Ketika Tak Ada Yang Datang
Senin, 6 Januari 2014
Baca: Matius 6:1-7
6:1 “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
6:2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.
6:4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
6:5 “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
6:7 Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.
Jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka. —Matius 6:1
Pada suatu malam di musim dingin, komposer Johann Sebastian Bach dijadwalkan untuk menggelar pertunjukan perdana dari gubahan musik terbarunya. Bach tiba di gereja dengan harapan tempat tersebut akan dipenuhi penonton. Akan tetapi, ternyata tak seorang pun datang. Dengan tetap bersemangat, Bach meminta para musisinya untuk tetap tampil sesuai rencana. Mereka menempati posisi masing-masing, Bach mengangkat tongkat kecilnya, dan gereja kosong itu pun segera dipenuhi dengan musik yang luar biasa.
Kisah ini membuat saya melihat isi hati saya sendiri. Akankah saya menulis jika hanya Allah yang menjadi pembaca satu-satunya? Apa pengaruhnya pada tulisan-tulisan saya?
Para penulis pemula sering disarankan untuk membayangkan satu orang yang menjadi sasaran tulisan mereka sebagai cara untuk mempertahankan fokus penulisan. Saya menerapkan saran itu ketika menulis artikel renungan; saya mencoba untuk memikirkan para pembaca karena saya ingin menulis sesuatu yang mau mereka baca dan akan menguatkan iman mereka.
Saya tidak yakin bahwa Daud sedang memikirkan “para pembaca” ketika menuliskan mazmur-mazmurnya yang selama ini kita baca untuk menghibur dan menguatkan kita. Satu-satunya pembaca yang ada di benaknya hanyalah Allah.
Apa pun perbuatan kita, seperti “kewajiban agama” yang disebut dalam Matius 6, baik dalam menghasilkan karya seni atau memberikan pelayanan, kita patut mengingat bahwa apa yang kita kerjakan sesungguhnya adalah antara kita dengan Allah. Entah ada orang yang memperhatikannya atau tidak, Allah sendiri pasti melihatnya. —JAL
Kiranya perbuatanku menyatakan kemuliaan-Mu,
Engkau sungguh layak dimuliakan, ya Tuhanku!
Dengan darah-Mu yang mahal Engkau menebusku—
Di sepanjang hidupku, aku akan melayani-Mu! —Somerville
Melayanilah, walau hanya Tuhan yang melihatnya.
Wlpn aku bru pRtama buka web ini, but Evry moning ni my doi bacain ini buat bahan saat teduh kita tiap pagi,semangatt n Tuhan memberkati memberikan inspirasi lebih lagi amiin !
memang apapun yang kita lakukan dan perbuat bukan untuk manusia tapi untuk Tuhan yang memberikan sukacita terbesar di dalam kehidupan kita
Tuhan Yesus memberkati
inilah motivasi pelayanan yang benar..apapun yang kamu perbuat perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk TUhan dan bukan untuk manusia (kolose 3:23)