Kisahku sebagai Putri Seorang Penarik Becak yang Belajar Mengampuni

Oleh Yezia Sutrisni, Tangerang

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibuku menderita penyakit kanker payudara dan akhirnya meninggal saat aku duduk di kelas 2 SD. Selama hampir satu tahun ibuku terbaring lemah di tempat tidur melawan sakit kankernya.

Setelah ibuku meninggal, aku tinggal bersama ayah dan dua orang kakakku. Hari demi hari kami lewati tanpa kasih sayang seorang ibu. Sehari-harinya ayah bekerja sebagai penarik becak di kota Yogyakarta, sedangkan kami tinggal di kabupaten Klaten. Ayah hanya pulang menemui kami beberapa kali dalam satu bulan.

Ketika aku berusia 9 tahun, ayahku juga jatuh sakit sehingga tidak bisa bekerja maksimal. Penyakit darah tinggi akut yang diderita ayah membuatnya tidak bisa menarik becak setiap hari dan aku pun harus merawatnya. Di usiaku yang masih kecil itu aku harus menggantikan peran ibu.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku harus bangun jam 5 pagi dan memasak untuk seluruh isi rumah. Sebelum berangkat ke sekolah aku harus memastikan makanan untuk ayah sudah tersedia sehingga dia tidak harus berdiri untuk mengambil makan. Penyakit darah tinggi ayah membuatnya sulit berdiri, mungkin juga dia akan jatuh. Mau tidak mau aku harus membantunya makan, mandi, dan melakukan aktivitas lain.

Ketika tetangga-tetangga melihat keadaan kami waktu itu, mereka selalu bertanya, “Di mana saudara-saudaramu yang lain?” Usiaku dengan kakak-kakakku terpaut cukup jauh. Dengan kakak pertamaku saja kami berbeda hampir 20 tahun. Empat kakak-kakakku waktu itu telah sibuk sendiri. Ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau jauh. Mereka seolah tidak peduli dengan keadaan ayah saat itu.

Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan keberadaan kakak-kakakku. Entah karena aku terlalu polos atau hanya menerima segalanya dengan ikhlas, aku lupa persisnya perasaanku seperti apa. Yang aku tahu adalah kakak-kakakku mungkin pernah mengalami kepahitan. Ayah memang orang yang keras, dia sering memukul dan melontarkan kata-kata kasar kepada anak-anaknya.

Ketika aku ditelantarkan oleh kakak-kakakku

Setelah sekitar tiga tahun hidup dalam keadaan sakit, ayahku dipanggil pulang oleh Tuhan. Kehidupan keluargaku semakin sulit dan aku pun tinggal berdua bersama kakakku yang kelima. Kakak-kakakku yang lain ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau.
Kami berdua menjalani hidup tanpa orangtua. Kadang kami hanya makan menggunakan nasi putih dan sambal saja. Kadang kami pun menjual pohon bambu yang kami tanam di depan rumah untuk bisa membeli makanan. Beras pun kami dapat dari jatah beras miskin pemerintah. Kadang juga tetangga kami yang merasa iba memberi kami makanannya.

Aku sempat berpikir kalau kami ini enam bersaudara, maka seharusnya aku tidak sampai harus hidup seperti ini. Aku merasa ditinggalkan dan tidak memiliki siapapun dan bertanya-tanya mengapa kakak-kakakku yang lain itu tidak mau peduli dengan kedua adiknya? Sejujurnya kami punya alasan untuk menyimpan luka dan membenci mereka.

Ketika aku mengenal Yesus

Dulu aku bukanlah orang Kristen, demikian juga dengan kedua orangtuaku. Saat aku mulai duduk di bangku sekolah dasar, salah seorang kakakku yang telah menjadi Kristen terlebih dulu sempat membawaku untuk ikut ke sekolah minggu. Setelah itu aku menjadi lebih sering datang ke gereja walau tidak selalu hadir setiap minggunya. Sekalipun orangtuaku bukan Kristen, tapi mereka tidak melarangku untuk pergi ke gereja.

Setelah kedua orangtuaku dipanggil Tuhan, aku sendiri bingung akan masa depanku. Hingga pendeta di gerejaku mempertemukanku dengan seorang bapak dari Kalimantan. Akhirnya bapak ini secara tidak langsung “mengadopsiku” dengan membiayai seluruh kebutuhanku. Saat aku masuk SMA, aku pun pindah dari Klaten ke kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Aku memang tidak tinggal satu rumah dengan ayah angkatku itu, tapi beliau sering menyempatkan dirinya mengunjungiku di Yogyakarta dan memastikan kebutuhanku terpenuhi. Ketika liburan tiba, aku pun diajaknya ke Kalimantan dan tinggal bersama keluarga angkatku. Mereka begitu mengasihiku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.

Kebaikan mereka itulah yang akhirnya semakin memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Mereka mendukungku selayaknya aku adalah anak kandung mereka sendiri. Ketika aku sudah lulus dari SMA, mereka mendukung penuh studiku di perguruan tinggi hingga akhirnya aku bisa lulus menjadi seorang sarjana.

Sekalipun sejak kecil aku datang ke gereja, tapi aku merasa hidupku datar. Aku membaca firman Tuhan, tapi tidak mengerti apa yang dimaksud. Barulah ketika aku mulai duduk di bangku kuliah, lambat laun aku mulai mengerti betapa baiknya Tuhan Yesus kepadaku. Lewat kasih sayang tulus yang diberikan oleh ayah angkatku, aku dapat merasakan kasih Tuhan bahwa Dia tidak pernah meninggalkanku seorang diri.

Saat ini aku telah menyelesaikan studiku dan bekerja di sebuah lembaga pelayanan di Tangerang. Sesekali ketika aku merenung, aku bisa saja berpikir untuk membenci saudara-saudaraku atas perbuatan mereka saat aku menderita susah dulu. Tapi, setiap kali bersaat teduh aku selalu ingat ayat di mana Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengampuni, bahkan lebih dari sekadar mengampuni, Tuhan meminta kita untuk mengasihi. “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagai Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32).

Aku manusia berdosa dan Tuhan sudah mengampuni dosaku. Ketika aku mulai berpikir untuk membenci kakak-kakakku, aku selalu melihat kembali kepada diriku sendiri yang penuh dosa dan Tuhan sudi mengampuniku. Betapa egoisnya aku ketika Tuhan sudah mengampuniku tetapi aku tidak mau mengampuni saudara-saudaraku.

Secara manusia memang berat untuk mengampuni orang yang telah menyakitiku, tapi aku selalu memohon agar Tuhan memampukanku. Setiap hari aku berdoa untuk semua kakak-kakakku, memohon agar mereka yang belum mengenal Tuhan dapat menjadi percaya. Aku belajar untuk sesekali menyapa mereka lewat telepon. Saat ini aku sudah mengampuni mereka dan mengasihi mereka.

Aku belajar dari kisah Yusuf yang tetap tekun dan berpengharapan sekalipun dia harus dibuang oleh kakak-kakakknya. Aku percaya bahwa kisah masa laluku yang kelam merupakan alat yang dipakai Tuhan untuk menyiapkan masa depanku. Tanpa masa lalu yang keras mungkin aku takkan menjadi seorang yang tegar.

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar,” (Kejadian 50:20). Seperti kisah Yusuf, mungkin ada rancangan-rancangan jahat yang dilakukan oleh manusia terhadap kita, tapi aku percaya bahwa Tuhan sanggup mengubah itu menjadi kebaikan untuk kita.

Tuhan telah menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita yang seharusnya dihukum karena dosa-dosa kita, tapi karena kematian-Nya kita beroleh keselamatan. Dari pengalaman hidupku, aku dapat memaknai Paskah sebagai momen ketika Tuhan mengampuni dosaku maka aku pun harus mengampuni orang lain yang bersalah kepadaku, bahkan mengasihi mereka sama seperti Tuhan mengasihiku.

Kita tidak akan pernah bisa mengampuni bahkan mengasihi orang yang sudah menyakiti kita dengan kekuatan sendiri. Kita membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan saja yang memampukan kita untuk mau mengampuni dan melembutkan hati mereka. Datanglah kepada Tuhan dan minta supaya Dia memampukan kita.

Baca Juga:

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Katie adalah seorang perempuan kecil yang harus melakukan transfusi darah karena penyakit langka yang dideritanya sejak lahir. Namun, kelak ia dapat disembuhkan ketika ada ada orang lain yang mau menjadi donor baginya. Kisah tentang Katie ini mengingatkanku kembali tentang anugerah keselamatan yang Tuhan Yesus berikan.

Bagikan Konten Ini
9 replies
  1. dameria
    dameria says:

    Terimakasih buat kisahnya yang sungguh menginspirasi dan kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati…. Amin

  2. Karyono
    Karyono says:

    Sangat menginpirasi dan memberkati pembaca untuk meneladani Kasih Kristus dlm mnjalani hidup yg lebih bermakna. Amin

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *