Posts

Refleksi Diri Akhir Tahun: Apakah Aku Sudah Taat dan Setia?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

Percakapan di dapur pagi ini sangatlah menohok hatiku. Di tengah kegiatan potong-memotong dan goreng-menggoreng itu, tiba-tiba sepenggal kalimat dari seorang yang sudah kuanggap kakak di tempat ini membuatku menyadari sesuatu hal yang penting.

Katanya begini, “Dek, gimana perenunganmu akan mimpimu beberapa bulan lalu? Aku harap kamu masih terus menghidupi makna mimpi itu dan menjadikannya alasan untuk bisa terus semangat, ya.”

Aku hanya terdiam. Dalam hatiku, sepertinya, Tuhan sedang memakai dia buat bicara sama aku.

Aku rasa memang kata-kata itu yang sedang kubutuhkan. Belakangan, aku sedang merasa benar-benar burn out dengan segala kegiatanku dengan program kampus merdekaku.

Namaku Intan. Aku seorang mahasiswa yang tinggal ngekos dengan beberapa teman, jadi wajar sekali bagi kami untuk masak bersama sambil bercerita di dapur. Beberapa bulan lalu aku bermimpi, bukan impian ingin meraih sesuatu loh ya, tapi ini beneran mimpi saat tidur. Aku tipe orang yang tidak ambil pusing dengan mimpi-mimpi, apalagi percaya mitos tentang mimpi, tapi mimpi kali ini beda.

Di mimpi itu, aku sedang menaiki anak tangga, banyakkk sekalii! Aku begitu bersemangat menaikinya, tapi setelah banyak anak tangga kupijak, aku mulai merasa lelah. Aku bahkan bertemu dengan tangga yang lebar sehingga tidak bisa sekadar melangkahkan kaki, sampai-sampai aku harus berpegangan di pinggir dan ngesot sedikit untuk bisa menaikinya. Saat aku hampir berputus asa, di situ aku melihat ada Sosok yang berkata, “Tuhan selalu menyertaimu,” lalu kemudian Dia hilang. Karena rasanya mimpi itu begitu nyata, makanya saat bangun aku mengingat persis keseluruhannya. Aku ceritakan mimpi ini ke Kak Tesa, teman satu kosku. Dia bilang, sepertinya mimpi ini cara Tuhan berbicara sesuatu kepadaku, dan aku bisa mengingat pesan mimpi ini setiap kali aku merasa tidak baik-baik saja, karena memang sesungguhnya Tuhan selalu menyertaiku.

Hari di mana percakapan itu terjadi adalah hari yang menurutku menjadi sebuah titik balik, aku perlu merefleksikan banyak hal kembali dalam diriku.

Seperti biasa, pagi-pagi para wanita tangguh sudah berkumpul di dapur. Ada aku, Kak Tesa, dan Tias teman kos kami juga.

“Guys, besok lho udah Desember, apa kabar resolusi?” tanya Kak Tesa sambil tertawa. Dia sepertinya menertawakan resolusi-resolusi yang tidak tercapai.

Tias juga menambahkan, “Gak terasa banget, umur udah makin tuek, tapi doi belum kunjung datang memberikan kepastian.”

Pecahlah suasana pagi itu dimulai dengan tertawa lepas kami. Sampai akhirnya seperti biasa, Kak Tesa memulai obrolan seriusnya.

“Tapi, apakah kita menyadari bahwa semua yang boleh kita alami adalah anugerah? Apakah kita sudah menjadi pribadi yang taat sepanjang tahun ini?”

Kami hanya terdiam.

Tias langsung mengganti topik, “Trus liburan mau kemana? buatlah rencana, Healing healing kita coyy, bisa lah bisa 😄😄”

Begitulah percakapan receh gen Z yang tidak pernah lupa sama healinghealingnya.

***

Malam sudah tiba, aku terdiam di dalam kamarku.

1 Desember, tidak terasa, apakah aku sudah menjadi pribadi yang taat? Kurenungkan pertanyaan itu. Setelahnya aku berdoa, memuji dan menyembah Tuhan. Akhirnya aku membuat sebuah kesimpulan atas diriku.

Sepanjang tahun, aku banyak sekali gagal, melakukan kesalahan, banyak khawatir, banyak mengeluh, apalagi soal resolusi… Banyakan merahnya daripada hijaunya. Tapi jika dihitung, tetap saja lebih banyak sukacita dan berkat. Bahkan dalam dunia nyataku sampai alam bawah sadar pun, Yesus ada di sana. Dia berbicara lewat mimpiku, Dia selalu bersamaku. Dan yang pasti, aku belajar, aku berproses, aku dibentuk, aku naik kelas.

Aku tahu aku belum jadi pribadi yang benar-benar taat, tapi aku juga tahu bahwa Tuhan sangat menghargai setiap proses jatuh bangun dinamika rohaniku.

Dulu aku sering sekali membuat tolak ukur bahwa tidak pernah bolong bersaat teduh atau berdoa adalah patokan ketaatanku, tapi akhirnya aku menyadari, ketaatan bukan sekadar rutinitas ibadah, tapi juga bagaimana melakukan apa yang Dia mau. Antara mengerti dan mempraktikkan harus sinkron, dan bagian melakukan jauh lebih sulit daripada mendengarkan.

Setahun ini, terlalu banyak realita yang membuat imanku goyah dan membuatku kurang percaya. Tapi, aku sadari lagi ketaatan untuk mendengar Dia di dalam kepedihan-kepedihan yang terjadi adalah cara-Nya mengatakan bahwa berkat-Nya tidak selalu diukur hanya lewat sukacita. Seperti dalam lirik lagu berjudul “Blessing” karya Laura Story, yang berkata:

“What if trials of this life, are your mercies in disguise.” (Bagaimana jika cobaan dalam hidup ini adalah rahmat Tuhan yang terselubung).

Aku selalu merinding setiap memaknai lagi dan lagi lagu tersebut.

Semoga kita belajar memaknai bagaimana Tuhan sudah berkarya hebat di sepanjang tahun ini buat kita, dan menjadikan Dia alasan untuk kita semakin belajar soal ketaatan, memperbaiki ketaatan kita, dan menata ulang lagi rencana program ketaatan kita di tahun-tahun berikutnya.

Karena kita tahu ketaatan mendatangkan berkat, juga membuat pintu-pintu didepan semakin terlihat lebih jelas. Tuhan menyertai dan menolong kita selalu.

“TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.” (Ulangan 13:4).

Refleksi Perjalanan Iman Maria

Oleh Ananda

Seringkali kita beranggapan bahwa memiliki pertanyaan menandakan ketidakpercayaan kita kepada Tuhan. Namun, kisah tentang Maria dalam Lukas 1, justru mengajarkan bahwa pertanyaan adalah bagian yang sudah seharusnya kita lalui dalam sebuah perjalanan iman. Melalui kisah ini, kita dapat melihat bahwa Maria sendiri pernah mempertanyakan apa makna sebenarnya dari salam Gabriel (ayat 29).

Semua bermula ketika malaikat Gabriel memberikan salam yang penuh makna kepada Maria di dalam Lukas 1:28.

“Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.”

Sekilas mungkin tidak terlihat adanya ‘semangat’ maupun ‘sukacita’ dalam respons Maria terhadap salam malaikat tersebut. Tidak terlihat juga tanda-tanda kekaguman dari respons Maria seperti:

“Wow, sungguh menakjubkan! Seorang malaikat datang dan berbicara kepadaku.”

Sebaliknya, Maria justru mengalami kurang lebih tiga tahap pergumulan iman, yakni: Bertanya, Menerima, dan Taat.

Pertanyaan Maria dalam Lukas 1:29 menggambarkan tentang keadaannya yang sedang mencoba menimbang-nimbang rasionalitasnya, merenungkan apakah Ia benar-benar melihat malaikat, atau dia hanya sedang berhalusinasi. Keraguannya pun terus berlanjut bahkan sampai setelah dia mendengar kabar mengenai kelahiran Yesus. Meski demikian, keraguan ini juga memperlihatkan sikap iman aktif yang ditunjukkan oleh setiap respons Maria kepada Gabriel.

”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (ayat 34).

Mungkin banyak dari kita, ketika membaca kisah-kisah masa lampau, cenderung mengaitkannya dengan adat istiadat atau kepercayaan setempat dan berasumsi bahwa banyak orang-orang terdahulu yang mudah percaya dengan hal-hal magis atau irasional. Namun, Maria tidak menunjukkan sikap yang demikian.

Sebaliknya, Maria justru menunjukkan sikap yang mungkin lazim dilakukan banyak orang pada zaman ini. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh latar belakang budaya Maria, yang merupakan seorang wanita Yahudi. Sejak kecil, Maria mungkin sudah dilatih untuk tidak percaya dengan hal-hal supranatural seperti doktrin bahwa Tuhan dapat hadir ke dunia dalam rupa manusia. Sehingga, Maria pun sempat mengalami pergumulan iman serupa seperti apa yang mungkin kita alami ketika mendengar berita yang sama.

Beberapa orang beranggapan bahwa iman merupakan sebuah hal mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Nyatanya, terdapat beberapa nuansa keraguan yang dibukakan di dalam Alkitab. Salah satu keraguan dengan nuansa berbeda dapat kita lihat dalam kisah Zakharia pada perikop sebelumnya. Keraguan yang dimiliki Zakharia lebih kepada sikap tertutup terhadap rancangan Allah dan secara tidak sadar dia juga menggunakan keraguannya sebagai cara untuk dapat mengendalikan hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Berbeda dengan Zakharia, dalam keraguannya Maria membuka hatinya untuk memahami lebih dalam tentang kabar yang disampaikan oleh Gabriel. Selanjutnya, respons yang diterimanya pun bukanlah sebuah teguran seperti yang dialami Zakharia, melainkan sebuah penguatan iman bagi Maria. Mengetahui bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, menuntunnya untuk menerima kebenaran tersebut dengan penuh ketundukan dan ketaatan.

Tentu saja, Maria sadar bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Dia bahkan tidak berkata bahwa dia telah mengerti atau memahami setiap jawaban yang diberikan oleh Gabriel. Dia juga tidak sontak langsung mengatakan bahwa dia bersukacita akan berita tersebut. Belum lagi ditambah dengan risiko-risiko besar yang mungkin akan ditemui, seperti dikucilkan oleh masyarakat karena mengandung sebelum menikah, serta resiko bahwa hubungannya dengan Yusuf mungkin akan terancam. Namun, di sinilah letak keberanian Maria. Dengan penuh ketaatan, dia tetap merespons panggilan Tuhan dan berkata, “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Iman Maria kemudian membawanya mengunjungi Elisabet sepupunya, yang oleh kuasa Roh Kudus juga merasakan kehadiran sang Mesias melalui Maria (ayat 41-45). Pengetahuan dan hikmat yang diterima Elisabet pun menuntun Maria untuk masuk ke dalam sukacita yang menyelimuti seluruh hati dan jiwanya. Kini, Maria tidak hanya taat dan tunduk kepada Allah, namun juga bersukacita dan memuji Allah karena segala perbuatan dan kasih setia-Nya (ayat 46-55).

Ketaatan Maria, seorang gadis biasa dari Nazareth, telah membawa dampak besar, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi seluruh dunia. Dengan rendah hati, dia mempertaruhkan kehormatannya dan berserah penuh kepada rancangan besar Allah terhadap dirinya. Lebih jauh lagi, dia melakukannya dengan sukarela meski pada akhirnya harus menderita karena harus melihat Putranya mati di kayu salib.

”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (ayat 38).

Dalam versi terjemahan King James (KJV), kalimat yang diucapkan Maria sangat mirip dengan apa yang juga diucapkan oleh Yesus di taman Getsemani.

“… tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”  (Lukas 22:42).

Maria memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, jauh sebelum dia mengetahui persis apa yang akan Kristus perbuat baginya dan bagi dunia. Tidak hanya itu, ketaatannya juga membawanya menjadi salah satu wanita besar yang dikenal sepanjang sejarah.

Sejatinya, Maria merupakan representasi setiap kita yang oleh karena kasih-Nya, telah dipilih menjadi anak-anak-Nya. Tim Keller dalam bukunya “Hidden Christmas: The Surprising Truth Behind the Birth of Christ” menegaskan bahwa ketika ditanya, “Apakah anda Kristen?”, kita seharusnya tidak berkata, “Tentu saja, Kristen memang sulit, tapi saya melakukannya!” Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa, “Ya, saya seorang Kristen, dan itu adalah mukjizat.” Kita dipilih oleh Tuhan bukan karena prestasi, ataupun reputasi yang kita punya, melainkan hanya karena kasih-Nya. Seperti Maria yang dipilih oleh Tuhan, Dia juga memilih untuk tinggal di dalam setiap kita yang merespons panggilan-Nya.

Kisah ini bukan sekedar tentang kelahiran Yesus melalui Maria, melainkan juga tentang Tuhan yang oleh karena kemurahan-Nya, mau tinggal dalam setiap kita yang percaya kepada-Nya.

Merenungkan kembali kisah Maria serta kisah kasih Kristus di kayu salib, bukankah seharusnya kita dapat lebih mudah untuk berserah terhadap rancangan-Nya dalam hidup kita? Sudahkah kita bersikap rendah hati dan terbuka dalam setiap keraguan kita kepada Tuhan? Atau sebaliknya, kita lebih sering bersikap arogan seperti Zakharia seolah kita lebih mengetahui segalanya?

Salam yang ditujukan Gabriel bukan hanya untuk Maria, tetapi juga untuk kita semua yang mau percaya kepada-Nya. Maukah kita menerima salam itu? Kiranya kita senantiasa dimampukan untuk terus taat dan bersukacita menyambut hadirnya Tuhan dalam hidup kita, seperti penggalan lirik lagu natal berikut:

“O holy child of Bethlehem, descend to us, we pray; cast out our sin, and enter in, be born in us today!” 

Reference:
Keller, T. (2018). Hidden christmas the surprising truth behind the birth of christ. Penguin Group USA.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Cara Menyadari Blind Spot Dosa

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Tidak ada manusia atau pun tempat di dunia ini yang kebal terhadap dosa. Orang yang kita anggap teladan iman seperti pendeta atau pemimpin pun bisa saja jatuh dalam dosa seperti kesombongan, cinta uang, dan hawa nafsu. Menjadi seorang Kristen pun tidak menjamin seseorang tidak akan berbuat dosa lagi. Tetapi, fakta yang paling penting yang harus kita ketahui ialah: dosa yang paling mematikan adalah ketidaksadaran adanya dosa. 

Aku pernah mengalami momen ketika aku sendiri tidak menyadari dosaku. Aku adalah mahasiswa semester akhir yang terlibat juga dalam pelayanan mahasiswa Kristen (PMK) di kampus. Pada suatu kesempatan, kami para pengurus PMK sedang mempersiapkan pelayanan yang menargetkan mahasiswa baru. Kami melakukan rapat, pencarian dana, dan latihan untuk memastikan acara berjalan baik. Ada satu temanku di kepanitiaan itu, sebut saja namanya Mawar. Karena suatu kondisi tertentu dia kedapatan melakukan kesalahan dan berbohong. Sebagai teman yang bertanggung jawab, dan juga sebagai orang Kristen aku sadar bahwa aku harus mengingatkan dia. Jadi, di rapat selanjutnya aku pun menegur dia dan tampaknya dia sadar akan kesalahannya. 

Namun, setelah peristiwa itu dia menunjukkan respons yang tak terduga. Dia seakan tidak mau bicara denganku. Saat aku bicara dia menunjukkan bahasa tubuh yang seolah tidak senang dengan kehadiranku. “Udah ditegur baik-baik kok malah gini responsnya,” dalam hatiku merasa jengkel. Karena aku menganggap diriku benar dalam masalah ini maka kuputuskan untuk membenci dan tidak bicara lagi jika bertemu dengannya.

Hari lewat hari, dalam refleksi pribadi yang kulakukan aku merasa sikapku itu janggal. Aku sadar bahwa aku pun berdosa dan tindakanku ini sering kulakukan tanpa sadar. Hatiku telah berdosa dengan membiarkan rasa jengkel menjalar menjadi benci. Aku mengaku dosa dan memohon Tuhan memperbaharui hatiku. 

Ceritaku ini menegaskan bahwa dalam upaya kita memperjuangkan kebenaran  sekalipun tidak membuat seseorang luput dari melakukan dosa. Tidak ada manusia yang kebal dari dosa. Setiap orang memiliki blind spot-nya masing-masing. 

Bagaimana kita mau bertobat sedangkan kita tidak sadar bahwa kita telah berbuat dosa? Ada 3 cara yang pernah kulakukan untuk menyadari blind spot atau dosa yang ada dalam diri kita.

1. Cari tahu kehendak-Nya dari firman-Nya

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16). 

Dengan mempelajari firman maka kita bisa makin mengetahui mana yang kehendak Allah dan mana yang bukan. Mempelajari firman bisa dilakukan dengan menggunakan materi-materi pendamping seperti artikel-artikel renungan atau mendengar podcast dari lembaga atau pribadi yang kredibel.

2. Latihlah diri untuk terbiasa berefleksi

Aku melatih kebiasaan ini dengan menyediakan waktu sekitar dua hingga empat jam tanpa distraksi apa pun. Aku pribadi menyebutnya sebagai momen AWG alias Alone with God.

Dalam masa-masa perenungan itu aku mengajukan pertanyaan buat diriku sendiri. Misalnya: “Apa setiap perkataan dan perbuatanku sudah mencerminkan Kristus?” Atau, setiap kali aku akan melakukan sesuatu aku akan bertanya, “Apakah ini yang Tuhan ingin untuk aku lakukan?”

3. Dengarkan pendapat dari teman

Manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri-sendiri, tetapi berinteraksi untuk saling membentuk dan menumbuhkan. Karena aku tergabung dalam KTB, di situlah aku mendapat tempat bertumbuh, belajar, dan saling terbuka atas kekurangan dan kelebihan masing-masing anggota. 

Mendengarkan masukan dari teman memberi kita kesempatan untuk melihat diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain. 

Pertobatan adalah perjalanan seumur hidup seorang Kristen, dan dalam pertobatan kita menerima anugerah yaitu pengampunan dari Allah.  Kita akan terus diperhadapkan dengan dosa dan mati-matian berjuang untuk tidak berdosa. Roh Kudus akan menolong kita supaya kita peka terhadap dosa.

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Natalku yang Berpohon

Oleh Frans Hot Dame Tua, Tangerang

Si pohon cemara beserta ornamen bandul-bandulnya tegak berdiri. Kapas-kapas putih pun memberi kesan salju di sekujur tubuh pohon itu. Tunggu…kapas? Kesan? Ya, itu bukan pohon sungguhan. Itu hanyalah pohon buatan yang menyerupai aslinya. Hadirnya pohon itu menandakan dimulainya sebuah masa yang disebut Natal.

Ya, Natal adalah sebuah masa. Euforianya tidak hanya terjadi satu hari, tapi selama berminggu-minggu dan banyak orang sangat menanti-nantikan masa ini. Bahkan, mungkin bisa juga dikatakan kalau Natal seakan membuat hari-hari lain di dalam setahun itu dianaktirikan karena Natal diperingati dengan meriah, sedangkan hari-hari lainnya biasa saja.

Di usiaku yang dulu sedang beranjak remaja, aku hanya berpikir tentang hal-hal yang membahagiakan hatiku. Dan, hal-hal penuh kebahagiaan tersebut banyak kutemukan saat masa Natal. Kebahagiaan bagiku waktu itu adalah ketika aku bisa lepas dari rutinitas sekolah seperti bangun pagi, fokus belajar di kelas, dan hal-hal menjemukan lainnya.

Pohon cemara yang dipasang lengkap dengan segala perniknya memberiku harapan bahwa sebentar lagi musim liburan akan segera datang. Artinya, aku bisa bangun tidur lebih siang, menonton kartun di televisi, dan tentunya tidak harus pergi sekolah. Sebagai seorang anak berusia 14 tahun, itulah secuplik kesan tentang Natal yang pernah kurasakan: Natal adalah masa yang penuh dengan kebahagiaan.

Tapi, semakin usiaku yang bertambah, semakin banyak pula masa Natal yang kulalui. Aku pun jadi mulai mengerti apa makna dan tujuan hidupku, terutama saat aku duduk di bangku kuliah. Dan, di tahap inilah aku akhirnya mengenal Yesus, nama yang tentunya sangat familiar di telinga kita.

Sesungguhnya, sebelum aku mengenal-Nya di bangku kuliah, nama itu tidaklah asing dalam pendengaran masa kecilku. Tiap minggu aku pasti menyebut nama itu. Nama itu selalu ada di nyanyian yang aku nyanyikan tiap hari Minggu. Tidak heran jika nama itu memang tidak asing bagiku. Tapi, di masa itu, aku belum mengenal betul siapa nama itu.

Namun, ada satu fakta yang sebenarnya kuketahui betul sewaktu aku masih kecil, yaitu bahwa masa Natal ada karena nama itu ada! Masa Natal itu ada untuk memperingati kelahiran-Nya. Hal itulah yang kuketahui waktu kecil. Dan, seiring berjalannya waktu, pemahamanku tentang nama itu pun semakin bertumbuh ketika aku mulai mengenal-Nya lebih jauh lagi.

Inilah yang membuatku merenung dan mengingat kembali tentang apa makna dari masa Natal yang sedang kita jalani hari ini. Ketika aku masih kecil dulu, aku bersukacita di masa Natal karena liburan dan pohon Natal yang indah. Tapi, waktu itu aku sama sekali tidak peduli tentang Yesus yang sesungguhnya menjadi alasan utama di balik hadirnya masa Natal. Kala itu, gemerlap hiasan Natal dan pohonnya, beserta liburan dan banyak hiburan telah menggeser Yesus sebagai fokus utama dalam masa Natal. Euforia Natal ini menutup mataku dan membuatku berpikir bahwa Natal tidak perlu ‘terlalu banyak’ Yesus, cukuplah menyebut nama-Nya dalam puji-pujian saja, pikirku. Aku seolah menyaksikan Natal sebagai sebuah pentas yang penuh dengan gemerlap keindahan “bintang tamu”, tanpa aku menyadari bahwa sebenarnya ada Yesus, sang bintang utama, yang menanti di belakang panggung hingga pentas berakhir.

Sepertinya, tidak hanya aku saja yang pernah merasakan ini. Mungkin juga ada beberapa orang, ataupun bisa jadi pembaca yang terkasih juga pernah merasakan hal yang sama. Kita terbuai oleh keindahan pohon cemara. Kita terlena oleh liburan dan diskon belanja. Bahkan, kita terobsesi untuk mendekorasi gereja ataupun rumah semeriah mungkin supaya orang-orang tahu bahwa kita sedang bersukacita merayakan Natal.

Namun, Natal yang kita rayakan hari ini sesungguhnya amatlah kontras dengan Natal yang pertama kali terjadi. Alkitab tidak mencatat ada gegap gempita dan kemeriahan menyambut kelahiran sang Juruselamat. Alkitab justru menyajikan kisah Maria yang tengah mengandung harus menempuh perjalanan jauh hingga tibalah saatnya untuk bersalin. Tidak ada rumah penginapan bagi Maria untuk bersalin. Akhirnya hanya palungan sederhana lah yang menyambut kelahiran sang Juruselamat. Dan dari tempat makan ternak itulah, sukacita besar dicurahkan bagi seluruh umat manusia (Lukas 2:1-7).

Sejak awal, kelahiran Yesus di dunia memang sepertinya sulit untuk dimengerti oleh logika manusia. Mengapa Juruselamat yang katanya adalah Raja harus lahir dengan cara yang hina? Bukankah Juruselamat itu adalah Pribadi yang perkasa dan sanggup menumpas segala kejahatan di muka bumi? Kok, Juruselamat itu malah hadir dalam wujud bayi mungil yang tidak berdaya?

Kelahiran Yesus seolah-olah menjungkirbalikkan logika manusia. Tajuk kelahiran Juruselamat yang seharusnya menggemparkan dunia, hanya ditunjukkan dengan kelahiran seorang bayi di dalam palungan.

Mungkin, inilah yang membuatku dulu sulit untuk melihat Yesus dalam masa Natal hingga aku pun berusaha membuat Natal yang sesungguhnya dulu terjadi dalam kesederhanaan kini diperingati dalam kemeriahan. Aku memperingati kelahiran Sang Juruselamat itu dengan menghadirkan pohon cemara dan berbagai pernak-perniknya, hingga aku lupa akan siapa yang sesungguhnya sedang aku rayakan.

Di masa Natal ini, aku ingin belajar dari Maria yang teladannya bisa kita ikuti untuk menyongsong masa Natal ini. Ketika para gembala memberitakan keajaiban yang mereka lihat, Maria menyimpan segala perkara itu dalam hatinya dan merenungkannya (Lukas 2:17-19). Dengan rendah hati, Maria menerima kelahiran Yesus Kristus sebagai rencana Allah yang agung. Bukan rencana yang indah dan menyenangkan mata, melainkan rencana yang begitu mulia bagi mereka yang hatinya miskin di hadapan Allah.

Yesus Kristus, Juruselamat yang lahir adalah bukti dari Allah yang amat setia dan tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Kelahiran Yesus merupakan awal dari karya-Nya yang begitu agung untuk menyelamatkan umat manusia melalui kematian dan kebangkitan Yesus kelak. Kelahiran hingga kebangkitan Yesus adalah rentetan peristiwa yang tak boleh dipisahkan satu dengan yang lain.

Dan, pada akhirnya, Natal adalah sebuah masa tentang Yesus. Sebuah masa yang membuktikan kasih Allah kepada manusia. Oleh karena itu, kiranya masa ini pun dapat menjadi pengingat bagi kita untuk berpaling dari pesona gemerlap pohon cemara kepada makna kedatangan Yesus ke dunia yang begitu berharga.

Kar’na kasihNya padaku Yesus datang ke dunia
Ia t’lah memb’ri hidupNya gantiku yang bercela
O, betapa mulia dan ajaib kuasaNya!
Kasih Jurus’lamat dunia menebus manusia.

Kidung Jemaat 178 – Kar’na Kasih-Nya Padaku

Baca Juga:

Catatan Natal di Tanah Rantau

Tahun ini adalah kali ketika aku tidak merayakan Natal bersama keluarga. Kadang, ada rasa rindu dan sepi ketika harus merayakan Natal tanpa kehadiran orang terkasih. Namun, ada dua pengalaman di tanah rantau yang mengajariku untuk memaknai Natal dari perspektif yang berbeda.

Catatan Natal di Tanah Rantau

Oleh Aloysius Germia Dinora, Yogyakarta

Tahun ini adalah kali ketiga aku tidak merayakan Natal bersama keluarga. Sebagai anak rantau yang tinggal dan bekerja jauh dari rumah, kadang ada rasa rindu dan sepi ketika harus merayakan Natal tanpa kehadiran orang-orang terkasih. Jika biasanya di rumah aku selalu menyambut Natal dengan melayani di gereja, mendekorasi rumah, dan bersilaturahmi dengan kerabat, di tanah rantau aktivitas ini menjadi sesuatu yang kurindukan.

Namun, walau jauh dari kehangatan keluarga, pengalaman melewatkan Natal di tanah rantau ternyata mengajariku untuk memandang Natal dari sudut pandang yang berbeda. Natal bukanlah tentang perayaan yang gemerlap, melainkan Natal adalah sebuah peristiwa tentang penyertaan Allah atas kita umat manusia.

Natal tahun 2014 adalah kali pertama ketika aku tidak merayakan Natal bersama dengan keluarga. Waktu itu, aku dan seorang temanku tinggal selama tiga hari di sebuah biara novisiat, sebuah tempat awal pendidikan bagi para calon pastor. Senada denganku, rupanya para calon pastor yang usianya rata-rata di bawah 20 tahun itu pun baru pertama kali merayakan Natal tanpa kehadiran keluarga. Mereka tidak mungkin pulang, karena saat-saat Natal adalah masa di mana mereka menjadi sangat sibuk untuk melayani umat. Tapi, alih-alih mengeluh, mereka berusaha menguatkan satu sama lain untuk tetap memberi makna bahwa keluarga itu tidak harus sebatas hubungan darah. Dalam sebuah ibadah penutup, mereka turut menyanyikan lagu “Keluarga Cemara”, sebagai buah nyata penghayatan mereka akan kebersamaan.

Pengalaman kedua tentang Natal di tanah rantau terjadi pada tahun 2015. Waktu itu aku sedang menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama satu bulan di pedalaman Kalimantan Barat. Selain mendapatkan pengalaman merayakan Natal bersama penduduk lokal yang ramah, pengalaman Natal kali ini juga ternyata mendebarkan. Tepat saat malam Natal pukul 23:00, ketika misa Natal usai dilaksanakan, teman sekelompokku mendapatkan musibah. Kakak kandungnya meninggal dunia. Kabar duka ini baru saja kami dapatkan karena sinyal ponsel yang tidak stabil saat itu.

Sebagai rekan satu kelompok, aku dan temanku yang lain berusaha untuk mencarikan transportasi ke Pontianak supaya kemudian dia bisa terbang ke Jawa untuk menemui almarhum kakaknya. Tapi, tidak ada transportasi yang tersedia, baik itu mobil ataupun speed boat yang bisa mengantar temanku, karena saat itu semua orang sedang merayakan Natal.

Kami berpacu dengan waktu. Berhubung jenazah kakak temanku itu akan segera dikebumikan, maka tak ada pilihan lain selain segera mengantarkan temanku ke bandara menggunakan sepeda motor. Itu pun kami tidak yakin apakah tiket pesawat masih tersedia atau tidak. Tapi, kami memutuskan untuk tetap mencoba berangkat. Akhirnya, jam tiga subuh pun kami berangkat supaya temanku bisa mendapatkan tiket penerbangan di pagi hari.

Jika sebelumnya aku melalui Natal dalam suasana damai, kali ini berbeda sama sekali. Suasana begitu menantang. Tanpa pengetahuan jalan yang cukup, plus tanpa Google Maps, di hari Natal kami malah mengendarai sepeda motor tua dan menembus belantara Kalimantan. Namun, puji syukur karena Tuhan tidak meninggalkan kami. Dia mendengar doa-doa yang kami gumamkan dalam hati. Dia menyertai perjalanan kami hingga akhirnya kami bisa tiba di bandara dengan selamat dan temanku pun akhirnya mendapatkan tiket untuk pulang ke rumahnya.

Perjalanan menantang hari itu pada akhirnya menjadi sebuah momen yang mengakrabkan kami. Padahal, sebelumnya sebagai teman satu kelompok, kami sering berbeda pendapat dan merasa tidak cocok satu sama lain. Tapi, perjalanan selama lima jam itu membuat kami banyak membagikan cerita pengalaman hidup kami masing-masing. Dan, melalui cerita inilah akhirnya kami menjadi saling mengenal satu sama lain.

Dua peristiwa yang pernah kualami di hari Natal inilah yang mengingatkanku kembali untuk tetap bersukacita meski harus melewatkan Natal tidak bersama dengan keluarga. Melalui para calon pastor yang tak dapat merayakan Natal bersama keluarga terkasih, aku belajar bahwa Natal adalah momen untuk mengasihi semua orang, bukan hanya keluarga sedarah. Seperti para calon pastor yang saling mengasihi rekan sekerjanya, di Natal kali ini pun aku mau membagikan sukacita dan kasih itu kepada orang-orang di sekitarku.

Melalui perjalanan membelah belantara Kalimantan yang mendebarkan, aku pun belajar bahwa Natal sejatinya adalah tentang penyertaan Allah. Seperti Dia menyertai perjalanan aku dan teman-temanku melalui jalan yang gelap dan menakutkan, demikianlah juga Allah menyertai kehidupan kita. Ketika kita terjatuh dalam dosa, Dia tidak serta merta meninggalkan kita, malahan Dia merancangkan rencana keselamatan yang agung dengan cara Dia sendiri yang datang ke dunia, mengambil rupa manusia, untuk menyelamatkan kita (Yohanes 3:16).

Apapun keadaan kita hari ini, entah kita merayakan Natal bersama dengan keluarga ataupun seorang diri, kiranya refleksi Natal sederhana ini boleh mengingatkan kita kembali untuk mengucap syukur atas kebaikan Allah dan meneruskan kebaikan itu kepada orang lain.

Selamat Natal!

Baca Juga:

Natal—Saatnya Memilih untuk Mengasihi

Bicara tentang Natal tidak bisa lepas dari yang namanya “kasih”. Natal selalu identik dengan pernyataan kasih Allah bagi dunia melalui kelahiran Sang Juruselamat. Sebagai para pengikut Kristus, kita tahu bahwa kita dipanggil untuk hidup serupa dengan-Nya. Namun, masing-masing kita mungkin memiliki pergumulan tersendiri tentang hidup di dalam kasih.

Becermin dari Kemarin

Penulis: Radius S.K. Siburian

becermin-dari-kemarin

Semalam:
Ramahku jadi marah
Sukaku jadi duka
Mata airku jadi air mata
Putihku jadi abu-abu
Wajahku jadi tercoreng
Dasiku jadi jerat
Kataku jadi sampah
Usahaku jadi sia-sia
Karena otak kudahulukan

Kesadaranku kini nongol
Oleh Sabda-Nya

Taurat TUHAN itu sempurna … titah TUHAN itu tepat …
hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu.

Mazmur 19:8, 9, 12

 
Catatan Penulis
Puisi ini menggambarkan seseorang yang sedang melihat kembali peristiwa yang sudah ia lewati di masa lalu. Ia mendapati dirinya hancur ketika ia mengandalkan kemampuannya sendiri dan mengabaikan Tuhan. Hanya ketika ia mendengar firman Tuhan, ia dapat belajar bangkit dari kegagalannya.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut:
Kesadaran-kesadaran apa saja yang muncul dalam dirimu setelah membaca firman Tuhan hari ini? Bagaimana kesadaran itu akan mempengaruhi caramu menjalani hidup esok hari?