Posts

3 Hal untuk Direnungkan Untukmu yang Punya Keterbatasan Fisik

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Memiliki bentuk tubuh dan rupa yang menarik dilihat rasanya adalah dambaan setiap orang. Tapi, tak semua ‘beruntung’ terlahir dengan kondisi fisik yang diidamkan.

Aku dilahirkan sebagai bayi yang normal dan sehat, sampai beberapa bulan setelahnya orang tuaku menyadari ada yang berbeda dengan mata kananku. Terjadi pembekuan darah dan saraf di sana, sehingga pupil dan bola mataku tidak bereaksi terhadap cahaya. Cerita yang lebih lengkap tentang kelainan mataku ini pernah kutuliskan sebelumnya di sini.

Sampai saat ini, kerap kali aku masih ingat dengan ejekan teman–teman saat aku bersekolah dulu atas kondisi fisikku. Terkadang, memori lama itu membuatku tidak percaya diri, terutama saat berinteraksi dengan orang banyak. Dengan kondisiku fisikku ini, tentunya ada kesulitan yang aku rasakan saat melakukan aktivitas sehari–hari. Salah satunya seperti saat mengendarai motor atau belajar mengemudikan mobil. Untuk melihat spion yang berada di sisi kanan dan kiri, aku hanya bisa melihat dengan sebelah mata. Ditambah lagi apabila aku mengalami kelelahan fisik, kelopak mataku pasti akan nyaris menutup.

Teman-temanku, melalui tulisan ini, aku ingin membagikan beberapa poin menurut perjalananku yang bisa dilakukan ketika fisik kita memiliki keterbatasan.

1. Ingatlah selalu bahwa tidak ada manusia yang sempurna

Tidak ada hal yang lebih sulit daripada penerimaan atas diri sendiri. Mereka yang berhasil berdamai dengan diri sendiri pasti butuh waktu untuk berproses. Tidak ada yang instan. Aku pun demikian. Aku masih dan akan terus belajar menerima diri sendiri. Tidak lagi mbatin “seandainya aku begini” atau “seandainya aku begitu”.

Rasul Paulus menuliskan begini: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9).

Jika saja Paulus tidak memiliki keterbatasan, besar kemungkinan pelayanannya akan penuh dengan kesombongan akan diri sendiri. Kelemahan tidak selalu tentang fisik yang terlihat berbeda, mungkin saja ada penyakit dalam yang sulit disembuhkan, yang membuat kita merasa tidak nyaman dalam menjalani keseharian. Tetapi, tidak ada satu pun manusia yang sempurna yang terbebas dari kekurangan fisik, meskipun di mata kita seseorang itu tampak tidak ada kurang-kurangnya sama sekali.

Sepenggal kisah Paulus dalam 2 Korintus mengingatkan kita untuk selalu bergantung pada Tuhan Sang Pemilik Hidup kita.

2. Ingatlah segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya

Masih ingat bagaimana sikap murid–murid saat bertemu orang yang buta sejak lahir di ayat awal Yohanes 9?

Mereka bertanya “Siapakah yang berbuat dosa, dirinya sendiri kah atau orang tua nya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tua nya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia” (Yohanes 9:3).

Memang begitu banyak hal di luar jangkauan kita. Namun, percayalah tidak ada satupun hal tersebut berada di luar kuasa-Nya. Keterbatasan yang saat ini aku dan teman–teman alami adalah hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita. Bukan karena dosa bawaan keluarga, tetapi seperti kusebutkan di poin pertama, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat segala kemalangan tidak terhindarkan, tetapi ada kabar baiknya… Kristus telah menang atas dosa dan bagi kita yang menerima-Nya sebagai Juruselamat, Dia memberikan bagi kita identitas baru. Identitas kita tidak lagi ditentukan berdasarkan seperti apa penampilan kita di mata orang lain, tetapi ditentukan oleh apa yang telah Dia perbuat bagi kita.

3. Tetap berkarya meski terbatas

Keterbatasan fisik bukanlah suatu halangan untuk kita terus berkarya dan menjadi saksi-Nya. Kamu dan aku adalah terang dan garam dunia (Matius 5:13–14). Di mana pun saat ini kita berada, apa pun status kita, kita adalahi terang dan garam dunia.

Hidup yang kita jalani adalah hidup yang berutang kepada Penebus yang tergantung di kayu salib. Maka sudah sepatutnya kita menjalani hidup dengan tidak setengah-setengah dan terus berjuang memberikan yang terbaik, bahkan sekalipun ketika yang terbaik itu tidak terlihat oleh manusia. Selain itu, hidup kita bagaikan kitab terbuka yang dapat dibaca oleh sesama. Siapa yang mereka lihat dan rasakan melalui perbuatan dan perkataan kita, tergantung dari bagaimana kita menjalani hidup kita.

Teman, itulah tadi poin-poin yang kuambil selama 30 tahun perjalananku sebagai seorang yang memiliki keterbatasan fisik. Sampai saat ini, aku masih dan akan terus berjuang untuk memberikan hidup yang terbaik bagi Tuhan. Belajar untuk tidak minder saat bertemu dengan orang banyak dan juga terus memelihara pemberian Tuhan lainnya. Meski hanya melihat dengan sebelah mata, tetapi aku tahu dunia ini begitu luas dan Tuhan berjalan bersamaku untuk menikmatinya. Kendala di mataku tidak membuatku abai akan anggota tubuh yang lain, yang tetap harus kupelihara.

Kiita dicipta segambar dan serupa dengan Allah dan ketika Dia membentuk kita, Dia melihat bahwa semuanya itu baik.

Dalam tangan-Mu, ku s’rahkan hidupku
Ku taruh penuh harapku pada-Mu
Kemenanganku hanya ada di dalam janji-Mu
Engkaulah Tuhan Pemilik Hidupku

Semua yang terjadi dalam hidupku
Semuanya atas seijin Diri-Mu
Semuanya indah dalam rencana-Mu
S’bab ku tahu, Kau Pemilik Hidupku

Kado Awal Tahun

Oleh Sukma Sari, Jakarta
Foto oleh Aryanto Wijaya

Jakarta, 2 Januari 2020

Aku menulis artikel ini di sebuah restoran cepat saji tidak jauh dari rumah. Bukan tanpa alasan aku kemari dari jam 7 pagi di hari kedua tahun 2020. Ya, banjir di awal tahun di beberapa titik ibu kota membuat rumahku terkena pemadaman listrik dari PLN. Baterai telepon selulerku mati dari jam 3 subuh tadi. Untungnya aku sempat mendapat kabar kalau pagi ini, kantor diliburkan.

Memang bukan pertama kali Jakarta dan sekitarnya mengalami banjir, akan tetapi kita mungkin jengah jika setiap musim hujan selalu dilanda rasa was-was rumah kita kebanjiran atau tidak.

Pemadaman listrik di rumah membuat aku uring-uringan, bahkan Mama ku pun juga terkena dampak emosiku. Banyak pertanyaan “bagaimana jika” yang menumpuk di kepalaku.

Bagaimana jika lampu tidak menyala dan aku harus ke toilet?

Bagaimana jika sampai malam ini, listrik tetap padam dan aku kembali harus tidur dalam kegelapan total?

Dan masih banyak bagaimana jika lainnya. Baru hari kedua di tahun 2020 aku sudah dilanda ketakutan.

Aku lupa, bahwa pemadaman listrik PLN toh pasti akan berakhir, meskipun aku tidak tahu entah kapan waktunya. Listrik akan berfungsi normal seperti biasa. Aku lupa bahwa apa yang aku alami tidak separah orang-orang (atau bahkan teman-teman yang sedang membaca tulisanku saat ini) yang tempat tinggalnya kebanjiran. Harta benda dan pakaian sudah pasti basah, hidup dalam pengungsian sementara atau lebih parahnya, harus bertahan di tingkat atas rumah karena air telah naik. Kekhawatiran membuat aku tidak bisa berpikir dengan bijak.

Pagi ini, aku teringat akan kisah para murid Yesus yang perahunya terombang-ambing akibat badai. Mereka juga ketakutan ketika melihat sesosok orang berjalan di tengah badai yang dikira mereka hantu, padahal itu Yesus, Guru mereka yang berjalan diatas air menghampiri mereka. Sesudah Yesus menyatakan diri-Nya, Petrus berseru: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air” (Matius 14:28). Namun, tiupan angin membuat Petrus takut dan dia pun tenggelam (Matius 14:22-33).

Mungkin kita pernah berpikir “Para murid saja yang melihat Yesus dan menghabiskan waktu bersama-Nya masih takut, apalagi kita yang tidak pernah bertemu muka dengan-Nya? Wajar dong kalau kita merasa takut”.

Teman-teman, rasa takut adalah hal yang wajar. Tapi, Yesus sendiri sudah mengatakan untuk kita tidak perlu khawatir akan apa pun juga. Jika burung pipit dan bunga bakung yang hari ini ada, besok dibuang itu dipelihara Tuhan, apakah ada alasan bagi kita untuk terus-terusan khawatir? Yang Tuhan inginkan adalah supaya aku dan kamu, hari demi hari mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan yang lain akan mengikuti (Matius 6:25-34).

Mengawali tahun yang baru ini, bencana banjir yang menghadang rasanya seperti “kado” awal tahun yang tak diinginkan. Namun, aku ingin mengajak teman-teman untuk bersama-sama kita percaya. Percaya bahwa entah apa pun yang telah dan akan terjadi, suka dan duka di waktu ini dan mendatang nanti, Tuhan tetap ada bersama kita. Awal yang kelabu bukan berarti sepanjang tahun akan kelabu, bersama Tuhan yang beserta kita, kita tentu dibimbing-Nya melewati padang rumput maupun lembah kelam sekalipun. Tuhan telah ada sebelum dunia ada, dan akan terus ada sampai selamanya.

Jika kamu terdampak banjir di awal tahun ini, kiranya pertolongan Tuhan besertamu.

Baca Juga:

Sendirian di Tahun 2020?

Kisah-kisah pahit di tahun ini membuat kita getir. Kita pun tak tahu masalah apa yang akan menghadang, tragedi apa yang mungkin terjadi. Kita merasa sendiri dan gamang menghadapi tahun 2020 yang tinggal sejengkal lagi.

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Baru-baru ini, ada kisah penyelamatan dramatis terhadap remaja Indonesia bernama Aldi Novel Adilang. Aldi adalah seorang nelayan dari suku Wori yang berusia 19 tahun. Sehari-harinya Aldi bekerja sebagai penjaga rompong (sebuah rakit untuk menangkap ikan) yang letaknya sejauh 125 kilometer dari daratan. Nahas, pada tanggal 14 Juli 2018, angin berembus kencang dan memutus tali yang mengikat rompongnya. Aldi lalu hanyut ke Samudera Pasifik bersama rompongnya. Empat puluh sembilan hari setelahnya, yaitu pada tanggal 31 Agustus 2018, barulah Aldi ditemukan di perairan sekitar Guam, teritori Amerika Serikat di Pasifik. Aldi diselamatkan oleh kapal pengangkut batu bara dan dibawa ke Jepang. Setelah segala proses pengurusan dokumen selesai, Aldi lalu dapat pulang kembali ke Sulawesi Utara dan bertemu dengan keluarganya.

Saat diwawancarai oleh media, Aldi mengakui bahwa tujuh minggu terombang-ambing di laut hampir membuatnya putus asa. Untuk bertahan hidup, Aldi menghemat perbekalan yang tersedia di rompongnya. Saat semuanya habis hanya dalam seminggu pertama, Aldi mencari cara lain. Aldi memancing ikan, menadah hujan, dan meminum air laut dari perasan bajunya. Bukan cuma berjibaku dengan lapar dan haus, Aldi pun harus mempertahankan dirinya dari cuaca samudera yang ekstrem dan serangan ikan-ikan buas. Hingga di suatu hari, Aldi merasa hidupnya telah berada di titik nadir. Fisiknya lemas, psikisnya tidak berdaya. Daratan tak kunjung digapai, dan harapan untuk bertemu kembali dengan kedua orang tuanya seperti mustahil. Aldi ingin bunuh diri saja.

Namun, sesuatu dari dalam diri Aldi menahannya untuk melakukan itu.

“Saat itu (mau bunuh diri), saya kembali masuk ke rumah rakit. Saya membaca Alkitab,” kata Aldi dalam cuplikan wawancaranya kepada media.

Aldi lalu membaca Matius 6, yang isinya adalah Doa Bapa Kami. Setelah itu, dia terus melanjutkan pembacaan Alkitabnya, juga menyanyikan lagu-lagu rohani. Di tengah kondisi di mana harapan seolah padam, Alkitab menjadi satu-satunya pengingat Aldi bahwa sesungguhnya harapan itu tidak pernah hilang. Aldi lalu percaya dengan kekuatan Tuhan hingga akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2018, sebuah kapal pengangkut batu bara melintas. Kapal sudah berjalan sejauh satu mil melewati Aldi. Tapi, karena awak kapal itu mendengar teriakan Aldi, kapal pun berbalik arah dan melepaskan tali untuk menolongnya. Pada tanggal 6 September 2018, kapal tersebut tiba di Jepang. Perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia membantu pengurusan dokumen Aldi, dan pada tanggal 8 September 2018 Aldi bisa pulang ke Indonesia menggunakan pesawat dari Jepang.

Kisah Aldi yang terombang-ambing di tengah laut tanpa makanan dan minuman mengingatkanku akan kondisi yang pernah aku lalui ketika aku tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan. Di luar aku hidup, tetapi aku merasa di dalam diriku perlahan-lahan aku mati. Aku masih tetap beraktivitas seperti biasa, mengerjakan pekerjaanku di rumah maupun di kantor. Tapi, aku tahu bahwa ketika aku mengerjakannya, aku merasa seperti mayat hidup.

Aku tidak asing dengan kalimat “Doa adalah nafas hidup orang percaya”, dan kupikir kalimat itu benar adanya. Tanpa doa, tubuh rohaniku pun mati. Apabila tubuh manusia akan mengalami komplikasi saat kekurangan asupan makan dan minum, maka sebagai orang percaya yang kekurangan asupan makanan rohani berupa doa dan firman Tuhan, sudah tentu juga tubuh rohaniku akan mengalami komplikasi. Aku jadi seorang yang berjalan sendiri tanpa tuntunan Tuhan, dan relasiku dengan sesamaku pun jadi terdampak. Aku berprasangka buruk dengan orang lain, sering melawan ibuku, bahkan timbul rasa mengasihani diri yang tidak ada habisnya.

Ketika Tuhan Yesus dicobai Iblis di padang gurun, Dia berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Makanan jasmani memang penting, tetapi bagi orang percaya, makanan rohani pun sama pentingnya. Makanan rohani itu tidak lain dan tidak bukan kita dapatkan dari Alkitab, yang adalah firman Tuhan yang hidup. Tuhan tidak meninggalkan kita sendirian tanpa petunjuk untuk menjalani kehidupan kita di dunia. Dia memberikan kita firman-Nya, yang di dalamnya kita bisa mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya. Tidak ada cara lain untuk kita bisa mengetahui kehendak Tuhan selain daripada membaca dan menyelidiki firman-Nya.

Firman Tuhan yang terwujud dalam Alkitab bukanlah sekadar untaian kata yang ditulis rapi, tetapi itu sangat bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16). Pemazmur bahkan berkata, “[Taurat Tuhan] lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah” (Mazmur 19:11).

Sahabat, marilah kita setia membaca dan menyelidiki firman Tuhan, sebab firman-Nyalah roti kehidupan yang memberikan nutrisi buat jiwa kita.

Baca Juga:

Melalui Pelayanan di Gereja, Tuhan Mengubahkanku

Aku bersyukur atas kesempatan melayani di gereja yang Tuhan berikan. Tapi, lama-lama pelayanan itu terasa seperti sebuah beban berat buatku, hingga aku pun jadi kecewa dengan rekan-rekan pelayananku lainnya.