Posts

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.

Sukacita

Minggu, 28 Januari 2018

Sukacita

Baca: Mazmur 92

92:1 Mazmur. Nyanyian untuk hari Sabat.

92:2 Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada TUHAN, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya Yang Mahatinggi,

92:3 untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi dan kesetiaan-Mu di waktu malam,

92:4 dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus, dengan iringan kecapi.

92:5 Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya TUHAN, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak-sorai.

92:6 Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu, ya TUHAN, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu.

92:7 Orang bodoh tidak akan mengetahui, dan orang bebal tidak akan mengerti hal itu.

92:8 Apabila orang-orang fasik bertunas seperti tumbuh-tumbuhan, dan orang-orang yang melakukan kejahatan berkembang, ialah supaya mereka dipunahkan untuk selama-lamanya.

92:9 Tetapi Engkau di tempat yang tinggi untuk selama-lamanya, ya TUHAN!

92:10 Sebab, sesungguhnya musuh-Mu, ya TUHAN, sebab, sesungguhnya musuh-Mu akan binasa, semua orang yang melakukan kejahatan akan diceraiberaikan.

92:11 Tetapi Kautinggikan tandukku seperti tanduk banteng, aku dituangi dengan minyak baru;

92:12 mataku memandangi seteruku, telingaku mendengar perihal orang-orang jahat yang bangkit melawan aku.

92:13 Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon;

92:14 mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita.

92:15 Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar,

92:16 untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya.

Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya Tuhan, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak-sorai. —Mazmur 92:5

Sukacita

Saya semakin mendekati fase baru dalam hidup saya. Saya mulai merasakan berbagai kesulitan yang menyertai usia senja, tetapi syukurlah, saya masih dapat mengatasinya. Meskipun tahun demi tahun berlalu dengan begitu cepat dan adakalanya saya ingin memperlambat waktu, saya masih memiliki sukacita yang terus menopang saya. Setiap hari adalah hari baru yang diberikan Tuhan untuk saya. Bersama pemazmur, saya dapat mengatakan, “Sungguh baiklah bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, dan memuji Engkau, Allah Yang Mahatinggi; mewartakan kasih-Mu di waktu pagi, dan kesetiaan-Mu di waktu malam” (Mzm. 92:2-3 bis).

Meskipun saya menghadapi beragam pergumulan dan penderitaan, serta kesulitan yang dialami orang lain terkadang juga membuat saya kewalahan, Allah memampukan saya ikut bersama pemazmur untuk menyatakan, “Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya Tuhan, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak-sorai” (ay.5). Saya bersukacita karena semua berkat yang telah diberikan Allah: keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang memuaskan. Saya bersukacita karena ciptaan Allah yang menakjubkan dan firman-Nya yang kudus. Saya bersukacita karena Tuhan Yesus begitu mengasihi kita hingga Dia rela mati demi dosa-dosa kita. Dan saya bersukacita karena Allah memberi kita Roh Kudus, sumber sukacita sejati (Rm. 15:13). Karena Tuhan, orang-orang yang percaya kepada-Nya dapat “bertunas seperti pohon kurma . . . yang masih berbuah di masa tua” (Mzm. 92:13,15 bis).

Buah apakah yang dimaksud? Apa pun situasi atau fase hidup yang sedang kita jalani, kita dapat menjadi teladan dari kasih-Nya lewat cara hidup dan perkataan kita. Ada sukacita dari mengenal dan menjalani hidup bagi Tuhan dan menceritakan kabar baik tentang Dia kepada orang lain. —Alyson Kieda

Ya Tuhan, terima kasih atas sukacita yang kami miliki melalui kehadiran Roh Kudus.

Allah adalah sumber sukacita.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 19–20; Matius 18:21-35

Kehidupan Sehari-hari

Kamis, 28 Desember 2017

Kehidupan Sehari-hari

Baca: Amsal 15:13-15

15:13 Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat.

15:14 Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan.

15:15 Hari orang berkesusahan buruk semuanya, tetapi orang yang gembira hatinya selalu berpesta.

Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. —Amsal 15:13

Kehidupan Sehari-hari

Saya memasukkan belanjaan ke dalam mobil dan dengan hati-hati mengendarai mobil saya keluar dari tempat parkir. Tiba-tiba saja seorang pria muncul menyeberangi jalan persis di depan saya dengan tidak menyadari laju mobil saya. Saya segera menginjak rem dan berhasil menghindari tabrakan dengan orang itu. Pria itu terkejut, mengangkat wajahnya, dan menatap saya. Saat itu juga, saya tahu saya punya dua pilihan: meluapkan rasa frustrasi sambil menatapnya dengan tajam, atau memberikan senyum pengampunan. Saya memilih untuk tersenyum.

Perasaan lega terlihat pada wajah pria itu, dan ia balik tersenyum tanda berterima kasih.

Amsal 15:13 berkata, “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat.” Apakah penulis amsal itu meminta kita untuk selalu tersenyum di setiap gangguan, kekecewaan, dan ketidaknyamanan yang kita alami dalam hidup ini? Tentu tidak! Ada waktunya bagi kita untuk berduka, patah hati, atau bahkan marah atas ketidakadilan yang kita alami. Namun dalam kehidupan kita sehari-hari, sebuah senyuman dapat memberikan kelegaan, pengharapan, dan kasih yang kita perlukan untuk terus melangkah maju.

Mungkin amsal tersebut hendak menyatakan bahwa senyum merupakan dampak alami yang keluar dari kondisi batin kita. “Hati yang gembira” adalah hati yang merasa damai, puas, dan berserah kepada kebaikan Allah. Ketika hati kita memancarkan kegembiraan yang berasal dari dalam batin, kita dapat menanggapi situasi-situasi tak terduga yang kita alami dengan senyuman yang tulus. Siapa tahu, orang lain yang kita temui juga akan tergerak untuk mau menerima pengharapan dan damai sejahtera dari Allah. —Elisa Morgan

Ya Bapa, hari ini saat aku bertemu orang-orang, buatlah hatiku bergembira agar aku dapat membagikan kepada mereka pengharapan sejati yang hanya datang dari-Mu.

Nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu. —1 Tesalonika 5:11

Bacaan Alkitab Setahun: Zakharia 5-8 dan Wahyu 19

Senyum yang Terkenal

Sabtu, 4 November 2017

Senyum yang Terkenal

Baca: Mazmur 28:6-9

28:6 Terpujilah TUHAN, karena Ia telah mendengar suara permohonanku.

28:7 TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya.

28:8 TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!

28:9 Selamatkanlah kiranya umat-Mu dan berkatilah milik-Mu sendiri, gembalakanlah mereka dan dukunglah mereka untuk selama-lamanya.

Harapan orang benar akan menjadi sukacita. —Amsal 10:28

Senyum yang Terkenal

Setelah saya dan istri mendapat kesempatan istimewa untuk mengunjungi Museum Louvre di Paris, Prancis, saya menelepon Addie, cucu kami yang berumur sebelas tahun. Ketika saya bercerita bahwa saya sempat melihat lukisan Mona Lisa yang terkenal, Addie bertanya, “Apakah Mona Lisa tersenyum?”

Bukankah itu yang terus-menerus ditanyakan orang tentang lukisan tersebut? Lebih dari 600 tahun setelah sosok wanita itu dilukis Leonardo da Vinci dengan cat minyak, kita masih tidak tahu pasti apakah ia tersenyum atau tidak. Meski terpesona oleh keindahan lukisan tersebut, kita masih tidak yakin pada sikap yang ditunjukkan oleh Mona Lisa.

“Senyum” menjadi bagian dari lukisan Mona Lisa yang membuat penasaran banyak orang. Namun, sepenting apakah sebuah senyuman? Apakah “tersenyum” disebutkan dalam Alkitab? Sebenarnya, kata itu hanya muncul kurang dari lima kali di Alkitab, dan tidak sekali pun itu muncul sebagai perintah. Namun demikian, Alkitab memang mendorong kita untuk memiliki satu sikap yang dapat membawa senyuman kepada wajah kita—yaitu sukacita. Sekitar 250 kali kita membaca tentang sukacita dengan berbagai aspeknya: “Karena kuasa-Mulah raja bersukacita,” kata Daud ketika memikirkan tentang Tuhan (Mzm. 21:2). Kita diperintahkan untuk “[beribadah] kepada Tuhan dengan sukacita” (Mzm. 100:2); ketetapan-ketetapan Allah membuat kita “bersukacita” (Mzm. 119:117); dan kita “bersukacita” karena “Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita” (126:3).

Tentulah sukacita yang diberikan Allah lewat segala sesuatu yang telah diperbuat-Nya bagi kita akan memunculkan senyum pada wajah kita. —Dave Branon

Ya Allah, Engkaulah Bapa yang baik dan yang membuat kami tersenyum. Engkau memberikan sukacita yang jauh melebihi apa pun yang dapat ditawarkan dunia ini. Tolong kami menunjukkan sukacita-Mu itu lewat senyum pada wajah kami.

Pengharapan di dalam hati menghadirkan senyum pada wajah kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 32-33; Ibrani 1

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Oleh Callie Opper, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Turned My Sorrow to Joy

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.

Waktu itu keluargaku menerima kabar buruk bahwa ibuku divonis menderita leukimia atau kanker darah. Berselang sebulan setelahnya, giliran ayahku yang divonis menderita kanker kelenjar getah bening. Sebagai seorang remaja berusia 14 tahun, aku tidak tahu harus merespons kabar buruk ini seperti apa, yang jelas kabar ini telah mengguncang duniaku. Dunia yang sebelumnya tampak sempurna bagiku, sekarang telah runtuh, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berpura-pura menjadi kuat, padahal hatiku terasa hancur. Aku harus kuat supaya aku bisa melalui semuanya ini, dan juga supaya Tuhan berkenan menyembuhkan kedua orangtuaku.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar di lingkungan Kristen, sudah berkali-kali aku mendengar bahwa ketika hidup menjadi sulit, kita harus mempercayai Tuhan. Ketika tragedi terjadi, kita harus kuat karena Tuhan ada di sisi kita. Tetapi, ketika badai hidup menerpa hidupku, tidak serta merta aku mempercayai rencana Tuhan. Malah, aku sempat berpikir jika Tuhan mungkin saja menyerah kepadaku karena keraguanku. Aku telah menerima Kristus saat berusia 9 tahun dan mengucapkan doa-doa yang aku pahami artinya. Akan tetapi, aku tidak mengerti bagaimana sesungguhnya mengikut Yesus.

Karena kesedihan ini, sekalipun di sekelilingku ada banyak orang yang mengasihiku, aku mendapati diriku merasa kesepian. Aku membiarkan perasaan ini berakar dan membuatku jadi tidak percaya diri; aku mulai meragukan apakah Tuhan memang benar-benar hadir di dalam hidupku karena Dia tidak menyembuhkan ibuku. Dan karena aku merindukan perhatian dari orang lain, aku membiarkan dunia menentukan siapa diriku. Di dalam hati, aku melarikan diri dari seorang Pribadi yang berjanji tidak pernah meninggalkanku; aku menutup hati dan pikiranku dari Tuhan.

Setelah lebih dari setahun sejak ibuku divonis kanker, beliau pun meninggal dunia. Aku harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang baru—sebuah kehidupan tanpa kehadiran sosok Ibu. Di luar, aku berusaha menunjukkan bahwa aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi jauh di dalam diriku, aku merasa bingung dan kehilangan. Aku terus bertanya mengapa, dan menjadi semakin pahit ketika aku melihat ayahku jatuh cinta dengan orang lain dan kami pindah meninggalkan rumah yang telah kutempati sejak aku masih kecil.

Namun, di tengah-tengah masa kelam itu, sesungguhnya Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Tuhan terus mengejarku dan perlahan menghancurkan benteng kepahitan yang mengelilingi hatiku.

Beberapa lama berselang setelah kematian ibuku, aku mendaftarkan diriku dalam sebuah program mission trip ke Tiongkok. Sebenarnya, alasanku mengikuti mission trip ini sangat egois—aku ingin melarikan diri dari segala tragedi yang menyelubungi diriku dan keluargaku.

Namun, rencanaku yang semula berubah dengan cepat; Tuhan punya rencana untuk menunjukkan betapa egoisnya diriku dan Dia ingin memulihkanku. Suatu ketika, di atas gunung di Tiongkok, Dia menggunakan tempat yang terpencil untuk menyadarkanku akan betapa beratnya sakit yang kurasakan, pemberontakanku terhadap-Nya, dan Dia juga menyatakan kondisi hatiku yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendapati diriku begitu lemah di hadapan-Nya. Dia menegurku melalui sebuah ayat: “Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Korintus 7:4). Ketika motivasiku pergi ke Tiongkok adalah untuk melarikan diri, Tuhan malah membawaku ke sebuah tempat yang tenang untuk duduk di hadirat-Nya dan mengalami perubahan hidup.

Aku tidak tahu seperti apakah sukacita yang sejati itu, tetapi saat itu aku tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku memohon pada Tuhan supaya Dia memberiku sukacita, supaya aku percaya akan rencana-Nya, jalan-Nya, dan cerita yang Dia tuliskan untukku sepenuh hatiku.

Selama beberapa tahun berikutnya, Tuhan membentuk hatiku untuk mengungkapkan emosi yang tidak ingin kuhadapi, kesedihan yang belum terselesaikan, dan kebohongan yang kupercaya tentang Tuhan dan diriku sendiri.

Tuhan menunjukkanku bahwa sukacita bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam akan rencana Tuhan, yang kita tahu adalah untuk kebaikan kita dan tujuan-Nya. Sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu bangun dengan senyuman setiap harinya; sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu riang gembira di tengah badai kehidupan. Sukacita adalah sebuah keputusan untuk melihat tujuan Allah ketika segala sesuatunya runtuh. Sukacita adalah pilihan setiap hari, sekalipun ada hal-hal yang membuat air mata menetes.

Tuhan mengajariku bahwa menjadi seorang yang lemah adalah jauh lebih baik daripada berpura-pura kuat. Kelemahan kita menunjukkan bahwa sesungguhnya kita butuh bergantung pada Tuhan. Tuhan mengajariku bahwa it’s okay to be not okay—tidak masalah untuk jujur apabila kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tuhan menyambut setiap keraguan kita dan mengundang kita untuk bersama-sama bergumul dengan-Nya di saat kita tidak mengerti apa yang Dia sedang kerjakan.

Hal yang indah yang kupelajari tentang Tuhan adalah Dia tidak pernah menyerah terhadap kita. Dia tidak pernah berhenti mengejar kita tak peduli sebagaimanapun usaha kita untuk melarikan diri. Dia akan pergi ke tempat terdalam dan tergelap di hati kita untuk membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan yang baik.

Aku telah menyaksikan bahwa Tuhan telah mengubah hal yang buruk menjadi baik. Dia telah menghapuskan kepahitan yang kupegang selama bertahun-tahun dengan cara memberikan orang-orang yang mau menolongku. Dia menggunakan kematian ibuku sebagai cara untuk menunjukkan realita bahwa hidup ini begitu singkat. Dia mengajariku bahwa aku harus menghargai orang lain dan menghargai setiap detik. Dia telah menunjukkanku betapa pentingnya untuk mencintai dan menjalani hidup dengan baik karena hubungan dengan orang lain begitu berharga.

Tuhan telah begitu setia dalam perjalanan hidupku. Dia telah menunjukkan banyak hal kepadaku melalui kematian ibuku. Dia memberiku sukacita yang utuh dan mengajariku untuk menerima kelemahanku, dan memandang hanya kepada-Nya saja. Dia mengajariku untuk menerima dukacita. Dia telah menunjukkan kepadaku bahwa bersembunyi dan melarikan diri dari badai yang Dia izinkan terjadi adalah sebuah perbuatan yang sia-sia.

Aku percaya bahwa Tuhan memiliki cerita yang unik untuk setiap orang. Dia memberikan yang terbaik untuk hidup kita dan mengubah rasa sakit yang kita alami menjadi sebuah kebaikan yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Hidup adalah sebuah pemberian, dan kisah hidup kita, tak peduli seperti apapun kisahnya adalah gambaran dari Injil. Cerita hidup kita adalah tentang Dia dan kemuliaan-Nya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-19).

Baca Juga:

Nyaris Mati Karena Bunuh Diri, Namun Tuhan Memberiku Kesempatan Kedua

Obat-obatan dan pecahan kaca, air mata dan darah, ketakutan dan putus asa. Itulah gambaran dari malam yang paling kelam dalam hidupku di mana aku memutuskan bunuh diri. Namun, usahaku itu gagal dan Tuhan menyadarkanku akan betapa salahnya cara pikirku.

Dukacita Menjadi Sukacita

Sabtu, 19 Agustus 2017

Dukacita Menjadi Sukacita

Baca: Yohanes 16:16-22

16:16 “Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku.”

16:17 Mendengar itu beberapa dari murid-Nya berkata seorang kepada yang lain: “Apakah artinya Ia berkata kepada kita: Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku? Dan: Aku pergi kepada Bapa?”

16:18 Maka kata mereka: “Apakah artinya Ia berkata: Tinggal sesaat saja? Kita tidak tahu apa maksud-Nya.”

16:19 Yesus tahu, bahwa mereka hendak menanyakan sesuatu kepada-Nya, lalu Ia berkata kepada mereka: “Adakah kamu membicarakan seorang dengan yang lain apa yang Kukatakan tadi, yaitu: Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku?

16:20 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.

16:21 Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.

16:22 Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.

Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. —Yohanes 16:20

Dukacita Menjadi Sukacita

Kandungan Kelly mengalami komplikasi, dan para dokter menjadi khawatir. Karena lamanya proses persalinan, dokter memutuskan untuk melakukan operasi sesar. Meski menyakitkan, Kelly segera melupakan rasa sakit itu ketika ia menggendong putranya yang baru lahir. Sukacita menggantikan rasa sakitnya.

Alkitab menegaskan kebenaran ini: “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia” (Yoh. 16:21). Yesus menggunakan ilustrasi itu untuk menekankan kepada murid-murid-Nya bahwa meskipun mereka berdukacita karena Yesus akan segera pergi, dukacita mereka akan menjadi sukacita ketika mereka melihat kedatangan-Nya kembali (ay.20-22).

Yesus mengacu pada kematian dan kebangkitan-Nya—dan peristiwa selanjutnya. Setelah kebangkitan-Nya, yang membuat para murid bersukacita adalah Yesus menggunakan waktu selama 40 hari bersama mereka dan mengajar mereka sebelum kenaikan-Nya ke surga dan meninggalkan mereka sekali lagi (Kis. 1:3). Namun, Yesus tidak meninggalkan mereka dalam dukacita. Roh Kudus akan memenuhi mereka dengan sukacita (Yoh. 16:7-15; Kis. 13:52).

Walaupun kita tidak pernah bertatap muka dengan Yesus, sebagai orang percaya, kita memiliki kepastian bahwa suatu hari nanti kita akan bertatap muka dengan-Nya. Pada hari itu, penderitaan yang kita alami di bumi akan terlupakan. Namun sampai saat itu tiba, Tuhan tidak akan meninggalkan kita tanpa sukacita karena Dia telah memberi kita Roh Kudus (Rm. 15:13; 1Ptr. 1:8-9). —Alyson Kieda

Ya Tuhan, kami rindu berada di hadapan-Mu, terutama saat kami menghadapi penderitaan dan kesedihan. Namun, Engkau tidak membiarkan kami sendiri. Roh Kudus tinggal di dalam diri kami dan memberi kami sukacita.

Suatu hari dukacita kita akan berubah menjadi sukacita!

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 103-104 dan 1 Korintus 2

Bernyanyi Bersama Violet

Kamis, 11 Mei 2017

Bernyanyi Bersama Violet

Baca: Filipi 1:21-26

1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

1:22 Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.

1:23 Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik;

1:24 tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.

1:25 Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman,

1:26 sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.

Aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. —Filipi 1:23-24

Bernyanyi Bersama Violet

Seorang wanita lanjut usia bernama Violet sedang duduk di atas ranjang rumah sakitnya di Jamaika. Ia tersenyum saat sejumlah remaja datang menjenguknya. Udara tengah hari yang panas dan lembab membuat ruangan itu semakin sesak, tetapi Violet tidak mengeluh. Sebaliknya, ia mulai memikir-mikirkan sebuah lagu untuk dinyanyikannya. Akhirnya, sambil tersenyum lebar, ia pun bernyanyi, “Aku berlari, meloncat, melompat, memuji Tuhan!” Saat bernyanyi, ia mengayunkan lengannya ke depan dan ke belakang seolah-olah sedang berlari. Air mata pun membanjiri wajah orang-orang yang mengelilinginya, karena Violet tidak lagi mempunyai kaki. Violet berkata bahwa ia bernyanyi karena, “Yesus sayang padaku—dan di surga aku akan punya kaki untuk berlari.”

Sukacita dan pengharapan akan surga yang dimiliki Violet seakan menegaskan perkataan Paulus dalam Filipi 1 ketika berbicara tentang soal hidup dan mati. “Jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus—itu memang jauh lebih baik” (ay.22-23).

Setiap dari kita pernah menghadapi masa-masa sulit yang mungkin membuat kita merindukan janji dari kelegaan yang kita terima di surga kelak. Namun, seperti Violet yang tetap menunjukkan sukacita di tengah kondisinya saat ini, kita juga dapat terus “berlari, meloncat, melompat, memuji Tuhan”—baik untuk kehidupan melimpah yang diberikan-Nya di dunia ini maupun untuk sukacita terbesar yang menanti kita di surga mulia. —Dave Branon

Tuhan, di saat-saat yang sulit, tolonglah kami untuk menemukan sukacita. Tolong kami untuk menjalani hidup di tengah masa-masa sulit di dunia ini dengan kebahagiaan sambil menantikan kekekalan yang “jauh lebih baik”.

Ketika Allah memberi kita awal yang baru, kita menerima sukacita yang takkan pernah berakhir.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Raja-Raja 13-14; Yohanes 2

Mengapa Aku Selalu Menolak Pertolongan dari Orang Lain

mengapa-aku-selalu-menolak-pertolongan-dari-orang-lain

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 只付出不接受的做法真的是上帝喜悦的么?

Beberapa hari yang lalu saat sedang makan malam, ayahku berkomentar tentang zaman yang telah banyak berubah. Dulu, biasanya atasan-atasan di tempat kerja itu peduli dengan pekerja di bawahnya. Ketika kakekku bekerja di sebuah perusahaan arsitektur, manajernya selalu mengunjungi keluarganya setiap tahun baru Imlek sambil membawa serta sejumlah uang dan menanyakan apakah keluarga kami membutuhkan sesuatu untuk dibantu.

Suatu ketika keluarga kami membutuhkan bantuan untuk membangun sebuah rumah, lalu manajer itu mengirimkan beberapa orang pekerja bangunan untuk menolong kami. Awalnya kakekku menolak bantuan itu. Bagi orang-orang pada masa itu, menerima pertolongan dari orang lain itu dianggap bisa menghilangkan “harga diri”.

Aku pikir keadaan hari ini pun tidak banyak berubah. Ada banyak orang yang ingin menolong orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau ditolong.

Banyak dari kita diajar untuk tidak hidup egois. Kita diajar untuk memiliki hati yang tulus menolong tanpa mengharapkan balasan, dan itu sungguh mulia. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Ketika aku masih sekolah, aku dengan senang hati menolong teman sekelasku. Tapi, sangat sulit bagiku ketika aku harus meminta pertolongan dari orang lain. Prinsip ini terus kupegang bahkan sampai aku lulus sekolah. Sebenarnya di lubuk hatiku terdalam aku tahu kalau aku butuh pertolongan. Namun aku tidak mau meminta pertolongan itu. Dan, ketika ada orang lain yang menawarkan pertolongan untukku dengan tangan terbuka, aku malah sulit untuk menerimanya.

Haruskah kita berlaku seperti itu? Apakah Tuhan berkenan jika kita menolong orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditolong?

Tuhan mengajar kita untuk saling menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2). Alkitab juga mengingatkan kita bahwa di dalam Kristus kita semua adalah satu tubuh (1 Korintus 12:12-27). Tolong menolong baru bisa terjadi ketika ada dua pihak yang saling terlibat. Jika setiap orang menolak untuk ditolong, lalu siapa yang bisa kita tolong? Bagaimana kita bisa hidup dalam satu tubuh Kristus?

Ada rasa gengsi di balik penolakan pertolongan

Tuhan mau supaya kita menerima dan memberi dengan sukacita. Jadi, mengapa ada orang-orang yang sangat sulit untuk menerima? Kalau kamu bertanya padaku, aku akan menjawab kalau kesulitan itu terjadi karena rasa gengsi.

Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan kita. Dan salah satu yang kita lakukan agar kelemahan itu tidak dilihat orang adalah meninggikan ego dengan tidak mau menerima pertolongan orang lain. Aku menyadari hal ini ketika aku mulai berpikir lebih dalam tentang esensi dari memberi dan menerima. Rasa gengsiku adalah kelemahanku dan alasan utama di balik prinsipku untuk tidak mau menerima pertolongan.

Mempercayai Tuhan itu sulit ketika kamu menolak untuk ditolong

Kita sulit untuk mempercayai Tuhan seutuhnya ketika kita hanya mau memberi tanpa mau menerima. Tuhan mau supaya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dan dari situlah kita bisa menanggalkan segala beban kita kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Korintus 12:9-10). Bagaimana kita dapat berserah dan percaya kepada Tuhan seutuhnya jika kita menolak pertolongan dan bersandarkan hanya pada diri kita sendiri? Kita tidak bisa mengenal Tuhan seutuhnya jika kita tidak mengakui kerapuhan kita.

Aku ingat suatu masa ketika aku mengikuti sebuah persekutuan dengan beban hidup yang begitu berat. Saat itu aku merasa lelah dan tak sanggup lagi menanggung beban hidupku, tapi aku berpura-pura seolah aku baik-baik saja. Ketika tiba giliranku untuk membagikan kesaksian, aku berencana hanya akan berbicara hal-hal kecil saja. Namun, suara hati kecilku mengingatkanku kalau aku perlu datang di hadapan Tuhan dalam kebenaran. Hatiku luluh, aku menangis di depan teman-teman seimanku dalam Yesus. Aku mengakui bahwa aku butuh ditolong. Aku mengakui kalau aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sendiri.

Aku mengucap syukur karena Tuhan menegurku, mengizinkanku untuk melihat bahaya dari memupuk gengsi, dan mengizinkan aku untuk kembali membentuk imanku lewat persekutuan. Sekarang aku sering datang di hadapan Tuhan dalam keadaan tidak berdaya, memohon pertolongan-Nya. Aku tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika bukan karena kekuatan Tuhan, setiap langkah yang kuambil tentu terasa sulit.

Aku juga mencari pertolongan dari saudara-saudara seiman dalam Kristus. Ketika masalah-masalah kehidupan menghampiriku, aku tidak hanya meminta mereka berdoa untukku, tapi aku juga meminta nasihat dari mereka. Kasih dan pertolongan dari saudara-saudara seiman telah memberkatiku dan menolongku untuk merasakan kasih setia Tuhan. Aku juga merasakan hubungan yang dekat dengan sesama anggota tubuh Kristus.

Terimalah pertolongan itu dengan sukacita

Ketika aku melepaskan segala gengsiku, tentu aku merasa lebih bebas. Aku bisa menerima pertolongan dari orang lain dengan sukacita. Aku tahu kalau aku punya kelemahan dan bukanlah manusia yang sempurna. Tapi, ketika aku berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Dia yang memegang kendali atas hidupku. Ketika aku menaati kehendak-Nya maka di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan akan dinyatakan.

Saudara-saudaraku dalam Kristus, Tuhan mau supaya kamu juga mendapatkan kebebasan ini. Apakah kamu mau untuk menanggalkan rasa banggamu supaya Tuhan bisa berkuasa?

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.

Apakah Ini Memancarkan Sukacita?

Selasa, 7 Februari 2017

Apakah Ini Memancarkan Sukacita?

Baca: Filipi 4:4-9

4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!

4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. —Filipi 4:8

Apakah Ini Memancarkan Sukacita?

Buku karya seorang pemudi Jepang tentang membenahi dan menyusun barang telah terjual sebanyak dua juta eksemplar di seluruh dunia. Marie Kondo ingin membantu orang menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi dibutuhkan dari rumah dan lemari mereka—semua barang yang telah membebani mereka. “Peganglah setiap barang,” katanya, “dan tanyakan pada dirimu sendiri, ‘Apakah ini memancarkan sukacita?‘” Apabila jawabannya ya, simpanlah barang itu. Jika jawabannya tidak, singkirkanlah.

Rasul Paulus mendorong jemaat Kristen di Filipi untuk mengejar sukacita dalam hubungan mereka dengan Kristus. “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Flp. 4:4). Paulus mendorong mereka untuk tidak menjalani hidup dengan dibebani kekhawatiran, melainkan membawa segala sesuatu dalam doa dan mengizinkan damai sejahtera Allah memelihara hati dan pikiran mereka dalam Kristus (ay.6-7).

Dalam tugas dan tanggung jawab kita sehari-hari, kita menyadari bahwa tidak semua pekerjaan itu menyenangkan. Namun kita bisa bertanya, “Bagaimana pekerjaan ini bisa memancarkan sukacita di hati Allah dan di hatiku?” Mengubah motivasi kita dalam melakukan sesuatu dapat mengubah perasaan kita terhadap hal tersebut.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp. 4:8).

Untuk memiliki sukacita, pikirkanlah kata-kata penutup dari Rasul Paulus tersebut. —David McCasland

Tuhan, tunjukkanlah kepadaku cara-Mu memancarkan sukacita dalam pekerjaanku hari ini.

Sukacita bermula dari hidup yang berfokus kepada Tuhan.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 1-3; Matius 24:1-28

Artikel Terkait:

Hati-Hati, Jangan Sampai Hiburan Membuatmu Menjadi 3 Hal Ini

“Mengikuti berita-berita dunia hiburan menjadi salah satu aktivitas yang paling menghabiskan waktu dalam hidupku, selain mengecek Facebook dan Instagram, berbelanja online, dan menonton klip video di Internet.
Menurutku, sekarang aku tidak lagi begitu kecanduan seperti dulu. Sebagian besar alasannya adalah karena aku menyadari bahwa hiburan-hiburan itu membuatku menjadi 3 hal ini.”

Baca kesaksian Joanna selengkapnya di dalam artikel berikut.