Posts

Kisahku sebagai Korban Bullying yang Berharga di Mata Allah

Oleh Suparlan Lingga

“Emang dipikirnya dia itu siapa?”
“Sombong benar orang itu.”
“Kata-katanya sungguh menyakitkan hatiku, ingin rasanya kusumpal dan kurobek mulutnya itu.”
“Ah, kenapa orang-orang itu suka memandang remeh diriku, aku harap mereka lenyap dari muka bumi ini!”

Beberapa ungkapan di atas menggambarkan kondisi dan perasaan hatiku ketika dulu masih belum mengenal Allah secara pribadi. Ketika masih SMA, aku sering merasa marah, kecewa, dan dendam dengan perkataan dan perilaku teman sekelasku yang suka merundung (bully) dan mengolok-olok orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik perundungan, mengolok-olok, meremehkan, dan sebagainya memang kerap terjadi di berbagai sekolah, tak terkecuali sekolahku. Berhadapan setiap hari dengan orang-orang yang suka merundung tersebut rasanya selalu membuatku ingin marah, kesal, dan juga kecewa. Aku tidak suka dengan realitas hidup seperti ini.

Namun, sebenarnya yang menjadi persoalan utama bukanlah orang-orang yang mengolok-olokku itu, melainkan caraku menyikapi mereka. Untuk membalas perilaku mereka, aku merasa perlu menonjolkan eksistensi diri agar mereka tidak memandang rendah diriku, bahkan kalau bisa supaya mereka takut kepadaku. Aku menantang siapa saja yang kuanggap meremehkanku, bahkan mengajak mereka berkelahi secara fisik. Aku juga bergabung dengan kelompok atau geng siswa yang dianggap nakal. Kupikir, dengan cara ini aku bisa menunjukkan siapa diriku.

Selanjutnya, di sekolah pun aku menjadi anak yang bandel. Aku mulai ikut-ikutan bolos dengan teman-teman satu geng, malas belajar, dan sering tidak mengerjakan tugas. Beberapa kali wali kelasku memberikan peringatan, bahkan sampai membuat surat panggilan untuk orangtua, tapi surat itu tidak pernah kusampaikan. Nilai raporku pun menjadi buruk. Puncaknya, aku tidak bisa mengikuti ujian caturwulan karena belum membayar uang sekolah. Uang yang seharusnya kubayarkan ke sekolah malah kupakai jalan-jalan dan berjudi. Akhirnya, keluargaku memutuskan untuk memindahkanku dari sekolah tersebut.

Meski sebenarnya aku menolak, namun aku tidak memiliki pilihan lain dan aku pun menuruti keputusan keluargaku yang memindahkanku ke sebuah kota kecil. Namun, siapa sangka bahwa kepindahanku inilah yang justru membawaku kepada pengalaman baru. Kebetulan, di kota itu aku tinggal di sebuah keluarga Kristen yang taat. Mereka mengajakku beribadah ke gereja, berdoa bersama, dan saat teduh setiap pagi. Awalnya, aku melakukannya dengan setengah hati dan cenderung ingin menolak. Namun, mereka tetap mengajakku dengan lembut hingga lama-kelamaan aku mulai tergugah dan mengikuti ajakan mereka. Di sini aku mulai belajar untuk membaca dan memahami Alkitab dengan sungguh-sungguh. Aku juga mulai ikut persekutuan anak muda yang membantu imanku terus bertumbuh dalam Kristus. Kepindahan ke kota kecil inilah yang memberiku kesempatan untuk mengenal dan menerima Kristus dalam hidupku.

Hal paling mendasar yang kurasakan ketika mengenal Kristus secara pribadi adalah perubahan cara pandangku terhadap diriku sendiri. Aku diingatkan bahwa Alalh sangat mengasihiku. Aku adalah ciptaan-Nya yang berharga, seperti tertulis demikian: “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4). Allah telah menunjukkan kasih-Nya secara nyata kepadaku melalui pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosaku.

Mengetahui kebenaran bahwa Allah begitu mengasihiku membuatku tidak perlu cepat marah dan dendam ketika diperlakukan tidak baik oleh siapapun. Aku tidak perlu merasa berkecil hati atau cepat tersinggung ketika merasa ada orang yang menganggap remeh diriku. Aku juga belajar bahwa segala kemarahan, sakit hati, kekecewaan, dan dendam yang kurasakan sebelumnya merupakan salah satu wujud dari egoku sendiri.

Dengan cara pandang yang baru ini, maka aku bisa membuat perubahan dalam menjalani hidupku. Ketika ada orang yang memperlakukanku dengan tidak baik, aku tidak akan segera marah, melainkan mencoba mengendalikan diri dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai bagian dari pembelajaran hidupku. Ketika ada orang lain yang memandang remeh diriku, aku tidak langsung berkecil hati ataupun sakit hati. Dengan memohon hikmat Allah, aku belajar untuk lebih bijak ketika menghadapi berbagai perlakuan yang kurang menyenangkan.

Puji Tuhan, dengan perubahan-perubahan inilah akhirnya aku bisa melanjutkan sekolahku dengan baik. Allah menolongku untuk menjadi seorang siswa yang bersemangat. Dan, karena pertolongan-Nya pula aku bisa meninggalkan pergaulan dan kebiasaanku yang buruk. Akhirnya, aku bisa menyelesaikan SMA dengan nilai yang bagus dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Setelah lulus kuliah, aku bekerja selama beberapa tahun dan melanjutkan kembali studi pasca-sarjanaku di Amerika Serikat.

Ini semua karena kebaikan Allah semata. Aku percaya dan mengimani bahwa diriku berharga di hadapan-Nya. Hidup kita berharga bagi Allah.

Baca Juga:

Dilemaku Ketika Aku Divonis Menderita Penyakit Kista

Setahun lalu, sebuah penyakit kista coklat bernama endometriosis yang dikhawatirkan oleh banyak perempuan muncul di rahimku. Dokter menganjurkanku untuk operasi dan berkat kasih karunia Tuhan, operasi tersebut berjalan lancar. Akan tetapi, setahun berselang, penyakit itu kambuh kembali dan sudah melengket pada usus dan saluran kemihku.

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Anugerah-Keselamatan-yang-Kau-Berikan

Oleh Suparlan Lingga, Amerika Serikat

“Selamat ya Pak, putri Anda sudah lahir dengan selamat,” ucap sang perawat kepada Steve atas kelahiran anak keduanya. Wajah Steve langsung berseri-seri, dia pun masuk ke ruang bersalin lalu memeluk dan mencium istrinya, Stacy. Hari itu, tanggal 12 Desember 2002, adalah hari yang penuh sukacita karena mereka menyambut kelahiran buah hati yang mereka namai “Katie”.

Semua kelihatan berjalan baik dan normal, namun beberapa jam kemudian tiba-tiba Katie mengalami sesak nafas dan lemas. Katie langsung dilarikan ke unit perawatan khusus bayi (NICU). Setelah diperiksa, ternyata kadar sel darah merahnya sangat rendah. Dokter pun langsung memberitahu orangtuanya bahwa Katie membutuhkan transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya.

Dua bulan kemudian, Katie kembali didiagnosa menderita Diamond-Blackfan Anemia (DBA), sebuah penyakit langka di mana tulang sumsum tidak bisa memproduksi cukup sel darah merah (sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke jaringan tubuh). Jadi untuk bertahan hidup, Katie harus selalu mendapat transfusi darah rutin setiap bulan.

Perawatan inipun hanya bersifat sementara karena transfusi darah yang dilakukan secara rutin dapat membuat tubuh Katie menerima zat besi berlebih sehingga akan merusak organ-organ tubuh Katie yang lain. Apabila organ-organ tubuh vital mengalami kerusakan, penderita penyakit ini kemungkinan hanya bisa hidup mencapai usia 30 atau 40 tahunan.

Keluarga Katie sangat terpukul mendengar hasil diagnosa ini. Mereka berusaha keras mencari pengobatan alternatif untuk menyelamatkan Katie. Sambil menjalankan transfusi darah bulanan, mereka berusaha mencari informasi dari berbagai dokter dan pakar kesehatan.

Kemudian ada secercah harapan untuk menolong Katie, yaitu dengan melakukan transplantasi tulang sumsum. Syaratnya, itu harus dilakukan sebelum Katie berumur lima tahun. Transplantasi ini harus diambil dari saudara yang secara genetik memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) persis sama dengan Katie. Setelah diperiksa, ternyata tidak satupun saudara Katie yang memiliki genetik persis sama. Keluarga Katie kembali sedih dan putus harapan.

HLA merupakan suatu protein yang berfungsi mengatur sistem imun tubuh dan biasanya digunakan untuk proses pencocokkan antara donor dan resipien. Sebagian HLA ini diturunkan dari ayah, dan sebagian lagi dari ibu. Jadi, sekalipun saudara kandung, peluang kecocokan HLA ini hanya 25% saja.

Beberapa waktu kemudian, seorang dokter mengatakan bahwa Katie bisa diselamatkan apabila Katie memiliki adik yang genetiknya persis sama. Ini bisa dilakukan dengan metode In Vitro Fertilization (IVF) dan Pre-implantation Diagnosis (PGD). Dengan metode IVF (sering disebut bayi tabung), beberapa embrio akan dibuat dalam laboratorium khusus. Lalu sel embrio ini akan di-screening melalui PGD untuk melihat mana yang memiliki gen sama dengan Katie dan paling sehat.

Embrio terbaik akan dimasukkan ke rahim ibunya. Lalu lahirlah seorang bayi yang disebut ‘savior siblings’; seorang anak yang akan menyelamatkan saudaranya yang sakit dengan berperan sebagai donor hidup.

Meskipun diwarnai pro-kontra, keluarga Katie akhirnya menerima pilihan ini. Bulan Mei 2005, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Christopher. Setelah Christopher berumur setahun, dilakukan transplantasi tulang sumsum dan Katie pun sembuh.

* * *

Kisah Katie merupakan sebuah kisah nyata dari keluarga Steve dan Stacy Trebing yang ditulis lengkap oleh seorang jurnalis bernama Beth Whitehouse. Kisah itu kini dapat ditemukan dalam buku yang berjudul “The Match, Savior Siblings and One Family’s Battle to Heal Their Daughter.”

Sebagai seorang mahasiswa jurusan Health Care Management, kisah Katie ini menjadi bagian dari bahan presentasiku tentang ‘savior siblings’ atau ‘saudara penyelamat’ di kelas Etika dan Hukum Kesehatan, Universitas Massachusetts Lowell, Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontranya, konsep ‘savior siblings’ ini terbukti efektif menyelamatkan anak yang menderita penyakit langka.

Ketika mempersiapkan bahan presentasi, aku merasa diingatkan kembali tentang bagaimana Yesus menyelamatkan manusia. Kalau ‘savior siblings’ berarti harus memiliki genetik yang sama untuk menyelamatkan saudaranya, maka Yesus turun ke dunia dan menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan kita yang berdosa. Hanya dengan cara seperti itulah, kita bisa diselamatkan dari maut.

Dengan kelahiran Yesus ke dunia, kita bisa melihat Allah dalam rupa manusia. Dengan penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, dosa kita ditebus sehingga kita tidak binasa. Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita. Tidak ada jalan atau cara lain. Ini semua karena Allah sungguh mengasihi kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Hanya dengan pengorbanan Yesuslah, kita bisa diselamatkan. Dialah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak ada satu makhlukpun atau agama apapun yang bisa menjamin keselamatan selain Yesus. Dialah Tuhan dan Juruselamat kita. Seperti kata Yesus, ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Jadi kita memang harus bersyukur dan bersukacita dengan anugerah keselamatan yang diberikan Allah melalui kelahiran Yesus ke dunia. Jangan pernah ragu dengan keselamatan yang dijamin Yesus. Mari kita hidupi anugerah keselamatan ini dengan pertobatan sejati dan menjalankan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur Meski Harus Kehilangan Impianku

Kehidupan perkuliahanku berjalan dengan lancar. Aku berhasil mendapatkan IPK di atas 3.50 dan tidak pernah mengulang mata kuliah. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir. Ada banyak masalah yang terjadi dan menghambatku untuk lulus tepat waktu. Dan inilah pengalamanku yang ingin kubagikan kepadamu.