Ketika Aku Memahami Arti dari Didikan Orangtuaku

ketika-aku-memahami-arti-didikan-orangtuaku

Oleh Yesi Tamara Sitohang, Semarang

Dulu, aku berpikir masa-masa remajaku adalah fase yang paling buruk dalam hidupku. Aku tinggal dengan orangtua kandungku, tapi hidupku tidak bahagia. Aku menolak ungkapan yang mengatakan “Rumahku, Istanaku”. Bagiku, rumahku adalah tempat yang buruk karena orangtuaku tidak menganggapku sebagai seorang anak, melainkan seorang pekerja yang bisa diperas tenaganya setiap waktu.

Kehidupan ekonomi keluarga kami tidak begitu baik, sehingga kedua orangtuaku harus bekerja banting tulang setiap harinya. Sebagai anak sulung, aku menggantikan peran ibu untuk melakukan segala pekerjaan rumah dan menjaga adik-adikku. Selama sekitar enam tahun, aku nyaris tidak pernah keluar rumah selain pergi ke sekolah dan ke gereja. Setiap hari aku harus mencuci pakaian keluarga, mencuci piring, membersihkan rumah, memasak untuk adik-adikku, dan juga menjaga warung kecil yang kami buka di depan rumah. Terkadang aku jadi merasa iri dengan teman-teman sebayaku yang bisa pergi bergaul, jalan-jalan ke mal, atau menonton film di bioskop.

Aku merasa jenuh dengan rutinitas yang kulakukan. Jadi, sepulang sekolah aku selalu mencari-cari alasan supaya bisa pulang terlambat ke rumah. Kadang, aku juga secara sembunyi-sembunyi pergi untuk bertemu temanku. Ketika ‘kenakalanku’ itu diketahui oleh orangtuaku, mereka marah. Mereka ingin aku bisa hidup disiplin.

Kehidupan yang kujalani seperti itu membuatku menaruh rasa benci kepada kedua orangtuaku. Aku tidak terima karena mereka membuat masa-masa remajaku berlalu dengan hambar. Bahkan, aku sempat bernazar, jika kelak aku memiliki anak, aku akan memberi kebebasan kepada anak-anakku supaya mereka bisa menikmati masa-masa remajanya.

Ketika aku merasa beban yang kutanggung itu terlalu berat, aku selalu menceritakan segala keluh kesahku kepada gembala sidang dan seorang majelis di gerejaku. Hubungan kami sangat akrab dan aku senang berbagi cerita dengan mereka. Gembala sidang dan majelis yang selalu menjadi tempatku mencurahkan keluh kesah sungguh menjadi alat Tuhan untuk menguatkan imanku. Ketika aku curhat kepada mereka, mereka tidak hanya memberiku nasihat, tapi selalu mendukung dan mendoakanku dan meluruskan kembali pandanganku yang salah. Setiap kali bersama mereka, aku merasa tenang dan aman. Teladan yang mereka berikan kepadaku lambat laun membuatku tertarik untuk bisa menjadi seperti mereka. Kelak, aku ingin menjadi seorang yang bijak dan setia menolong orang lain seperti gembala sidangku. Teladan yang mereka berikan itulah yang pada akhirnya membuatku merasa terpanggil untuk membaktikan diriku kelak sebagai seorang hamba Tuhan.

Setamat SMA, tekadku sudah bulat untuk menjadi seorang hamba Tuhan. Sebelum melanjutkan studiku ke jenjang sekolah teologi, aku bergumul hebat. Setiap kali aku merenungkan firman Tuhan, firman itu selalu menegurku supaya aku bisa mengampuni orangtuaku.

Ketika aku telah berstatus sebagai mahasiswa di sekolah teologi, aku dididik dengan amat disiplin. Setiap pagi harus bangun pukul 04:00 dan mengawali hari dengan bersaat teduh. Kemudian, ada kerja bakti membersihkan kebun dan area kampus. Lalu, aku juga dituntut untuk bisa terampil melakukan pekerjaan dapur. Saat itulah aku baru menyadari bahwa apa yang dahulu aku benci melakukannya, ternyata berguna untuk diriku. Orangtuaku mendidikku sedemikian keras supaya kelak didikan itu bisa berguna bagi hidupku. Hatiku terasa pedih ketika aku mengingat perlakuan burukku kepada mereka dulu. Aku baru menyadari betapa berartinya didikan kedua orangtuaku bagi masa depanku. Tuhan tidak salah menempatkan kedua orangtuaku dalam hidupku.

Lewat kejadian itu, aku menyadari bahwa selama ini aku telah salah memandang kedua orangtuaku. Betapa hinanya aku karena telah menaruh dendam kepada mereka yang jelas-jelas mengasihiku. Aku pun menyempatkan diri untuk pulang ke rumah orangtuaku di Bandung dan meminta maaf secara langsung kepada mereka dan mereka memaafkanku. Tidak ada rasa sakit hati lagi di antara kami.

Ketika aku membuka hatiku untuk mengampuni dan meminta maaf kepada orangtuaku, Tuhan memulihkan relasiku dengan mereka. Di sela-sela liburan semester, aku menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Aku membantu orangtuaku mengerjakan segala sesuatu tanpa perlu disuruh-suruh lagi. Ketika relasi itu pulih, kami menjadi amat dekat. Orangtuaku juga sekarang menjadi sahabatku. Kepada mereka aku bisa menceritakan segala sesuatunya, sesuatu yang dulu mustahil aku lakukan. Di setiap waktu luangku, aku selalu menelepon mereka. Oleh karena merekalah, aku menjadi seorang pribadi yang disiplin.

Aku tahu kalau kasihku kepada mereka tidaklah sebanding dengan kasih yang mereka berikan kepadaku. Sekalipun cara mengasihi mereka mungkin berbeda, tetapi mereka tetap mengasihiku. Lewat kedua orangtuaku, aku mengerti bahwa disiplin juga adalah bagian dari kasih.

“Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku.” (Amsal 4:1-2).

Baca Juga:

Haruskah Aku Keluar dari Pekerjaan Ini, Tuhan?

Tekanan ekonomi memaksaku untuk bekerja sembari berkuliah. Jadilah aku bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah agensi iklan di Yogyakarta. Awalnya, aku nyaman dengan pekerjaan ini. Tapi, keadaan berubah setelah tiga bulan aku bekerja hingga aku bergumul, haruskah aku keluar dari pekerjaan ini, Tuhan?

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Elsa Manalu
    Elsa Manalu says:

    Persis mirip denganku, anak pertama, kerja bantu orangtua, menjaga adik”ku, gak bisa bermain dengan teman. Dulu sempat kalo udah kuliah aku bakal bebas bermain dan melakukan apapun. Ternyata sikap disiplin orangtuaku menjadi ajaran yg melekat erat dalam hati dan pikiran. Kadang rindu nasehat mereka disela-sela malam santai sambil nonton, masakan mama, bapak yg selalu perhatian melihat dan membantu kalo anak-anaknya kerja. Sekarang jadi kangen rumah..

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *