Posts

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Memaksimalkan Sukacita dengan Bersyukur

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Karena sering menonton sebuah akun di Instagram mengenai mainan Transformer, aku pun mulai tertarik buat mengoleksi mainan. Padahal ini bukanlah hobiku sejak dulu. Namun, ketika memulai hobi baru ini, aku menemukan kesenangan di dalamnya. Awalnya dari satu mainan yang kubeli, sampai akhirnya aku mulai mempelajari lebih dalam tentang hobi ini. Aku jadi tahu brand yang mahal dan murah, ikut dalam event dan komunitasnya, hingga benar-benar mengatur tabungan untuk menambah koleksi mainan. Sekarang aku sudah membeli lebih dari 10 mainan yang didominasi oleh mainan bekas. Maklum, lebih ramah dompet. Selalu saja ada keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Satu lagi tidak akan kenapa-kenapa.

Aku sadar akan jatuh dalam perencanaan keuangan yang buruk jika aku selalu menuruti keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Namun, di sisi lain aku ingin menambah mainan baru. Bukan soal jumlahnya yang kurang, tapi aku sungguh suka dan mengapresiasi desain mainannya. Bukan juga karena aku tidak puas dengan mainan-mainan sebelumnya, hanya saja aku mau menambah dan memaksimalkan perasaan bahagia yang aku rasa. Selalu muncul mainan yang menggugah rasa kagum dan senangku.

Menyadari hal ini membuatku merenung. Aku yakin bukan aku saja yang mengalami hal seperti ini, orang lain juga pasti pernah mengalaminya. Keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang manusia alami tidak sesempit hanya sekedar menambah jumlah kepemilikan. Manusia juga berusaha mempertahankan rasa bahagia yang dia miliki. Sayangnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Cepat layu dan ringan seperti debu tertiup.

Coba bayangkan jika kita pertama kali membeli barang yang begitu mahal dengan pendapatan sendiri. Setiap kali kita melihat benda itu ada perasaan bangga dan senang muncul dalam hati kita. Hanya saja, berapa lama perasaan itu akan bertahan? Apakah selalu ketika kita melihat barang itu hati kita akan bergembira? Lama kelamaan kita menjadi terbiasa dengan barang itu dan hati kita mulai merasa sepi. Kita mulai merindukan perasaan senang yang sama untuk terulang kembali dan prosesnya akan berputar di situ saja. Lantas, bagaimana kita bisa meresponi kesementaraan dunia ini dengan tepat?

Bagi sebagian orang, mereka tidak akan menyerah membiarkan rasa bahagia mengisi hatinya. Mereka akan bertualang mencari rangsangan agar hatinya terus bahagia. Melompat dari kesenangan yang satu ke kesenangan yang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup hanya membawa perasaan yang lebih kosong pada kita. Seolah-olah kita tiada kalau tidak merasa selalu senang. Tak jarang pula pengejaran akan kesenangan membawa hal-hal buruk terjadi pada kita. Dalam kasusku, tidak jarang seseorang jadi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena membeli mainan sebagai hobi. Ada harga yang harus dibayar agar kita merasa bahagia. Kalau begitu, mungkin yang perlu kita renungkan adalah kebahagiaan mana yang menjadi prioritas kita?

Ada juga yang terlalu keras menggenggam perasaan bahagia tersebut. Mereka berharap dunia ini stabil. Situasi dapat mudah dikuasai sehingga perubahan selalu dapat diantisipasi. Namun, dunia dengan banyak faktor yang terlibat di dalamnya, selalu punya cara untuk memberikan kejutan pada manusia. Tidak selalu kejutan-kejutan tersebut bersifat manis, terkadang pahit dan ingin kita buang jauh-jauh. Aku mulai belajar cara menyimpan mainan-mainan yang kubeli. Aku juga mulai terpikir memodali hobiku dengan peniup debu elektrik untuk membersihkan mainan-mainan koleksiku. Semua kulakukan agar mereka dapat bertahan lama dan tidak rusak karena kelalaianku. Sekali lagi, aku rasa itu adalah hal yang wajar dan bertanggung jawab. Hanya saja, cukup naif jika aku mengharapkan mainan tersebut akan bertahan sepanjang masa. Lagipula itu hanya sebuah mainan, tidak perlu kutukar dengan seluruh nyawa.

Apa pun cara manusia untuk keluar dan mempertahankan kesenangan sementara di dunia ini akan gagal. Ironi sekali ada begitu banyak hal yang dapat membuat manusia senang, tapi sayang semuanya tidak bertahan lama. Kesementaraan ini bukan berarti manusia tidak boleh merasa senang dalam hidup. Namun, kita perlu senang dengan bijak.

“Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12–13).

Tuhan, lewat seorang pengkhotbah bijaksana, mengajarkan kepada kita untuk menikmati setiap pemberian dari-Nya. Kita tidak perlu menyiksa diri dengan menjauhi kesenangan. Nikmati setiap hal yang Tuhan izinkan untuk kita nikmati sekarang. Tidak perlu bersungut-sungut atau sampai kepahitan karena belum bisa menikmati hal-hal lain yang kita inginkan. Mungkin ke depan Tuhan akan izinkan kita untuk menikmatinya, tapi mungkin juga tidak. Bagian kita adalah menikmati setiap hal yang saat ini Tuhan beri. Kebahagiaan sementara yang kita rasakan dalam dunia ini hanya sebuah petunjuk jalan agar kita datang kepada Sang Pemberi Kebahagiaan. Petunjuk jalan bukanlah akhir destinasi, jadi kita tidak perlu berusaha mengumpulkan petunjuk jalan tapi lupa sampai pada tujuan.

Ada benarnya orang suka berkata kalau kita harus pintar-pintar bersyukur agar hidup terasa cukup. Dengan bersyukur atas setiap kesementaraan yang kita miliki, kita sedang melakukan hal yang tepat. Kita memakai kesementaraan dunia untuk sesuatu hal yang bersifat kekal. Menurutku itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan rasa senang kita akan sesuatu, mengembalikan kembali rasa senang kita kepada Sang Pemberi. Tuhan bilang, kita perlu pintar-pintar berinvestasi. Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Jika kita bersyukur dan memuji Tuhan atas setiap hal yang kita miliki, kita sedang menginvestasikan diri kita kepada sesuatu yang bersifat kekal. Relasi kita dengan Tuhan kekal adanya.

Sekarang setiap kali aku mengatur pose mainanku untuk dipajang, tidak bisa tidak bagiku untuk bersyukur. Aku mengagumi bentuk, warna, artikulasi gerak, dan gagasan desainer mainan tersebut. Aku benar-benar menikmatinya. Semua hal tersebut berasal dari Tuhan, Sang Pencipta. Namun, rasa bersyukur menolongku untuk berkata cukup, sehingga aku bisa menjadi cukup bijak untuk menguasai rasa kagumku agar tidak berlebihan dan membuat kantongku bolong.

Biarkan petunjuk jalan tetap jadi petunjuk jalan, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya. Kekaguman kita akan kesenangan di dunia ini harus menolong kita untuk semakin kagum pada Tuhan.

Tips Membawa Kembali SUKACITA di Rutinitas Sehari-hari

Kita sering berpikir kalau hidup yang bahagia itu selalu dipenuhi aktivitas yang asyik sepanjang waktu. Di media sosial kita melihat seseorang bersenang-senang dengan pasangannya, punya kantor yang asyik, atau jalan-jalan di kala senja bersama anjing kesayangan.

Kita memang tahu kalau media sosial tidak murni mencerminkan kenyataan, tapi tetap saja kita merasa minder dan membanding-bandingkan diri kita.

Ketika hidup tidak melulu menyajikan momen bahagia, ada hal-hal yang perlu kita tanamkan di pikiran supaya hidup kita lebih dipenuhi sukacita.

1. Ketahuilah bahwa sukacita itu lebih dari sekadar perasaan senang

Sukacita itu bukan cuma tentang momen penuh euforia, atau sesuatu yang baru atau senang sepanjang waktu. Bukan pula tentang berpura-pura bahagia padahal kamu sendiri sedang sedih.

Pemazmur menulis bahwa sukacita ditemukan dalam kehadiran Allah, dan di tangan kanan-Nya ada nikmat senantiasa (Mazmur 16:11). Jadi, ketika kita sungguh memikirkannya, sukacita ditemukan hanya dalam Allah. Kita ada di dalam-Nya dan diselamatkan dalam Yesus, tak ada yang dapat mengubah fakta itu. Inilah sukacita yang sejati ketika kita tahu apa yang jadi kebenarannya, sukacita yang tak ditentukan oleh kerapuhan atau kekecewaan.

Ketika kita dapat benar-benar memahami bagaimana sukacita datang dari Tuhan, maka perasaan kita tidak perlu menghalangi kita untuk mengetahui sukacita sejati.

2. Izinkanlah dirimu merasa bosan sesekali—itu bukanlah hal yang selalu buruk

Kadang hari-hari yang kita lalui terasa monoton, dan kita berpikir, “Oh, gak bener ini. Pasti ada yang salah di hidupku”. Kebanyakan dari kita ketika tiba di masa-masa jenuh, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Kejenuhan bisa jadi kesempatan untuk beristirahat dan mengenali hal-hal kecil di sekitar kita–bunga yang mekar di taman belakang rumah, sekelompok bebek yang berenang di kolam, atau memandang takjub pada indahnya langit malam.

Di lain waktu, kejenuhan juga bisa jadi semacam kompas yang mengarahkan kita pada arti dan tujuan, serta mengingatkan kita untuk memikirkan ulang hal-hal yang telah (atau tidak) kita lakukan.

Tapi waspadalah, kejenuhan bisa juga menjebak kita untuk berlama-lama nonton Netflix atau sekadar bermain medsos. Mintalah Tuhan untuk menolong kita berproses dan menyelidiki kejenuhan ini. Apakah kita kurang bersyukur, atau ini kesempatan buat berkembang?

3. Coba sesuatu yang baru atau berbeda

Selain kerja, makan, dan tidur yang terus berulang kita bisa menjadikan hari-hari kita lebih berwarna dengan melakukan hal baru. Misalnya: kita ikut kelas mengajar, mengajak teman atau tetangga pergi makan, atau kalau kamu menikmati waktu-waktu sendiri, kamu bisa makan malam sendirian di restoran yang enak.

Mendorong diri kita untuk keluar dari zona nyaman dapat menolong kita memiliki perspektif yang lebih luas dan menyadari kalau ada banyak sekali hal yang bisa kita jelajahi. Kita bisa berinteraksi dengan orang dengan berbagai ide, melihat bagaimana mereka menghidupi hidup, dan mengembangkan skill baru.

Yang paling penting, kita tahu bahwa Tuhan ingin kita bertumbuh dan dewasa dalam karakter dan iman. Pertumbuhan itu baru bisa terjadi jika kita tidak anti dengan perubahan.

4. Bangun relasi yang berarti, yang gak cuma sekadar di media sosial

Kita sering terjebak dalam pekerjaan dan rutinitas yang lama-lama membuat kita lupa akan betapa berharganya relasi dengan teman dan keluarga.

Kita bisa mulai membangun kembali relasi dengan teman-teman lama, tapi ini bukan berarti kita tiba-tiba mengirimi chat ke semua kontak kita. Pilih dengan cermat siapa teman yang ingin kita jumpai dan kenal lebih dalam lagi. Kita bisa mengobrol lewat chat, lalu merencanakan agenda bertemu bersama entah untuk olahraga, atau makan bareng.

Pertemanan yang awet tidak dibangun hanya dengan chat yang panjang, jadi pastikan kamu tetap berinteraksi setelah chat kalian usai. Ayo bangun relasi yang berarti yang menguatkan satu sama lain (1 Tesalonika 5:11).

5. Pikirkanlah segala kebaikan yang Tuhan telah lakukan buatmu

Mungkin sekarang kita tidak sedang bersukacita. Kita lelah, khawatir, dan merasa sangat sulit untuk tersenyum lagi. Tuhan pun serasa jauh untuk menyelamatkan kita.

Namun, satu cara yang bisa menolong membawa sukacita kita kembali adalah dengan mengingat seberapa jauh Tuhan telah membawa kita. Jika kita merenungkan bagaimana Tuhan menolong kita saat kita putus dari pacar, gagal di ujian, dan sebagainya, kita mengingat kembali bahwa Dia selalu beserta kita dalam masa-masa yang tak pasti.

Mengingat akan kesetiaan-Nya akan membawa kita pada rasa syukur, yang datang berdampingan dengan sukacita (Mazmur 95:1-2, 1 Tesalonika 5:18). Allah yang dahulu menolong kita adalah Allah yang sama, yang hadir beserta kita.

Terakhir, sukacita sejati hanya ditemukan dalam Tuhan yang memenuhi kita lebih dari kelimpahan gandum dan anggur (Mazmur 4:7).

Adalah baik untuk selalu menantang diri kita bertumbuh. Temukan hobi baru, tumbuhkan relasi yang lebih erat dengan temanmu, atau sesekali belajarlah menerima rasa bosan dan jenuh agar kita mengingat lagi bahwa janji Yesus itu nyata. Sukacita sejati hadir ketika kita hidup selaras dalam kasih-Nya (Yohanes 15:10-11).

Cerpen: Hanya Sepasang Sepatu

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000, aku masih duduk kelas 2 SD Negeri di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Satu kelas hanya diisi dengan 22 siswa, termasuk aku. Bangunanya juga tidak sebagus sekarang. Dulu, temboknya bisa mengelupas sendiri karena termakan usia.

Di tempat inilah aku belajar mengenal angka dan huruf. Jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalku, sehingga aku hanya perlu berjalan kaki untuk berangkat sekolah. Aku bukan siswa yang mudah bergaul dengan teman-temanku. Lebih baik diam dan menyendiri di sudut ruangan. Penampilanku yang kumal dan rambut berantakan, membuatku minder untuk bergaul. Memulai pembicaraan saja, aku gagap.

Kadang juga mempertanyakan kenapa aku harus sekolah, jika sebenarnya orang tuaku saja kesulitan membiayai uang SPP-ku. Seingatku biayanya hanya tiga ribu rupiah per bulan, tetapi mereka tidak mampu membayarnya. Hingga sekarang nominal itu terngiang di kepalaku, karena hampir tiap bulan namaku disebut untuk menagih uang bulanan tersebut. Hal inilah yang menambah keminderanku untuk bergaul, kadang juga malas untuk sekolah.

Bisa dilihat bagaimana tertekannya seorang anak kecil yang melihat temannya bisa menikmati jajanan di kantin, sewaktu jam istirahat. Tak ada uang satu koin pun di dalam kantong, yang ada hanya perasaan iri. Kadang pertanyaanku pun muncul pada waktu itu, “Kenapa Tuhan mengizinkanku lahir di keluarga ini?” Aku tidak bisa menerima segala kekurangan yang kumiliki. Pertanyaan itu hanya tinggal sebuah penyesalan yang kubawa semasa kecil.

* * *

Seperti biasanya, hari Senin adalah hari untuk upacara. Kepala Sekolah menjadi pembina upacara dan seluruh peserta memadati halaman depan. Semua petugas tampak terlatih dalam menjalankan upacara Senin seperti biasanya. Semuanya terlihat sama seperti upacara bendera sebelumnya, kecuali suara dari sang pembina di tengah pidatonya.

“Tolong maju ke depan! Siswa yang berada di barisan kelas 2,” tangan kepala sekolah itu menunjukku. Tetapi aku tidak merasa ditunjuk dan diam di barisanku.

“Tolong siswa yang berada di barisan ketiga, sebelah kanan. Untuk maju ke depan,” lanjutnya.

Benar saja, aku dipanggil oleh kepala sekolahku selaku pembina upacara. Aku melangkah dengan sedikit gemetar. Lututku juga tidak bisa kukendalikan, meski hanya berdiri di samping kirinya. Aku hanya menundukkan kepalaku ke tanah. Betapa malunya aku tampil di depan umum seperti ini. Padahal aku juga tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, aku juga tidak memenangkan suatu perlombaan.

“Coba, anak-anakku sekalian. Lihatlah penampilan siswa kelas 2 ini,” kata Kepala Sekolah sembari tersenyum. Semua pasang mata terlihat mengamatiku lebih detail lagi. Semakin malu aku dibuatnya.

“Nak, sepatu yang kamu pakai itu belinya di mana?”

“Kata ibu, ini belinya dari pasar, Pak”

“Kamu tahu harganya berapa?”

“Tiga ribu, Pak.” Kepalaku semakin menunduk. Aku tahu harganya sangat murah. Merek pun tak tertempel di sepatuku. Hanya berbahan kain berwarna abu-abu, yang tingginya tidak sampai mata kakiku. Betapa memalukan aku ini!

“Nah, seharusnya kalian semuanya harus mencontoh anak ini! Dia mau memakai sepatu yang murah dan pantas dipakai. Sekolah bukan berarti harus berpenampilan bagus dengan memakai sepatu bagus. Kalian masih diberi kesempatan belajar di SD ini, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan malu apa yang kalian pakai, tetapi fokuslah belajar,” jelasnya dengan penuh semangat.

Aku pun dipersilahkan untuk kembali ke barisanku. Perasaan malu sedikit terangkat oleh sebuah kebanggaan. Mungkin memang murah kalau dilihat dari segi harganya, tetapi perkataan kepala sekolahku telah membuatnya menjadi mahal nilainya. Semenjak itu, aku belajar untuk mensyukuri segala kekuranganku dan melihat seperti apa yang dilihat oleh kepala sekolahku.

Mungkin ini yang dimaksud sebuah sukacita. Bukan masalah perasaan senang mendapatkan suatu yang mahal dan mewah. Tetapi bagaimana sikap hati yang mampu mensyukuri atas apa yang diterima dan memiliki sudut pandang yang dimiliki oleh Tuhan terhadapku. Mungkin memang hidupku itu penuh kekurangan, tetapi Tuhan melihatku sebaliknya seperti perkataan kepala sekolahku terhadap sepatuku.

Tuhan memberkati, Amin.

“Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur” (Mazmur 4:7).

Baca Juga:

Ketika Pekerjaan Tak Hanya Sebatas Cari Uang dan Kerja Kantoran

Aku belajar bahwa kita tidak akan pernah menemukan tempat kerja se-sempurna yang kita inginkan. Bahkan seorang petani pun harus turun menjejakkan kakinya di lumpur agar bisa bertani.

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?

Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.

Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”

Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.

Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.

Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.

Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.

Menikmati media sosial dengan perspektif baru

Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.

Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).

We are so precious, kita sungguh berharga.

Baca Juga:

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.

Kebahagiaan Sejati Hanya di Dalam Yesus

Oleh Pesta Manurung, Pekanbaru

Jika ditanya apa yang menjadi sumber kebahagiaan kita? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada yang menjawab sumber kebahagiaannya adalah memiliki tabungan berlimpah, rumah, mobil, pekerjaan tetap, anak-anak yang sehat dan pintar, bahkan pensiun di masa tua dengan pemasukan yang terus berjalan.

Baru-baru ini, aku menonton sebuah video yang berjudul “Adulterous Woman, The Life of Jesus.” Video ini diambil dari Injil Yohanes 8:1-11. Dalam video, terlihat kaum Farisi membawa seorang wanita yang ketahuan berzinah ke hadapan Yesus. Mereka berniat mencobai Yesus, dengan bertanya, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita yang telah berzinah ini? Musa berkata kalau ada orang yang ketahuan berzinah, maka akan dilempari dengan batu sampai mati.” Yesus menjawab, “Siapa di antara kamu yang tidak berdosa hendaklah dia yang melempar terlebih dahulu.” Satu persatu mereka menjatuhkan batunya dan pergi meninggalkan tempat itu.

Aku membayangkan si wanita yang hendak dihukum tentu sangat ketakutan. Hidupnya sedang terancam mengingat hukum yang berlaku pada masa itu, wanita yang kedapatan berbuat zinah akan dirajam sampai mati. Satu-satunya yang menentukan hidupnya adalah keputusan dari Yesus. Jawaban Yesus pun tak terduga, “Pergilah, Aku pun tidak akan menghukum engkau, jangan berbuat dosa lagi.”

Cerita dalam video ini sebenarnya mengisahkan hidup kita semua, meskipun dalam konteks ini secara khusus diceritakan wanita yang berdosa karena berzinah. Namun terlepas dari jenis dosa yang dilakukan oleh si wanita ini, bukankah kita semua berdosa?

Aku pernah berada di posisi seperti si wanita yang kedapatan berzinah itu. Tahun 2013, ketika aku duduk di bangku perkuliahan, aku menghadiri suatu ibadah di kampus. Firman yang aku nikmati saat itu berbicara bahwa sesungguhnya aku adalah manusia yang berdosa. Segala kebaikan yang aku lakukan tidak dapat menyelamatkanku. Aku harusnya dihukum karena segala keberdosaan yang telah aku lakukan. Tetapi saat itu aku mendengar ada Pribadi yang berbicara kepadaku, “Aku mengampuni dosa-dosamu. Aku menerimamu, kembalilah kepada-Ku. Hanya Aku yang berhak menghakimimu, dan Aku tidak akan menghukummu.” Aku meyakini bahwa Roh Kuduslah yang bekerja saat itu, sehingga aku bisa mendengarkan Tuhan berbicara kepadaku. Momen yang aku ingat sampai saat ini. Momen di mana aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.

Allah begitu mengasihi kita. Kendati kita berdosa, Dia tidak menghukum kita setimpal. Dia justru mengampuni kita. Bukankah kita berulang kali jatuh ke dalam dosa? Tidak terhitung berapa kali kita berdosa. Setiap kita berdosa, kita bisa mengingat perkataan Yesus kepada wanita tersebut, “Pergilah Aku tidak menghukum engkau.” Namun, ini bukan berarti kita diperbolehkan untuk jatuh berulang kali ke dalam dosa. Perkataan Yesus dengan wanita itu diakhiri dengan “Jangan berbuat dosa lagi!” Kalimat ini memberikan kita pengertian bagaimana Yesus mengharapkan kita untuk meninggalkan dosa kita.

Inilah yang menjadi kebahagiaan sejati bagi aku pribadi, mengetahui bahwa Dia yang berhak menghukum aku justru berkata, “Pergilah, Aku tidak menghukum engkau.” Artinya, Dia menerimaku di tengah keberdosaanku dan memaafkanku yang penuh dengan dosa ini.

Baca Juga:

Tuhan, Mengapa Engkau Mengirimku Ke Padang Gurun?

Di saat kebanyakan temanku diterima di kampus negeri, aku melanjutkannya di kampus swasta, dan di jurusan yang tak kusuka pula. Tuhan, kenapa aku harus ke tempat ini? Keluhku pada-Nya.

Apa Pun Ucapan Syukur yang Bisa Kita Ucapkan, Ucapkanlah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Satu bulan yang lalu, saat aku benar-benar berada pada titik jenuh akibat script software pekerjaanku yang selalu menunjukkan kegagalan, aku mendapatkan pesan dari grup WhatsApp yang menginfokan bahwa bapak dari salah satu kakak seniorku dipanggil Tuhan. Rasa dukaku dengan sekejap mengalihkan rasa jenuhku. Aku mengalami pengalihan rasa ini, karena beberapa bulan terakhir, aku selalu melihat unggahan Instagram story beliau yang menampilkan betapa beliau mengasihi bapaknya. Mungkin beberapa orang menganggap perasaanku ini berlebihan, namun aku yakin bagi kamu yang sangat merasakan kasih dari sosok bapak, pasti kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan.

Kakak seniorku ini sangatlah lemah lembut dan juga baik hati, bahkan kepadaku yang hanya sebatas juniornya. Pernah suatu ketika, Instagram story-nya menunjukkan betapa beliau merindukan kakak kandungnya yang telah dipanggil Tuhan tepat di hari ulang tahunnya yang lalu, 25 Juni 2019, dan saat ini 26 Mei 2020 Tuhan memanggil pula bapak yang dikasihinya.

Minggu-minggu sebelum kepergian bapaknya, beliau mengabadikan video saat beliau ke supermarket bersama almarhum. Hati ini pilu, bukan hanya karena melihat kedekatan kakak ini dengan almarhum, namun juga karena almarhum yang sangat romantis kepada beliau. Keromantisannya ini diwujudkan dalam bentuk kehadiran. Hal yang sepenglihatanku sangat jarang, ketika seorang bapak mau menemani anak perempuannya ke supermarket.

Selain itu, bentuk keromantisan almarhum lainnya yaitu ketika almarhum membantu kakak ini memasak dan juga menemani beliau kerja dari rumah alias work from home. Padahal, pada saat itu kondisi almarhum sudah dalam keadaan sakit, namun itu tidak mengurangi kasih sayang almarhum kepada putrinya.

Instagram story nan indah berubah menjadi story yang menyayat hati. Tepatnya 2 minggu lalu, story beliau menampilkan ruang ICU dengan tulisan “Cepat sembuh ya Pah”. Ruang ICU dan kata-kata cepat sembuh adalah hal yang sensitif untuk kulihat dan kudengar. Aku punya trauma tersendiri dengan dua hal ini. Dua tahun yang lalu, bapakku sakit berhari-hari karena salah satu telapak tangannya bengkak dan bernanah. Mama dan kakakku sudah mengantarkannya ke salah satu rumah sakit dan dokter berkata “tidak apa-apa, tidak ada penyakit yang berat”.

Namun, embusan kabar baik tersebut tidak sesuai dengan realita, bukannya semakin membaik, kondisi bapakku malah semakin memburuk. Sampai pada suatu hari, beliau yang adalah pria teraktif yang kukenal, berubah menjadi seseorang yang hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tak tega melihatnya, akhirnya kakak dan mamaku bergegas kembali periksa ke rumah sakit lain dan dokter rumah sakit tersebut berkata bahwa bapakku mengidap penyakit gula dan harus segera dioperasi.

Melihatnya masuk ke ruang operasi hanya melalui sebuah layar gawai, studi yang berat untuk aku tinggalkan, dan jarak yang sulit untuk aku gapai adalah momen yang sangat menyayat hati. Namun pada akhirnya, aku sangat bersyukur kalau Tuhan masih memberi bapakku kesembuhan.

Alih-alih stres karena kejenuhanku mengedit script yang selalu gagal, aku mencoba mengucap syukur dari sisi yang lain, yaitu mengucap syukur ketika Tuhan masih mengizinkan bapakku untuk kembali sehat. Tidak sampai di situ, aku juga sangat bersyukur, keesokan harinya ketika hari masih begitu dini, ketika mungkin di saat para pelayat telah tiada, kakak seniorku masih sempat-sempatnya membagikan firman melalui Instagram story-nya dengan cara menangkap layar renungan harian yang beliau nikmati, walau memang judulnya tetap memilukan, “Mengapa aku? mengapa Tuhan memilihku?”

Ketika aku membaca judul ini, aku pun refleks bertanya kepada Tuhan “Iya ya Tuhan, mengapa beliau yang harus melalui ini? Mengapa harus orang baik yang merasakan penderitaan seberat ini? Adiknya yang memiliki penyakit jiwa, kakaknya yang belum 1 tahun tutup usia, dan sekarang bapaknya lagi yang Engkau panggil”.

Sambil bertanya-tanya, aku tetap mencoba membaca tangkapan layar renungan harian tersebut. Ternyata, Tuhan menguatkan beliau dari kisah Ayub. Ayub yang adalah hamba Allah yang setia dan sangat baik (Ayub 1:8), tetapi yang hidupnya juga amat sangat menderita. Kisah Ayub mengajarkan kalau hidup tidak selalu berdasarkan perumpamaan tabur tuai, menabur baik akan menuai baik, dan sebaliknya. Namun, Ayub mengajari kita bahwa “Iman itu jangan hanya dilihat dari yang terlihat, bukan juga dengan perasaan. Namun, iman adalah meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada segala sesuatu pun di luar kendali-Nya, walau kadang tampak tidak adil sekalipun.” Membaca ini aku langsung membatalkan pertanyaanku kepada Tuhan dan mengimani kembali iman yang dimiliki Ayub dari kisah hidupnya.

Aku bersyukur tulisan ini diizinkan kakak seniorku untuk aku bagikan. Beliau sangat senang jikalau dukanya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Apalagi, jika kita semua mau menguatkan beliau dalam doa. Walau memang mungkin kisah hidup kita belum ada apa-apanya dibanding kisah Ayub dan kisah beliau, tetapi aku yakin setiap dari kita pasti pernah berada di posisi bertanya-tanya seperti itu, “Mengapa harus aku?”, baik itu di saat sedih atau di saat jenuh. Namun, lewat kisah Ayub dan juga kisah kakak seniorku, aku berharap ini bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk sama-sama berjuang keluar dari rasa kesedihan atau kejenuhan, dengan cara terus beriman bahwa segala sesuatu tidak ada di luar kendali-Nya dan juga mengucap syukur dengan keberadaan orang-orang yang kita kasihi.

Apa pun ucapan syukur yang bisa kita ucapkan, ucapkanlah.

Baca Juga:

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Aku dan temanku mengalami salah paham. Akibatnya, relasi kami sempat mendingin. Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja, tapi Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois.

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Oleh Blessdy Clementine, Jakarta

Sudah lebih dari tiga minggu, tagar #DiRumahAja memenuhi hampir semua unggahan yang melintas di media sosialku. Sudah lebih dari tiga minggu pula aku menjalani perkuliahan secara online. Keadaan yang memaksaku untuk beradaptasi secara tiba-tiba ini—ditambah lagi dengan ketidakpastian akan kapan semua ini akan berakhir—membuatku merenung. Ketika tempat kita berpijak mulai goyah dan membuat kita tidak seimbang, sudah pasti gerakan refleks kita adalah mencari pegangan, bukan? Aku menghela nafas dan segera meraih Alkitabku.

Karena tidak tahu bagian mana yang harus kubuka dalam Alkitab, aku berdoa kepada Tuhan agar Roh Kudus mengarahkanku pada perenungan yang dapat memberiku kekuatan yang kubutuhkan tengah-tengah situasi ini. Aku membuka aplikasi Alkitab favoritku dan mulai menelusuri berbagai pilihan topik renungan yang terpampang.

Mataku tertuju pada topik Hope, harapan. Aku menemukan renungan yang ditulis oleh Craig Groeschel, seorang pendeta senior asal Amerika, yang berjudul Hope In The Dark, harapan di tengah kegelapan. Tanpa berpikir dua kali, aku memilihnya untuk menjadi renunganku untuk beberapa hari ke depan.

Tuhan, di manakah Engkau?

Kurasa, di tengah keadaan yang memukul seluruh dunia seperti saat ini, banyak orang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dalam imajinasiku, jika Tuhan bekerja di sebuah ruangan kantor, saat ini Tuhan sedang menutup tirai jendela dan mengunci pintu, lalu memasang tulisan “sedang pergi.” Tidak tahu ke mana dan kapan kembali.

Cepat-cepat kukibaskan ilustrasi aneh itu. Sebab pada kenyataanya, Tuhan berjanji Dia akan selalu beserta dengan kita. Lalu, mengapa Dia seakan-akan tidak melihat semua yang terjadi? Mengapa Dia seolah diam saja?

Lebih dari 2,600 tahun yang lalu, Habakuk mempertanyakan hal yang sama. Dia bertanya-tanya mengapa Allah seakan-akan diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi kejahatan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda. Dia mengutarakan keluhannya kepada Tuhan, “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?” (Habakuk 1:2).

Menelusuri kitab Habakuk pasal 1:1-4, kita dapat melihat Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Habakuk sangat mengasihi Tuhan, tetapi justru karena kasihnya yang besar inilah dia dengan penuh hormat melontarkan pertanyaan-pertanyaannya tersebut.

Dalam perikop selanjutnya, Tuhan mengatakan bahwa Dia yang telah membangkitkan orang Kasdim tetapi Dia juga akan menghukum orang Kasdim atas kesalahannya. Jawaban Tuhan membuat Habakuk kembali bergumul: mengapa Allah memakai orang Kasdim (bangsa Babel) yang jauh lebih jahat dari bangsa Yehuda untuk menghukum Yehuda?

Di sisi lain dari keraguannya, Habakuk justru bertumbuh menjadi sosok yang lebih kuat dalam iman. Mungkin, imannya tidak bisa bertumbuh semantap itu apabila dia tidak merasakan semua keraguan itu.

Jika kita memahami segala hal secara penuh dan sempurna, bukankah kita tak lagi membutuhkan iman? Aku sangat menyukai Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Jika kita belum melihat apa-apa, dengan kacamata iman kita dapat dengan yakin menyatakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi karena kita mengenal siapa Tuhan kita. Karena kita tahu karakter-Nya dan kebesaran-Nya, kita dapat percaya bahwa Dia selalu memegang kendali atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Dengarkan dan nantikan

Habakuk tidak mencurahkan isi hatinya lalu memalingkan wajahnya dari Tuhan, seperti orang yang sedang ngambek. Justru, usai menanyakan segalanya, Habakuk memposisikan dirinya untuk mendengarkan suara Tuhan. Dia berkata, “Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.” (Habakuk 2:1).

Craig Groeschel menuliskan bahwa terkadang, alasan mengapa kita tak kunjung memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita adalah karena kita kurang bersedia untuk berhenti sejenak dan sabar menunggu sampai Tuhan menyatakan diri-Nya.

Ketika masih duduk di sekolah minggu, kita sering menyanyikan lagu “Baca kitab suci, doa tiap hari, kalau mau tumbuh”. Aku mulai menyadari bahwa untuk mengenal Yesus dua hal wajib yang harus berjalan beriringan dan membutuhkan ketekunan adalah berdoa dan membaca firman-Nya.

Setelah berbicara dan mengungkapkan isi hati dan memanjatkan permohonan syukur kita pada Tuhan, ketika membaca firman kita mendengarkan arahan-Nya. Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Apabila membaca firman hanya menjadi sebuah rutinitas belaka sehingga kita tidak benar-benar menyediakan waktu dan ruang bagi Tuhan untuk memberikan pewahyuan tertentu kepada kita, bisa-bisa kita melewatkan banyak hal yang luar biasa!

Jika kita bersedia meluangkan—bukan hanya menyisakan—waktu untuk mengenal Tuhan dan mendengar suara-Nya, Tuhan pasti akan menghargai usaha kita mencari wajah-Nya. Menunggu memang tidak selalu menyenangkan, tetapi Tuhan berjanji memberikan kekuatan baru bagi kita yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 40:31).

“Tetapi Tuhan…”

Ketika kita sudah berdoa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi keadaan yang kita doakan tampaknya tidak menampilkan perubahan yang kita harapkan… “apakah kita masih bisa percaya bahwa Tuhan takkan mengingkari janji-Nya? Mungkinkah, ketekunan kita justru membuat kita menjadi sangat dekat dengan Tuhan sehingga kita dapat tetap mengasihi dan melayani-Nya meskipun ada kekecewaan di hati kita?

Pertanyaan-pertanyaan dalam renungan itu cukup membuatku tertohok. Tetapi, menurutku respons Habakuk amatlah menarik. Dua kata pertama yang diucapkan Habakuk dapat menjadi pengingat kita dalam perjalanan iman kita menuju kepercayaan penuh akan kasih dan kuasa-Nya: “Tetapi Tuhan ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!” (Habakuk 2:20).

Keadaan di sekitar kita mungkin terlihat mencekam dan mengerikan, tetapi Tuhan memegang kendali penuh. Kita mungkin merasa sudah melakukan segalanya yang kita bisa untuk masuk ke universitas yang kita impikan dan tak kunjung berhasil, tetapi Tuhan tetap punya rencana yang terbaik. Lutut kita mungkin terasa sakit karena kita terus berdoa tapi seolah tak mendapat jawaban, tetapi Tuhan tetap mendengarkan dan bekerja untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28). Biarlah keteguhan hati kita akan karakter Tuhan memberi kita penghiburan dan kekuatan untuk melewati setiap badai hidup kita.

Bersukacita karena Tuhan

Aku benar-benar terinspirasi oleh respons nabi Habakuk. Pengalaman bersama Tuhan membuat dia bisa melihat keadaannya dari perspektif Tuhan, dengan penuh iman dan penyerahan penuh pada kehendak Tuhan. Dalam pasal 3, kita dapat melihat Habakuk memuji dan memuliakan Tuhan ketika dia menanti-nantikan Tuhan untuk menggenapi janji-Nya.

“Tuhan, telah kudengar kabar tentang Engkau, dan pekerjaan-Mu, ya Tuhan, kutakuti! Hidupkanlah itu dalam lintasan tahun, nyatakanlah itu dalam lintasan tahun; dalam murka ingatlah akan kasih sayang!” (Habakuk 3:2)

Dari Habakuk aku belajar, untuk tidak bersungut-sungut dalam penantian kita. Sebaliknya, kita dapat mengingat perbuatan dan pekerjaan Tuhan dalam hidup kita dengan penuh sukacita. Kita dapat mengucap syukur akan kebaikan-Nya yang tak berkesudahan, bukan hanya yang sudah-sudah, melainkan juga untuk yang akan datang.

Aku juga melihat bagaimana iman Habakuk tidak tergoyahkan oleh situasi yang ada di sekelilingnya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku” (Habakuk 3:17-18).

Luar biasa, sukacita Habakuk karena Tuhan lebih daripada sukacita Habakuk akan berkat dari Tuhan. Aku tersadar, selain karena kebaikan Tuhan yang sudah kita alami sebelumnya, kita dapat bersukacita karena janji Tuhan yang pasti akan Dia penuhi bagi kita. Namun, meskipun keinginan kita tidak diwujudkan sekalipun, bersyukurlah karena kehendak-Nya bagi kita selalu mendatangkan masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Alkitab berisi banyak sekali panggilan untuk Tuhan: kota benteng, gunung batu, batu karang, menara yang kuat, dan lain sebagainya. Namun, yang kutahu pasti adalah semua itu menunjukkan betapa kuat dan kokohnya Tuhan kita. Di tengah goncangan yang kita alami, kita tahu pada siapa kita dapat berlindung dan apa yang harus menjadi pedoman kita. Tak lain tak bukan, hanya Yesus dan firman-Nya, yang tak akan pernah tergoncangkan. Tuhan memberkati kita semua.

“ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi)” (Habakuk 3:19).

Baca Juga:

4 Cara untuk Menentramkan Hati Sahabat dalam Masa Sulitnya

Menjadi seorang kawan di kala susah bukanlah hal yang mudah. Kadang kita malah jadi menggurui, meskipun maksudnya baik.

Alkitab, melalui kisah para sahabat Ayub punya pesan yang baik buat kita. Yuk baca artikel ini.

Jawaban Doa yang Tak Terduga

Oleh Stephanie*

Jika doaku dikabulkan Tuhan sesuai dengan apa yang kuinginkan, tentu aku merasa senang. Namun, ada sebuah peristiwa dalam hidup yang bagiku unik. Tuhan menjawab doaku lebih baik dari yang kuharapkan, tapi aku malah tidak bersukacita karenanya.

Tiga tahun lalu, aku mendoakan seorang temanku. Dia orang Kristen, tapi dia dan orang tuanya tidak pernah ke gereja lagi setiap minggunya. Dia sempat datang beberapa kali, lalu menghilang sampai sekarang. Aku sempat mendengar sedikit cerita darinya, bahwa dia bergumul dengan keluarganya, dan dia juga belum sungguh-sungguh mengenal Yesus. Kuajak dia untuk ikut kebaktian umum, tapi dia lebih memilih untuk menemani anaknya ikut sekolah Minggu saja, lalu pulang. Kuajak ikut doa pagi, tapi dia ketiduran. Aku pun berdoa agar temanku ini bisa mengenal Yesus lebih sungguh, kebaktian di gereja, dan jadi orang Kristen yang setia.

Di awal tahun 2020, Tuhan menjawab doaku, bahkan jawabannya lebih baik dari yang kuharapkan. Ayah dari temanku itu datang ke kebaktian umum di gereja. Dia memberi dirinya untuk didoakan dan memutuskan untuk percaya pada Yesus. Minggu depannya, dia mengajak istrinya untuk ikut kebaktian. Sampai saat ini, kedua orang tua temanku itu setia dan tidak pernah absen ke gereja.

Sudah sepatutnya aku bersukacita. Di saat aku mendoakan agar temanku kembali ke gereja, Tuhan malah mengirimkan dua orang tuanya untuk datang ke gereja lebih dulu. Tapi, bukannya bersukacita dan semakin berpengharapan bahwa Tuhan akan melakukan hal yang sama pada temanku, aku malah bertanya-tanya. Kok Tuhan menjawab doaku lain ya?

Namun aku teringat penggalan firman Tuhan yang berkata bahwa jalan Tuhan bukanlah jalan kita (Yesaya 55:8-9). Aku memang rindu agar temanku kembali pada Tuhan dan gereja. Aku mengajaknya, mendoakannya, namun Tuhan punya jalan-Nya sendiri. Tuhan jawab doaku dengan cara menjamah kehidupan keluarga temanku, yang tentunya ini sangat berbeda dari pemikiranku.

Dari peristiwa yang nampaknya sederhana ini, aku belajar satu hal. Aku perlu mengakui kedaulatan Tuhan saat menaikkan doa, permohonan, atau pun rencanaku pada-Nya. Aku tak perlu kecewa akan apa pun jawaban Tuhan atas doaku, Tuhan selalu dapat dipercaya. Namun, agar aku bisa mengakui kedaulatan-Nya, aku perlu bersikap rendah hati dan berserah akan apa pun jawaban Tuhan.

Meskipun jawaban Tuhan berbeda dari ekspektasiku, aku belajar percaya akan rencana-Nya, yakin bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu. Aku percaya, Tuhan akan menyentuh hati temanku dan membawanya untuk kembali bersekutu bersama saudara-saudari seiman.

Dan, di samping belajar mengakui kedaulatan-Nya, aku juga belajar untuk bersukacita atas jawaban doa yang terbaik dari Tuhan, sekalipun itu berbeda dari harapanku. Rasul Paulus pernah mendoakan jemaat Efesus agar bertumbuh dalam iman (Efesus 3:16). Rasul Paulus mendoakan jemaat di Efesus dengan tekun, padahal waktu itu dia sedang dalam tawanan pasukan Romawi. Namun, satu generasi kemudian Kitab Wahyu menuliskan bahwa orang-orang Kristen di Efesus tak lagi mencintai Kristus (Wahyu 2:1-7). Jemaat telah jatuh dalam dosa. Meski demikian, kita tahu bahwa buah dari pelayanan Paulus tak hanya tumbuh bagi jemaat di Efesus, Kabar Baik tentang Tuhan Yesus juga tersiar ke banyak penjuru. Tuhan menjawab doa Paulus, sesuai dengan rencana-Nya yang agung.

Kita belajar meyakini, bahwa segala sesuatu yang Tuhan kerjakan, entah itu sesuai atau tidak dengan harapan kita, adalah yang terbaik. Tuhanlah Sang Penulis Agung, kisah hidup kita ditulis-Nya dengan amat baik.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Kita tidak menampik, hari ini kita menyambut Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat seputar pandemi ini. Namun, ambillah waktu sejenak. Inilah masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.