Warisan Nenek Penjual Pecel

Oleh: Yonatan

nenek-penjual-pecel

Monggo, sami nderek Gusti, Monggo, sami nderek Gusti. Gusti Yesus Juru Wilujeng, Monggo, monggo sami nderek Gusti”. [Mari kita ikut Tuhan. Mari kita ikut Tuhan. Tuhan Yesus Juruselamat, mari mari kita ikut Tuhan…]

Setiap senandung itu terdengar, aku tahu siapa yang lewat di depan rumah. Seorang nenek yang menjajakan pecel untuk menyambung hidup. Ia miskin, sebatang kara, hidup di sebuah rumah kontrakan yang super sederhana, dan menderita rabun senja. Namun, seulas senyum selalu tersungging di wajahnya yang keriput, seolah ia adalah orang paling bahagia sedunia.

Sungguh aku tak pernah menyangka nenek itu akan menjadi seseorang yang memberi warisan terbesar bagi hidupku dan keluargaku.

Ceritanya, suatu hari ayahku ditimpa masalah tak terduga. Ada maling di kampung kami. Dengan semangat heroik sebagai seorang kepala sekolah dan tokoh agama setempat, ayahku pun segera keluar rumah dan mengejar si maling yang sedang dikejar warga. Sayangnya, si maling berlari terlalu cepat. Dalam sekejap sosoknya lenyap dari pandangan mata. Tinggallah ayahku berlari paling depan, hingga banyak orang justru mengira ia adalah si maling yang dikejar. Hari itu, bukan saja ayahku digebuk hingga babak belur. Ia pun harus mendekam di tahanan selama beberapa hari.

Tahukah kamu siapa yang paling rajin membesuk ayahku? Si nenek penjual pecel. Dengan setia ia datang, tidak hanya membawakan beberapa patah kata penghiburan, tetapi juga pecel dagangannya, lengkap dengan beberapa potong gorengan, untuk dimakan ayahku. Setelah lepas dari tahanan, ayahku tidak langsung pulang ke rumah. Ia malu karena sebagian warga sudah menganggapnya sebagai maling yang sebenarnya. Ia lalu diajak tinggal di rumah nenek penjual pecel untuk sementara waktu. Betapa senangnya ayahku! Ia pun bertanya apa ada yang dapat ia lakukan untuk membantu nenek selama ia tinggal di rumahnya. Nenek itu berkata, ayahku bisa membantunya membacakan Alkitab setiap malam, karena matanya kesulitan melihat di malam hari.

Benar bahwa Firman Allah itu “tidak pernah kembali dengan sia-sia” (Yesaya 55:11). Apa yang dibacakan ayahku untuk si nenek penjual pecel itu berbicara juga dengan kuat kepada ayahku. Memang ayahku tak langsung menjadi pengikut Kristus. Ia dibesarkan dalam kepercayaan yang sama sekali berbeda. Butuh waktu sekitar 8 tahun sebelum ia kemudian menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dengan segenap pikiran dan hatinya. Namun, tanpa kesaksian nenek itu, bukan tak mungkin ayahku akan tetap menjadi seorang yang anti dengan kekristenan.

Iman ayahku menjadi warisan yang sangat berharga bagi anak-anaknya, termasuk diriku. Aku diajarnya untuk memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan semata. Semua manusia telah berdosa, dan tak mungkin menyelamatkan dirinya sendiri dengan semua amal baiknya. Sebab itulah Tuhan menyediakan jalan keselamatan bagi umat manusia melalui Kristus yang tak berdosa. Rumah tempat aku tinggal sekarang menjadi saksi yang terus mengingatkanku akan komitmen kami sekeluarga mengikut Kristus. Rumah ini sempat dilempari batu dan aneka kotoran oleh para tetangga, saat mereka tahu keluarga kami menjadi Kristen. Namun, ayah terus mendorong kami untuk teguh dalam iman. Tak hanya kepada istri dan anak-anaknya, ayahku juga memperkenalkan Sang Juruselamat kepada saudara-saudaranya. Dua saudaranya beserta pasangan hidup dan anak-menantunya kini sudah menjadi pengikut Kristus. Demikian juga halnya dengan tujuh saudara ibuku, beserta pasangan hidup dan anak-menantu mereka. Kesaksian ayahku juga membawa ibunya (nenekku) mengenal dan percaya kepada Kristus.

Hingga hari ini kami semua tak pernah tahu siapa nama nenek penjual pecel yang telah menaburkan benih Firman Tuhan kepada ayahku, dan mengubah kehidupan tiga generasi dalam keluarga kami. Ketika ayah kembali berkunjung ke kontrakan nenek itu, ia tidak ada lagi di sana. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Senandungnya tak pernah terdengar lagi. Mungkin ia adalah malaikat yang diutus membuka jalan bagi kami untuk mengenal Sang Juruselamat.

Dalam kondisinya yang serba terbatas, nenek penjual pecel itu telah mewariskan hal terbesar bagiku dan keluargaku, yaitu pengenalan akan anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Darinya aku belajar, bahwa kemiskinan, sakit-penyakit, dan semua keterbatasan manusiawi kita, bukanlah halangan untuk hidup mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan membagikan kasih-Nya kepada sesama. Suatu saat kelak, aku akan memeluknya di surga, mengucapkan terima kasih atas apa yang telah ia wariskan bagi kami sekeluarga. Kiranya Tuhan juga memampukanku (dan kamu) untuk mewariskan hal yang sama kepada generasi ini dan generasi yang akan datang.

Bagikan Konten Ini
15 replies
  1. Thomjon Patogar
    Thomjon Patogar says:

    Waktu saya membaca kesakasianmu saya terharu, dan Saya benar2 diberkati atas kesaksianmu. Tuhan Yesus memberkatimu dan selalu menyertaimu…

  2. Andri
    Andri says:

    Terus terang, saya juga mengalami hal yg membuat saya seperti “bosan” dan “kering” sekalipun saya aktif ikut dalam melayani pekerjaan Tuhan di gereja sejak kecil. Saya seperti Marta yang sibuk, saya seperti saudara-saudara yang bersaksi tentang bosan dan kering nya hidup bergereja…Namun tidak kebetulan, sore ini saya kembali diingatkan oleh Nenek, the angel..yang memberikan teladan bukan karena kepintarannya, tapi karena kasihnya yang begitu melimpah, sampai keluar, mengalir sampai jauh ke 3 generasi yang baru, ahhh sungguh airmata saya mengalir membaca kesaksian ini, saya percaya Tuhan tahu semua kelelahan jiwa dan fisik yang saya alami, tapi saya masih percaya, ada “aliran-aliran air hidup” yang sudan Tuhan taruh dalam hati saya. Jangan lelah bekerja di ladangnya Tuhan, Roh Kudus yang beri kekuatan, yang mengajar dan menopang…Salam kasih selalu..

  3. Susanto
    Susanto says:

    Saya merasa ditegur oleh Renungan Firman hari ini. Karena saya sdh menikmati kasihnya yg luar biasa, tapi dibandingkan dengan perbuatan Sang Nenek saya masih kalah jauh dan tidak ada apa apanya

    Terima kasih utk sharing artikelnya

  4. Chitra Badudu
    Chitra Badudu says:

    Sungguh luar biasa dampak dari pekerjaan Tuhan melalui nenek ini. Begitu banyak anggota keluarga Yonatan Sarbini yang telah dimenangkan oleh Kristus! Saya percaya bahwa Tuhan bisa memakai siapa saja untuk menyampaikan Injil yang menyelamatkan manusia. Tuhan tahu siapa yang akan IA pakai dan berbahagialah dia yang mau dipakai oleh-Nya. Saya bertanya-tanya dalam hati…., apakah Tuhan berkenan memakai hidup saya unutk pekerjaan-Nya….? Apa yang DIA ingin saya lakukan….dengan apa yang ada pada saya dan kemampuan serta kelebihan yang DIA anugerahkan kepada saya…., di sisa hidup ini. Saya akan berdoa dan bertanya kepada-Nya, terdorong oleh cerita sang nenek-pecel ini…. Terima kasih untuk cerita ini.

  5. Grace
    Grace says:

    Terima kasih banyak sharingnya. Mengingatkanku bahwa mengenal Tuhan merupakan anugerah yang tidak boleh ditahan sendiri dalam kondisi apapun.

  6. Yonatan
    Yonatan says:

    @Thank you, Chitra Badudu,

    Melalui seorang nenek tua, sebatang kara, miskin, rabun dan penjual pecel inilah keselamatan diwariskan bagi satu garis keturunan keluarga besar kami. Dua dari tiga kakak-adik dari alm ayah menerima Yesus beserta pasangan hidup dan anak cucunya hingga sekarang. Dan tujuh dari sepuluh kakak-adik dari alm ibu menerima Yesus beserta pasangan hidup dan anak cucunya hingga sekarang.

    Jangan berhenti menceritakan kebenaran firman Tuhan!

    “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”

    Efesus 2:8-9

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *