Posts

Percayalah, Mencintai Itu Tidak Mudah, Tapi…

Oleh Triska Zagoto, Medan

“Kapan terakhir kali kamu jatuh cinta?” tanya seorang teman di sela perbincangan kami tentang teman hidup beberapa waktu yang lalu. Aku terdiam. Beberapa menit setelah berhasil mengumpulkan ingatan, aku memberi jawaban—yang sebenarnya aku juga kurang yakin ketepatannya.

Harus diakui, topik tentang teman hidup memang selalu menarik untuk dibahas, sulit dihindari, dan tak ada habisnya terutama di usia di mana kita akan menjumpai pertanyaan kapan nikah???” atau “kapan nyusul???” ketika menghadiri pesta pernikahan teman. Aku menemukan ada perbedaan yang cukup mencolok ketika memperbincangkan tentang teman hidup di usia yang hampir 30 tahun ini, di mana pembahasannya lebih realistis, dari karakteristik secara rohani maupun jasmani, yang kita yakini cukup menjamin hari depan ketika berkomitmen untuk masuk dalam sebuah pernikahan. Mungkin, pengalaman hidup dua dekade lebih, telat membawa kita untuk melihat segala sesuatu yang cukup riil bersentuhan dengan kehidupan sehari demi sehari. Namun, dari karakteristik- karakteristik yang kita inginkan itu, ternyata masih terbatas pada hal-hal yang dapat goyah dan berubah.

Paul R. Stevens, dalam bukunya Down to Earth Spirituality membahas satu bab tentang masa sebelum pernikahan. Menariknya, penulis tidak menggunakan istilah dating (pacaran) melainkan courting (kencan), artinya ada pendekatan persuasif—memberi perhatian dengan penuh cinta kasih kepada seseorang. Courting dimaksudkan supaya kumpulan aktivitas yang ada bertujuan untuk menemukan dan memenangkan orang yang tepat untuk suatu pernikahan.  Menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah hubungan perjanjian (kovenantal), akan membawa kita pada keseriusan dalam mempersiapkannya di masa courting. Jadi, hal-hal apa yang harus dibangun di masa-masa kencan itu? Apakah melalui perkencanan kita, orang lain makin kagum dan melihat kemuliaan Allah, atau justru sebaliknya, mempermalukan nama Tuhan? Apakah konsep relasi yang kita pegang sudah benar-benar berlandaskan firman Tuhan?

Percayalah, mencintai itu tidak mudah

Cinta yang kita miliki kepada seseorang dan kepada Tuhan itu dilihat dari besarnya pemahaman kita akan cinta yang Allah berikan pada kita di dalam Kristus. Ketika kita gagal melihat besarnya cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita, maka aku yakin kita tidak akan mudah mengasihi orang lain karena kita merasa bahwa kita kurang dicintai oleh Tuhan Allah. Di tengah kemajuan zaman ini, kita menemukan bahwa dunia terus berusaha menawarkan definisi cinta yang begitu rapuh, tidak berdasar, kosong, dan palsu. Banyak lagu, film, buku, dan lain-lain yang pelan-pelan yang mengikis kebenaran-kebenaran yang seharusnya ada dan dibangun di masa-masa courting itu. 

Hal yang bisa kita lakukan adalah meneladani cinta Kristus kepada kita, yaitu unconditional yang menuntut self-sacrificed. Jadi, ketika dua orang berkomitmen masuk dalam sebuah tahap kencan berarti bukan lagi untuk memperoleh sesuatu yang sifatnya seperti “treat me like a queen/king”, tetapi menyerahkan diri untuk dimiliki orang lain. Mencintai—memaksa diri dengan rela untuk tidak menguasai, mendominasi, dan mempertahankan ego. Maka, perlahan-lahan cinta yang terjalin bukan cinta yang kaku, melainkan cinta yang semakin bertumbuh dan dapat dinikmati.

Masa courting = masa diskusi dan membangun argumentasi

Pdt. Antonius Un, dalam sebuah sesi di acara retret mengatakan jangan sampai tanggung jawab yang seharusnya dilakukan ketika sudah menikah malah dilakukan dalam tahap pacaran. Yang harus dilakukan di masa-masa ini adalah berdiskusi dan membangun argumentasi. Hanya karena kita tidak ingin mengecewakan orang yang kita cintai, apalagi saat cinta itu menggebu-gebu kita rela menjadi budak cinta (bucin), dengan berusaha melakukan apa pun yang semestinya dilakukan ketika sudah menikah. Entah dalam hal keuangan, pertemuan dengan keluarga masing-masing sebelum waktunya, atau bahkan melakukan hubungan seksual, dan lain-lain.  Kita perlu merenungkan apakah dalam hubungan yang sedang atau yang akan kita jalani dengan calon pasangan hidup, kita menyaksikan Kristus semakin bertakhta? Apakah pengejaran akan kekudusan diri terus bergema dan dengan gentar kita lakukan? Tentu saja hal ini tidak mudah. Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, peperangan rohani selalu ada setiap hari, setiap saat. Maka sangat perlu untuk menjaga kesucian diri: rohani dan jasmani. Diskusi dan membangun argumentasi bisa dikerjakan dengan pendalaman Alkitab bersama, memiliki jam doa bersama, terlibat dalam komunitas di gereja, melayani bersama, membahas dan mengulas buku rohani, diskusi dengan orang-orang yang dewasa rohani dan memiliki kesaksian hidup yang benar maupun dengan hamba Tuhan. Masa courting, masa di mana kita mempertanyakan hal-hal yang perlu disetujui, disepakati, dan dijalani ketika sudah masuk dalam tahap pernikahan; bisa berupa pekerjaan, pelayanan, panggilan, dan lain-lain. Dan, bila perlu sesekali mengambil jarak sejenak untuk bersama-sama mengevaluasi diri.

Bertumbuh melalui proses

Karena menikah adalah komitmen seumur hidup—sampai maut memisahkan, maka kita dituntut untuk sungguh-sungguh dalam mempersiapkannya. Dalam berbagai proses yang Tuhan izinkan, kita perlu bijaksana untuk melihat apakah dalam masa courting ini, kita jalani dengan joy dan happy atau malah kita restless karena kita memasuki hubungan tersebut untuk mengakhiri loneliness kita? Perlu kita ingat bahwa pernikahan adalah tempat untuk dua orang yang berkelimpahan sehingga bisa saling berbagi, bukan untuk dua orang yang kekeringan. Kualitas masa kencan kita menentukan kualitas pernikahan kita. Biarlah dalam masa-masa evaluasi diri, kita dituntun Allah untuk menilik hati kita dan menjadikan kita pribadi yang utuh. Sebagaimana hidup yang utuh, kata Henry Cloud dalam bukunya Boundaries In Dating, adalah hidup yang penuh. Pemazmur mengingatkan kita: Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mazmur 1:3).

Bila saat ini kamu sedang berada dalam tahap pendekatan maupun tahap kencan, nikmatilah setiap proses, yang bila diarahkan kepada Allah dapat menjadi ujian bagi pembentukan iman, kasih, dan kekudusan sejati sehingga menjadi pasangan yang sepadan, yang saling mengenali kelemahan satu sama lain, saling membangun, dan saling melengkapi untuk menyaksikan bahwa Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5), untuk mengenal dan mengerjakan panggilan Allah, demi kemuliaan Allah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seiman Sih, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…

Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.

“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.

“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”

Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.

Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”

Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.

“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”

Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”

Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”

Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.

***

Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.

Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.

Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.

Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.

“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?

Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”

Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”

Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?

Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.

Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.

“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”

Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?

“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.

Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?

Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?

Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.

Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?

Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?

Tetapi…

Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.

Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?

Apakah iman kami sudah seimbang?

Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?

Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?

Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.

Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.

Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.

Aini menekan tombol kirim.

Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.

Podcast KaMu ep. 26: BUCIN PADA ORANG YANG TEPAT | Belajar Mencintai dari Yang Sudah Menikah 25 Tahun!

Mencintai adalah perkara yang gampang-gampang-sulit. Gampang bagi seseorang yang sedang dimabuk asmara, dan sulit bagi yang tengah diterpa konflik dan mati-matian mempertahankan hubungan.

Barry dan Monic adalah sepasang suami-istri yang telah menikah selama lebih dari 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Seperempat abad dalam bahtera rumah tangga telah mengajari mereka begitu banyak hal-hal bijaksana tentang arti cinta; tentang bagaimana memupuk, memelihara, dan menumbuhkan cinta pada segala musim kehidupan.

Yuk simak cerita seru dari pengalaman Barry dan Monic di Podcast KaMu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sabar Menunggu Pasangan Hidupmu

Oleh Jessie

Hayooo… Kamu klik artikel ini pasti karena kamu masih single ya? Hahaha, bercanda.

Apa pun status relasimu saat ini, tulisanku ini bukan hendak membandingkan antara yang single atau taken, ataupun berbagi tips and trick mencari jodoh. Jika kamu klik artikel ini karena masih menunggu calon pasangan yang batang hidungnya pun belum kelihatan, maka kamu berada di renungan yang tepat.

Aku menulis dalam statusku sebagai seorang lajang. Sejauh apa level ke-single-an-ku? Hmmm… Kalau malam Minggu aku sering pergi sendirian, atau mungkin nonton bioskop dengan orang tuaku. Kadang pula aku pergi ke mal, tapi menemani temanku yang sudah berpasangan hingga aku jadi seperti obat nyamuk saja. Di usiaku yang sudah seperempat abad, aku tidak menampik kalau aku pun ingin punya pacar. Oleh karenanya, aku mengerti keresahan dan menderitanya setiap kali ditayai kapan punya pacar dan menikah. Karena posisiku yang juga masih dalam tahap mencari dan menunggu, maka ada beberapa hal yang aku selalu ingatkan buat diriku sendiri yang juga aku ingin bagikan kepada kita semua yang ada dalam masa penantian ini.

Siapa pengemudi kapal cintamu?

Kita pasti tahu kalau jawaban yang seharusnya adalah Tuhan. Tapi, memberi kendali atas kehidupan percintaan kita pada-Nya tidaklah selalu mudah. Contoh: bagaimana kalau pria atau wanita yang kita sungguh-sungguh tertarik akan paras dan keasyikannya ternyata bukan pilihan yang berkenan buat Tuhan? Atau lebih jauh lagi, bagaimana jika ternyata lebih baik bagiku untuk tidak menikah?

Pertanyaan kedua memang cukup menakutkan bagi kebanyakan orang, termasuk aku. Namun, harus diketahui bahwa menikah atau tidak, keduanya merupakan panggilan, yang dipercayakan dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Sebagai orang Kristen yang telah menyerahkan dirinya untuk Tuhan, kita seharusnya melepaskan setir kemudi kita kepada pengemudi yang lebih handal. Atau, setidaknya kita berusaha untuk melepaskannya. Percayalah bahwa Pencipta kita tahu apa yang terbaik untuk kita, sehingga kalau memang belum bertemu pasangan yang sesuai, sepadan, jangan dipaksakan. Tetap percayakan roda setir hidup kita pada Tuhan dalam segala aspek apa pun itu, termasuk kisah cinta kita. Menyerahkan hidup pada Tuhan itu bukan persoalan kita senang atau tidak, namun itulah fondasi dari segala aspek kehidupan kita. Biarlah Tuhan yang memegang kendali dan menuliskan kisah cinta kita, oleh sebab itu berikanlah pulpen itu kepada-Nya.

Leslie Ludy dalam bukunya yang berjudul “When God Writes Your Love Story”, memberikan perspektif unik setelah kita bertekad menjadikan Tuhan sebagai pengarang dari kisah cinta kita. Pertanyaan yang membantu kita adalah, jadi apa tugas kita jika Tuhan sudah mengambil alih roda kemudi kehidupan kita? Jawabannya semudah mengenal Pengemudi kita secara pribadi. Mungkin banyak di antara kita mengaku sering berdoa, membaca Alkitab, dan ke gereja setiap Minggu; akan tetapi pertanyaan terpentingnya adalah, apakah kita mengenal Tuhan kita? Karena realitanya, kebanyakan dari kita hanya memberikan beberapa menit di sana dan beberapa menit di sini untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya rohani, namun sebenarnya tidak menambah kearifan kita dalam mengetahui kehendak Tuhan atas kehidupan kita, termasuk aspek kehidupan percintaan kita. Seek and know Him intentionally. Mau mengenal Tuhan lebih dalam lagi ya memang harus disengaja, bukan tanpa usaha.

Banyak cara mencari dan mengenal Tuhan, karena Tuhan kita tidak seperti kandidat-kandidat calon pasangan kita yang suka jual mahal dan sering tarik lalu mengulur. Tuhan kita selalu membuka diri-Nya bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari-Nya. Menulis jurnal mengenai perasaan kita dan apa yang Tuhan ajarkan dalam saat teduh harian kita adalah salah satu metode yang sangat membantu kita dalam mengenali diri kita dan apa yang Tuhan mau. Adapun cara lainnya yaitu membaca buku rohani, dan banyak hal lainnya yang kalian bisa eksplor saat melakukannya. Kunci utamanya niat.

Leslie Ludy juga melanjutkan bahwa perubahan dalam relasi kita dengan Kristus adalah kunci dari segalanya dikarenakan dua hal:

Yang pertama, kita belajar untuk bersandar pada relasi pribadi kita dengan Kristus sebagai sumber utama pengharapan, kebahagian, jaminan hidup kita. Poin ini penting banget dicatat baik-baik, khususnya untuk generasi kita sekarang ini. Kenapa? Karena begitu banyak anak muda menjadikan status hubungan romantis sebagai identitas utama mereka. Mungkin ada yang tidak bisa banget sendirian, sampai harus terus-menerus dalam keadaan atau mode mencari pasangan; atau saat putus, ada yang lalu kehilangan arah dan tujuan hidup; bahkan, banyak yang menganggap status hubungan romantisnya sebagai kewajiban yang membuat mereka lebih secure dalam berkomunitas. Leslie mengingatkan, jika kita terus memiliki ekspektasi bahwa calon pasangan kitalah yang akan memberikan kita kebahagian dan kepuasan kita, maka kita akan selalu kecewa. Se-ideal-ideal nya calon pasangan kita, mereka tetap manusia, lebih spesifik lagi, manusia yang berdosa; dan semua manusia pasti akan mengecewakan.

In case kita belum sadar, hubungan yang didasarkan pada emosi manusia saja cenderung tidak stabil dan tidak akan bertahan lama. Satu hari kita bisa bucin kebangetan, lain hari lagi kita mengabaikan perasaan tersebut karena mulai bosan; atau kalau lagi berantem, si cowo dan si cewe bisa ribut seolah mereka tidak pernah jatuh cinta. Belum lagi, saat kita memilih pasangan kita dikarenakan parasnya, lalu suatu hari parasnya sudah tidak seindah di hari pertama kita berjumpa mereka. Jadi, wajar saja kalau terjadi banyak perceraian dan ketidakharmonisan antara pasangan; karena mereka hanya mengandalkan emosi manusia yang sifatnya labil dan tidak menentu.

Poin yang kedua adalah, relasi pribadi kita dengan Kristus seharusnya akan menuntun kita untuk menjadikan Dia sebagai fokus utama saat kita berpacaran hingga menikah nantinya. Saat relasi kita dengan Kristus sudah benar, barulah kita mulai bertanya pasangan yang seperti apa yang harus kita cari? CS Lewis pernah mengatakan, A woman’s heart should be so hidden in God that a man should seek Him in order to find her.” Hati kita harus tenggelam dalam Tuhan sampai-sampai calon pasangan kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk mendapatkan kita. Jadi jawabannya se-simple, carilah pasangan yang juga memiliki relasi pribadi yang baik dengan Kristus. Kalau sampai akhirnya kita dan calon pasangan kita bisa bersama, itu dikarenakan kita memiliki kesamaan dalam mengasihi Kristus.

Di titik dan level itulah baru kita dan calon pasangan kita bisa se-visi-misi, tahu harus mengandalkan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Sehingga sebahagia dan sesulit apa pun tantangannya, mereka berpegang pada Tuhan dan ajaran kebenaran-Nya yang tidak akan pernah gagal ataupun mengecewakan endingnya. Aku percaya kalau kita dan dan pasangan kita mengutamakan Tuhan, Tuhan akan selalu menuntun dan memberkati kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Soulmate atau Solemate?

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

*Ditulis berdasarkan Refleksi dari Buku The Sacred Search, Gary Thomas.

Guys, nanti malam hunting makanan di Little India yuk, lagi ada bazar kuliner di sana,” celetuk Alma dari seberang ruangan. Dia masih sibuk dengan ponselnya, asyik scroll Instagram. Aku tidak menanggapi, juga sibuk dengan buku di tanganku. Sisca di sebelahku juga tampak sibuk dengan gim di ponselnya, hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar. Kami baru saja selesai latihan untuk kunjungan gereja hari Minggu ini.

Melihat kami bergeming, Alma mendekat ke arah kami.

“Halooo,” serunya dengan nada melambat untuk mendapatkan perhatian kami. Tapi, belum sempat kami menjawab, dia kembali bertanya, “Eh, lagi baca buku apa sih, Gi?!” Diperhatikannya sampul bukuku lalu dibacanya dengan bersuara, “The Sacred Search, Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus…. Wih! Ini buku keren banget!”

Mendengar suara Alma yang heboh sendiri, Sisca pun jadi teralihkan perhatiannya. Dia matikan gimnya lalu ikut serta dalam pembicaraan. 

“Apa yang kamu dapat dari membaca buku seperti itu, Gi?” tanya Sisca.

Aku mengangkat bahu. Bukan sebagai ekspresi tidak tahu, tapi memang buku ini isinya bagus sekali sehingga sulit rasanya memberikan jawaban singkat.

“Banyak hal sih. Kalian mau baca?” kutanya mereka balik.

“Kamu aja yang sharing sama kita, kamu ‘kan tahu minat baca kita rendah,” jawab Alma sambil nyengir.

“Ada beberapa hal yang paling aku highlight sih tentang pasangan atau teman hidup dari buku ini,” jawabku sembari memperhatikan ekspresi wajah mereka berdua. Kulihat mereka sepertinya sungguh ingin mendengar, tapi sebaiknya kuuji dulu pemahaman mereka tentang hidup berpasangan. “Sebelumnya, coba deh aku tanya, menurut kalian apa sih tujuan kita menikah?”

Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tampak kerutan-kerutan di keningnya, tanda bahwa sedang berpikir.

“Kalau aku sih, memiliki pasangan atau menikah itu kan kebutuhan biologis kita sebagai manusia. Jadi ya kita perlu menikah. Selain ya karena mandat dari Tuhan, untuk beranakcucu,” Sisca menjawab duluan.

Aku mengangguk tanda setuju. Kini giliran Alma menjawab. “Iya sama. Tapi dulu aku sempat berpikir kalau menikah itu sesuatu yang wajib kita lakukan, karena mana mungkin kita bisa hidup sendiri selamanya kan? Kita pasti butuh pasangan, kalau tidak kita bakal kesepian seumur hidup nggak sih?”

Senyum simpul tersungging di wajahku mendengar pertanyaan Alma. Sejatinya, pertanyaan itu tidaklah asing. Kebanyakan orang tentu berpikir yang sama, bukan? Bahwa tidak punya pasangan itu seolah hidup tidak utuh dan pasti kesepian. Kurapikan sedikit posisi dudukku. Dengan punggung yang lebih tegak dan kedua telapak tangan kuletakkan di paha, aku memulai penjelasanku dengan nada lebih lambat.

“Kebanyakan orang mungkin memang berpikir seperti itu ya ‘kan! Nah, poin pertama dari buku ini yang aku highlight, yaitu kita sering berpikir atau mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah. Tapi, bagaimana kalau pertanyaannya adalah mengapa kita menikah? Dan buku ini mencatat, dasar kita menikah adalah ayat Matius 6:33. Aku yakin, kita sudah hafal isi ayatnya kan?”

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” ucap Sisca menggemakan kembali ayat yang tidaklah asing di telinga.

Kulanjutkan lagi penjelasanku,  “Jadi, ketika kita memutuskan untuk menikah, itu bukan karena kita harus menikah atau karena sudah waktunya menikah, atau semata untuk kebutuhan biologis, untuk mendapat keturunan, dll. Itu memang bagian darinya, tapi tujuan kita menikah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangun keluarga Allah, menjadi rekan sekerja mewujudnyatakan rencana-Nya.” Kata-kata ini kuucapkan dengan mantap, mengutip bagian dari buku itu. Kedua orang di depanku seperti terbius dan hanya mendengarkan dengan khidmat. Aku hampir tertawa melihat ekspresi serius mereka.

“Oke, poin keduanya ini soal pasangan hidupnya sendiri sih. Ehm… tahu nggak, soal pasangan hidup ini aku itu awalnya mengira kalau kita akan dipertemukan dengan jodoh kita pada waktunya nanti. Jadi kita—apalagi perempuan—tinggal menunggu saja, nanti bakal ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pasangan kita.”

“Terdengar sangat rohani, bukan?” candaku. “Pernah beranggapan kayak gitu nggak?” Mereka berdua serentak mengangguk.

“Nah, tapi nyatanya, kalau seseorang tiba-tiba datang ke depan pintu rumah kita dan berkata bahwa dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menikahi kita, kira-kira apakah kita mau?” tanyaku, dengan sedikit tertawa. Mereka pun ikut tertawa.

“Kalo di buku ini, kita tidak menganggap bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang tertentu untuk kita. Seolah sejak lahir kita udah pasti akan menikah dengan seseorang yang sudah ditetapkan untuk kita, apapun yang terjadi. Jadi buku ini menggunakan istilah Solemate, bukan Soulmate,” jelasku.

Aku sengaja berhenti sejenak melihat tanggapan mereka. Dan mereka tampak antusias, menunggu aku melanjutkan. “Soulmate itu kan diartikan sebagai belahan jiwa, yang mana maksudnya ada seseorang di dunia ini yang pasti cocok, dan pasti bisa mengisi jiwa kita. Jadi kayak, kita ini setengah potongan, dan dia potongan yang lain, maka jika kita bersama kita akan menjadi satu bagian yang utuh. Padahal kalau di Alkitab ‘kan, kita bukan setengah ditambah setengah menjadi satu, tapi dua orang dipersatukan menjadi satu, gitu ‘kan?” kataku.

Alma dan Sisca mengangguk-angguk.

“Lalu kalau Solemate apa?” tanya Sisca.

Aku berdiam sesaat, mencoba mengingat. “Kalau Solemate, secara harfiah ‘kan sole itu berarti sol atau karet di bagian bawah sepatu. Jadi, kalau solemate itu yaitu seseorang yang akan berjalan bersama kita menjadi partner untuk mencari dahulu kerajaan Allah, sesuai dengan tujuan kita menikah tadi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Dan pasangan seperti itu kita temukan, bukan dengan sendirinya datang kepada kita. Memang bukan dengan mencari-cari secara agresif, tapi mendoakan, menemukan dan memilih dengan sungguh-sungguh.”

“Kita pun jika ingin ditemukan, kita harus berdiri di tempat di mana kita bisa ditemukan. Contohnya dengan mengikuti persekutuan, pelayanan, atau komunitas dimana kita berharap akan mengenal dan menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama.”

Kedua temanku itu masih serius mendengarkan. “Gimana? Sudah cukup dengan sharing session hari ini?” tanyaku bercanda. Mereka tertawa. Tapi, tampaknya mereka belum bosan dan justru menikmati percakapan ini.

“Aku jadi teringat deh sama sepupunya tetanggaku yang kemarin mau nikah. Masih cukup muda sih, tapi dia mantap buat menikah karena katanya dia yakin dia sudah bertemu dengan soulmatenya. Dia yakin setelah menikah dia akan menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak akan kesepian,” cerita Alma.

Aku tersenyum, mengingat sebuah kutipan. “Memang iya sih, ada hal-hal yang berubah dari seseorang yang sudah menikah. Dan, kita pun nggak mau langsung menghakimi keyakinan seperti itu kan.” Kemudian kulanjutkan, “Tapi ada satu kutipan dari buku ini yang membuatku tertawa saat membacanya. Menikah tidak akan membuat Anda menjadi orang yang berbahagia atau menjadikan Anda orang yang semakin dewasa; menikah hanya akan membuat Anda menjadi orang yang… sudah menikah.

Lalu entah bagaimana kami tertawa bersamaan setelah itu.

“Nah guys, teorinya udah ada kan, tinggal prakteknya nih yang tidak semudah itu,” candaku, menutup topik pembicaraan kali ini.

“Iya, memang pasti nggak mudah sih menerapkannya ya walaupun kita sudah tahu teorinya. Untuk itulah aku membutuhkan kalian guys, dan persekutuan kita, supaya kita saling menolong untuk taat,” kata Sisca dengan pelan dan terdengar tulus setelah diam cukup lama.

Aku tersenyum, Alma juga. Kami saling bertatapan, menyetujui untuk saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan untuk taat. Aku pun yang sedang menjalin hubungan juga sedang belajar taat untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.

“Eh udah gelap nih, ayo nanti bazar makanannya keburu rame, kita nggak kebagian tempat kosong,” seru Alma tiba-tiba. Kami tertawa dan mengikuti tarikannya melangkah keluar.

***

“Wahai para lelaki dan perempuan, temukanlah seorang pasangan yang bersamanya Anda bisa mencari dahulu kerajaan Allah, yaitu seseorang yang menginspirasi Anda menjalani hidup saleh. Dan, ketika Anda berhasil melakukannya, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

-The Sacred Search, Gary Thomas-

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengharap Fairy Tale dari Dating Apps: Kala Mencari Pasangan Jadi Obsesi

“Wah, orang ini kayaknya oke!” swipe kiri.

“Hmmm, nggak deh…” swipe kanan.

Itulah aktivitasku selama setahun. Lama-lama, apa yang kumulai dari iseng-iseng mencari kenalan baru, berubah jadi obsesi bahwa aku harus sama seperti teman-teman yang lain: bertemu jodoh di dating apps!

Dating apps adalah wadah yang baik untuk mempertemukan kita dengan orang baru, tapi yang terjadi setelah itu sepenuhnya bergantung pada sikap hati kita. Apakah mencari sosok pasangan itu dengan rasa takut karena dikejar usia dan tekanan sosial? Atau, dengan sukacita karena ini berteman sembari kita sendiri terus meng-upgrade diri menjadi versi terbaik diri kita sesuai dengan yang Kristus kehendaki?

Artspace spesial hari kasih sayang ini merupakan kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dengan Grami. Kontennya diadaptasi dari artikel karya Agustinus Ryanto. Baca artikel selengkapnya di: https://bit.ly/DariDatingApps.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Single = “Neraka”, Berpasangan = “Surga”? Menilik Ulang Nilai Romansa Modern dari Single’s Inferno

Oleh Mary Anita, Surabaya

Apa yang akan terjadi bila sekelompok pria dan wanita muda yang rupawan dan mapan harus bertahan hidup di pulau terpencil sembari berlomba menemukan sosok cinta sejati?

Plot ini diungkap dalam reality dating show asal Korea Selatan yang begitu populer tiga tahun terakhir lewat Netflix, yaitu Single’s Inferno. Bersama dengan panelis artis Korea papan atas, acara dibuat se-real mungkin sebagai eksperimen sosial dan diskusi menarik yang relate dengan segala pergumulan romantis kaum muda. Saat menontonnya, aku menemukan empat hal yang perlu kita renungkan ulang:

1. Lajang adalah neraka, tapi berpasangan itu surga

Secara garis besar, konsep surga dan neraka adalah kunci utamanya. Setiap hari apabila ada peserta yang gagal atau bertepuk sebelah tangan untuk memenangkan hati si target pujaan, mereka akan ditinggalkan di pulau inferno atau “neraka”. Di sisi lain, siapa yang menang lomba atau kedapatan memiliki perasaan yang sama satu sama lain, bisa berpasangan dan menikmati quality time ke “surga”, yaitu resor mewah.

Dari segi entertainment, jelas konsep berbasis reward surga justru memacu semangat bagi tiap peserta sekaligus bumbu hiburan bagi penonton. Namun, bukankah ini sebenarnya rekonstruksi streotipe masyarakat yang ada di dunia nyata? Jika kamu masih lajang, maka kamu dianggap buruk, kamu orang buangan yang pantas berada di “neraka”. Berbanding terbalik dengan mereka yang berpasangan, tentu layak menikmati “surga”. Namun, benarkah demikian?

Nyatanya, tak ada ayat di Alkitab yang tercatat kalau derajat orang lajang lebih rendah daripada mereka yang berpasangan. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa hidup ini adalah anugerah Allah semata yang layak untuk dinikmati, termasuk di dalamnya masa lajang. Yakobus 1:17 berkata, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Rasul Paulus yang hidup melajang juga menegaskan dalam keseluruhan perikop 1 Korintus 7 bahwa menjadi lajang pun baik karena kita dapat melayani Tuhan tanpa rasa khawatir. “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (ayat 32).

2. Semua orang mengingini cinta sejati

Saat acara dibuka, setiap peserta akan melakukan briefing sekilas memperkenalkan diri penuh percaya diri dan optimis. Namun, seiring hitungan hari, ada kalanya rasa itu sirna, malahan membuat mereka rapuh. Adanya ketegangan yang melukai harga diri saat cinta ditolak, dan persaingan saat memperebutkan hati seorang yang disukai tentunya sangat menguras emosi dan mental, menunjukkan betapa setiap manusia sebenarnya sama-sama rindu untuk diinginkan dan dicintai. Di saat kita terluka dan pernah mengalami hal yang sama karena cinta, ketahuilah cinta sejati yang tanpa syarat dan kekal hanya ada dalam Tuhan dan bukan manusia.

“Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” (Yeremia 31:3).

3. Jadilah dirimu yang asli dan kenali orang lain tidak hanya di permukaan saja

Ada aturan unik dalam acara ini yang mewajibkan peserta untuk merahasiakan usia dan pekerjaan, kecuali kepada siapa yang berhasil diajak ke “surga”. Maksudnya, untuk membantu mereka lebih nyaman menjadi diri sendiri sedari awal, sehingga proses pendekatan pun dapat disorot lebih transparan. Aturan ini membuatku tersadar, mungkinkah ini krisis yang sebenarnya kita butuhkan saat berelasi? Suatu keaslian diri dan tidak cepat menilai orang lain hanya di permukaannya saja. Dalam  1 Samuel 16 : 7 tertulis “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Di dunia yang penuh kepalsuan, ini saatnya kita berani menjadi diri sendiri dengan hati yang murni sebagai murid Krisus dengan tidak menghakimi orang lain berdasarkan yang kita lihat di luar saja.

4. Happy ending hubungan romantis bukanlah sekadar pacaran

Puncak euforia yang ditunggu-tunggu ada pada ending yang mengungkapkan siapa saja yang berhasil berpasangan secara resmi. Namun, beberapa penonton rupanya tak puas hanya sampai di situ. Mereka malahan membanjiri akun medsos peserta dengan pertanyaan memastikan apakah mereka sungguh berpacaran di dunia nyata. Dengan harapan, itulah happy ending yang sesungguhnya.

Namun menurut Alkitab, sekadar berpacaran bukanlah gol happy ending dari sebuah hubungan romantis.

Dalam Kejadian 1:28, ada alasan serius mengapa Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Bukan romantisme kosong semata tanpa tujuan, tetapi sebuah happy ending yang dikehendaki-Nya, yaitu pernikahan. Di saat kita siap memulai hubungan romantis dengan lawan jenis, pertimbangkanlah secara matang untuk tujuan jangka panjang ke arah pernikahan, dan bawalah itu dalam doa meminta tuntunan Tuhan karena nantinya hubungan itu berujung menjadi pertanggung jawaban kita pada Tuhan dalam mewujudkan kasih Kristus dan kepada jemaat-Nya seumur hidup.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Efesus 5: 31-32).

Kawanku, di masa mana pun kamu saat ini berada, baik lajang, dalam masa pendekatan, berpacaran, atau sudah menikah, ingatlah untuk selalu berpegang pada nilai yang telah Tuhan, Sang Sumber Kasih itu ajarkan dalam Alkitab. Pastilah kebenarannya akan memerdekakan kita dari segala bentuk kegalauan dan nilai-nilai dunia yang dunia ajarkan. Amin.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16).

Tentang Cinta & Pernikahan: Siapakah Jodohku?

Menantikan “orang yang tepat” atau “jodoh” dari Tuhan kedengarannya romantis, baik, dan bahkan mungkin alkitabiah. Tapi, sejatinya kita tak perlu menunggu, sebab “Pribadi yang tepat”, yang sungguh kita butuhkan dan dapat memuaskan hasrat hati kita sepenuhnya, sudah ada bersama kita. Dialah Yesus! Di dalam Dia, kita sudah menjadi pribadi yang utuh.

Oleh karena itu, saat kita menginginkan hidup berpasangan, kita bukan sedang mencari kebahagiaan atau potongan jiwa kita, melainkan kita mau agar dalam relasi pernikahan kita kelak, kita sama-sama saling berbagi kebahagiaan dan melayani Dia.

Artspace spesial bulan kasih sayang ini diadaptasi dari artikel karya Kezia Lewis. Klik bit.ly/MemikirkanCinta dan didesain oleh Shania Vebyta.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Untuk diriku yang berusia 25 tahun,

Apa pun status hubungan dan keadaan kita saat ini, kepuasan sejati hanya dapat kita temukan di dalam Yesus, Sang Pengasih dan Penghibur kita 😇

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu