Posts

2 Kontribusi Sederhana untuk Menolong Korban Bencana

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Di tahun 2015, aku mendapat kesempatan berkunjung ke beberapa kota di Aceh selama dua minggu. Sebelas tahun sebelumnya, kota Banda Aceh luluh lantak akibat dihantam gempa bumi dan gelombang tsunami. Meski waktu telah bergulir dan proses pemulihan pasca bencana digalakkan, sampai hari itu sisa-sisa kehancuran masih dapat ditemukan dengan jelas di beberapa sudut kota.

Perjalanan itu kemudian menyadarkanku bahwa pemulihan suatu tempat dari bencana itu bukanlah proses yang singkat. Tak hanya infrastruktur yang perlu dibangun ulang dan dibenahi, tetapi para korban pun perlu dipulihkan dari luka fisik, trauma psikis, serta kemiskinan yang menjerat akibat kehilangan mata pencaharian. Seorang temanku yang menjadi relawan di Banda Aceh mengatakan bahwa sudah lebih dari sepuluh tahun dia melayani di sana. Dia melayani warga lokal untuk pulih dengan cara mendirikan koperasi simpan pinjam dan serangkaian program lainnya.

Wow! Apa yang temanku lakukan itu sungguh luar biasa. Dia terjun langsung ke lokasi bencana dan melakukan sesuatu di sana. Tapi, pada kenyataannya tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu. Pun, tidak semua bentuk bantuan yang bisa kita salurkan kepada para korban adalah dengan datang terlibat secara langsung di lokasi bencana.

Ketika bencana alam terjadi dan meninggalkan kerusakan, seperti yang terjadi di akhir September 2018 di Sulawesi Tengah, dua hal inilah yang kupikir bisa kita lakukan untuk meringankan beban mereka.

1. Doakan orang-orang di sekitar lokasi bencana

Mungkin doa adalah langkah yang terdengar klise, tetapi sebagai orang Kristen kita percaya akan kuasa doa. Alkitab berkata, “Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16).

Kita berdoa karena kita tahu bahwa diri kita terbatas. Kita tidak bisa hadir sekaligus di banyak tempat untuk menolong para korban. Kita tidak benar-benar tahu apa kebutuhan yang paling dibutuhkan seseorang. Pun, kita sendiri tidak berdaya memberikan kesembuhan atau pemulihan secara penuh kepada orang lain. Kita hanyalah alat yang dipakai Tuhan. Kita berdoa sebagai ungkapan percaya bahwa Tuhan akan membuat sesuatu yang baik dari kehidupan yang telah hancur tersebut.

Dalam doa, kita dapat memohon agar Tuhan mengaruniakan kedamaian hati kepada mereka yang sedih, berduka, dan trauma. Kiranya Tuhan menolong para relawan yang melayani di sana untuk melakukan evakuasi maupun proses pemulihan dengan efektif.

2. Salurkan bantuan atau donasi melalui organisasi yang terpercaya

Setelah berdoa, kita pun dapat menggerakkan hati untuk menyalurkan bantuan kita kepada organisasi-organisasi terpercaya yang bermisi untuk mendukung pemulihan pasca bencana.

Ketika kita menyalurkan uang kita ke organisasi tersebut, uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberikan bantuan jangka pendek berupa makanan dan sebagainya, tetapi juga menolong para korban untuk kelak dapat menjadi masyarakat yang mandiri. Ada edukasi yang perlu diberikan, ada pembinaan demi pembinaan yang dilakukan supaya mereka dapat menjadi masyarakat yang berdaya kembali. Seperti yang temanku lakukan di Banda Aceh, pasca tsunami banyak orang kehilangan pekerjaan. Sekadar memberi uang tanpa program pemberdayaan tidak bisa jadi solusi jangka panjang. Temanku bersama organisasi tempatnya bernaung kemudian mengadakan program pemberdayaan di bidang ekonomi. Masyarakat dibina untuk menemukan atau bahkan menciptakan lapangan kerja yang baru, yang dapat menggerakkan ekonomi daerah tersebut. Kaum ibu dibekali keterampilan untuk menghasilkan kerajinan dan benda-benda layak jual serta kaum bapak dibekali modal dan keterampilan budidaya ikan.

Memulihkan suatu kota yang hancur karena bencana bisa jadi sebuah proses yang rumit. Namun satu langkah sederhana yang kita lakukan bisa memberikan kontribusi untuk memulihkan keadaan di sana.

Mungkin kita tidak bisa hadir secara langsung di sana. Mungkin pula jumlah bantuan yang kita berikan tidak besar, tetapi seberapapun nilai yang kita berikan untuk sesama manusia, Tuhan melihat isi hati kita. Dukungan dan pemberian kita itulah yang menjadi wujud kasih kita kepada sesama, sebagaimana Alkitab mengatakan:

“Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Galatia 5:14).

Baca Juga:

Ketika Seorang Teman Meninggalkan Imannya

Ketika seorang temanku sendiri yang meninggalkan imannya, aku merasa perlu melakukan sesuatu. Tapi, aku tidak tahu pasti bagaimana atau di mana aku harus memulainya.

Puisi: Langit Indonesia

puisi-langit-indonesia

Oleh Noni Elina Kristiani

Seberkas awan melintasi langit Indonesia
Putih kelabu juga jingga
Menimbulkan tanya yang mengusik jiwa
Mengapa kakiku berpijak di tanahnya?
Kini berderap tanah Indonesia
Yang dulu pernah tercurah oleh darah
Dari pahlawan yang melawan penjajah
Namun kini kami terengah
Karena perbedaan membuat kami seolah terpisah

Ada keramaian di ujung jalan
Kertas-kertas juga berserakan
Anak-anak kami ketakutan
Langkah kami penuh dengan kekhawatiran
Padahal itu bukan mahkota duri
Atau cambuk besi
Ketika kelelahan melingkupi
Dan emosi tak bisa ditawar lagi
Ingatkan kami akan perih yang Kau alami
Memikul salib dan dicaci
Namun Kau memilih untuk mengampuni
Kami yang berdosa ini
Maka jangan biarkan kami berhenti mengasihi
Karena Kau telah memberi diri-Mu sendiri untuk mati
Bukan hanya bagi kami
Tapi juga bagi mereka yang memaki

Meski berisik di ujung-ujung jalan
Tidak membuat kami takut, namun tertantang
Untuk mengulurkan tangan bagi mereka yang menawarkan pedang

Seberkas awan melintasi langit Indonesia
Membawa doa dari yang dikasihi-Nya
Tuhan, berbelaskasihlah pada Indonesia…

Baca Juga:

Setahun Penuh Aku Menganggur Akibat Salah Memilih, Inilah Kisahku Mencari Pekerjaan

Saat aku nekad memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebelumnya yang super nyaman, aku pikir ini adalah sebuah strategi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku ini sesungguhnya adalah wujud pelarianku dari panggilan Tuhan.

#KamiTidakTakut—Benarkah?

Penulis: C.S. Puspita

Kami-tidak-takut

14 Januari 2016 adalah hari yang patut diingat dalam sejarah. Tidak lama setelah berita-berita mencekam terkait enam bom yang meledak di Jakarta Pusat beredar di berbagai media, muncul kampanye masif dari para netizen: Kami Tidak Takut, disusul pernyataan senada dari presiden sendiri. Masyarakat diajak untuk berpikir jernih dan tidak terintimidasi oleh aksi terorisme yang disebut-sebut didalangi oleh kelompok tertentu. Ajakan yang sangat positif!!! Bila kita membiarkan diri kita dikuasai oleh ketakutan, sangat mungkin kita melakukan hal-hal yang bodoh. Misalnya, menyebarluaskan berita yang keliru dan membesar-besarkan keresahan yang tidak perlu. Hal-hal penting yang seharusnya kita lakukan bisa jadi terhambat. Ketakutan yang dibiarkan menguasai pikiran akan sangat mudah melumpuhkan kemampuan kita untuk bertindak bijaksana.

Sebagai orang Indonesia, aku merasa sangat bangga dan ikut bersemangat. Seingatku, ketika aksi serupa melanda negara lain, tidak ada tanggapan yang semacam itu. Yang banyak beredar adalah reaksi emosional membenci kelompok tertentu dan keinginan balas dendam (yang sebenarnya membuat situasi tambah mencekam).

Ajakan ini mendapat respons yang luar biasa. Media sosial dipenuhi dengan hashtag #kamitidaktakut, #jakartaberani, dan sejenisnya. Saking semangatnya, ada yang bahkan mewanti-wanti agar jangan menggunakan hashtag #prayforjakarta atau menyebar ajakan berdoa bagi bangsa. Alasannya, nanti ekonomi bisa anjlok dan aksi teroris makin menjadi-jadi. Alasan yang menurutku agak membingungkan.

Sampai pada titik ini, aku jadi bertanya, “mengapa?” Apakah sikap tidak takut bertolak belakang dengan tindakan berdoa? Mungkinkah selama ini, doa dianggap sebagai tindakan yang lemah dan penakut?

Mungkinkah kita tidak ingin dunia melihat kita “berdoa” karena kita “takut” dianggap sebagai para “penakut”?

Bila demikian, apakah kita sedang jujur pada diri sendiri ketika memproklamasikan pada dunia “kami tidak takut”? Atau, jangan-jangan kita sebenarnya sedang menutupi ketakutan kita dengan topeng seorang pemberani?

Aku jadi teringat akan perkataan tegas Yesus ketika mengutus para murid memberitakan kebenaran, melawan yang jahat, menolong yang lemah, menyembuhkan yang sakit. Dia berkata,

“Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Matius 10:28-31).

Yesus tidak meminta para pengikut-Nya untuk menghilangkan rasa takut sama sekali. Bagi Yesus, rasa takut itu tidak salah bila objeknya benar, yaitu Allah sendiri. Hidup mati kita ada di tangan Allah, dan segala sesuatu yang kita lakukan kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Sebab itu, sudah sepantasnya kita takut akan Dia. Justru bahaya kalau kita tidak lagi punya takut akan Allah di hati kita, lantas merasa berbuat dosa itu tidak apa-apa. Justru bahaya kalau kita merasa lebih hebat dari Allah dan tidak lagi membutuhkan pertolongan-Nya.

Sebaliknya, Yesus menegaskan bahwa para pengikut-Nya tidak perlu takut kepada orang-orang yang menghalangi mereka berbuat baik, yang akan membenci dan menganiaya mereka. Mengapa? Pertama, karena orang-orang itu adalah manusia biasa yang juga terbatas, dan bila mereka memilih berbuat jahat, mereka harus berurusan dengan Allah sendiri. Kedua, karena orang-orang itu bukan penentu hidup dan mati kita. Kalaupun sudah tiba waktu kita menghadap Allah, kita tidak perlu takut jika kita telah hidup di dalam jalan-Nya. Kita malah berbahagia karena bisa bebas dari orang-orang jahat itu selamanya.

Lirik lagu Panji Pragiwaksono, Kami Tidak Takut, sedikit banyak menyiratkan keyakinan akan hal yang sama:

Teroris yang berbahagia
Puas-puaskanlah kau tertawa
Atau bahkan kau simpan semua
Kenang-kenanganmu hidup di dunia

Karena kami bangsa Indonesia
Sudah muak dan kami tak takut
Kami maju dan kamu tersudut
Di neraka kavlingmu menunggu

Allah akan menegakkan keadilan pada waktu-Nya! Dengan jaminan ini, sebenarnya kita tidak perlu ragu menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang tidak takut akan aksi teror, dan pada saat yang sama kita juga adalah bangsa yang takut akan Allah.

Rasa takut itu manusiawi. Dalam batas tertentu rasa takut menolong kita untuk tidak congkak, menyadarkan kita akan keterbatasan kita. Namun, sebagai orang-orang yang takut akan Allah, kita tidak perlu dilumpuhkan oleh rasa takut. Yang perlu kita lakukan adalah mengarahkan rasa takut kita kepada Allah.

Kita tidak akan membiarkan rasa takut membuat kita berhenti untuk melawan kejahatan, untuk saling mengasihi, untuk saling menolong, bahkan untuk terus berbuat baik, berkarya bagi kesejahteraan kota kita, sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dan pastinya, kita tidak akan membiarkan rasa takut membuat kita berhenti untuk berdoa. Doa adalah tindakan bijaksana yang mengarahkan rasa takut kita ke tempat yang seharusnya. Ketika kita menjalani hidup bersama Pribadi yang paling berkuasa di jagat raya, tidak ada lagi hal yang terlalu menakutkan di dunia ini.

Aksi teror bisa datang lagi, namun kita dapat menghadapinya bersama Allah, seperti kata pemazmur dalam Mazmur 56:12: “kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”