Posts

Iman yang Tabah

Jumat, 28 Februari 2020

Iman yang Tabah

Baca: Kisah Para Rasul 27:27-38

27:27 Malam yang keempat belas sudah tiba dan kami masih tetap terombang-ambing di laut Adria. Tetapi kira-kira tengah malam anak-anak kapal merasa, bahwa mereka telah dekat daratan.

27:28 Lalu mereka mengulurkan batu duga, dan ternyata air di situ dua puluh depa dalamnya. Setelah maju sedikit mereka menduga lagi dan ternyata lima belas depa.

27:29 Dan karena takut, bahwa kami akan terkandas di salah satu batu karang, mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan hari lekas siang.

27:30 Akan tetapi anak-anak kapal berusaha untuk melarikan diri dari kapal. Mereka menurunkan sekoci, dan berbuat seolah-olah mereka hendak melabuhkan beberapa sauh di haluan.

27:31 Karena itu Paulus berkata kepada perwira dan prajurit-prajuritnya: “Jika mereka tidak tinggal di kapal, kamu tidak mungkin selamat.”

27:32 Lalu prajurit-prajurit itu memotong tali sekoci dan membiarkannya hanyut.

27:33 Ketika hari menjelang siang, Paulus mengajak semua orang untuk makan, katanya: “Sudah empat belas hari lamanya kamu menanti-nanti saja, menahan lapar dan tidak makan apa-apa.

27:34 Karena itu aku menasihati kamu, supaya kamu makan dahulu. Hal itu perlu untuk keselamatanmu. Tidak seorangpun di antara kamu akan kehilangan sehelaipun dari rambut kepalanya.”

27:35 Sesudah berkata demikian, ia mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah di hadapan semua mereka, memecah-mecahkannya, lalu mulai makan.

27:36 Maka kuatlah hati semua orang itu, dan merekapun makan juga.

27:37 Jumlah kami semua yang di kapal itu dua ratus tujuh puluh enam jiwa.

27:38 Setelah makan kenyang, mereka membuang muatan gandum ke laut untuk meringankan kapal itu.

Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan.—Roma 5:3

Iman yang Tabah

Ernest Shackleton (1874-1922) pernah gagal saat memimpin ekspedisi untuk melintasi Antartika pada tahun 1914. Ketika kapalnya yang diberi nama “Ketabahan” terperangkap es tebal di Laut Weddell, perjalanan tersebut berubah menjadi lomba untuk bertahan hidup. Tanpa dapat berkomunikasi sama sekali dengan dunia luar, Shackleton dan krunya menggunakan sejumlah sekoci untuk melakukan perjalanan ke pantai terdekat di Pulau Gajah. Sementara sebagian besar kru tetap bertahan di pulau tersebut, Shackleton dan lima awak kapal menempuh perjalanan sejauh 1.287 km selama dua minggu menyeberangi samudra sampai tiba di Georgia Selatan untuk meminta bantuan bagi mereka yang masih tertinggal di pulau. Ekspedisi “gagal” tersebut berubah menjadi catatan kemenangan dalam buku-buku sejarah ketika semua anak buah Schakleton selamat, berkat keberanian dan ketabahan mereka.

Rasul Paulus mengerti apa artinya tabah. Dalam pelayaran menuju Roma untuk menghadapi persidangan karena imannya kepada Yesus, Paulus mengetahui dari malaikat bahwa kapalnya yang diamuk badai akan tenggelam. Namun, Paulus tetap memberi semangat kepada semua orang yang bersamanya di kapal itu, karena Allah telah menjanjikan mereka semua akan selamat meskipun kapalnya karam (Kis. 27:23-24).

Ketika melapetaka datang, kita cenderung mengharapkan Allah akan segera membereskan semuanya. Namun, Allah memberikan iman agar kita tetap tabah, bertekun, dan bertumbuh. Paulus menulis kepada jemaat di Roma, “Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan (ketabahan dalam terjemahan lain)” (Rm. 5:3). Kita yang mengetahui hal tersebut dapat menguatkan satu sama lain untuk tetap mempercayai Allah di masa-masa sulit.—LINDA WASHINGTON

WAWASAN
Perjalanan Paulus dari Yerusalem ke Roma menghabiskan waktu sekitar tiga tahun, dimulai dari penangkapannya di Yerusalem—yang terjadi jauh di Kisah Para Rasul 21:27! Penangkapan tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan Paulus, tetapi karena sesama orang Yahudi yang membuat kerusuhan. Penangkapannya hampir berujung pada pencambukan (22:25-29) dan menyebabkan ia harus menjalani serangkaian persidangan oleh pejabat-pejabat Romawi—tetapi tidak satu pun yang berhasil menemukan kesalahan Paulus (26:30-32). Sebagai bagian dari hak warga negara Romawi, Paulus naik banding ke Kaisar, dan pilihan tersebut mengirimnya ke perjalanan yang di dalamnya termasuk peristiwa karam kapal dalam Kisah Para Rasul 27.—Bill Crowder

Bagaimana biasanya kamu menanggapi kesulitan yang terjadi? Bagaimana kamu dapat memberikan dorongan kepada seseorang yang sedang menghadapi masa-masa sulit?

Bapa Surgawi, aku membutuhkan pertolongan-Mu untuk tetap tabah, sekalipun aku merasa sulit untuk melakukannya.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 20-22; Markus 7:1-13

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra

Memikirkan Sukacita

Rabu, 26 Februari 2020

Memikirkan Sukacita

Baca: Filipi 4:4-9

4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!

4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! —Filipi 4:4

Memikirkan Sukacita

Dalam buku koleksi wawancara Bill Shapiro yang berjudul What We Keep (Apa yang Kita Simpan), setiap orang bercerita tentang satu benda yang mereka anggap sangat penting dan membawa kesenangan hingga orang itu tidak mau berpisah darinya.

Membaca hal tersebut membuat saya merenungkan apa benda milik saya yang sangat berarti dan membuat saya gembira. Salah satunya adalah selembar kartu berumur empat puluh tahun yang berisi resep tulisan tangan ibu saya. Barang lainnya adalah cangkir teh merah jambu milik nenek saya. Orang lain mungkin menyimpan kenangan berharga—pujian yang membesarkan hati, gelak tawa cucu, atau pencerahan yang mereka dapatkan dari Alkitab.

Namun, sering kali, apa yang kita simpan dalam hati justru hal-hal yang membuat kita sangat tidak bahagia. Kekhawatiran—memang tersembunyi, tetapi siap melanda kapan saja. Kemarahan—tidak kelihatan di permukaan, tapi sewaktu-waktu siap meledak. Kebencian—diam-diam merusak dan mengotori pikiran kita.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Rasul Paulus mengajarkan cara “berpikir” yang lebih positif. Ia mendorong jemaat agar senantiasa bersukacita, baik hati, dan membawa segala keinginan dalam doa kepada Allah (flp. 4:4-9).

Dorongan Paulus tentang apa yang sebaiknya kita pikirkan dapat menolong kita untuk melihat bahwa kita bisa mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dan mengizinkan damai sejahtera Allah memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (ay.7). Pada saat pikiran kita dipenuhi dengan semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, penuh kebajikan, dan patut dipuji maka damai sejahtera-Nya akan memerintah dalam hati kita (ay.8).—Cindy Hess Kasper

WAWASAN
Tidak seperti surat-suratnya yang lain, surat Paulus kepada jemaat di Filipi tampaknya bukan sebuah respons terhadap krisis yang serius atau konflik dalam jemaat (hanya satu konflik relasi yang disebutkan di 4:2). Sebaliknya, motivasi utama Paulus sepertinya adalah untuk menyampaikan ucapan syukurnya untuk dukungan dari orang-orang percaya di Filipi (ay.14-18) dan juga untuk mendukung dan bersukacita bersama komunitas orang beriman yang sangat dikasihinya. Suasana surat tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki jiwa persaudaraan dan kepercayaan dengan komunitas orang beriman tersebut, yang ia deskripsikan sebagai “sukacitaku dan mahkotaku” (ay.1). Paulus merasakan kesatuan yang mendalam dengan orang-orang percaya ini sebagai “mendapat bagian dalam kasih karunia” (1:7). Ia tidak berfokus pada menegur kelemahan-kelemahan dalam jemaat tersebut, melainkan ia dapat dengan sukacita mendorong mereka untuk mendalami Injil Kristus dalam hidup mereka (ay.27) dan belajar untuk mengalami sukacita dalam Kristus bahkan di tengah penderitaan (ay.29).—Monica Brands

Pikiran buruk apa saja yang terus mengisi pikiran dan hatimu? Satu cara apa yang bisa kamu terapkan agar pikiranmu terisi dengan hal-hal yang baik tiap hari?

Ya Allah, arahkanlah pemikiranku hari ini, sembari Engkau menggenggam hati dan hidupku dalam tangan kasih-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29

Handlettering oleh Tora Tobing

Yang Kuinginkan Untuk Natal Hanyalah…

Oleh Jefferson, Singapura

Gambar meme “Namaku Jeff” yang menyembul di antara tumpukan kado seolah-olah memang diletakkan demikian untuk menarik perhatianku. Di komisi remaja, kami memang sedang mengadakan pertukaran kado untuk merayakan Natal, tapi tidak kusangka pemberi kadoku memutuskan untuk mengemas hadiahnya sejelas itu. Melirik ke para remaja yang kumuridkan dan pemuda-pemudi lain yang melayani di komisi remaja, daftar tersangka pemberi kadoku langsung mengerucut ke beberapa nama.

Waktu membuka kado pun tiba. Jantungku berdebar penuh antusiasme. Si pemberi kado dengan cerdik membungkus kadonya dengan beberapa lapis koran. Rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Ia pasti memilih kado yang sangat cocok untukku! Lapisan demi lapisan kertas bungkusan kubuka hingga tiba pada isi kadonya.

Seketika aku tertegun.

Aku memelototi benda yang seharusnya adalah hadiah untukku. Dan, bukan hanya aku saja, satu ruangan nampaknya ikutan sunyi senyap, menunggu dan memperhatikan dengan saksama apa yang akan menjadi reaksiku terhadap “kado” yang kupegang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku seperti menemukan granat tangan yang setelah kuperiksa lebih lanjut, ternyata sudah kehilangan pin pengamannya. Tentu saja bom itu meledak beberapa detik kemudian. Tapi bukan hadiahnya; aku yang meledak dalam murka putih-panas.

“APA-APAAN INI?! MEMANGNYA INI SEBUAH LELUCON?!”

Seperti korban ledakan bom yang setengah sadar setelah bom itu meledak, aku hanya dapat mengingat sekelebat dari apa yang terjadi setelahnya. Aku berusaha mengendalikan amarah semampuku sambil meletakkan “hadiah” itu sejauh mungkin dariku. Beberapa orang mencoba menghibur. Aku mengingat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya mendapatkan hadiah yang layak. Wajah mereka terlihat gembira sementara aku hanya duduk di bangku, memasang senyuman terpaksa di tengah-tengah badai yang berkecamuk hebat di dalam hatiku.

Sambil menyaksikan yang lain membuka kado, mendadak ada suara yang berbisik dalam hatiku, “Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Pertanyaan itu mengusikku selama beberapa waktu, bahkan setelah pemberi kadoku yang usil meminta maaf kepadaku dengan sungguh-sungguh, bahkan setelah aku mengampuninya dengan penuh, bahkan setelah aku menerima kado pengganti darinya, bahkan setelah aku melewati beberapa acara tukar kado berikutnya. Usikan itu baru berhenti ketika aku menemukan jawabannya dari tempat yang paling tidak kuduga: acara Natal Sekolah Minggu yang turut kupersiapkan sebagai salah satu panitia.

“Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Di tahun-tahun sebelumnya, adalah drama yang diperankan oleh guru-guru yang membedakan acara Natal Sekolah Minggu dengan pelajaran biasa, entah dalam bentuk cerita kelahiran Yesus, adaptasi buku cerita anak, atau percakapan dengan seorang anak gembala. Tapi, tidak ada drama tahun ini. Oleh karena keterbatasan waktu dan pelayan, panitia memutuskan untuk mengadakan acara Natal yang sederhana namun bermakna. Berangkat dari senandung lagu “All I Want for Christmas is You” setelah sekitar dua jam mendiskusikan tema tanpa hasil, kami di tim panitia menyadari bahwa judul lagu itu dapat menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anak.

“Apa yang kamu inginkan untuk Natal?” Dunia mengajarkan anak-anak (dan juga kita) untuk mengharapkan hadiah yang bagus, santapan yang mewah, serta perjalanan liburan yang menyenangkan untuk Natal. Semuanya itu baik, tapi tidak menggambarkan makna Natal dengan utuh. Di balik segala gemerlap gemilang Natal adalah kedatangan pertama yang sederhana daripada Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, untuk memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban penebusan atas manusia berdosa. Dibandingkan dengan Tuhan Yesus, kado, makanan, maupun liburan kehilangan daya tariknya. Tidak ada hadiah yang lebih baik dan berharga daripada Tuhan Yesus. Berangkat dari perenungan ini, kami di tim panitia ingin anak-anak Sekolah Minggu pertama-tama dan terutama menginginkan sang Pemberi dan Sumber dari segala berkat yang mereka akan terima di masa Natal ini.

Di saat yang sama, kami memahami konteks Singapura, “kota ke mana [kami Tuhan] buang” (Yeremia 29:7) yang aman dan nyaman serta dapat membatasi pemahaman anak-anak terhadap tema di atas. Bagaimana mereka dapat mengerti betapa berharga dan menakjubkannya kedatangan pertama Tuhan Yesus kalau mereka terus diimingi-imingi dengan hal lain sebagai makna utama dari Natal? Dalam rahmat Tuhan, kami mengantisipasinya dengan menunjukkan kepada anak-anak realita penganiayaan terhadap orang Kristen di belahan bumi lain di mana Injil Kristus dilarang dibagikan. Anggota-anggota tubuh Kristus yang lain ini memahami dengan jelas (dan sangat mungkin lebih dalam dari kita) signifikansi dari kedatangan Tuhan Yesus yang pertama. Begitu besar dampak dari makna sesungguhnya Natal bagi kehidupan mereka sehingga mereka terus bertekun dalam iman dan membagikan Injil di tengah-tengah penganiayaan dan penderitaan. Harapan kami adalah anak-anak bisa belajar dari dan meneladani saudara-saudari kita ini. Puji Tuhan, kami menemukan sebuah video yang menyampaikan pesan ini dengan baik.

Dua bulan berikutnya kami gunakan semaksimal mungkin untuk mempersiapkan acara Natal di minggu kedua bulan Desember. Kulalui rapat-rapat lanjutan, latihan ibadah, pembuatan properti pendukung acara, serta pemanjatan doa kepada Tuhan agar Ia sendiri yang beracara dan berbicara kepada setiap pribadi yang menghadiri acara Natal Sekolah Minggu.

Doaku pun dijawab oleh Tuhan. Di tengah-tengah perayaan Natal, setelah mengikuti ibadah dan mendengarkan Firman Tuhan disampaikan oleh guru injil, dan sambil mengawasi proses berjalannya keseluruhan acara, tiba-tiba aku teringat acara tukar kado di komisi remaja minggu sebelumnya. Dalam retrospeksiku, aku menyadari reaksiku agak terlalu berlebihan dan pada level yang fundamental merupakan reaksi yang keliru. Sebagai salah satu panitia yang merumuskan tema di atas, seharusnya aku sendiri telah memahami dengan baik kebenaran tentang apa yang harusnya kuinginkan untuk Natal: Tuhan Yesus. Namun, dalam naturku sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang berdosa, tanpa sadar aku telah menginginkan hal-hal lain di luar Kristus sebagai yang terutama untuk Natal tahun ini. Aku jatuh ke dalam godaan untuk mengutamakan diri sendiri di atas Tuhan dan sesama sehingga ketika mendapatkan “hadiah” tersebut, aku langsung emosi dan merasa egoku telah dilukai.

Di satu sisi, kasih antara saudara seiman sepatutnya dinyatakan dengan cara yang tepat dan memikirkan perasaan pribadi si penerima, tidak seperti “hadiah” yang kuterima waktu itu. Di sisi yang lain, ketika kita sudah menerima Kristus yang adalah hadiah yang terbaik dan berharga melebihi segalanya, kita seharusnya menjadi lebih sulit tersinggung karena kita memiliki sukacita dan damai sejahtera Kristus yang tidak dapat digoncangkan oleh suatu hal apa pun (Yohanes 14:27). Kita juga jadi lebih memahami dan dimampukan untuk melakukan perintah Tuhan dalam Efesus 4:32, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Syukur kepada Allah Tritunggal atas pembelajaran yang memperkaya pengenalanku akan dan memperdalam kasihku kepada diri-Nya dan sesama.

Sebuah ajakan untuk Natal 2019

Awalnya aku tidak berencana untuk menulis bulan ini, tetapi ketika Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang kuceritakan di atas terjadi, aku tahu aku tidak bisa tidak membagikannya dalam tulisan. Aku berharap Tuhan dapat memberkatimu lewat pengalamanku tersebut. Melaluinya juga aku ingin mengajakmu melakukan beberapa tindakan di bawah untuk Natal di tahun 2019 ini:

  • Memeriksa diri akan kesalahan-kesalahan kita, mengakui dosa-dosa kita, dan meminta pengampunan kepada Tuhan dan pihak yang telah kita lukai;
  • Mengampuni kesalahan-kesalahan orang lain terhadap diri kita, mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dulu mengampuni kita di dalam Kristus;
  • Mendoakan, menghubungi, dan membagikan Kabar Baik akan kesukaan yang besar (Lukas 2:10) kepada satu teman/kerabat yang belum percaya; dan
  • Ketika mengikuti acara tukar kado, memikirkan dengan baik apakah hadiah yang akan diberikan dapat semakin membangun si penerima kado dalam kasih dan sukacita di dalam Kristus Yesus.

Mungkin kita biasanya menghindari melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas, tapi ketika momen tahunan untuk memperingati kedatangan Tuhan Yesus yang pertama tiba, kita memiliki dua pilihan: terus berusaha menghindar, atau menghadap takhta Kristus dengan seluruh keberadaan kita sehingga kasih-Nya mengalir dan melimpah dalam hidup kita. Pilihan manakah yang akan kamu ambil?

Baca Juga:

Sebuah Salib yang Menegurku

““Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil.”

Mengapa Aku Sulit Merasakan Sukacita?

Hari ke-21 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:4

4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”

Nick Vujicic adalah seorang penulis, motivator, dan evangelis asal Australia. Ia berselancar, bermain dengan anak-anaknya, dan berkeliling dunia. Terdengar biasa-biasa saja. Yang membuatnya menjadi inspirasi bagi banyak orang adalah kenyataan bahwa ia terlahir tanpa tangan dan kaki. Kondisi fisik Nick membuatnya menjadi bahan rundungan. Ia tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, tetapi juga turut menanggung luka batin.

Namun, Nick sadar bahwa Tuhan bisa menggunakan kecacatannya dengan cara yang luar biasa untuk membawa harapan dan kedamaian Yesus bagi mereka yang terluka. Dalam otobiografinya yang berjudul Life Without Limits (Hidup Tanpa Batasan), ia berkata, “Aku dan kamu sama sekali tidak berkuasa menentukan apa yang terjadi dalam kehidupan, kenyataan ini tidak terelakkan. Tetapi, kita dapat mengatur bagaimana kita merespon. Kamu dapat ditenggelamkan oleh ombak raksasa, atau kamu dapat berselancar di atasnya sampai ke pesisir.”

Dalam kisah awal kitab Filipi, Paulus melihat umat percaya di Filipi tengah menghadapi sejumlah pertentangan (1:28). Jika Paulus meminta mereka untuk meresponi Tuhan berdasarkan bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain, sudah pasti mereka akan putus asa. Sebaliknya, dari dalam jeruji besi Paulus menulis: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4). Paulus tidak meminta jemaat Filipi untuk bersukacita sewaktu-waktu. Ia menasihati mereka untuk bersukacita senantiasa.

Iman kita kepada Kristus mungkin tidak sampai membuat kita dipenjara atau dianiaya, tetapi banyak dari kita berhadapan dengan berbagai kesulitan di luar kendali kita. Bersukacita di dalam Tuhan bisa jadi adalah hal terakhir yang ingin kita lakukan. Kabar baiknya adalah, kita tidak perlu mengumpulkan kekuatan kita sendiri sebab Tuhanlah yang akan memampukan kita untuk bersukacita! Kita hanya perlu memegang teguh janji-Nya bagi kita, yaitu kasih yang tidak terukur tinggi, panjang, dalam, dan lebarnya.

Meskipun di tengah-tengah penderitaan, Paulus mampu tetap bersukacita di dalam Tuhan karena ia dapat melihat tangan Tuhan yang membimbingnya saat suka maupun duka. Aku sempat mengalami hal ini tahun lalu ketika kedua teman baikku meninggal dunia secara berturutan hanya dalam kurun waktu beberapa bulan.

Aku diliputi kedukaan. Di samping rasa sedih yang menggenang, rasa kehilangan juga membangkitkan amarah dalam hatiku. Bagaimana bisa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi padaku? Mengapa Ia mengambil kedua temanku di usia yang masih muda? Apa yang dapat kulakukan tanpa kehadiran dua teman yang membuatku bahagia?

Aku hancur, hingga terasa sulit bagiku untuk menyanyikan pujian penyembahan kepada Bapa Surgawi. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah berseru kepada-Nya, dan Ia menemuiku dalam rasa sakitku. Roh Kuduslah yang menjadi perantaraku dalam doa (Roma 8:26-27) dan memberiku kedamaian yang tidak bisa kuperoleh dengan kekuatanku sendiri. Tuhan telah mengubah cara pandangku. Daripada terus menangisi kehilangan, aku mulai bersukacita dengan sebuah pemahaman bahwa teman-temanku ada di tempat yang lebih indah.

Selama melewati musim kesedihan ini, aku diingatkan bahwa dengan menjadi pengikut Kristus bukan berarti jalan selalu lurus dan rata. Kesulitan akan tetap ada. Rasa sakit akan tetap dialami. Akan tiba saat di mana kita merasa kewalahan, dan menyerah nampaknya menjadi satu-satunya jalan keluar.

Tetapi, kehidupan Paulus dan Nick Vujicic mendorong kita untuk tetap menemukan sukacita besar di tengah kesukaran ketika kita berpengharapan di dalam Ia yang sanggup meredakan badai dan angin ribut kehidupan. Percayalah kepada Tuhan, dan pada waktu-Nya, Ia akan mengubah tangisan menjadi tarian dan kedukaan menjadi kesukaan (Mazmur 30:11-120)! Jangan biarkan dirimu ditenggelamkan ombak, belajarlah untuk berselancar di atasnya sampai ke pesisir. Bersukacitalah di dalam Tuhan senantiasa. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!—Deborah Fox, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagimu, bagaimanakah bersukacita “di dalam Tuhan”? Bagaimanakah ayat ini mengubah caramu melihat keadaan sekitarmu?

2. Apakah saat ini kamu sedang mengalami situasi sulit? Berdoalah dan minta Tuhan menolongmu melihat situasi yang kamu hadapi dengan cara pandang-Nya.

3. Adakah temanmu yang sedang bergumul? Renungkan bagaimana kamu dapat menjadi berkat baginya minggu ini.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Deborah Fox, Australia | Deborah adalah penyuka sejarah yang terobsesi dengan musik Jazz, pakaian-pakaian retro, berdansa, melukis, dan kopi. Dia diberkati dengan kesempatan-kesempatan untuk berbagi kisah tentang kehidupan yang diubahkan Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Bermain dengan Sukacita

Senin, 24 Juni 2019

Bermain dengan Sukacita

Baca: Galatia 5:22-26

5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.

5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

5:26 dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.

Buah Roh ialah: . . . sukacita. —Galatia 5:22

Bermain dengan Sukacita

Salah seorang putra kami, Brian, adalah pelatih bola basket di sebuah SMA. Suatu kali, saat timnya sedang berjuang dalam Turnamen Bola Basket Negara Bagian Washington, orang-orang yang mendukung mereka mengajukan pertanyaan, “Apakah kalian akan menjuarai turnamen tahun ini?” Pertanyaan itu membuat para pemain maupun pelatih merasa sangat terbebani, maka Brian kemudian menyemangati timnya dengan semboyan: “Bermain dengan sukacita!”

Saya teringat pada kata-kata perpisahan dari Rasul Paulus kepada para penatua di Efesus dalam salah satu terjemahan Alkitab: “sehingga aku dapat mengakhiri perlombaanku dengan sukacita” (Kis. 20:24 MILT). Paulus bertujuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya. Saya menjadikan kata-kata tersebut sebagai semboyan dan doa saya: “Kiranya aku dapat menjalani dan mengakhiri perlombaanku dengan sukacita.” Itu seperti yang dikatakan Brian, “Bermain dengan sukacita!” Puji syukur, tim yang dipimpin Brian akhirnya berhasil memenangi kejuaraan tahun itu.

Ada saja yang bisa membuat kita bersungut-sungut: kabar yang mencemaskan, tekanan hidup sehari-hari, atau masalah kesehatan. Meski demikian, Allah dapat memberi kita sukacita yang melampaui segala keadaan tersebut apabila kita memohon kepada-Nya. Kita dapat memiliki apa yang disebut Yesus, “sukacita-Ku” (Yoh. 15:11).

Sukacita adalah buah dari Roh Yesus (Gal. 5:22). Karena itu kita harus ingat setiap pagi untuk memohon kepada-Nya agar menolong kita: “Mampukan aku hidup bersukacita!” Penulis Richard Foster berkata, “Dengan berdoa, kita berubah. Ini anugerah yang luar biasa. Betapa baiknya Allah karena Dia menyediakan jalan bagi kita untuk hidup dipenuhi dengan . . . sukacita.” —David H. Roper

WAWASAN
Saat membaca Alkitab, penting bagi kita untuk membedakan apakah sang penulis sedang menuturkan apa yang sudah dilakukan Allah atau memberikan nasihat tentang apa yang harus kita perbuat. Dalam Galatia 5:22-23, rasul Paulus menyebutkan buah Roh, yang merupakan hasil dari pekerjaan Roh dalam hidup kita, bukan usaha kita. Namun, dalam ayat 25-26 ia mengatakan agar kita hidup “dipimpin oleh Roh.” Kata bahasa Yunani untuk “dipimpin” atau “berjalan menurut” (TL) memiliki makna “berbaris menurut pangkat militer; menata diri sesuai dengan kebajikan dan kesalehan; berjalan teratur.” Yang digambarkan di sini adalah pertumbuhan rohani yang berasal dari kerja tim. Buah yang tumbuh adalah tanggung jawab Roh Kudus, tetapi tugas kita adalah melihat apa yang sedang Roh Kudus kerjakan dalam hidup kita dan bersedia “dipimpin” oleh-Nya. Kita adalah peserta dalam pertumbuhan rohani kita, tetapi tidak bertanggung jawab sendirian untuk itu. —J.R. Hudberg

Apa yang menyebabkan kamu putus asa? Apa yang dapat memberi kamu sukacita?

Aku mengarahkan pandanganku hanya kepada-Mu, ya Allah. Aku sungguh bersyukur dapat mengandalkan kesetiaan-Mu. Bawalah aku ke dalam sukacita-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 1-2; Kisah PARA RASUL 7:22-43

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Menjatuhkan Pin Boling

Sabtu, 8 Juni 2019

Menjatuhkan Pin Boling

Baca: Pengkhotbah 1:3-11

1:3 Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?

1:4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.

1:5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.

1:6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

1:7 Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu.

1:8 Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.

1:9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

1:10 Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru!”? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada.

1:11 Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. —Pengkhotbah 1:9

Menjatuhkan Pin Boling

Saya tergelitik melihat tato di pergelangan kaki Erin, teman saya, yang bergambar bola boling yang sedang menjatuhkan pin. Erin terinspirasi dari lagu Sara Groves, “Setting Up the Pins.” Liriknya yang cerdas mendorong pendengar untuk menemukan sukacita dalam rutinitas berulang-ulang yang kadang terasa tidak berarti, seperti bolak-balik menyusun pin-pin boling yang kemudian dijatuhkan oleh orang lain.

Mencuci baju. Memasak. Memotong rumput di halaman. Hidup rasanya penuh dengan pekerjaan yang sudah selesai tetapi harus dikerjakan berulang kali—lagi dan lagi. Pergumulan itu bukanlah hal baru melainkan sudah sejak zaman lampau, seperti terungkap dalam kitab Pengkhotbah di Perjanjian Lama. Di bagian awal, penulisnya mengeluhkan siklus kehidupan manusia dari hari ke hari yang tiada habisnya sebagai kesia-siaan belaka (pkh. 1:2-3). Semua terasa tidak berarti sebab “apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi” (ay.9).

Namun, seperti teman saya tadi, penulis kitab Pengkhotbah dapat memperoleh kembali sukacita dan makna dengan mengingat bahwa kepuasan sejati dialami saat kita takut (hormat) akan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya (12:13). Kita pun terhibur saat mengetahui bahwa Allah menghargai setiap aspek kehidupan manusia, bahkan yang tampaknya paling remeh dan menjemukan sekalipun, dan Dia akan memberi kita upah atas kesetiaan kita (ay.14).

“Pin-pin” apa yang harus kamu susun terus-menerus dalam hidup ini? Saat tugas-tugas rutin mulai terasa melelahkan, baiklah kita mengambil waktu sejenak untuk mempersembahkan setiap pekerjaan itu sebagai persembahan kasih kita kepada Allah. —Lisa Samra

WAWASAN
Salah satu tema kunci dalam Pengkhotbah terdapat dalam frasa “di bawah matahari.” Kata-kata itu ada pada bacaan hari ini dalam ayat 3 dan 9, juga 27 ayat lainnya dalam kitab ini. Apakah artinya? “Di bawah matahari” merujuk pada apa yang dilakukan di bumi ini berdasarkan cara, nilai, dan pola pikir dunia, sehingga yang terjadi “di bawah matahari” berlawanan dengan nilai-nilai surgawi. Sebagai kitab keputusasaan, inti pesan Pengkhotbah adalah bahwa kita tidak dapat menemukan makna dan tujuan sejati kecuali dengan hidup menurut isi hati Bapa di surga, yang berlawanan dengan cara-cara dunia yang telah rusak. —Bill Crowder

Saat mengetahui bahwa pekerjaan kamu dihargai oleh Allah, adakah pengaruhnya pada cara kamu bekerja hari ini? Bagaimana pengetahuan tersebut mendorongmu memaknai kegiatan dan rutinitasmu sehari-hari?

Terima kasih, Bapa, karena Engkau menghargai kegiatan kami sehari-hari. Tolong kami menemukan sukacita dalam pekerjaan kami hari ini.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30-31; Yohanes 18:1-18

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Melayani yang Terkecil

Rabu, 24 April 2019

Melayani yang Terkecil

Baca: Lukas 14:15-23

14:15 Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang.

14:17 Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap.

14:18 Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan.

14:19 Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan.

14:20 Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.

14:21 Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh.

14:22 Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, tetapi sekalipun demikian masih ada tempat.

14:23 Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh.

Apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah. —1 Korintus 1:28

Melayani yang Terkecil

Sebuah video menunjukkan seorang laki-laki berlutut di tepi jalan raya yang ramai saat sedang terjadi kebakaran hutan yang hebat. Ia tampak bertepuk tangan dan memanggil-manggil dengan nada membujuk. Apakah yang dinantikannya? Seekor anjing? Sesaat kemudian seekor kelinci muncul. Laki-laki tersebut meraup kelinci yang ketakutan itu lalu berlari menuju tempat aman.

Bagaimana tindakan penyelamatan yang sepele seperti itu bisa menjadi berita besar? Karena belas kasihan yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak berdaya sungguh menyentuh hati kita. Dibutuhkan kebesaran hati untuk memberi tempat bagi makhluk yang terkecil.

Yesus berkata bahwa Kerajaan Allah itu seperti seorang tuan yang mengadakan perjamuan dan menyiapkan tempat bagi siapa saja yang mau datang. Tidak hanya pembesar dan berpengaruh, tetapi juga “orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh” (Luk. 14:21). Saya bersyukur Allah mencari mereka yang lemah dan sepertinya tak berarti, sebab jika tidak, saya tidak akan pernah diselamatkan. Paulus berkata, “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, . . . supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:27-29).

Alangkah luar biasanya kebesaran hati Allah hingga Dia mau menyelamatkan orang kecil seperti saya! Oleh karena itu, saya perlu bertanya, seberapa besar hati saya sudah bertumbuh? Saya hanya perlu melihat sejauh mana saya telah melayani mereka yang dipandang kurang berarti oleh masyarakat, bukan bagaimana saya berusaha menyenangkan mereka yang “terpandang”. —Mike Wittmer

WAWASAN

Alkitab menggunakan gambaran perjamuan atau pesta untuk melambangkan tawaran keselamatan Allah bagi dunia ini. Yesaya menyatakan bahwa “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan” (25:6). Lukas menggunakan kiasan seseorang yang mengundang banyak tamu ke “perjamuan besar” (14:16-17). Matius mengumpamakannya dengan “perjamuan kawin” anak raja yang berlangsung satu minggu penuh (22:2). Yohanes berbicara mengenai sebuah “perjamuan kawin Anak Domba” (Wahyu 19:9), di mana umat percaya dari segala bangsa berkumpul untuk merayakan keselamatan kekal Allah. Mereka akan datang “dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub” (Matius 8:11). “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah” (Lukas 14:15).—K.T. Sim

Orang-orang seperti apa yang sulit Anda hargai? Bagaimana cara Allah menolong Anda untuk mengubah sikap Anda tersebut?

Tuhan, tolonglah kami, pelayan-pelayan-Mu, menghargai orang lain seperti yang Kau lakukan, terlepas dari siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 19–20; Lukas 18:1-23

Handlettering oleh Agnes Paulina

Bersukacita di Masa Sukar

Senin, 18 Maret 2019

Bersukacita di Masa Sukar

Baca: Habakuk 3:16-19

3:16 Ketika aku mendengarnya, gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.

3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,

3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.

3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).

Namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. —Habakuk 3:18

Daily Quotes ODB

Setiap kali teman saya tidak menjawab panggilan telepon, ada mesin perekam suara yang meminta saya meninggalkan pesan. Di penghujung rekaman suaranya, ada pesan bernada riang, “Jadikan hari ini luar biasa!” Saat merenungkan kata-kata itu, saya menyadari bahwa kita tidak berkuasa menjadikan setiap hari “luar biasa”, karena adakalanya keadaan memang terlalu berat. Namun, jika mau melihat lebih dalam, bisa jadi saya akan menemukan sesuatu yang baik dan indah di hari itu, entah keadaan sedang baik-baik saja atau tidak.

Habakuk juga mengalami situasi yang tidak mudah. Sebagai nabi, Habakuk telah ditunjukkan Allah tentang hari-hari mendatang ketika tanaman maupun ternak—yang dijadikan sumber penghidupan banyak orang—tidak menghasilkan bahan makanan (3:17). Tidak cukup sekadar optimis untuk menghadapi masa-masa sukar yang akan datang. Sebagai sebuah bangsa, Israel akan mengalami masa kelaparan yang parah. Habakuk didera ketakutan yang sangat besar hingga ia gemetar dan menjadi lemah (ay.16).

Meskipun demikian, Habakuk berkata bahwa ia akan “bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah” (ay.18). Dia menyatakan harapannya di dalam Allah yang akan memberinya kekuatan untuk berjalan melewati masa-masa sulit (ay.19).

Terkadang kita harus melewati masa-masa yang sangat sulit dan berat. Namun, apa pun kehilangan yang kita alami, apa pun keinginan kita yang kandas, seperti Habakuk, kita dapat tetap bersukacita dalam hubungan kita dengan Allah yang Maha Pengasih. Bahkan ketika kita merasa tidak memiliki apa-apa lagi, Dia tidak pernah membiarkan atau meninggalkan kita (Ibr. 13:5). Dia yang “memberi kegembiraan dan sukacita kepada orang yang bersedih dan berkabung” adalah alasan utama kita untuk bersukacita (yes. 61:3 bis). —Kirsten Holmberg

Dalam hal apa hubungan kamu dengan Yesus membawa kebahagiaan terbesar? Bagaimana Dia menjamahmu di tengah cobaan atau dukacita yang kamu alami?

Tuhan, bagaimana pun keadaanku, tolong aku bersukacita di dalam-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 32-34; Markus 15:26-47

Terima Kasih Matt Kecil

Oleh Maria Felicia, Surakarta

Aku bekerja sebagai seorang pengajar. Suatu kali, dalam sebuah jadwal les di sore hari aku mendapatkan suatu pengalaman yang mengajariku tentang bersyukur dan tersenyum. Cerita pengalaman ini kudapat dari interaksiku dengan Matt, seorang murid les sekaligus teman kecilku yang manis.

“Miss,” demikian Matt memanggilku. “Aku mau poop,” katanya sambil memandangku dengan tatapan aneh.

“Hah? Kamu mau poop?” Aku menjawabnya sembari ternganga. Aku tidak mau menolong Matt melakukan buang air besar di tempatku. Jadi aku berusaha menghindarinya.

“Ditahan bentar ya Matt. Bentar lagi selesai, pulang deh. Nanti kamu poop-nya di rumah saja.”

“Ya, miss,” jawab Matt. Aku tidak tahu apakah itu jawaban pasrah atau taat. Tapi, sesaat kemudian Matt memandangiku lagi dengan tatapan yang semakin memelas. Matt berusia empat tahun. Tatapan itu memberitahuku bahwa Matt sudah tidak tahan lagi. Mau tak mau aku harus membawanya ke toilet.

“Miss, bantuin Matt ya,” dia berkata. Kalimat ini membuat hatiku yang semula enggan menolongnya menjadi luluh.

Menolong anak didikku untuk buang air di toilet bukanlah hal yang ahli kulakukan. Biasanya di sekolah kami ada helper yang menolong Matt dan murid lainnya untuk urusan di toilet. Tapi, kejadian ini sekarang berlangsung di tempat lesku, di mana tidak ada helper yang bertugas menolong.

Saat menemaninya, Matt memegang erat pundakku. Dia lalu menatap setiap inci langit-langit dan dinding kamar mandiku, tempat yang kuanggap tidak istimewa sama sekali di rumah.

“Miss, kok kamar mandinya miss bagus banget?” tanya Matt.

“Hah?” aku menjawab Matt dengan heran. Jawaban itu membuat Matt kembali mengamati kamar mandiku dengan detail hingga dia pun berkata lagi, “Miss, kamar mandi miss kok bagus banget sih?”

Di usianya yang masih balita, aku yakin apa yang terucap dari mulut Matt adalah sesuatu yang juga berasal dari hatinya. Buat Matt, kamar mandi ini tampak sangat bagus, sedangkan bagiku kamar mandi ini biasa saja, tidak bagus. Atap dan pintunya tampak usang, juga reyot dimakan rayap. Tapi, sepenggal kalimat yang diucapkan Matt itu kemudian membuatku tersenyum dan mengajariku untuk mengucap syukur. Bahwa hal sederhana yang sepertinya tidak istimewa bagiku bisa dipandang begitu bagus dan istimewa bagi orang lain.

Seringkali dalam kehidupan ini aku merasa bahwa rumput tetangga lebih hijau. Aku melihat kepada orang lain yang kuanggap memiliki lebih dariku hingga aku tidak lagi menemukan keistimewaan dari apa yang ada padaku. Meski sebenarnya ada banyak alasan untuk mengucap syukur, aku seringkali hanya berfokus pada masalah-masalahku saja. Namun puji Tuhan, karena Allah Bapa adalah Pribadi yang begitu setia dan sabar. Dia menuntun, mengajar, dan mendidikku lewat banyak hal, termasuk melalui hal sederhana yang terjadi dalam keseharianku.

Aku lalu teringat akan firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:16-18 yang berkata, “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Dalam perenungan itu, aku merasa seolah Tuhan berkata kepadaku:

“Anakku, ingatlah selalu, apapun keadaan hidupmu, tidaklah perlu membandingkan diri dan merasa iri dengan orang lain. Lihatlah penyertaan-Ku. Tidakkah setiap berkat-Ku cukup bagimu untuk selalu membuatmu tersenyum dan bersyukur? Lihatlah kamar mandi ini, dan ingatlah perkataan Matt tentang kamar mandi sederhana ini, bersyukurlah. Lihatlah rumah ini, meski bukan sebuah kastil megah dan mewah, bukankah rumah ini kokoh dan tegap menaungimu dan keluargamu?”

Hari itu aku bersyukur karena melalui Matt kecil Tuhan telah mengajariku sesuatu yang berharga. Aku mau mengucap syukur kepada Tuhan untuk kamar mandiku, untuk rumahku, untuk keluargaku, untuk teman-teman kecil yang mengajariku banyak hal luar biasa, dan untuk setiap berkat-berkat yang Tuhan telah berikan buatku.

Apapun keadaan dalam hidupku, aku mau selalu tersenyum bagi Bapa. Aku berharap agar hatiku terus meluap dengan segala ucapan syukurku bagi-Nya, sebab itulah yang Tuhan kehendaki bagiku di dalam Yesus Kristus, sahabat kekalku.

Baca Juga:

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik. Inilah tiga pertanyaan yang sering kuajukan kepada diriku sendiri sebelum aku memposting sesuatu.