Baa!

Kamis, 6 Maret 2014

Baa!

Baca: Yesaya 30:1-5,18-19

30:1 Celakalah anak-anak pemberontak, demikianlah firman TUHAN, yang melaksanakan suatu rancangan yang bukan dari pada-Ku, yang memasuki suatu persekutuan, yang bukan oleh dorongan Roh-Ku, sehingga dosa mereka bertambah-tambah,

30:2 yang berangkat ke Mesir dengan tidak meminta keputusan-Ku, untuk berlindung pada Firaun dan untuk berteduh di bawah naungan Mesir.

30:3 Tetapi perlindungan Firaun akan memalukan kamu, dan perteduhan di bawah naungan Mesir akan menodai kamu.

30:4 Sebab sekalipun pembesar-pembesar Yerusalem sudah ada di Zoan, dan utusan-utusannya sudah sampai ke Hanes,

30:5 sekaliannya akan mendapat malu karena bangsa itu tidak dapat memberi faedah kepada mereka, dan tidak dapat memberi pertolongan atau faedah; melainkan hanya memalukan, bahkan mengaibkan mereka.

30:18 Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!

30:19 Sungguh, hai bangsa di Sion yang diam di Yerusalem, engkau tidak akan terus menangis. Tentulah Tuhan akan mengasihani engkau, apabila engkau berseru-seru; pada saat Ia mendengar teriakmu, Ia akan menjawab.

Tentulah Tuhan akan mengasihani engkau, apabila engkau berseru-seru; pada saat Ia mendengar teriakmu, Ia akan menjawab. —Yesaya 30:19

Baa!

Salah satu permainan yang mula-mula dimainkan oleh banyak orangtua bersama anak adalah berpura-pura menakuti mereka. Ayah menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan dan tiba-tiba memunculkan wajahnya sambil berkata, “Baa!” Si anak pun tertawa geli melihat kekonyolan ini.

Ditakut-takuti adalah permainan yang menyenangkan bagi si anak, tetapi suatu hari ia akan mengalami ketakutan sebenarnya yang tidak lagi bersifat main-main. Ketakutan pertama biasanya dialami saat ia merasa terpisah dari orangtua. Bisa saja si anak berjalan ke sana kemari karena terpikat pada hal-hal yang menarik hatinya. Namun segera setelah menyadari ia telah tersesat, ia mulai panik dan menangis dengan keras. Orangtuanya pun segera datang untuk meyakinkan anaknya itu bahwa ia tidak sendirian.

Setelah dewasa, ketakutan pura-pura kita berkembang menjadi lebih canggih—lewat cerita, film horor, atau wahana di taman hiburan. Rupanya merasakan ketakutan memberikan sensasi yang begitu menantang sehingga kita mulai mengambil risiko yang lebih besar demi sensasi yang lebih hebat.

Namun saat ketakutan yang sesungguhnya datang, kita mungkin tersadar bahwa kita, seperti bangsa Israel di zaman dahulu (Yes. 30), telah menyimpang dari Allah yang mengasihi dan memelihara kita. Saat menyadari bahwa kita dalam bahaya, kita pun panik. Seruan kita minta tolong tidak keluar dalam bentuk kata-kata yang rumit atau pembelaan diri yang tertata rapi; yang ada hanyalah seruan putus asa.

Layaknya orangtua yang penuh kasih, Allah akan menjawab kita dengan segera karena Dia rindu agar kita hidup dalam lindungan kasih-Nya. Dalam kasih-Nya, kita tidak perlu lagi merasa takut. —JAL

Aku tak pernah berjalan sendiri, Kristus besertaku;
Dialah Sahabat terbaik yang pernah kukenal;
Dengan Sahabat yang selalu menghibur dan menuntunku,
Aku tak pernah, tidak akan pernah, berjalan sendiri. —Ackley

Mempercayai kesetiaan Allah akan menolong kita menghalau ketakutan.

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *