Kisah Orang Majus Keempat

kisah-orang-majus-keempat

Oleh Abyasat Tandirura, Makassar

Natal adalah sebuah momen yang sangat istimewa yang aku nanti-nantikan setiap tahun. Bagiku, itu adalah sebuah momen yang mengingatkanku bahwa ada Pribadi yang mengasihiku tanpa syarat, menerimaku apa adanya, bahkan menyelamatkanku, agar kelak aku beroleh kehidupan yang kekal dan dapat tinggal bersama-Nya selamanya.

Meski Natal dirayakan dengan tradisi yang berbeda di setiap penjuru dunia, sebagai orang percaya, kita percaya bahwa Natal adalah tentang kelahiran Yesus Kristus, Sang Juruselamat dunia.

Apa yang menarik perhatianmu tentang Natal? Apakah tentang perayaannya? Liturginya? Khotbahnya? Ataukah banyaknya kado-kado Natal? Atau baju baru dan sepatu baru?

Sejujurnya, dahulu ketika aku masih mengikuti Sekolah Minggu, aku tertarik pada semuanya. Apalagi mendapatkan kado Natal, itu sangat menyenangkan! Namun, kini Natal menjadi titik balik dalam hidupku untuk merenungkan kasih Bapa yang begitu besar bagiku dan memikirkan bagaimana aku meneruskan kasih itu kepada sesamaku. Ketika aku sulit mengasihi orang lain, aku bercermin pada sebuah kasih-Nya yang tidak pernah bersyarat, kasih yang menerimaku apa adanya.

Ketika aku merenungkan kembali tentang Natal, aku teringat akan sebuah kisah fiksi yang pernah aku baca beberapa tahun lalu tentang kisah orang Majus keempat, yang bernama Artaban. Kisah ini dimuat pada sebuah majalah rohani yang tergeletak di ruangan kelasku di SMA. Aku membacanya beberapa kali dan kemudian menulisnya kembali dalam secarik kertas dan kusimpan baik-baik. Kisah ini mengingatkanku untuk belajar dari teladan yang diberikan oleh Artaban.

Berikut adalah kisahnya (yang aku ceritakan kembali):

Artaban adalah orang Majus keempat yang tidak mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan Tuhan Yesus, ketika Dia dilahirkan di Betlehem. Padahal sebelumnya Artaban telah menjual sejumlah harta kekayaannya agar dia bisa mempersembahkannya untuk Sang Raja yang akan dilahirkan. Dari hasil tersebut, dia membeli tiga buah batu permata yang sangat berharga antara lain batu permata saphir baru, rubi merah, dan mutiara putih.

Dia telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat khusus dengan ketiga orang Majus lainnya, yaitu Caspar, Mekhior, dan Balthasar. Karena waktu sangat mendesak, Artaban akan ditinggal oleh mereka jika terlambat datang.

Dalam perjalanan, Artaban melihat ada orang yang terbaring di tengah jalan. Rupanya orang tersebut sedang menderita sakit berat dan sangat membutuhkan pertolongan. Jika dia tidak menolong orang tersebut, orang itu akan meninggal dunia, sebab dia berada di suatu tempat yang sunyi dan jauh dari tempat penduduk. Tetapi, jika dia menolongnya, dia pasti akan terlambat dan akan ditinggal pergi oleh kawan-kawannya yang lain.

Walaupun demikian, dia meyakini bahwa menolong jiwa orang lain adalah lebih penting. Dia rela ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Akibatnya, tidak hanya dia ditinggal teman-temannya, dia juga harus menjual batu permata saphir yang awalnya dia siapkan untuk diberikan kepada Yesus, Sang Raja, sebab dia harus membiayai seluruh biaya karavan mulai dari unta-unta, makanan, minuman, dan pemandu jalan untuk melewati padang pasir. Dia pun merasa sedih karena Sang Raja tidak akan mendapatkan batu saphir itu.

Walaupun dia berusaha mengejar kawan-kawannya secepat mungkin, ternyata setibanya di Betlehem dia terlambat lagi karena Yusuf, Maria, dan bayi Yesus sudah tidak ada di sana lagi.

Pada saat Artaban tiba di Betlehem, prajurit-prajurit raja Herodes sedang dengan ganasnya menjalankan perintah Herodes untuk membunuh para bayi. Di tempat dia menginap, bayi putra pemilik penginapannya hendak dibunuh pula oleh seorang komandan dari pihak Herodes. Artaban melihat dan mendengar ratapan tangis ibu bayi tersebut dan dia merasa tidak tega dan merasa terpanggil untuk menolongnya. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk menukar bayi tersebut dengan batu rubi yang dibawanya. Hal ini membuat Artaban bertambah sedih, karena batu permatanya untuk Sang Raja semakin berkurang bahkan hanya tinggal satu saja.

Sebelum dia tiba di Yerusalem, tiga puluh tahun lebih dia mencari Sang Raja di mana-mana dan dia merasa tercengang ketika mendengar bahwa Sang Raja yang dicarinya selama bertahun-tahun akan disalib di Golgota.

Walaupun demikian, dia masih terhibur, sebab dia masih memiliki batu permata terakhir, yaitu batu mutiara putih yang dia pikir dapat dia gunakan untuk menebus hidup Sang Raja agar Dia tidak disalib, seperti halnya ketika dia menebus hidup sang bayi, pada saat berada di Betlehem.

Dalam perjalanan menuju ke Golgota, dia melihat seorang anak perempuan menangis dan meratap minta tolong kepadanya. “Tuan tolonglah saya, para prajurit akan menjual diri saya sebagai budak karena ayah saya mempunyai banyak utang dan tidak mampu melunasinya. Oleh sebab itulah sebagai gantinya dia mengambil diri saya untuk dijual. Tolonglah saya, Tuan!”

Walaupun Artaban sedang terburu-buru, dia melihat keadaan sangat mendesak. Sebelum anak ini dijual dan dijadikan budak untuk seumur hidupnya, maka lebih baik dia menukar batu mutiaranya untuk menebus anak itu.

Setelah itu, langit menjadi gelap gulita dan terjadi gempa bumi. Artaban jatuh tertimpa puing yang jatuh dari atap, dan terluka. Tiba-tiba dia menggerakkan bibirnya dan berkata, “Tuhan, kapan aku melihat Tuhan lapar dan aku memberi Tuhan makan? Atau ketika Tuhan haus lalu aku memberi Tuhan minum? Kapan aku melihat Tuhan sakit atau di dalam penjara, dan aku mengunjungi Tuhan? Tiga puluh tiga tahun aku mencari Engkau, dan tidak sekali pun aku dapat bertemu dengan Engkau dan melayani Engkau, Rajaku.”

Dan dari jauh terdengar suara sayup-sayup yang sangat lembut menjawab, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Setelah itu meninggallah Artaban. Dia meninggal dengan mulut penuh senyuman, karena dia mengetahui bahwa semua jerih payahnya dan semua hadiah untuk Sang Raja telah diterima oleh-Nya dengan baik.

Kisah Artaban mengajarkanku untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan diriku sendiri saja, tetapi juga memperhatikan kebutuhan orang lain. Seringkali, kita hanya berfokus kepada kebutuhan kita, dan kurang peka melihat kebutuhan orang lain. Begitu pula denganku. Aku melihat diriku masih susah untuk peka pada kebutuhan orang lain. Kalau aku melihat sekitarku, sesungguhnya banyak orang yang perlu ditolong. Namun, aku lebih sering menutup mata terhadap mereka. Aku seolah-olah menganggap dirikulah yang perlu ditolong. Aku berpikir, aku tidak punya harta benda atau uang yang cukup untuk menolong mereka.

Namun, kisah Artaban di atas telah menolongku untuk mengubah cara pandangku tentang kepedulianku kepada orang lain. Sekalipun aku tidak punya banyak harta atau uang untuk menolong mereka, aku juga dapat menolong mereka dengan hadir bagi mereka, mendengarkan keluhan, mendoakan, dan menguatkan mereka. Yang terpenting adalah kita melakukannya dengan penuh kasih. Ketika kita memberi dalam kasih, aku yakin ada rasa bahagia yang terpancar di hati kita.

Peristiwa Natal telah menunjukkan kepedulian dan kasih Allah bagi dunia ini. Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai pemberian istimewa yang akan membawa manusia berdosa kepada jalan keselamatan. Yesus, semasa hidup-Nya, juga memberi diri-Nya untuk taat kepada kehendak Bapa-Nya, bahkan taat sampai Dia mati di kayu salib. Itu sebabnya, di momen Natal, kita punya kesempatan yang terbuka untuk menyatakan kasih Allah lewat tindakan kasih kita kepada orang-orang di sekeliling kita. Apa saja yang sanggup kita berikan, berikanlah dengan senang hati, tanpa paksaan, dan dengan motivasi yang benar.

Aku belajar memberi sesuatu kepada temanku beberapa tahun lalu, sebagai kado ulang tahun. Aku memberikan beberapa buku rohani yang aku pikir bisa bermanfaat untuknya dalam mendukung pertumbuhan rohaninya. Meskipun aku juga sangat menyukai buku itu, namun aku juga tahu bahwa temanku membutuhkannya. Di sinilah aku belajar menanggalkan keegoisanku, belajar peka pada kebutuhan orang lain, dan belajar membangun kehidupan orang lain.

Seperti Yesus yang telah lahir ke dalam dunia, memberikan kehidupan dan keselamatan kepada siapa saja yang mau menerima-Nya, bersediakah kita memberikan hidup kita kepada-Nya, melalui perbuatan kasih kita kepada sesama kita? Kisah Artaban mendorongku melakukannya. Terlebih karena Yesus telah lahir bagiku, dan telah menyempurnakan kasih-Nya di dalamku. Bagaimana denganmu?

Selamat Natal, selamat berbagi kasih, Imanuel!

Baca Juga:

Tak Kusangka, Pelayanan Kecil yang Kulakukan Ternyata Begitu Berarti

Beberapa waktu lalu, aku disibukkan dengan sebuah kegiatan penggalangan dana. Lewat penjualan gelang denim, aku dan kawan-kawan pemuda gerejaku rindu memberikan donasi sebagai sebuah bentuk dukungan bagi sebuah komunitas yang melayani anak-anak punk. Dana terkumpul, dan aku kira cerita telah usai. Ternyata tidak.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Rinienta
    Rinienta says:

    selamat memaknai natal, peristiwa indah luar biasa yg mmpu mngubah hidup kita, karena Tuhan Maha Besar mau lahir kedunia utk jadi sama dengan kita, semua krna kasihNya yg besar bagi kita

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *