebut untuk mengingatkan saya bahwa Dialah Raja yang senantiasa menyertai saya ketika saya menyetir seorang diri dalam kondisi sakit. Setelah hati saya dikuatkan oleh pertolongan mereka, saya pun melanjutkan perjalanan ke klinik terdekat.

Dalam perjalanan hidup kita sehari-hari, di segala tempat dan situasi, apa pun kondisi yang kita alami, Allah mengenal seluruh diri kita (Mzm. 139:1-4,7-12). Dia tidak pernah mengabaikan atau melupakan kita. Dia tidak pernah terlalu sibuk hingga melalaikan kita. Bahkan saat kita mengalami masalah atau menghadapi kesulitan—“kegelapan” dan “malam” (ay.1-12)—kita tidak tersembunyi dari hadirat-Nya. Kebenaran itu memberi kita pengharapan dan keyakinan yang pasti sehingga kita dapat memuji Tuhan yang telah menciptakan kita dengan dahsyat dan yang memimpin kita di sepanjang hidup ini (ay.14). —Lawrence Darmani

Tuhan, terima kasih karena Engkau selalu tahu di mana aku berada dan bagaimana keadaanku. Engkau mengenalku sepenuhnya. Aku bersyukur karena aku dapat mengandalkan pemeliharaan-Mu.

Di mana pun kita berada, Allah tahu keadaan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 7-9; Kisah Para Rasul 18

Artikel Terkait:

Tidak Akan Tenggelam Lagi

Renungan Piala Dunia: Wasit Seperti Apakah Tuhan itu?

Katakanlah kita beranggapan Tuhan itu ada dan Dia berperan sebagai wasit dalam pertandingan hidup ini, maka wasit seperti apakah Dia? Melihat cara kerja dunia ini, kita mungkin menganggap bahwa Dia adalah:

Wasit yang terus mengincar kita: Ini tipe wasit yang tidak asing bagi kita. Ia mengamati gerak-gerik kita di atas lapangan. Ia tidak menyukai kita sama sekali, menganggap kita memang pantas diawasi, dan menunggu-nunggu kapan kita membuat pelanggaran. Wasit ini meniup peluitnya setiap dua menit sekali untuk mengeluarkan kartu dan menunjukkan kuasanya di atas lapangan. Ia mencari-cari kesempatan untuk membuat hidup kita sengsara!

Wasit yang tidak tegas dan kewalahan: Mungkin ini tipe wasit yang sering kita jumpai! Pelanggaran keras di kotak penalti tidak cukup untuk membuatnya menunjuk titik putih. Ia selalu melihat ke arah yang salah atau melewatkan kejadian-kejadian penting karena posisinya terlalu jauh. Wasit tipe ini sama sekali tidak menguasai jalannya pertandingan.

Mungkin kamu berpikir bahwa Tuhan sama seperti salah satu tipe wasit di atas. Namun, Alkitab memberi gambaran tentang Tuhan yang benar—Dialah wasit yang sempurna. Akan tetapi, dunia ini begitu kacau dan kita pun mengalami kekalahan demi kekalahan. Jadi, benarkah Dia wasit yang sempurna?

Tuhan mengizinkan pertandingan di atas dunia ini berjalan terus. Bukan karena Dia tidak peduli, melainkan karena Dia memberikan kita kebebasan untuk memilih tindakan kita sendiri, membuat keputusan sendiri, dan mengalami konsekuensinya. Alkitab berkata bahwa Dia sangat dekat dengan kita dan siap menolong ketika kita berseru kepada-Nya. Namun, Dia tidak memaksa kita untuk berbicara dengan-Nya. Tuhan ingin kita semua memilih untuk hidup bersama-Nya, mengikuti rencana-Nya, dan mengalami kasih serta perlindungan-Nya—tetapi kita sulit melakukannya, bahkan mungkin enggan.

Sebagai wasit atas dunia ini, Tuhan akan segera meniup peluit panjangnya. Dunia ini akan tiba pada akhirnya dan medali pemenang akan segera dibagikan. Kalau hidup kita tidak beres, mengabaikan Tuhan, dan memilih selalu berada di tim yang kalah, dapatkah kita berharap menerima piala kemenangan setelah kita meninggal dunia? Tidak. Alkitab memperingatkan kita bahwa akan ada penghakiman atas cara hidup yang kita jalani. Karena Tuhan adalah wasit yang sempurna, Dia akan memastikan bahwa setiap orang mendapatkan apa yang selayaknya mereka dapatkan. Itu bukan kabar yang menyenangkan bagi beberapa orang.

“Rasanya seperti wasit punya kartu kuning yang baru dan ia ingin tahu apakah kartu itu berguna atau tidak.”  Richard Rufus

Untuk Direnungkan

Pernahkah kamu dihadapkan pada konsekuensi dari kesalahan yang kamu lakukan? Bagaimana Tuhan menolongmu menghadapi masa-masa sulit tersebut?

Bagikan perenunganmu di kolom komentar di bawah untuk menguatkan sobat-sobat muda lainnya.

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Was Captivated By The Thai Cave Rescue
Foto diambil dari Facebook Video

Seperti banyak orang lain di seluruh dunia, kemarin malam aku bersorak ketika membaca berita bahwa 12 anak lelaki Thailand dan pelatih sepak bola mereka yang berusia 25 tahun akhirnya bisa diselamatkan dari dalam gua di utara Thailand. Mereka sudah terperangkap di dalam sana selama dua minggu!

Sejak membaca berita tentang bagaimana mereka menghilang pada 23 Juni lalu, aku terpaku pada layar ponselku. Aku mencari tahu berita-berita lanjutan tentang penyelamatan mereka.

Hatiku tertuju kepada keluarga dan teman-teman mereka saat aku membaca kalau mereka sudah menghilang selama lebih dari seminggu. Padahal seharusnya perjalanan mereka ke Gua Tham Luang itu hanya berlangsung setengah hari. Dan, hatiku tergerak saat membaca kalau 1.000 orang (dari seluruh dunia, termasuk Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, dan Tiongkok) turut memberikan pertolongan dalam pencarian besar-besaran untuk menemukan mereka.

Ketika mereka ditemukan sembilan hari kemudian (3 Juli) di lokasi yang berjarak 4 kilometer dari mulut gua oleh sepasang penyelam Inggris, aku pun gembira. Tapi, sukacita itu dengan cepat berubah jadi kepedihan saat muncul berita tentang Saman Gunan, mantan Angkatan Laut Thailand yang berusia 38 tahun kehilangan kesadaran dan meninggal dunia Jumat lalu setelah menempatkan tangki-tangki cadangan di sepanjang rute evakuasi.

Misi penyelamatan yang dramatis dan berbahaya ini, yang dimulai pada Minggu pagi, membuatku duduk di kursi sambil merasa was-was, dan setiap notifikasi berita yang aku terima tentang anak lelaki lain yang bisa diselamatkan dari gua yang penuh air itu membuatku merasa lega dan bersukacita.

Aku tidak mengenal anak-anak lelaki itu, pun juga para penyelamat secara pribadi, tapi perasaanku tersentuh sejak dari awal berita ini muncul. Aku pernah mengunjungi sebuah gua di Korea Selatan beberapa bulan lalu. Kunjungan ke gua itu menolongku untuk berempati dan membayangkan seperti apa rasanya berada di dalam lingkungan yang dingin, basah, gelap, berbatu, dan suram seperti yang anak-anak Thailand itu rasakan.

Tapi, seperti yang lain, apa yang kemudian membuatku terperangah adalah cerita-cerita tentang pengorbanan dan tidak mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh banyak orang yang menolong proses evakuasi—mereka menolong atas kemauan dan biaya sendiri. Dari para tentara, insinyur, paramedis, penyelam, koki, dan bahkan relawan-relawan yang mencuci seragam para tim penyelamat itu, jelaslah bahwa penderitaan anak-anak itu tidak hanya menyita perhatian dunia, tapi menggugah komunitas internasional untuk bertindak.

Bahkan di dalam gua, kisah tidak mementingkan diri sendiri itu berlanjut. Asisten pelatih dilaporkan memberikan beberapa bagian dari pasokan makanannya yang sangat sedikit kepada anak-anak itu selama 10 hari. Ketika ditemukan oleh penyelam Inggris, anak-anak itu berada dalam kondisi yang sangat lemah. Juga terungkap bahwa seorang dokter dan tiga Angkatan Laut Thailand telah tinggal bersama anak-anak itu sejak kali pertama mereka ditemukan lebih dari seminggu lalu.

Tapi, mungkin pengorbanan terbesar yang memberi dampak terkuat adalah berita bahwa mantan penyelam Angkatan Laut Thailand, Saman Gunan yang meninggal dunia dalam usahanya menyelamatkan 12 anak dan pelatihnya.

Meskipun tahu bahwa operasi penyelamatan ini sangat berbahaya dan berisiko, itu tidak menghalangi Gunan untuk mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan anak-anak itu. Beberapa hari sebelum kematiannya, dia bahkan merekam video mengharukan yang menunjukkan kalau dia sedang berdiri di dekat anak tangga pesawat dan bersumpah untuk “membawa anak-anak pulang”. Pola pikirnya mungkin mencerminkan apa yang juga dikatakan oleh seorang penyelam Belgia dalam cuplikan berita lain. “Jika kamu adalah seorang angkatan laut, ya, kamu akan mengorbankan dirimu.” Sebuah laporan dari BBC kemudian menyimpulkan kematian Gunan dengan pedih, “Dia mati supaya mereka mungkin hidup.”

Apa yang dikatakan itu terbukti jadi nyata. Tiga belas orang yang terperangkap itu akhirnya berhasil diselamatkan dalam upaya evakuasi yang melelahkan selama tiga hari dan melibatkan 13 penyelam internasional dan 5 Angkatan Laut Thailand. Kematian Gunan tidak hanya menyingkap betapa berbahayanya evakuasi ini, tapi pada akhirnya berkontribusi besar untuk memastikan tindakan keselamatan apa yang perlu diambil supaya tidak ada lagi nyawa yang hilang.

Pengorbanan seperti inilah yang membuat air mata kita menetes, karena melalui inilah kita dapat melihat dua hal: nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terbaik—ditunjukkan dalam bentuk cinta dan pengorbanan. Seperti yang Alkitab katakan dalam Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak kesamaan antara penyelamatan anak-anak di gua Thailand ini dengan rencana keselamatan Tuhan untuk umat manusia. Seperti 12 anak lelaki dan pelatihnya yang terperangkap dalam gua, tidak dapat menyelamatkan diri sendiri dari keadaan yang sulit, kita juga terjerembap dalam dosa-dosa kita, tidak berdaya sama sekali dan tidak mampu untuk menyelamatkan diri kita sendiri. Dalam kedua kasus ini, satu-satunya hasil yang menanti kita adalah kematian.

Bantuan harus datang dari luar. Bantuan itu datang melalui penyelam-penyelam ahli yang sudah siap mengambil risiko nyawa dan menyelam ke dalam gua yang dipenuhi air di mana jarak pandang hampir mendekati nol demi menyelamatkan 13 orang. Sama seperti itu, Yesus Kristus harus masuk ke dalam dunia kita yang telah jatuh, tinggal di antara kita, kemudian mati untuk kita di kayu salib. Meski Dia tahu bahwa Dia harus mengorbankan segalanya, itu tidak menghentikannya, karena itulah satu-satunya cara supaya kita dapat hidup.

Jadi, saat kita bertepuk tangan dan mengenali para pahlawan yang telah mengorbankan waktu, usaha, sumber daya, dan bahkan hidup mereka, kiranya ini juga mengingatkan kita sekali lagi tentang pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia: Yesus memberikan hidup-Nya bagi kita bukan hanya ketika masih menjadi orang asing, tapi ketika kita masih jadi seteru-Nya (Roma 5:8-10).

Marilah kita tidak berhenti hanya di ucapan syukur dan perasaan kagum. Seperti yang dikatakan oleh penulis CNN, Jay Parini, “Dan semua orang berutang budi pada Saman Gunan, penyelam Thailand yang kehilangan nyawanya beberapa hari lalu saat keluar dari kompleks Gua Tham Luang.” Sama seperti anak-anak lelaki yang akan selamanya berutang budi kepada Gunan dan yang hidupnya akan berubah selamanya setelah kejadian ini, demikianlah hidup kita pun harus berubah karena apa yang Kristus telah lakukan untuk kita.

“Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Korintus 5:15).

Baca Juga:

Papa Mama, Terima Kasih untuk Teladan Kalian

Kalau aku melihat kembali kisahku ke belakang, kusadari hidup itu tidak mudah. Tapi, aku bersyukur karena papa dan mamaku memberikan teladan yang baik, yang karenanya aku dapat percaya sepenuh hati kepada Tuhan.

Sauh yang Teguh di saat Kita Takut

Kamis, 12 Juli 2018

Sauh yang Teguh di saat Kita Takut

Baca: Yesaya 51:12-16

51:12 Akulah, Akulah yang menghibur kamu. Siapakah engkau maka engkau takut terhadap manusia yang memang akan mati, terhadap anak manusia yang dibuang seperti rumput,

51:13 sehingga engkau melupakan TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentangkan langit dan meletakkan dasar bumi, sehingga engkau terus gentar sepanjang hari terhadap kepanasan amarah orang penganiaya, apabila ia bersiap-siap memusnahkan? Di manakah gerangan kepanasan amarah orang penganiaya itu?

51:14 Dia yang dipasung terbelenggu akan segera dibebaskan; ia tidak akan turun mati ke liang kubur, dan tidak akan kekurangan makanan.

51:15 Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengharubirukan laut, sehingga gelombang-gelombangnya ribut, —TUHAN semesta alam nama-Nya.

51:16 Aku menaruh firman-Ku ke dalam mulutmu dan menyembunyikan engkau dalam naungan tangan-Ku, supaya Aku kembali membentangkan langit dan meletakkan dasar bumi, dan berkata kepada Sion: Engkau adalah umat-Ku!

Akulah, Akulah yang menghibur kamu. —Yesaya 51:12

Sauh yang Teguh di saat Kita Takut

Apakah kamu sering khawatir? Saya juga. Saya bergumul dengan kecemasan hampir setiap hari. Saya khawatir tentang hal-hal besar dan hal-hal kecil. Terkadang, sepertinya saya khawatir tentang apa saja. Ketika saya masih remaja, saya pernah menelepon polisi saat orangtua saya pulang empat jam lebih lama dari waktu yang dijanjikan.

Kitab Suci berulang kali memerintahkan kita untuk tidak takut. Karena Allah baik dan berkuasa, dan karena Dia telah memberikan Yesus untuk mati bagi kita dan Roh Kudus-Nya untuk menuntun kita, ketakutan tidak sepatutnya menguasai hidup kita. Kita mungkin menghadapi hal-hal yang sulit, tetapi Allah telah berjanji untuk menyertai kita dalam menghadapi semua itu.

Satu bagian Alkitab yang telah terbukti menolong saya dalam momen-momen yang menakutkan adalah Yesaya 51:12-16. Di bagian itu, kepada umat yang mengalami penderitaan yang luar biasa, Allah mengingatkan bahwa Dia tetap menyertai mereka, dan kehadiran-Nya yang memberikan penghiburan merupakan realitas yang terpenting. Seburuk apa pun keadaan mereka, Dia berkata melalui Nabi Yesaya: “Akulah, Akulah yang menghibur kamu” (ay.12).

Saya sangat menyukai janji tersebut. Lima kata itu telah menjadi sauh yang meneguhkan jiwa saya yang bimbang. Saya mengandalkan janji itu berulang kali ketika hidup terasa begitu berat, saat kegentaran terasa sangat menyiksa (ay.13). Melalui bagian Alkitab ini, Allah mengingatkan saya untuk mengalihkan pandangan saya dari ketakutan kepada satu Pribadi yang “membentangkan langit” (ay.13) dengan sikap beriman dan ketergantungan total. Dia sudah berjanji akan menghibur kita. —Adam Holz

Bapa, terkadang pergumulan kami terlihat begitu besar. Namun, Engkau lebih besar. Tolonglah kami untuk mengandalkan janji penghiburan-Mu di momen-momen yang menakutkan dan mengalami kasih pemeliharaan-Mu saat kami mempercayai-Mu.

Kehadiran Allah yang memberikan penghiburan lebih berkuasa daripada segala ketakutan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 4-6; Kisah Para Rasul 17:16-34

Renungan Piala Dunia: Tim yang Kalah

Sepakbola menjadi sesuatu yang menyakitkan kalau kamu berada pada tim yang kalah. Kehidupan juga terasa menyakitkan ketika kita kalah. Kita tentu tahu bagaimana rasanya mengalami patah hati, kehilangan pekerjaan, sakit parah, kehabisan uang, dan lain-lain. Rasanya sering sekali kita terpuruk, seperti berada pada tim yang terus-menerus kalah.

Dalam sepakbola, alangkah lebih mengenaskan jika tim kamu kalah karena kesalahanmu. Demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Pasti rasanya sangat menyakitkan ketika pilihan-pilihan kita membuat kita ditolak orang atau membawa kita ke titik nadir. Kita juga tidak rela mengakui bahwa keadaan yang buruk itu adalah akibat kesalahan kita. Seperti para pemain di dalam satu tim yang saling bertengkar di atas lapangan, kita justru mulai menyalahkan satu sama lain atas keadaan yang ada.

Atau kadang-kadang kita mencoba memperbaiki masalah kita sendiri. Kita tidak lagi percaya kepada orang lain. Rasanya seperti berlari ke kotak penalti dan menendang sembarangan ke arah penjaga gawang, daripada mengoper ke rekan kita yang tinggal menyontek bolanya ke gawang yang kosong. Berapa sering kamu merasa frustrasi melihat pemain yang berbuat demikian? Namun, setiap dari kita mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan orang lain dan coba menangani masalah kita seorang diri—sering kali kita justru makin terjerumus dalam kekacauan. Kadangkala kita merasa tidak ada gunanya bertanding.

Kadangkala kita merasa tidak ada gunanya bertanding. Kita merasa telah mengecewakan seluruh tim, menyakiti orang-orang terdekat kita, kehilangan dukungan suporter, dan tidak ada cara untuk memperbaikinya. Peduli amat, pikir kita. Seberapa pun baik atau buruknya perjalanan hidup kita, toh nanti kita akan mati juga dan kehilangan semua yang kita hasilkan, miliki, dan kasihi. Rasanya seberapa pun kerasnya usaha kita, kita tetap akan kalah dan tidak ada yang dapat kita perbuat untuk memperbaikinya.

Lalu, jika Tuhan memang menjadi wasit dalam pertandingan hidup ini, sepertinya Dia tidak melakukan tugasnya dengan baik. Mengapa rasanya Dia hanya menonton pertandingan ini tanpa mempedulikan kita…?

“Saya tidak masalah kalau kami kalah di setiap pertandingan, asalkan kami tetap jadi juara.” Mark Viduka

Untuk Direnungkan

Pernahkah kamu merasa bersalah karena telah melakukan kesalahan yang mengecewakan atau menyakiti orang-orang terdekatmu? Bagaimana Tuhan menolongmu menghadapi masa-masa sulit tersebut?

Bagikan perenunganmu di kolom komentar di bawah untuk menguatkan sobat-sobat muda lainnya.

Papa Mama, Terima Kasih untuk Teladan Kalian

Oleh Jonathan Marshell Kevin, Jakarta

“Mam, aku lulus mam!”

Aku menelepon Mama setelah aku dinyatakan lulus sidang akhir. Saat itu Mama sedang berdoa. Setelah dia mengangkat teleponku, aku mendengar suara Mama dengan nada terharu. Dia menangis.

Saat aku sampai di rumah, Mama terlihat bahagia. Pandangannya seakan berkata: “Kita sudah melewati satu tahap perjuangan iman bersama, Nak.” Mama memelukku dan kami pun berdoa.

Kemudian Mama bercerita tentang apa yang dia rasakan saat kali pertama mengantarkanku ke universitas yang menjadi tempat studiku. Saat Mama menungguku di student-lounge, dia sempat berpikir: “Gimana bayarnya kalau kuliah di sini?” Kampus yang kupilih saat itu adalah kampus swasta yang terkenal mahal.

Sejak kelas 2 SMA dulu, aku tertarik untuk kuliah di bidang teknik dan sempat juga ingin masuk kedokteran. Saat penjurusan, aku pun memilih IPA. Tapi, karena aku takut melihat jenazah, aku mengurungkan niatku masuk kuliah kedokteran. Pilihan hatiku jatuh pada Mechatronics Engineering, fakultas yang saat itu hanya ada di kampus swasta yang kupilih sekarang. Fakultas ini sangat menarik untukku karena di sana aku akan belajar tentang automation system, robotic, dan lain-lain. Teknologi-teknologi itulah yang banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan sekarang. Saat itu aku tidak memikirkan masalah biaya.

Hasil seleksi masuk pertama di universitas swasta itu keluar, dan ternyata aku gagal. Aku sedih dan kecewa. Sampai suatu ketika, seorang temanku yang kuliah di Korea memberitahuku kalau di sana juga ada Mechatronics Engineering. Aku berdiskusi dengan Mama mengenai kesempatan ini. Meski ragu karena jarak yang jauh, Mama setuju. Aku coba mendaftarkan diri.

Setelah melalui tes tertulis dan wawancara, aku diterima. Tentu aku senang karena bisa diterima dan ditambah lagi dapat beasiswa 40%. Beasiswa itu akan ditingkatkan hingga 100% jika aku berprestasi di sana. Tapi, kesenangan itu tidak lama karena tuition fee yang harus dibayarkan sebelum berangkat melampaui kemampuan keluargaku. Jujur aku kecewa. Namun, aku tahu bahwa Papa dan Mama sudah mencoba memberikan yang terbaik buatku. Mereka menguatkanku bahwa aku harus terus berjuang. “Kalau memang itu sejalan dengan rencana Tuhan, pasti Tuhan buka jalan,” kata mereka.

Akhirnya, aku pun mencoba kembali mendaftar ke kampus swasta yang awalnya aku gagal. Di tes kedua ini aku diterima. Tapi, keraguan yang Mama pikirkan waktu mengantarku ujian itu benar terjadi. Keluargaku cukup sulit untuk membayar uang semesteran. Aku mendapat surat peringatan beberapa kali, didenda, dan diancam tidak ikut ujian akhir.

Salah satu kejadian yang tak terlupakan adalah saat aku duduk di semester 3. Aku bilang ke Mama, “Mam, aku pindah aja ya? Kuliah di sini terlalu mahal.”

Kami pun menangis waktu itu. Tapi, Mama akhirnya menanggapiku dengan bijak. Dia memberikan argumen dan pertimbangan tentang pilihan yang ada, apakah itu aku tetap bertahan atau pindah ke universitas lain yang lebih terjangkau biayanya. Setelah mempertimbangkannya dalam suasana yang lebih tenang, aku memutuskan tetap lanjut kuliah di sini. Yang bisa kami lakukan hanyalah berdoa seraya tetap berusaha.

Untuk mencukupi kebutuhan kuliahku, orang tuaku berjuang ekstra. Papa menjajal usaha-usaha lain seperti berjualan bahan kimia untuk semen, mesin fotokopi dan lainnya. Aku pun belajar untuk menjalani kuliahku dengan sungguh-sungguh. Aku bukanlah anak yang pintar. Aku membutuhkan waktu lebih lama untuk menguasai sebuah mata kuliah. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan mengaruniakanku kerajinan sehingga akhirnya aku bisa mendapatkan beasiswa hingga semester 7 karena indeks prestasiku masuk dalam kategori 3 terbesar di kelas.

Sekarang, puji Tuhan karena studiku telah selesai. Aku lulus dari sidang akhir dan mendapatkan nilai A. Semuanya karena anugerah Tuhan.

Kalau aku melihat kembali kisahku ke belakang, ada satu hal yang ingin aku sharing-kan kepadamu. Hidup itu tidak pernah mudah. Banyak kejadian yang membuatku ragu, apakah aku bisa menyelesaikan kuliahku di sini? Orang bilang kalau hidup itu kadang di atas, kadang di bawah. Tapi, dari apa yang kulewati, aku merasa mengapa aku selalu di bawah? Kapan aku naik ke atas?

Tapi, papa dan mamaku selalu mengingatkanku bahwa jangan pernah lupa kalau Tuhan selalu ada untuk mengawasi kita. Mereka mengajariku untuk sepenuhnya bergantung pada Tuhan. Ketika studiku mengalami kendala, mereka berdoa untukku. Mereka menguatkanku untuk tidak minder dan larut dalam kesedihan.

Aku bersyukur karena Tuhan menempatkanku dalam keluarga ini. Keluarga yang mungkin tidak seberuntung keluarga yang lain, tapi aku tahu bahwa papa dan mamaku adalah orang yang sangat taat dan selalu mengandalkan Tuhan. Aku belajar banyak dari cara mereka melihat masalah, menyikapi masalah, beriman, dan menyerahkan hidup untuk melayani Tuhan.

Memang Tuhan tidak menjanjikan hidup yang mudah untuk dijalani, tapi Dia menjanjikan penyertaan-Nya yang selalu ada, saat melalui situasi tersulit sekalipun. Tuhan telah membuktikan penyertaan-Nya kepadaku dan keluargaku sampai aku bisa menyelesaikan kuliahku. Aku percaya bahwa Tuhan yang sama juga akan menyertai hidupmu.

Baca Juga:

Jawaban Mengejutkan dari Temanku Ketika Aku Curhat tentang Kekecewaanku pada Tuhan

Jauh dari Tuhan membuat hidupku semakin hancur dan membuatku semakin mudah marah dan stres. Sampai suatu kali, aku curhat via LINE dengan seorang temanku. Aku berkata padanya bahwa aku kecewa pada Tuhan. Namun, satu jawaban dari temanku itu mengubah pemikiranku.