Percayalah, Mencintai Itu Tidak Mudah, Tapi…
Oleh Triska Zagoto, Medan
“Kapan terakhir kali kamu jatuh cinta?” tanya seorang teman di sela perbincangan kami tentang teman hidup beberapa waktu yang lalu. Aku terdiam. Beberapa menit setelah berhasil mengumpulkan ingatan, aku memberi jawaban—yang sebenarnya aku juga kurang yakin ketepatannya.
Harus diakui, topik tentang teman hidup memang selalu menarik untuk dibahas, sulit dihindari, dan tak ada habisnya terutama di usia di mana kita akan menjumpai pertanyaan “kapan nikah???” atau “kapan nyusul???” ketika menghadiri pesta pernikahan teman. Aku menemukan ada perbedaan yang cukup mencolok ketika memperbincangkan tentang teman hidup di usia yang hampir 30 tahun ini, di mana pembahasannya lebih realistis, dari karakteristik secara rohani maupun jasmani, yang kita yakini cukup menjamin hari depan ketika berkomitmen untuk masuk dalam sebuah pernikahan. Mungkin, pengalaman hidup dua dekade lebih, telat membawa kita untuk melihat segala sesuatu yang cukup riil bersentuhan dengan kehidupan sehari demi sehari. Namun, dari karakteristik- karakteristik yang kita inginkan itu, ternyata masih terbatas pada hal-hal yang dapat goyah dan berubah.
Paul R. Stevens, dalam bukunya Down to Earth Spirituality membahas satu bab tentang masa sebelum pernikahan. Menariknya, penulis tidak menggunakan istilah dating (pacaran) melainkan courting (kencan), artinya ada pendekatan persuasif—memberi perhatian dengan penuh cinta kasih kepada seseorang. Courting dimaksudkan supaya kumpulan aktivitas yang ada bertujuan untuk menemukan dan memenangkan orang yang tepat untuk suatu pernikahan. Menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah hubungan perjanjian (kovenantal), akan membawa kita pada keseriusan dalam mempersiapkannya di masa courting. Jadi, hal-hal apa yang harus dibangun di masa-masa kencan itu? Apakah melalui perkencanan kita, orang lain makin kagum dan melihat kemuliaan Allah, atau justru sebaliknya, mempermalukan nama Tuhan? Apakah konsep relasi yang kita pegang sudah benar-benar berlandaskan firman Tuhan?
Percayalah, mencintai itu tidak mudah
Cinta yang kita miliki kepada seseorang dan kepada Tuhan itu dilihat dari besarnya pemahaman kita akan cinta yang Allah berikan pada kita di dalam Kristus. Ketika kita gagal melihat besarnya cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita, maka aku yakin kita tidak akan mudah mengasihi orang lain karena kita merasa bahwa kita kurang dicintai oleh Tuhan Allah. Di tengah kemajuan zaman ini, kita menemukan bahwa dunia terus berusaha menawarkan definisi cinta yang begitu rapuh, tidak berdasar, kosong, dan palsu. Banyak lagu, film, buku, dan lain-lain yang pelan-pelan yang mengikis kebenaran-kebenaran yang seharusnya ada dan dibangun di masa-masa courting itu.
Hal yang bisa kita lakukan adalah meneladani cinta Kristus kepada kita, yaitu unconditional yang menuntut self-sacrificed. Jadi, ketika dua orang berkomitmen masuk dalam sebuah tahap kencan berarti bukan lagi untuk memperoleh sesuatu yang sifatnya seperti “treat me like a queen/king”, tetapi menyerahkan diri untuk dimiliki orang lain. Mencintai—memaksa diri dengan rela untuk tidak menguasai, mendominasi, dan mempertahankan ego. Maka, perlahan-lahan cinta yang terjalin bukan cinta yang kaku, melainkan cinta yang semakin bertumbuh dan dapat dinikmati.
Masa courting = masa diskusi dan membangun argumentasi
Pdt. Antonius Un, dalam sebuah sesi di acara retret mengatakan jangan sampai tanggung jawab yang seharusnya dilakukan ketika sudah menikah malah dilakukan dalam tahap pacaran. Yang harus dilakukan di masa-masa ini adalah berdiskusi dan membangun argumentasi. Hanya karena kita tidak ingin mengecewakan orang yang kita cintai, apalagi saat cinta itu menggebu-gebu kita rela menjadi budak cinta (bucin), dengan berusaha melakukan apa pun yang semestinya dilakukan ketika sudah menikah. Entah dalam hal keuangan, pertemuan dengan keluarga masing-masing sebelum waktunya, atau bahkan melakukan hubungan seksual, dan lain-lain. Kita perlu merenungkan apakah dalam hubungan yang sedang atau yang akan kita jalani dengan calon pasangan hidup, kita menyaksikan Kristus semakin bertakhta? Apakah pengejaran akan kekudusan diri terus bergema dan dengan gentar kita lakukan? Tentu saja hal ini tidak mudah. Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, peperangan rohani selalu ada setiap hari, setiap saat. Maka sangat perlu untuk menjaga kesucian diri: rohani dan jasmani. Diskusi dan membangun argumentasi bisa dikerjakan dengan pendalaman Alkitab bersama, memiliki jam doa bersama, terlibat dalam komunitas di gereja, melayani bersama, membahas dan mengulas buku rohani, diskusi dengan orang-orang yang dewasa rohani dan memiliki kesaksian hidup yang benar maupun dengan hamba Tuhan. Masa courting, masa di mana kita mempertanyakan hal-hal yang perlu disetujui, disepakati, dan dijalani ketika sudah masuk dalam tahap pernikahan; bisa berupa pekerjaan, pelayanan, panggilan, dan lain-lain. Dan, bila perlu sesekali mengambil jarak sejenak untuk bersama-sama mengevaluasi diri.
Bertumbuh melalui proses
Karena menikah adalah komitmen seumur hidup—sampai maut memisahkan, maka kita dituntut untuk sungguh-sungguh dalam mempersiapkannya. Dalam berbagai proses yang Tuhan izinkan, kita perlu bijaksana untuk melihat apakah dalam masa courting ini, kita jalani dengan joy dan happy atau malah kita restless karena kita memasuki hubungan tersebut untuk mengakhiri loneliness kita? Perlu kita ingat bahwa pernikahan adalah tempat untuk dua orang yang berkelimpahan sehingga bisa saling berbagi, bukan untuk dua orang yang kekeringan. Kualitas masa kencan kita menentukan kualitas pernikahan kita. Biarlah dalam masa-masa evaluasi diri, kita dituntun Allah untuk menilik hati kita dan menjadikan kita pribadi yang utuh. Sebagaimana hidup yang utuh, kata Henry Cloud dalam bukunya Boundaries In Dating, adalah hidup yang penuh. Pemazmur mengingatkan kita: “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mazmur 1:3).
Bila saat ini kamu sedang berada dalam tahap pendekatan maupun tahap kencan, nikmatilah setiap proses, yang bila diarahkan kepada Allah dapat menjadi ujian bagi pembentukan iman, kasih, dan kekudusan sejati sehingga menjadi pasangan yang sepadan, yang saling mengenali kelemahan satu sama lain, saling membangun, dan saling melengkapi untuk menyaksikan bahwa “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5), untuk mengenal dan mengerjakan panggilan Allah, demi kemuliaan Allah.
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu