Saat Aku Tak Merasa Puas dengan Kehidupanku

Oleh Karen Pimpo, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I’ve Arrived. Now What?

Sudah setahun lamanya sejak aku lulus kuliah, dan ada banyak hal yang terjadi! Aku diberkati dengan pekerjaan yang menyenangkan sekaligus menantang, yang berkaitan dengan bidang studiku. Aku tinggal di rumah yang bagus dengan dua temanku. Hidupku dilimpahi kesehatan, juga banyak hal yang baik dan menyenangkan—kebanyakan orang akan mengatakan kalau hidupku itu “sempurna”.

Tapi, sejujurnya aku malu untuk mengakui kalau aku masih bergumul dengan ketidakpuasan. Terlepas dari segala hal baik yang mengisi hidupku, ada masa-masa ketika semuanya itu terasa tidak cukup dan pikiran-pikiran ini memenuhi benakku: Apakah aku terlalu serakah hingga semua berkat ini tidak membuatku puas? Apa yang hilang dari hidupku? Dan pertanyaan yang paling buruk: Sedang menuju ke manakah aku?

Tanpa adanya tujuan yang jelas untuk diperjuangkan, hidupku sekarang ini menjadi stagnan dan tidak stabil. Ada begitu banyak jalan yang mungkin kutempuh di hidupku, tapi sekarang aku telah menyelesaikan kuliahku dan memilih pekerjaan dan kota untukku tinggal, aku berpikir apakah aku sudah membuat keputusan yang tepat. Perjalanan hidupku seolah membawaku kepada sesuatu yang membosankan—kehidupan yang normal sebagai warga kelas menengah di Amerika. Dengan cemas, aku bertanya-tanya apakah aku seharusnya melakukan sesuatu yang lebih luar biasa atau penting atau… berarti?

Penulis kitab Pengkhotbah pernah mengalami situasi yang serupa. Meski dia memiliki kebijaksanaan, status, kekayaan, dan pengaruh, terkadang dia masih saja merasa “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2).

Jadi, apa yang harus kita lakukan ketika kita telah “mencapai segalanya” tapi masih merasa kosong dengan hidup kita?

1. Kembali kepada Dia yang telah mengasihi kita

Aku melihat sebuah iklan yang mengatakan, “Pengalaman adalah kekayaan hidup yang sejati.” Aku suka pengalaman. Aku menikmati perjalanan, konser, dan aktivitas baru. Tapi, beberapa orang yang sangat bijak dan saleh yang kukenal hanya memiliki sedikit pengalaman—namun hidup mereka tetap kaya. Mereka telah belajar bahwa kekayaan sejati dalam hidup ini hanya ditemukan di satu Pribadi yang bernama Yesus.

“Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau,” ungkap sang pemazmur. “Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, jiwaku melekat kepada-Mu” (Mazmur 63:4-7).

Ketika aku merasa khawatir, penghiburanku adalah dengan membaca Alkitab, terutama kitab Mazmur, di mana penulisnya berseru kepada Tuhan dengan rasa sukacita dan sakit yang dia alami. Melalui Alkitab, Tuhan menceritakan kepada kita sebuah kisah tentang kejatuhan manusia dan penebusan yang begitu agung dan indah yang akan membuat segala pengalaman duniawi kita tak sebanding dengannya.

Pengalaman-pengalaman kita mungkin baik, tapi pada akhirnya rasa tidak puas yang kita alami dengan segala pengalaman ini membawa kita kepada yang terbaik—Tuhan yang menciptakan segala pengalaman itu. Adalah Tuhan yang memberikan makna pada setiap hal yang kita lakukan. Dan ketika kita mendasarkan hidup kita pada kisah-Nya, kita tidak perlu lagi mengisi waktu-waktu kita dengar mengejar pengalaman.

2. Berikan kemudi hidupmu kepada Tuhan

Salah satu kekhawatiranku selama masa-masa yang stagnan ini adalah pemikiran bahwa aku mungkin lebih baik pindah mencari sesuatu yang lebih baik daripada diam di tempatku saat ini. Kebanyakan teman-teman kuliahku dulu mendapatkan pekerjaan di kota lain dan pindah merantau. Beberapa ada juga yang pergi ke luar negeri menjadi misionaris, atau mulai membangun keluarga. Mungkin aku juga harus mencari pekerjaan, rumah, atau mimpi baru?

Akulah yang mengendalikan hidupku, yang artinya aku bisa saja mengarahkannya pada arah yang salah. Bagaimana jika aku kehilangan sesuatu dengan hanya berdiam di sini?

Tapi pikiran-pikiran penuh kekhawatiran ini dapat dengan mudah teratasi ketika aku mengingat bahwa sesungguhnya bukan aku yang memegang kendali. Kita semua berkuasa untuk membuat keputusan, tapi tantangan kita sebagai orang Kristen adalah melepaskan kuasa itu. Biarkanlah Tuhan yang menentukan ke mana kamu pergi—Tuhanlah yang seharusnya ada di kursi kemudi!

Aku perlu menyerahkan hidupku kepada Tuhan dengan mengaku kalau aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Aku perlu terus-menerus memilih untuk berdiam dalam janji Tuhan daripada ketakutanku. Menyerahkan hidupku pada Tuhan tidak membuatku jadi kurang berdaya. Malahan, itulah yang membawa penghiburan yang besar. Jika Tuhan yang memegang kendali—bukan aku—maka yang seharusnya kulakukan adalah mendengarkan suara-Nya dan mengikuti arahan-Nya.

Mazmur 37:23 mengingatkan kita bahwa, “TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya.” Jika aku harus pindah, atau aku harus menetap, Tuhan akan memberitahukannya kepadaku. Tapi, itu tidak berarti kalau Tuhan akan selalu memberikan jawaban yang jelas ketika aku menginginkannya. Aku ingat berapa lama aku mengkhawatirkan saat aku dalam proses memilih mau kuliah di mana; aku marah pada Tuhan karena tidak memberiku kejelasan. Tapi, di waktu yang tepat, Tuhan menolongku melihat bahwa apa yang kupilih itu sesungguhnya adalah baik, dan aku mendapatkan kedamaian atas keputusan yang kuambil. Tuhan membuat langkahku teguh.

3. Santai dan nikmati pemandangan

Ada sebuah adegan dari film The Shack (2017) di mana Mack, si tokoh utamanya, sedang berjalan bersama Tuhan melalui padang rumput yang di sisinya terdapat pohon-pohon. Matahari sedang terbenam dan pemandangannya sangat damai dan indah.

Mack telah berjalan bersama Tuhan selama beberapa lama, dan tidaklah jelas apakah mereka sudah mendekati tujuan akhir atau tidak. Mack merasa sedikit khawatir dan tidak pasti. “Adakah yang mau memberitahuku ke mana kita sedang pergi?” dia bertanya.

“Lihatlah sekelilingmu, Mack,” Tuhan menjawab, menunjuk ke arah pemandangan yang indah. “Jangan lupa untuk nikmati perjalanan.”

Kata-kata itu terasa kuat. Seolah Tuhan sedang berkata, Bisakah kamu menikmati setiap langkah dari perjalanan bersama-Ku? Inilah yang paling sulit buat kulakukan. Aku suka mengendalikan, mengetahui, dan menyiapkan diri. Aku mau melihat peta yang utuh sebelum kita memulai perjalanan. Tapi, itu bukanlah cara Tuhan biasanya bekerja. Dia meminta kita untuk percaya pada-Nya untuk setiap langkah kita.

Aku telah belajar bahwa lebih mudah untuk menemukan sukacita di hal-hal indah dalam kehidupan ini ketika aku percaya Tuhanlah yang menuntunku ke tujuan akhirnya. Ketika aku melakukannya, berkat-berkat yang kutuliskan di awal tulisan ini—pekerjaan yang luar biasa, rumah yang nyaman, teman yang baik—menjadi lebih hidup. Aku menghargai apa yang ada dalam musim hidupku, bukannya merasa khawatir tentang perubahan apa yang akan terjadi di musim mendatang.

Jadi ketika aku merasa khawatir atau gelisah, aku mengingatkan diriku untuk berhenti, melihat sekeliling, dan menikmati perjalanan. Bahkan penulis kitab Pengkhotbah pun menyadarinya, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1). Ada waktu untuk maju ke depan, dan ada waktu juga untuk berdiam di mana kita berada. Mari kembali kepada Dia, berikanlah kursi kemudi hidupmu pada Tuhan, dan nikmati pemandangan selama perjalanan itu berlangsung.

Baca Juga:

3 Hal untuk Kita Pikirkan Saat Kita Selalu Merasa Tidak Cukup Baik

“Aku tidak cukup baik,” kalimat ini serng jadi reaksi spontan ketika kita diberi pujian atau pengakuan. Kita seolah percaya kalau inilah cara yangsehat untuk menangkal kebanggaan diri atau kesombongan. Tapi, apakah itu benar?

Bagikan Konten Ini
16 replies
  1. esra
    esra says:

    terima kasih untuk artikelnya I am so blessed, jadi nangis baca arrikelnya…selama ini aku terlalu khawatir dengan masa depanku, gak pernah kepikiran kalau yang pegang kendali hidupku itu Tuhan. Malam ini aku pulang dalam keadaan lelah dan rasanya pengen mati aja, skripsi yang benar2 menguras tenaga, ditambah dengan teman2 palsu, bahkan keluarga pun gak ada, yang kuharap bisa memahami ku sama sekali tak ada, tetapi tiba2 buka line dan dapat artikel ini, sudah lama banget jauh dari Tuhan, selama ini hidupku benar2 kosong, kegerja tapi sebatas mendengar, ditambah lagi dosa masa lalu yang benar2 kelam, pokoknya merasa bersalah banget sama Tuhan..

  2. Axell
    Axell says:

    Tidak ada kata lain selain Halleluya!! Tuhan mengingatkan pada saat yang tepat disaat beban memberat disitu waktu kita untuk istirahat diam dan memandang sekitar melihat betapa Agungnya berjalan bersama Tuhan.

  3. Dessyre
    Dessyre says:

    terima kasih untuk artikel yang kembali mengingatkan saya akan apa yang dikatakan suami saya ketika kami memulai mempersiapkan pernikahan kami. Dia blg, ‘Let me lead our household because i will be your husband. Like we are sitting in our car, i drive to somewhere, and you sit down by my side and enjoy the view’. saya mengerti tp tidak mendalaminya hingga saya membaca artikel ini. Saya adalah tipe orang yang ‘ control freak’. Tidak mau jalan jika tidak ada plan yang jelas. Mau semua serba dipersiapkan dan dlm kendali saya. Tapi apa yang suami saya katakan sama seperti yang Tuhan inginkan untuk saya lakukan. Tidak mudah krna 2-3 tahun belakangan ini saya selalu merasa khawatir akan hidup saya, saya tidak bisa tidur dan saya tidak merasa puas. kemudian saya menyadari ternyata saya tidak mampu dan tidak bahagia menjalani hidup yg saya ingin kendalikan. saya jga mengingat moment hidup saya. masa lalu saya ketika saya menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Saya merasakan damai dan tidak khawatir. hal ini bukan berarti hidup saya tidak dipenuhi bnyk masalah. Tapi Pada masa itu saya senang seperti yg tertulis dlm artikel. terima kasih krna saya telah diingatkan dan saya mau kembali belajar.

  4. Joseffin Alan
    Joseffin Alan says:

    Indahnya artikel ini. Tenang rasanya apabila kita menyerahkan perjalanan hidup kepada Tuhan.

  5. Yunika Nanill
    Yunika Nanill says:

    Tuhan sudah sediakan berkat2 sedari kita lahir,, maka kita harus menjalankan sesuai apa yg dia telah sediakan.. tidak perlu khawatir karna Tuhan selalu berikan yg terbaik bagi kita. amin

  6. xohee
    xohee says:

    Poin terakhir sangat relatable.
    Saya seorang yang sangat pemalu, hanya terbuka sama yang benar benar dekat. Tapi Tuhan selalu taruh saya di pekerjaan yang mengharuskan saya untuk banyak berkomunikasi sama banyak orang.
    Saya pikir saya bisa cari pekerjaan lain saja yang lebih cocok. Tapi ternyata setelah keluar, dan mulai cari pekerjaan di bidang lain saya malah sempat stress karena hampir 1 tahun menganggur.
    Akhirnya saya menyerah dan berdoa biar yang Tuhan mau saja yang terjadi di hidup saya.
    Selang beberapa hari saya dapat panggilan. Lihat betapa hebatnya Tuhan saya!
    Tapi masalah baru terjadi di tempat baru. Awalnya saya berniat untuk menjadi org yang lebih baik. Start fresh dengan mental yang baru. Saya berjanji akan menjadi org yang lebih sociable. Itu berlangsung selama beberapa minggu pertama.
    Lama kelamaan mulai terasa pressure tempat baru, drama-drama di temoat pekerjaan, kesalahan-kesalahan yang saya lakukan baik yang baru ataupun yang berulang.
    saya kembali merasa lelah dengan tipe pekerjaan seperti ini.
    Sebelum membaca renungan ini dg tidak sengaja, saya berdoa sama Tuhan, Tuhan saya capek, saya mencoba menjadi lebih baik, saya terus berusaha tapi saya lelah sekali sekarang, saya tetap tidak cukup baik untuk pekerjaan ini, saya selalu melakukan kesalahan.
    Tapi setelah membaca artikel ini, saya diingatkan, apa yg saya alami sekarang bagian dari proses Tuhan untuk membentuk saya. Saya terlalu fokus pada goal saya untuk menjadi lebih baik, sehingga kesalahan yang saya lakukan menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan (saya cenderung self blaming). Saya harusnya lebih menikmati proses yang Tuhan ijinkan saya jalani. Mungkin saya tidak tahu kenapa Tuhan mau saya mengerjakan pekerjaan ini, tp suatu hari saya yakin saya akan merasa bersyukur saya melewati ini semua.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *