Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Oleh Chelsea*, Jakarta

Aku punya seorang teman yang tunarungu sepertiku. Aku mengenalnya sejak kami berada di sekolah khusus tunarungu beberapa tahun yang lalu. Kami juga berteman di salah satu media sosial. Pernah beberapa kali aku melihat curahan perasaan dan pengalamannya yang dia tuliskan di beberapa postingan.

Suatu ketika, dia disakiti oleh kedua temannya yang bukan tunarungu. Kedua temannya itu melontarkan kata-kata yang kasar kepadanya hingga membuat dia menangis dan sakit hati. Kemudian, temanku itu mengungkapkan kekesalannya dengan menuliskannya di status-status dalam media sosialnya bersamaan dengan hasil screenshot foto yang berisikan percakapan konflik antara dia dan kedua temannya hingga membuahkan beberapa komentar dari teman- temannya.

Membaca status yang ditulis oleh temanku itu membuatku turut merasa sedih. Aku mengerti bagaimana pedihnya diperlakukan secara kasar oleh orang lain. Oleh karena itu, walaupun aku tidak terlalu sering bertemu dengannya, aku jadi tergerak untuk menolongnya. Aku mengiriminya pesan dan bertanya tentang keadaannya beberapa kali, tapi dia kadang menanggapi kadang juga tidak. Dia masih terus saja mengungkapkan kemarahannya melalui status-status di media sosialnya.

Sampai suatu ketika, dia akhirnya membalas pesan itu. Melalui aplikasi chatting dia memberanikan diri untuk bercerita kepadaku. Katanya, dia sempat merasa iri hati kepada temannya yang bisa memiliki pasangan hidup yang tidak memiliki kekurangan fisik. Lalu, singkatnya karena perasaan itulah mereka jadi terlibat konflik di mana kedua temannya itu semakin membuatnya merasa sakit hati. Mendengar penuturan itu, aku pun memberinya sedikit saran supaya dia bisa melupakan kejadian ini dan menjadikannya sebagai pelajaran agar kelak tidak terulang lagi. Lalu, aku mendoakannya, juga mendoakan kedua orang yang telah menyakitinya meski aku tidak terlalu mengenal mereka.

Akan tetapi, setelah pembicaraan kami usai, temanku itu masih belum berubah. Dia terus saja menuangkan emosinya melalui media sosial.

Kembali, aku menegurnya dengan lembut dan mendorongnya untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan juga memaafkan kedua orang yang telah menyakitinya itu. Dan, puji Tuhan karena pada akhirnya dia bisa pulih dari rasa sakit hatinya dan tidak lagi merasa sedih.

Pengalaman yang dialami oleh temanku itu juga mengingatkanku akan pengalaman serupa yang pernah aku alami. Dulu, aku pernah dibuat sakit hati oleh mantan pacarku karena tutur kata dan perbuatannya. Lalu, aku juga pernah merasa sakit hati karena merasa kehidupan ini tidak adil. Sulit rasanya menemukan pekerjaan untuk orang-orang penyandang disabilitas sepertiku. Jangankan untuk bekerja, untuk pelayanan di gereja pun terkadang sulit. Berat rasanya jika aku mengingat kembali momen-momen yang tidak menyenangkan itu. Seringkali aku pun menangis sendirian baik itu di gereja ataupun di rumah tanpa sepengetahuan oranglain, aku menangis sembari memendam rasa kekesalanku. Aku bertanya kepada Tuhan: “Mengapa harus begini? Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa berbuat begitu kepadaku.”

Tapi, alih-alih membiarkan diriku kecewa berlarut-larut dan menjadi terpuruk, aku percaya bahwa segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdoa. Aku belajar untuk mendoakan mantan pacarku itu, juga berdoa supaya melalui proses pencarian kerja yang sulit itu Tuhan boleh menyatakan kehendak-Nya kepadaku. Dan aku juga berdoa untuk bisa mendapat pasangan hidup yang mau mengisi menerima kekurangan fisikku sehingga tidak membuat aku menjadi kesepian.

Ketika ada orang yang menyakitiku, sebenarnya secara naluri aku sangat ingin membalas perbuatan mereka. Tapi, sebagai anak Tuhan aku tahu bahwa aku tidak boleh membalas perbuatan mereka sebab firman Tuhan berkata:

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matus 7:1).

Sekalipun aku tahu bahwa mereka salah, tapi aku pun tidak layak untuk menghakimi orang lain karena sama seperti mereka, aku pun sama-sama orang berdosa.

Ketika aku disakiti, kedua ayat di atas selalu meneguhkanku untuk tidak membiarkan diriku dikuasai oleh rasa dendam dan pembalasan. Aku tahu bahwa untuk mempraktikkan kedua ayat tersebut tidaklah mudah. Butuh kebesaran hati untuk menyerahkan segala rasa pedih dan dendam ke dalam tangan Tuhan. Bagianku adalah tetap berbuat baik dan mengasihi mereka yang telah menyakitiku. Hal paling sederhana yang bisa kulakukan adalah dengan mendoakan mereka supaya Tuhan memberkati mereka dan mereka pun boleh disadarkan akan kesalahannya dan tidak menyakiti orang lain lagi.

Iman Kristen adalah iman yang menuntut kita untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Maka, ketika Tuhan Yesus berkata: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, itu bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah perintah yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Mendoakan dan mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita adalah langkah pertama menuju kesembuhan rohani. Biarlah Tuhan sendiri yang membalut, mengobati, dan menyembuhkan luka-luka di hati kita. Hanya Tuhan sajalah yang berhak menghakimi dan melakukan pembalasan atas apa yang telah orang lain perbuat atas kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan Dia membalut hati kita yang terluka.

Terakhir, untuk menutup tulisan ini, ada satu lagu berjudul “Mengampuni” yang liriknya begitu menyentuhku. Lirik lagu yang sederhana ini senantiasa mengajarku untuk tetap mengasihi orang lain, terlepas dari apapun keadaanya.

Ketika hatiku telah disakiti
Ajarku memberi hati mengampuni
Ketika hidupku telah dihakimi
Ajarku memberi hati mengasihi

Ampuni bila kami tak mampu mengampuni
Yang bersalah kepada kami
Seperti hati Bapa mengampuni
Mengasihi tiada pamrih.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Aku berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian.

Bagikan Konten Ini
8 replies
  1. Jessica Ernelia
    Jessica Ernelia says:

    Tuhan Yesus baik, dia sungguh menyayangi aku putriNya.. Bapa yang ga pernah lelah mengajari anakNya.. Aku selalu berdoa agar ketika aku mulai jauh dariMu, aku mohon Kau tangkap aku kembali.. FirmanMu mengubah hatiku.. Mendoakan dan mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita adalah langkah pertama menuju kesembuhan rohani. Biarlah Tuhan sendiri yang membalut, mengobati, dan menyembuhkan luka-luka di hati kita. Hanya Tuhan sajalah yang berhak menghakimi dan melakukan pembalasan atas apa yang telah orang lain perbuat atas kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan Dia membalut hati kita yang terluka. Terima Kasih Bapaku..

  2. Lazarus Lukas
    Lazarus Lukas says:

    Saya setuju, saya dulu juga mengalami hal yg sama seperti penulis. Saya menghakimi orang yg salah terus menerus, suatu hari orangtua saya mengatakan pasti ada penyebabnya orang terus berbuat salah. Kemudian orangtua saya menyuruh saya untuk datang ke rumah orang-orang yg berbuat salah itu supaya saya tau alasannya. Ternyata hal yg saya temukan diluar perkiraan saya dan cara saya menghakimi, di dalam rumah-rumah orang yg menyakiti saya itu saya lihat pemandangan jiwa yg tertindas, mereka ternyata ditindas beberapa preman di lingkungannya sehingga mereka jadi terpaksa berbuat jahat. Kemudian saya laporkan apa yg saya lihat itu kepada orangtua saya, kemudian orangtua saya berkata : rangkulah orang-orang itu, berikanlah kesempatan bagi mereka untuk bertobat, berikan semua informasi tentang kasih Tuhan Yesus, bukan karena dirinya mereka jahat tapi karena preman di lingkungannya serta bisikan iblis. Mulai saat itu berubahlah keputusan yg awalnya menghakimi, sekarang orangnya akan dicoba diberi informasi jalan yg benar sampai waktu yg ditentukannya. Seperti itulah kisah saya dalam menemukan arti mengampuni, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, ratusan ribu orang mati karena perang, tapi yg ada hanya kepedihan dan luka. Mereka tidak bertobat sampai sekarang, malah berlomba-lomba menciptakan bom atom yg sebenarnya bom atom itu tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan Yesus. Kuasa Tuhan Yesus jauh lebih kuat. Inilah kisah saya dalam menemukan arti mengampuni, dulu saya sangat keras terhadap orang-orang yg menyakiti saya, setelah saya lihat sendiri masalahnya, saya putuskan untuk membantu mereka mengenal kasih Tuhan Yesus dan ajaran-ajaranNya. Satu hal yg saya pelajari, bukan orangnya yg salah, tapi keadaan dan bisikan iblislah yg buat orang jadi jahat dan tersesat. Semoga sharing ini menambah iman saudara-saudari supaya belajar mengampuni orang yg bersalah, karena Tuhan Yesus juga telah mengampuni kesalahan saudara-saudari. Terima Kasih. *bukan nama sebenarnya.

  3. Larry Setiawan
    Larry Setiawan says:

    sungguh membuatku tersentuh, terkadang memang sulit bagi ku untuk mengampuni, terlebih mudah menaruh dendam, tapi hari ini aku mulai belajar kembali mengampuni dan membuang dendam jauh dari kehidupanku, amin.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *