Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Oleh Wu Yan Ping, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Singleness—The Line I Can’t Seem to Cross

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Ya, aku masih single. Beberapa orang berkata kalau kamu telah mencapai usia tertentu, maka kamu akan sulit untuk mendapatkan pasangan. Sayangnya, aku telah melewati batasan usia itu. Kebanyakan lelaki yang seusia denganku sudah berpacaran ataupun menikah. Sepertinya tidak ada lagi yang masih single and available untukku.

Aku belum pernah berpacaran sebelumnya, dan setiap hari aku berdoa pada Tuhan supaya Dia membawaku ke sisi di seberangku, di mana aku bisa menjalin sebuah relasi yang kelak berlanjut ke pernikahan. Doaku hampir terjawab. Suatu ketika, para single di gerejaku yang seusia denganku mengikuti persekutuan gabungan dengan para single dari gereja lain. Acara ini diselenggarakan akhir tahun lalu dalam rangka meningkatkan ikatan kebersamaan antarjemaat gereja.

Di pertemuan itu aku bertemu dengan Xavier*, jemaat dari gereja yang berbeda denganku. Pertemuan kami berlangsung dengan hangat dan kami memiliki ketertarikan yang sama terhadap filsafat dan sejarah. Bersama-sama, kami juga mengikuti kelompok sel yang dikhususkan untuk kelompok usia dewasa muda. Di luar gereja, kami juga bertemu untuk pergi makan malam bersama-sama. Dia beberapa kali memberiku hadiah, padahal hari itu bukanlah momen yang istimewa. Dia juga sering berusaha untuk menolongku.

Selama lima bulan bersahabat baik, aku mulai mengembangkan perasaanku untuknya. Dia menjadi lebih dari sekadar teman buatku. Kupikir inilah saatnya untukku berpacaran dan menikah. Lagipula, Xavier bukanlah seorang lelaki yang buruk—dia seorang yang menggembirakan, dan selalu mengirimi aku pesan singkat untuk menghiburku. Dia juga seorang yang pintar, tapi juga punya selera humor. Aku merasa begitu nyaman bersamanya.

Sikapnya terhadapku seolah menunjukkan bahwa dia juga ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku mau mengikuti kata hatiku dan memberitahu dia tentang perasaanku terhadapnya. Namun, aku mengurungkan niatku ketika Xavier mulai bercerita tentang mantan pacarnya yang memilih untuk menikahi lelaki lain. Aku teringat ekspresi sedihnya saat dia menunjukkanku foto mantan pacarnya sedang menunggangi gajah bersamanya. Kemudian, dia juga bercerita tentang temannya yang tega mengkhianatinya dengan merebut pacarnya.

Dari pembicaraan itu, aku dapat melihat dengan jelas bahwa Xavier belum mampu melupakan kenangannya dan masih menyimpan kepahitan akan mantan pacarnya. Dia kembali menuturkan kalau dia sedang tertarik dengan seorang perempuan lain dan dia mengakui sudah berkencan dengannya. Ketika dia bercerita tentang hal itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang. Tapi sejujurnya, aku merasa patah hati.

Pada akhirnya, persekutuan gabungan yang digagas oleh gerejaku itu tidak berlanjut dan aku kembali ke gerejaku sendiri. Aku merasa bahwa peluangku kandas. Hanya aku sendiri yang masih single di usia 30-an dan kesempatan untuk bertemu dengan lelaki single lainnya pun kecil. Aku merasa kesepian dan tidak pasti akan masa depanku.

Aku merasa putus asa. Bahkan, aku berpikir untuk pindah ke gereja lain di mana aku bisa menemukan lebih banyak teman-teman yang seusia denganku. Aku juga mencoba aplikasi kencan online, tapi karena aku tidak bisa melihat orang-orang itu secara langsung, kupikir akan sulit memastikan bahwa orang-orang itu memang tulus ingin menjalin suatu hubungan. Aku malah sempat berpikir untuk mencoba mendekati Xavier lagi dan mengungkapkan perasaanku supaya aku bisa bersamanya. Tapi, aku menepis pikiran ini.

Dalam upayaku untuk melupakan Xavier, aku berseru berkali-kali pada Tuhan supaya Dia dapat menolongku untuk menghilangkan perasaan tertarikku pada Xavier. Aku ingin move on dan menemukan seorang lelaki yang lain.

Namun, Tuhan tidak mengabulkan dua permohonanku itu. Tuhan tidak memberiku seorang lelaki ataupun menghilangkan perasaanku pada Xavier. Tapi, Tuhan memberiku kesempatan untuk menemukan sesuatu di balik rasa sakit yang kualami. Aku mendapati bahwa aku memiliki talenta bermusik yang bagus sejak aku melayani sebagai pemain biola di gereja. Aku juga melayani sebagai operator multimedia. Selain itu, karena aku memiliki sedikit kemampuan berbahasa Indonesia, jadi aku juga belajar untuk menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Indonesia untuk sebuah acara di mana aku tergabung sebagai relawan di sana.

Di tempat kerjaku, di mana aku bekerja sebagai perawat di Unit Kesehatan Siswa (UKS), aku merawat siswa-siswa yang terluka dan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Aku belajar untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaanku.

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku tetap bisa merasakan sukacita sekalipun aku tidak memiliki pasangan yang romantis. Contohnya, aku bisa bersukacita tatkala aku pergi bersama keluargaku dan merayakan hari kemerdekaan bersama-sama dengan mereka dan juga beberapa temanku.

Sampai di titik ini, aku masih belum tahu kebaikan apa yang akan dihasilkan dari situasi yang kualami. Namun, satu hal yang pasti yang aku ketahui adalah: Tuhan telah memberikanku sebuah kerinduan untuk menggunakan apa yang sudah Dia berikan kepadaku untuk memajukan kerajaan-Nya.

Tentunya mudah buatku apabila aku memilih untuk memelihara kepahitan dan mengasihani diri sendiri. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, secara manusiawi rasanya aku ingin melupakan Tuhan, aku ingin menyalahkan-Nya atas rasa sakit hati yang kualami, dan aku mau menjauh dari gereja.

Namun, dengan penuh kesadaran aku memilih untuk memuji Tuhan. Sekalipun aku masih merindukan sebuah hubungan yang bisa mengantarkanku kepada pernikahan, Tuhan telah memberikan nyanyian-nyanyian sukacita dalam hatiku, dan mengingatkanku untuk selalu memuji Dia. Setiap pagi aku bangun jam setengah enam pagi untuk menyanyikan lagu-lagu pujian yang menguatkanku. Lagu -lagu itu juga membangkitkan semangatku dan menolongku untuk menyembah Tuhan.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard bersama dengan 3 orang pemusik lainnya. Mulanya kehidupan pelayananku berjalan seperti biasa hingga terjadi sebuah peristiwa di mana Tuhan menegurku bahwa ada sesuatu yang salah dari pelayanan yang kulakukan.

Beban Masa Lalu

Jumat, 6 Oktober 2017

Beban Masa Lalu

Baca: 1 Petrus 1:3-9

1:3 Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan,

1:4 untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu.

1:5 Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.

1:6 Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.

1:7 Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.

1:8 Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan,

1:9 karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.

Karena rahmat-Nya yang besar [Allah] telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan. —1 Petrus 1:3

Beban Masa Lalu

Dalam perjalanan menuju kantor, saya mendengarkan lagu “Dear Younger Me” (Hai Diriku di Masa Lalu). Dengan indah, sang penyanyi bertanya: Seandainya kamu bisa kembali ke masa lalu, apa yang akan kamu katakan kepada dirimu sendiri? Saya pun terpikir tentang segala peringatan dan petuah yang bisa saya berikan kepada diri saya yang masih muda dan belum berpengalaman. Banyak dari kita tentu pernah terpikir tentang hal-hal tertentu di masa lalu yang dapat kita lakukan dengan cara yang berbeda—seandainya saja ada kesempatan untuk mengulang kembali semua itu.

Namun lagu itu menggambarkan bahwa meskipun masa lalu kita mungkin dipenuhi penyesalan, semua pengalaman tersebut telah membentuk diri kita apa adanya saat ini. Kita tidak dapat kembali ke masa lalu atau mengubah konsekuensi dari setiap pilihan atau perbuatan dosa kita. Namun, puji Tuhan, kita tidak perlu terus memikul beratnya segala beban dan kesalahan kita di masa lalu. Itu semua karena karya yang telah Yesus lakukan! “Karena rahmat-Nya yang besar [Allah] telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan”! (1Ptr. 1:3).

Ketika kita beriman kepada Allah dan menyesali dosa-dosa kita, Dia akan mengampuni kita. Pada saat itulah, kita dijadikan ciptaan baru dan memulai proses transformasi rohani (2Kor. 5:17). Tidak peduli apa pun yang pernah (atau belum) kita lakukan, kita diampuni karena apa yang telah dilakukan Yesus Kristus. Kita dapat terus melangkah, mengisi hidup dengan sebaik-baiknya, sembari menantikan masa depan yang kekal bersama-Nya. Di dalam Kristus, kita telah bebas! —Alyson Kieda

Tuhan, aku sangat bersyukur karena melalui Engkau, kami bisa terbebas dari beratnya beban masa lalu—segala kesalahan, kepedihan, dosa kami. Kami tak perlu lagi memikul rasa sesal dan malu. Kami dapat menyerahkan semua itu kepada-Mu.

Serahkanlah beban beratmu kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 26-27; Filipi 2

Lock Screen: Roma 12:18

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!

Kiranya kita terus diingatkan untuk menjadi berkat bagi orang di sekitar kita dan hidup dalam perdamaian dengan semua orang.

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Memelihara Kita

Kamis, 5 Oktober 2017

Memelihara Kita

Baca: Ulangan 32:7-12

32:7 Ingatlah kepada zaman dahulu kala, perhatikanlah tahun-tahun keturunan yang lalu, tanyakanlah kepada ayahmu, maka ia memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu.

32:8 Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.

32:9 Tetapi bagian TUHAN ialah umat-Nya, Yakub ialah milik yang ditetapkan bagi-Nya.

32:10 Didapati-Nya dia di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya.

32:11 Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya,

32:12 demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.

Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya . . . Laksana rajawali . . . melayang-layang di atas anak-anaknya. —Ulangan 32:10-11

Memelihara Kita

Putrinya pulang dari luar negeri dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Ketika rasa sakitnya tak lagi tertahankan, Betty dan suaminya membawa putri mereka ke UGD. Para dokter dan perawat memeriksanya, dan setelah beberapa jam salah seorang perawat berkata kepada Betty, “Putrimu akan baik-baik saja! Kami akan merawatnya dengan baik agar ia segera pulih.” Mendengar kabar itu, Betty merasa begitu damai dan dikasihi. Ia menyadari bahwa meskipun ia dapat menjaga putrinya begitu rupa, Tuhanlah Bapa yang terbaik, yang memelihara kita anak-anak-Nya dan menghibur kita di masa-masa sulit.

Di kitab Ulangan, Tuhan mengingatkan umat-Nya bahwa ketika mereka mengembara di padang gurun, Dia memelihara mereka bagaikan orangtua yang penuh kasih menjaga anak mereka. Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka, dan Dia seperti rajawali yang “mengembangkan sayapnya” untuk menampung anak-anaknya dan “mendukungnya di atas kepaknya” (32:11). Tuhan ingin umat-Nya mengingat bahwa sekalipun mereka mengalami kesulitan dan tantangan di padang gurun, Dia tidak meninggalkan mereka.

Mungkin saja kita juga menghadapi berbagai tantangan, tetapi kita dapat terhibur dan dikuatkan ketika kita mengingat bahwa Allah kita tidak akan pernah meninggalkan kita. Ketika kita merasa sedang lemah dan akan jatuh, bagaikan rajawali, Tuhan akan mengembangkan sayap-Nya untuk mendukung kita (ay.11) sekaligus memberi kita damai sejahtera. —Amy Boucher Pye

Ya Allah, kasih-Mu sebagai Bapa kami jauh lebih besar daripada yang kubayangkan. Kiranya aku terus mempercayai-Mu dan membagikan kasih-Mu kepada sesamaku.

Allah kita melingkupi dan memelihara kita dengan kasih-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 23-25; Filipi 1

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Oleh Olyvia Hulda

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard. Bersama dengan 3 orang pemusik lainnya, aku tergabung dalam tim inti. Selain kami, ada tim pemusik lainnya, namun timku sering mendapatkan jam pelayanan yang tinggi. Tak jarang kami diberikan kepercayaan untuk melayani di acara-acara akbar seperti Natal, Paskah, dan ulang tahun gereja.

Bapak Gembala dan beberapa jemaat mengagumi permainan musik yang kami lakukan. Kami terus berusaha untuk mengembangkan kemampuan bermusik kami. Dengan tekun, kami belajar melodi-melodi baru, membuat intro-intro yang berbeda, bahkan kami pun berusaha membuat instrumen terdengar unik dan menarik sekalipun itu cukup rumit untuk dilakukan.

Suatu ketika, ada permasalahan yang terjadi di gereja. Dalam beberapa khotbahnya, Bapak Gembala melontarkan kritik secara terang-terangan yang ditujukan kepada para pelayan mimbar. Sebenarnya, kritik tersebut sudah pernah disampaikan kepada pemimpin tim musik kami, akan tetapi kritik itu tidak pernah tersampaikan karena kami jarang sekali mengadakan persekutuan pelayan mimbar. Cara Bapak Gembala yang mengkritik secara terang-terangan di depan jemaat itu membuat dua dari anggota tim pemusik inti mengundurkan diri. Alhasil, tersisa aku dan seorang temanku saja serta empat pemusik lainnya yang jam pelayanannya tidak sesering timku.

Aku dan temanku merasa terpukul atas kehilangan kedua anggota pemusik. Selama setahun, permainan musikku mulai kacau karena aku merasa tim musikku kini tak sekompak dahulu. Sering juga aku merasa kurang cocok dengan permainan musik keempat temanku. Feeling kami dalam bermusik ternyata berbeda. Nada-nada yang kami mainkan juga tidak selaras sehingga lagu-lagu pun sering menjadi sumbang.

Semangatku memudar dan aku sempat menyalahkan Bapak Gembala dan Tuhan atas persoalan ini. Mengapa Bapak Gembala harus menegur di depan jemaat hingga membuat teman-temanku mengundurkan diri? Namun, suatu hari Tuhan menegurku melalui sebuah ayat: “Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan, bukanlah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:1-3).

Kata “manusia duniawi dan hidup secara manusiawi” yang disebutkan oleh Paulus itu membuatku tertohok. Di balik pelayanan yang kulakukan, ternyata aku masih memelihara kehidupan sebagai manusia duniawi. Ketika permasalahan di gereja terjadi, alih-alih berusaha memahami dengan jernih duduk perkaranya, aku malah langsung menghakimi Bapak Gembala karena cara dia mengkritik yang menurutku kurang elok. Aku sadar, sebagai seorang pelayan Tuhan, seharusnya aku bisa membantu mendamaikan keadaan, bukan malah mendukung teman-temanku yang lain untuk menyudutkan Bapak Gembala.

Kemudian, secara tidak sengaja, aku mendengar sebuah khotbah yang bercerita tentang nabi Samuel yang mengurapi Daud. Hamba Tuhan yang berkhotbah tersebut menekankan bahwa ukuran yang Tuhan pakai untuk menilai sesuatu berbeda dari ukuran manusia. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7b).

Aku merenungkan ayat tersebut dan mengintrospeksi diriku sendiri serta pelayananku. Apakah movitasi dan tujuanku untuk melayani-Nya sudah benar? Tapi, saat itu aku sendiri masih bingung apa dan di mana letak kesalahanku.

Aku berdoa dan memohon supaya Roh Kudus membimbingku untuk memeriksa hatiku. Aku mendapati bahwa diriku selama ini telah berdosa dan salah di hadapan Tuhan. Aku dan teman-temanku terlalu berfokus pada apa yang dilihat mata—penampilan, performa, bahkan apresiasi dari Bapak Gembala dan jemaat telah menjadi motivasi terselubung dari pelayanan yang kami lakukan. Aku lebih terpaku pada kunci-kunci dan tempo lagu daripada persekutuan pribadiku dengan Tuhan. Aku mengerahkan kekuatanku untuk mempelajari kunci dan melodi daripada mempelajari apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku. Tanpa kusadari, melalui permainan keyboard dan tim pelayananku, aku telah membangun tembok kesombongan.

Aku bersyukur hari itu Tuhan mengingatkanku untuk tidak menjadikan pelayanan sebagai sarana untukku memegahkan diri. Aku memohon ampun dan berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberikanku kesempatan untuk berubah. Tidaklah salah untuk melatih kemampuan bermusikku, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pelayanan yang kulakukan tidak boleh menghilangkan waktu-waktu pribadiku bersama Tuhan. Sejak saat itu, aku mulai belajar untuk mempraktikkan kerendahan hati secara nyata dalam kehidupan pelayananku.

Lambat laun, semangatku untuk melayani Tuhan kembali menyala, namun dengan motivasi yang berbeda dari pelayananku terdahulu.

Jika dahulu aku mengandalkan diriku sendiri dalam melayani-Nya, kini aku mengandalkan Tuhan dengan cara berdoa terlebih dahulu sebelum mulai melayani-Nya. Aku belajar untuk membangun relasi dengan Tuhan, supaya yang mengalir dalam jiwaku adalah hikmat dari-Nya, bukan hikmatku sendiri.

Jika dahulu aku memainkan instrumen musik sesuai keinginan hatiku dan timku sendiri, sekarang aku melakukannya berdasarkan kebutuhan jemaat dan gereja. Bermain musik bukan sebuah ajang untukku pamer di depan jemaat.

Jika dahulu aku sedih karena merasa tidak cocok dengan teman-teman yang gaya bermusiknya berbeda dariku, sekarang aku belajar untuk tidak menggurui dan tidak menghakimi mereka saat berlatih. Aku belajar untuk menerima setiap keunikan mereka dan menyesuaikan gaya permainanku dengan gaya mereka.

Jika dahulu aku menyalahkan Tuhan dan bersedih karena kedua temanku yang meninggalkan gereja, sekarang aku mendoakan mereka supaya di gereja manapun mereka berada, mereka boleh tetap melayani Tuhan dan menjadi berkat. Alih-alih berfokus pada diriku sendiri, sekarang aku mulai memikirkan tentang regenerasi pemusik di gerejaku. Kepada orang-orang yang berminat, dengan senang hati aku akan mengajar dan membimbing mereka bermain keyboard.

Ada perjuangan yang harus kulakukan untuk melayani Tuhan dengan motivasi yang benar dan untuk melakukannya aku sangat membutuhkan pertolongan dari Roh Kudus. Aku perlu menyangkal diri, merendahkan hatku, memikul salib, dan melakukan apa yang memang Tuhan kehendaki.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk mengerti bahwa melayani Tuhan adalah sebuah panggilan yang mulia, yang diberikan oleh Allah untuk kita orang Kristen. Akan tetapi, sebelum kita melayani, satu hal yang perlu kita bangun adalah relasi yang intim dengan Allah. Keintiman kita dengan Allah sajalah yang akan menggerakkan hati kita untuk rindu melayani-Nya dengan cara yang benar.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Di Balik Kepergian Papa yang Mendadak, Ada Pertolongan Tuhan yang Tak Terduga

Ketika Tuhan memanggil pulang Papa begitu cepat, duniaku seakan runtuh. Perasaanku tidak karuan dan aku pun tak habis pikir. Papa tidak punya riwayat sakit, juga bersahabat baik dengan semua orang. Namun, mengapa Tuhan melakukan ini semua?

Interupsi Ilahi

Rabu, 4 Oktober 2017

Interupsi Ilahi

Baca: Lukas 18:35-43

18:35 Waktu Yesus hampir tiba di Yerikho, ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan dan mengemis.

18:36 Waktu orang itu mendengar orang banyak lewat, ia bertanya: “Apa itu?”

18:37 Kata orang kepadanya: “Yesus orang Nazaret lewat.”

18:38 Lalu ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”

18:39 Maka mereka, yang berjalan di depan, menegor dia supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!”

18:40 Lalu Yesus berhenti dan menyuruh membawa orang itu kepada-Nya. Dan ketika ia telah berada di dekat-Nya, Yesus bertanya kepadanya:

18:41 “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang itu: “Tuhan, supaya aku dapat melihat!”

18:42 Lalu kata Yesus kepadanya: “Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!”

18:43 Dan seketika itu juga melihatlah ia, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah. Seluruh rakyat melihat hal itu dan memuji-muji Allah.

Yesus bertanya kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang itu: “Tuhan, supaya aku dapat melihat!” —Lukas 18:40-41

Interupsi Ilahi

Para ahli setuju bahwa setiap hari sejumlah besar waktu yang kita miliki tergerus oleh beragam interupsi. Baik di tempat kerja atau di rumah, dering telepon atau kunjungan tak terduga dapat dengan mudah mengalihkan perhatian kita dari apa yang kita anggap sebagai tujuan utama kita.

Rasanya sebagian besar dari kita tidak menyukai adanya interupsi dalam kehidupan kita sehari-hari, apalagi ketika hal tersebut membuat kita merasa tidak nyaman atau harus mengubah rencana. Namun, Yesus menyikapi apa yang dapat dirasakan sebagai interupsi dengan cara yang jauh berbeda. Berulang kali dalam kitab-kitab Injil, kita melihat Tuhan menghentikan apa yang sedang dilakukan-Nya demi menolong seseorang yang membutuhkan.

Ketika Yesus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem tempat Dia akan disalibkan, seorang pengemis buta di pinggir jalan berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Luk. 18:35-38). Beberapa orang di tengah keramaian itu meminta si buta untuk diam, tetapi ia terus saja memanggil Yesus. Yesus berhenti dan bertanya kepada orang buta itu, “‘Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?’ Jawab orang itu: ‘Tuhan, supaya aku dapat melihat!’ Lalu kata Yesus kepadanya: ‘Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!’” (ay.41-42).

Ketika rencana-rencana kita diinterupsi oleh seseorang yang benar-benar membutuhkan pertolongan, kita dapat meminta Tuhan untuk memberikan hikmat bagaimana kita dapat merespons dengan penuh belas kasih. Apa yang awalnya kita anggap sebagai interupsi mungkin saja merupakan pertemuan ilahi yang telah ditetapkan Tuhan untuk terjadi pada hari itu. —David C. McCasland

Tuhan Yesus, penuhi kami dengan hikmat dan belas kasih-Mu agar kami dapat memberi tanggapan seperti yang Engkau berikan bagi mereka yang membutuhkan.

Interupsi dapat menjadi kesempatan untuk melayani sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 20-22; Efesus 6

Terlahir di Masa Krisis

Selasa, 3 Oktober 2017

Terlahir di Masa Krisis

Baca: Mazmur 57

57:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Jangan memusnahkan. Miktam Dari Daud, ketika ia lari dari pada Saul, ke dalam gua.57:2 Kasihanilah aku, ya Allah, kasihanilah aku, sebab kepada-Mulah jiwaku berlindung; dalam naungan sayap-Mu aku akan berlindung, sampai berlalu penghancuran itu.

57:3 Aku berseru kepada Allah, Yang Mahatinggi, kepada Allah yang menyelesaikannya bagiku.

57:4 Kiranya Ia mengirim utusan dari sorga dan menyelamatkan aku, mencela orang-orang yang menginjak-injak aku. Sela Kiranya Allah mengirim kasih setia dan kebenaran-Nya.

57:5 Aku terbaring di tengah-tengah singa yang suka menerkam anak-anak manusia, yang giginya laksana tombak dan panah, dan lidahnya laksana pedang tajam.

57:6 Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi!

57:7 Mereka memasang jaring terhadap langkah-langkahku, ditundukkannya jiwaku, mereka menggali lobang di depanku, tetapi mereka sendiri jatuh ke dalamnya. Sela

57:8 Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap; aku mau menyanyi, aku mau bermazmur.

57:9 Bangunlah, hai jiwaku, bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar!

57:10 Aku mau bersyukur kepada-Mu di antara bangsa-bangsa, ya Tuhan, aku mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa;

57:11 sebab kasih setia-Mu besar sampai ke langit, dan kebenaran-Mu sampai ke awan-awan.

57:12 Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi!

Dalam naungan sayap-Mu aku akan berlindung, sampai berlalu penghancuran itu. —Mazmur 57:2

Terlahir di Masa Krisis

Marc mengingat momen masa kecilnya saat ayahnya memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul. Mobil mereka rusak, dan keluarga mereka akan kehabisan uang pada akhir bulan itu. Ayah Marc berhenti sejenak dan berdoa. Lalu ia meminta keluarganya untuk menantikan jawaban dari Allah.

Kini Marc teringat bagaimana Allah menolong dengan cara-cara yang mengejutkan. Datanglah seorang teman yang membantu memperbaiki mobil mereka, sejumlah cek yang tak terduga, dan kiriman makanan ke rumah mereka. Mereka pun memuji Tuhan, dan masa krisis itu membuat mereka sangat bersyukur.

Mazmur 57 telah banyak menginspirasi penulisan lagu-lagu pujian kepada Allah. Ketika Daud berseru, “Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit, ya Allah!” (ay.12), mungkin kita membayangkan Daud sedang menatap langit Timur Tengah yang indah di malam hari atau sedang bernyanyi dalam ibadah di Bait Suci. Namun kenyataannya, Daud yang takut kehilangan nyawanya sedang bersembunyi di dalam gua.

“Aku terbaring di tengah-tengah singa,” kata Daud di mazmurnya. Singa itu adalah para musuh yang “suka menerkam anak-anak manusia, yang giginya laksana tombak dan panah, dan lidahnya laksana pedang tajam” (ay.5). Pujian Daud terlahir di masa krisis. Walaupun dikepung oleh para musuh yang menghendaki kematiannya, Daud masih dapat menuliskan kata-kata yang luar biasa ini: “Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap; aku mau menyanyi, aku mau bermazmur” (ay.8).

Apa pun krisis yang kita hadapi hari ini, kita dapat berlari kepada Allah dan meminta pertolongan-Nya. Setelah itu, kita dapat memuji-Nya sambil menanti dengan penuh keyakinan pada kuasa Allah yang sanggup memelihara kita. —Tim Gustafson

Krisis berikutnya yang kamu alami merupakan kesempatan berikutnya bagi kamu untuk mempercayai Allah kita yang tidak pernah gagal.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 17-19; Efesus 5:17-33

Sahabat Doa yang Sempurna

Senin, 2 Oktober 2017

Sahabat Doa yang Sempurna

Baca: Roma 8:31-34

8:31 Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?

8:32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?

8:33 Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka?

8:34 Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?

[Kristus Yesus] . . . duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita. —Roma 8:34

Sahabat Doa yang Sempurna

Rasanya tidak banyak hal yang lebih indah daripada doa-doa yang dinaikkan untukmu oleh seseorang yang mengasihimu. Saat mendengarkan seorang sahabat mendoakan kita dengan ketulusan dan hikmat dari Allah, rasanya kita sedang berada dalam sebuah pengalaman ilahi.

Sungguh bahagia mengetahui bahwa karena belas kasihan Allah kepada kita, doa-doa kita juga didengar oleh-Nya. Adakalanya ketika berdoa, kita merasa kata-kata kita kurang tepat dan tidak layak menghadap kepada-Nya. Namun, Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk “selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu” (Luk. 18:1). Firman Allah menunjukkan kepada kita bahwa salah satu alasan kita dapat berdoa dengan tidak jemu-jemu adalah karena Yesus sendiri “duduk di sebelah kanan Allah, . . . menjadi Pembela bagi kita” (Rm. 8:34).

Kita tidak pernah berdoa seorang diri, karena Yesus mendoakan kita. Dia mendengarkan saat kita berdoa, dan berbicara kepada Bapa demi kita. Kita tidak perlu mencemaskan kelancaran kata-kata kita, karena tak seorang pun yang lebih memahami kita daripada Yesus. Dia menolong kita dalam segala hal dan menyatakan kebutuhan kita kepada Allah. Dia juga tahu ketika apa yang kita minta tidak baik bagi kita, karena Dia memperlakukan tiap permintaan atau persoalan kita dengan hikmat dan kasih yang sempurna.

Yesus adalah sahabat doa yang sempurna—sahabat yang membela dan mendoakan kita dengan kebaikan yang tak terbatas. Doa-Nya bagi kita begitu indah hingga tak terlukiskan dengan kata-kata. Kiranya kita dikuatkan untuk selalu berdoa kepada-Nya dengan hati yang penuh syukur. —James Banks

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah membelaku dengan penuh kasih. Tolonglah aku untuk mengasihi dan melayani-Mu dengan doa-doaku hari ini.

Tiada yang lebih istimewa daripada dapat berdoa bersama Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 14-16; Efesus 5:1-16

Artikel Terkait:

Aku Gak Pintar Berdoa

Sharing: Masalah Dunia Apa yang Sangat Mengusik Hatimu?

Masalah dunia apa yang sangat mengusik hatimu?
Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.