Posts

Sisi Lain Film Jesus Revolution

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta 

Bayangkanlah ini: pada suatu ibadah, ribuan orang tersentuh hatinya dan secara serentak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Mungkin momen ini akan jadi momen yang mengharukan, penuh semangat, dan memorable!

Pertobatan ribuan orang secara serentak pernah terjadi juga pada masa gereja perdana seperti tertulis dalam kitab Kisah Para Rasul. Namun, pertanyaan yang mungkin menggantung buat kita yang hidup di zaman sekarang: apakah peristiwa seperti ini akan dan bisa terulang lagi?

Kejadian semacam ini pernah terjadi pada awal 1970-an di California, Amerika Serikat dan inilah yang menjadi inspirasi dari film yang beberapa waktu lalu sempat hits di kalangan orang Kristen di Indonesia. Film “Jesus Revolution” menceritakan kisah nyata ini dengan baik. Alkisah sekelompok anak muda yang dikenal sebagai kaum Hippies mencari makna serta tujuan hidup, dan mereka menemukannya di dalam Yesus Kristus.

Hippies adalah budaya yang muncul di Amerika Serikat pada medio 1960-an. Mereka berpenampilan nyentrik. Umumnya pria dan wanita Hippie berambut panjang dan dibiarkan kusut. Penampilan ini hendak menunjukkan akan konsep kesederhanaan hidup. Mereka juga biasanya hidup nomaden dan tinggal di dalam mobil.

Singkat cerita, film “Jesus Revolution” menceritakan tentang gerakan yang menjangkau para pemuda Hippies. Tapi, sebagian umat di gereja merasa tidak nyaman terhadap kehadiran kaum Hippies yang datang ke rumah ibadah mereka. Tampaknya ini pula yang menjadi salah satu kekuatan film yang disutradarai oleh Jon Erwin dan Brent McCorkle itu. Duet sutradara mempertontonkan realitas yang ada dalam gereja waktu itu dalam menyikapi kebangunan rohani di antara kaum muda yang “dipandang sebelah mata.”

Meski fokus film ini pada kekuatan transformasi rohani secara masif di California, tetapi kedua sutradara tidak menyembunyikan karakter-karakter tertentu dalam jemaat yang tidak “welcome” atau tidak bisa menerima kehadiran saudara-saudari mereka yang baru dalam Kristus. Mereka yang merasa tertarik mengenal Yesus sebagai Tuhan dan nilai-nilai Kristiani justru “ditolak” oleh sebagian anggota jemaat yang sudah “mapan.” Tentu, sikap semacam ini tidak elok.

Favoritisme dalam Gereja

Yakobus pernah mengatakan, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (2:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut Kristus untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sayangnya, praktik “memandang muka” atau yang biasa disebut sebagai “favoritisme” tampak menjadi dosa yang dengan mudah merasuk ke dalam kehidupan kita sebagai umat Kristiani.

Favoritisme merupakan kecenderungan memperlakuan khusus atau keberpihakan kepada kelompok atau orang tertentu karena kekayaan atau status mereka, dan tidak melihat semua orang secara setara sebagai anak-anak Allah. Sepertinya realitas ini yang ingin ditunjukkan oleh duet sutradara film “Jesus Revolution” ketika sebagian umat “tidak suka” pada kehadiran kaum Hippies yang Tuhan kirim ke gereja mereka.

Tentu, praktik favoritisme tidak selaras dengan sabda Tuhan yang mengajak kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pada saat yang sama, favoritisme merupakan bentuk diskriminasi yang merusak citra umat Allah, yang adalah satu tubuh di dalam Kristus (1 Korintus 12:12). Ketika kita menunjukkan sikap favoritisme, kita tidak mencerminkan karakter Allah sebagai Tuhan adil dan menerima semua orang. Dalam film “Jesus Revolution,” konsekuensi dari sikap favoritisme menyebabkan diskriminasi di antara anak Tuhan. Namun, sang pendeta menunjukkan keberaniannya membela kaum Hippies yang “ditolak” sebagian umat, meski mereka ada yang sering menyumbang dana di gereja tersebut. 

Mengatasi Sikap Favoritisme

Dalam ancaman virus favoritisme yang bisa menginfeksi umat Kristiani, kita diajak menyadari kembali bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:26), dan berharga di mata-Nya (Yesaya 43:4). Kita diundang untuk memperlakukan semua orang dengan hormat dan kebaikan, tanpa memandang latar belakang atau penampilan mereka, tidak menilai orang berdasarkan faktor eksternal, seperti kekayaan atau status.

Hidup menggereja adalah kesempatan bagi kita untuk berusaha melihat orang lain dari sudut pandang Tuhan. Seperti lirik sebuah tembang, “B’rikanku hati s’perti hati-Mu yang penuh dengan belas kasihan.” Mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri dapat terwujud dalam sikap melayani dan terbuka pada orang lain tanpa diskriminasi.

“Jesus Revolution” adalah film yang kuat dan secara efektif menceritakan ulang gerakan transformasi secara masif yang pernah terjadi di California. Allah sanggup melawat banyak orang lewat kuasa Roh-Nya yang ajaib. Mari kita berdoa, agar pada masa sekarang ini Allah berkenan kembali melawat banyak orang. Kiranya Dia menggunakan kita untuk mewartakan Kabar Baik kepada insan-insan yang kehilangan arah dan tujuan. Mari kita doakan, agar semakin banyak orang dari segala bangsa mengalami persekutuan pribadi dengan Kristus, bertumbuh semakin menyerupai Dia, dan melayani di jemaat lokal yang merupakan anggota keluarga-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Doa: Sebuah Usaha Bergantung Pada Kebaikan Hati Bapa

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Martyn Lloyd-Jones tentang doa. Hamba Tuhan tersebut mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan Kristen jauh lebih mudah dikerjakan daripada berdoa. Aku pun mengalaminya karena aku punya ribuan alasan untuk tidak berdoa.

Sebenarnya bercerita tentang doa bagiku sama seperti membuka sebuah aib, sebab aku adalah seorang pelayan Tuhan yang tidak gemar berdoa. Aku selalu merasa kesulitan untuk memulai dan bertahan dalam doa. Aku pun mulai merasa seperti orang munafik, mengajak orang lain untuk berdoa padahal aku sendiri kesulitan dalam berdoa. Sekalinya aku berdoa, isinya hanyalah permohonan dan itupun kulakukan saat situasi tidak dapat lagi kutangani.

Perasaan kurang rohani

Kesulitanku dalam berdoa membuatku merasa kurang rohani. Aku suka menepis perasaan ini dengan mengatakan bahwa aku adalah anak Tuhan. Aku dikasihi bukan karena seberapa rajinnya aku berdoa, melainkan karena pekerjaan Yesus di atas kayu salib. Memang hal itu benar adanya, tapi aku malah menjadikan itu sebagai sebuah pembenaran untuk lalai berdoa.

Hatiku juga semakin ciut jika melihat kehidupan doa teman-teman sepelayananku yang begitu hidup. Semakin sering aku melihat teman-temanku berdoa, maka semakin sering aku merasa ada yang salah dengan relasiku dengan Tuhan, khususnya dalam hal berdoa.

Aku pun mulai terdorong untuk mengubah kehidupan doaku. Aku mulai mencari tahu apa yang kurang dari kehidupan doaku. Selama ini aku mengira bahwa aku kurang jam doa dan disiplin. Walaupun itu mungkin benar, tapi ternyata aku kekurangan hal yang jauh lebih serius dari dua hal tersebut. Selama ini aku kurang mau bergantung pada Tuhan karena aku telah salah memahami Tuhan. Maka tak heran jika kehidupan doaku berjalan di tempat.

Sikap ini semakin berkembang ketika dulu doaku tidak dikabulkan Tuhan. Saat itu aku berdoa agar dapat diterima di salah satu SMA yang kuinginkan, tapi Tuhan tidak mengabulkannya. Kejadian tersebut terulang ketika aku ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kembali Tuhan tidak mengabulkan doa sesuai dengan kehendakku. Di saat itu aku mengerti bahwa doa bukanlah sebuah tombol darurat pengontrol situasi.

Namun, kendati aku tahu doa bukanlah tombol darurat, aku malah menjadi ragu untuk berdoa. Aku takut mengalami kekecewaan kembali jika doaku tidak dikabulkan lagi. Aku lebih memilih bergantung pada diri sendiri dan menerima apapun situasi yang akan aku hadapi.

Salah paham tentang Tuhan

“Toh, Tuhan Mahatahu. Kalau Dia mau tolong pasti akan menolong. Kenapa harus serius berdoa? Semakin serius, malah semakin kecewa kalau tidak dikabulkan.”

Di sinilah letak kesalahpahamanku tentang Tuhan. Aku menilai kemurahan hati Tuhan hanya dari jawaban doa yang Dia berikan padaku. Jika Dia mengabulkan doaku maka Dia murah hati dan patut dipercaya, jika tidak dikabulkan maka lebih baik aku mempercayai diri sendiri saja.

Pandangan ini tidaklah tepat dan aku perlu mengubahnya sesuai dengan apa yang Alkitab katakan. Aku teringat akan sebuah bagian firman Tuhan dari Lukas 11:9-13 yang menolongku untuk mengenal Tuhan lebih baik lagi.

“Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Ada banyak alasan kita berdoa. Kita bisa berdoa karena digerakkan oleh perasaan bersalah, atau karena kewajiban semata. Bisa juga kita berdoa karena tidak lagi menemukan solusi lain untuk masalah kita. Namun, dari bagian ini aku belajar bahwa landasan kita berdoa adalah karena kemurahan hati dari Bapa di sorga.

Dia berjanji setiap doa akan didengarkan (Mazmur 116:1-2). Dia berjanji setiap yang meminta tidak akan pulang dengan tangan kosong. Dia tidak pernah menahan-nahan berkat-Nya jika itu memang yang terbaik untuk kita. Dia mau agar kita bergantung penuh dan percaya akan pemeliharaan-Nya.

“Aku mengasihi Tuhan, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohohanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” (Mazmur 116:1-2).

Terkadang kita sendiri pun tidak tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita berdoa meminta sesuatu pada Tuhan tapi, kita tidak benar-benar tahu apakah hal itu baik untuk kita. Namun, Bapa yang di sorga tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita tidak perlu memaksakan kehendak doa kita sebab Bapa sudah memilah doa mana yang baik dan yang tidak baik untuk dikabulkan.

Jujur, mengetahui hal ini memotivasiku untuk berani berdoa. Sebab jika sekalipun aku salah berdoa, Bapa tidak akan mengabulkannya. Bahkan Dia akan mengajariku berdoa lewat Roh Kudus yang berdiam dalam hatiku .

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Namun, doa bukanlah selalu tentang apakah keinginan kita terkabul atau tidak. Doa bukanlah sekadar cara untuk memperoleh sesuatu dari Tuhan, melainkan cara untuk memperoleh Tuhan sendiri. Doa adalah kerja keras bergantung kepada Tuhan sehingga kita dapat semakin mengenal dan menikmati pribadi-Nya.

Thomas Manton mengatakan bahwa doa adalah sebuah percakapan jiwa yang mengasihi Tuhan. Tindakan persahabatan dan persekutuan seharusnya dilakukan secara konstan dan sering. Jika kita mengasihi Tuhan, kita tidak bisa lama-lama jauh dari Tuhan, tetapi akan terus rindu bersama-Nya dan mencurahkan isi hati kita.

Saat merenungkan semua kebenaran di atas aku semakin sadar bahwa doa perlu kedisiplinan dan cinta kepada Tuhan. Ketika aku merasa baik-baik saja tanpa berdoa, sebenarnya solusinya bukan hanya sekedar menambah jadwal berdoa atau membulatkan tekad untuk rajin berdoa. Melainkan perlu kembali mengorientasikan ulang hati dan pikiranku menuju Tuhan. Jangan-jangan kasihku pada Tuhan saat itu sedang kritis.

Namun, aku juga setuju kita perlu disiplin dalam berdoa. Sehingga kita tidak perlu menunggu-nunggu hati kita untuk kembali berapi-api kepada Tuhan untuk memulai berdoa. Sebab terkadang ketika kita berdoa, Tuhan bisa memakai saat itu untuk mengobarkan kembali cinta kita pada-Nya. Jadi keduanya memang diperlukan baik disiplin ataupun cinta.

Pada akhirnya doa merupakan sebuah kerja keras. Mungkin justru karena itulah, lewat janji-Nya, Tuhan telah menyediakan upah melimpah bagi mereka yang mencari dan bergantung pada-Nya.

Baca Juga:

Dengan Berhenti, Maka Kamu Bisa Berjalan

Ketika relasi yang kami bangun akhirnya kandas, aku pun bertanya: mengapa Tuhan menghentikan langkahku?

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Saat sedang menggulir laman sosial media, aku melihat kiriman video dari suatu akun komunitas Kristen untuk publikasi sebuah ibadah. Impresi pertama ku adalah kagum karena desainnya sangat menarik, namun setelah selesai melihatnya, aku tertegun dan teringat sesuatu. Komunitas ini adalah tempatku melayani hingga sekarang. Tapi tepat satu tahun lalu, aku hampir meninggalkannya.

Pelayanan di tempat ini awalnya berjalan baik, relasiku dengan anggota komunitas lainnya pun sudah sangat dekat. Hingga suatu saat ada hal yang seakan memaksaku untuk meninggalkan komunitas ini.

Berat sekali rasanya. Sungguh sangat berat.

Hari demi hari berganti. Doaku terus terisi dengan pertanyaan “kenapa ini harus terjadi?”.

Aku menjadi takut. Takut untuk tetap hadir di komunitas ini. Takut memberi pengaruh buruk kepada anggota lainnya. Takut kalau jangan-jangan motivasiku berada di tengah mereka bukan karena kerinduan agar setiap mereka menikmati Allah, melainkan hanya karena aku menikmati penerimaan dari mereka. Perasaan dan pemikiran itu kemudian membuatku mengingat dan merenungkan kembali kerinduan awal aku melayani di komunitas ini.

Singkat cerita, dalam masa perenunganku, aku menemukan bahwa kerinduan awalku melayani komunitas ini adalah setiap anggota menikmati Tuhan yang sungguh mengasihi mereka melebihi apapun. Kerinduanku adalah setiap anggota komunitas akhirnya mempersembahkan setiap hal dalam kehidupan mereka kepada Tuhan.

Menemukan hal ini mulai membuatku untuk mau berjuang tetap bertahan.

Tepat di hari yang sama, aku menghadiri sebuah ibadah. Firman saat itu adalah dari Kisah Para Rasul 21:1-14, tentang keadaan yang seakan memaksa Paulus untuk tidak pergi ke Yerusalem karena penglihatan bahwa Paulus akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain (Kis 21:11). Jawaban Paulus tertulis pada ayat 13 bagian ini yang berkata “Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.” Aku menangis. Ketika doa tutup firman aku berkomitmen untuk tetap bertahan melayani di komunitas ini.

Aku tahu ada sesuatu yang seakan memaksaku berhenti, tapi aku lebih tau ada Allah yang terus berjalan bersamaku.

Sungguh bersyukur kepada Allah, saat ini aku bisa menyaksikan bahwa Allah memberi pertumbuhan bagi komunitas ini. Meski masih terlibat melayani di komunitas ini, aku sudah tidak banyak ambil bagian dalam persiapan ibadah. Melihat video video publikasi tersebut, membuatku tidak bisa tidak bersyukur. Bersyukur karena pilihan untuk bertahan satu tahun yang lalu, ternyata membawaku menyaksikan pertumbuhan yang Allah anugerahkan.

Untukmu yang sedang bergumul untuk tetap bertahan di suatu kondisi tertentu; bertahan tetap melayani sesama meski harus terus memutar otak mencari cara yang efektif, bertahan untuk berjuang mengasihi anggota keluarga meski mungkin setiap hari ada saja cara mereka membuatmu kesal, atau bahkan bertahan menahan rindu berjumpa dengan teman-teman karena kebijakan PSBB saat ini; kiranya kita semua boleh menyadari bahwa mungkin saja keputusan yang paling baik dan paling bernilai adalah tetap bertahan, bahkan ketika berpaling atau berjalan menjauh akan menjadi keputusan yang lebih sederhana. Karena kesetiaan (faithfulness), yakni tetap bertahan di tempat kita berada, terkadang adalah tindakan terbesar dari iman (faith).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Catatanku Menjadi Pengurus: 3 Kendala Pelayanan Pemuda di Gerejaku Sulit Berkembang

Jumlah pemuda yang hadir di tiap persekutuan hanya tiga orang. Membangun pelayanan pemuda pun terasa sulit karena beberapa kendala.

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Aku adalah seorang yang pernah menikmati indahnya persekutuan Kristen di kampus. Di persekutuan itulah aku mulai menapaki perjalanan spiritualku bersama Tuhan. Pada tahun 2011, aku memulai studiku di salah satu kampus di Jakarta, dan di sana jugalah aku menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku melalui ibadah KKR penyambutan mahasiswa baru.

Perjalanan itu terus berlanjut. Setelah pertobatanku itu, ada seorang mentor rohani yang setia membimbingku supaya aku mengalami pertumbuhan rohani. Dari dialah aku mengenal apa artinya dan pentingnya bersaat teduh setiap hari. Dan, dari dia jugalah aku mengenal persekutuan kelompok kecil dan menikmati pengalaman memiliki teman yang sama-sama bertumbuh secara rohani. Singkat cerita, kehadiran mentorku ini menjadi salah satu bagian penting yang mewarnai keindahan persekutuan kampus yang pernah kualami.

Beberapa tahun setelahnya, aku mulai dipercayakan untuk melayani adik-adik tingkatku dalam suatu kelompok kecil. Awalnya, aku cukup bingung; apa yang harus kukerjakan untuk membimbing adik-adik tingkatku ini? Aku pernah hanya berkutat dengan bahan-bahan kelompok kecil yang mesti kusampaikan tanpa memberi perhatian yang cukup kepada mereka tiap harinya. Namun, di tengah perjalanan itu, mentorku kembali mengingatkan baik dengan perkataannya maupun juga dengan tindakannya yang dulu pernah dia perbuat kepadaku. “Kelompok kecil itu bukan hanya tentang membagikan pengetahuan bahan-bahan PA atau supaya adik-adik kita mengerti secara kognitif tentang Tuhan, tetapi tentang membagikan hidup kita yang terlebih dulu telah ditransformasi dan mengalami Kristus kepada mereka.”

Berawal dari perenungan itu, akhirnya aku menyadari bahwa sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan. Ya, menyaksikan orang yang kita layani bertumbuh secara rohani, itulah hal yang membuatku paling bersukacita selama melayani. Aku teringat lantunan doa dan ucapan syukur Paulus kepada Tuhan atas jemaat di Filipi. Paulus berkata, “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini” (Filipi 1:3-4). Di dalam kalimat ini, jelas dikatakan bahwa Paulus selalu berdoa dengan sukacita dan ucapan syukur. Paulus tentu saja mengenal betul bagaimana pertumbuhan rohani jemaat asuhannya ini sewaktu ia masih tinggal bersama di Filipi. Itu sebabnya, Paulus dapat bersukacita dan mengucap syukur kepada Allah ketika melihat jemaat asuhannya bukan saja menerima Injil, tetapi juga bertumbuh dalam persekutuan Injil yang ia beritakan.

Sukacita Paulus atas Jemaat Filipi tidak dapat dipadamkan oleh apapun, termasuk oleh kondisinya pada saat itu. Pada saat menulis surat Filipi, Paulus sedang terbelenggu di penjara. Namun, belenggu rantai-rantai penjara itu tidak dapat memudarkan sukacita Paulus, melainkan semakin mengokohkan keyakinannya atas pekerjaan Allah yang telah Dia mulai sebelumnya (ayat. 4). Paulus memiliki keteguhan hati bahwa meskipun saat itu dia tidak lagi bersama dengan Jemaat Filipi, tetapi dia yakin bahwa Allah yang memulai pekerjaan Injil itu, akan meneruskannya hingga pada kesudahannya. Itulah yang menjadi sumber sukacitanya.

Dari ucapan syukur dan doa Paulus ini, aku juga merefleksikan hal yang penting dalam caraku memandang suatu pelayanan. Ada atau tidak adanya kita, itu tidak akan membuat pekerjaan Tuhan hancur, karena Allah sendirilah yang menginisiasi pekerjaan baik-Nya dan Dia juga yang akan meneruskannya. Pertama, realita ini seharusnya tidak membuat diriku jemawa ketika adik-adik rohaniku mulai bertumbuh secara rohani. Sejatinya, itu semua bukanlah semata-mata karena kecakapanku dalam melayani. Namun, itu semua karena ada Allah yang telah memulai pekerjaan baik itu di dalam diri setiap orang yang kulayani. Kedua, kesadaran ini juga seharusnya tidak membuatku minder atau merasa bersalah yang berlebihan ketika orang-orang yang kulayani nampaknya tidak menghasilkan buah yang baik. Aku tetap bisa bersyukur dan bersukacita karena kita memiliki pengharapan bahwa pekerjaan baik Allah tetap ada di dalam diri mereka dan Dia akan tetap meneruskannya.

Kita dapat bersukacita karena kita tahu bahwa pertumbuhan rohani sesungguhnya bukan didasarkan kepada keberhasilan maupun kegagalan kita dalam melayani, bukan juga karena semata kecanggihan metode-metode yang kita gunakan. Namun, karena ada Allah yang memulai lebih dulu pekerjaan baik-Nya di dalam masing-masing umat pilihan-Nya sampai pada akhir zaman. Maka, ketika kita berhasil, kita sadar bahwa sesungguhnya tangan Tuhanlah yang pertama memulai pekerjaan baik itu. Apabila kita mengalami kegagalan, kita juga tidak larut dalam kesedihan, karena kita memiliki pengharapan bahwa Allah yang memegang kendali atas mereka.

Di tengah perjalanan pelayananku, terkadang aku dihantui banyak kegagalan di masa lalu. Aku merasa bahwa dulu tidak cukup bersungguh-sungguh di dalam melayani, sehingga orang-orang yang kulayani terhambat pertumbuhan rohaninya. Namun, Tuhan terus mengingatkanku untuk kembali berkomitmen dan giat melayani-Nya, karena aku tahu bahwa Allah telah memulai pekerjaan baik-Nya bagi orang-orang yang kulayani. Bukankah suatu kehormatan bagiku ketika aku dipakai Allah menjadi alat-Nya untuk meneruskan pekerjaan baik itu?

Namun, ada pula masanya ketika aku begitu giat dan semangat melayani. Doa Paulus ini tetap bisa kumaknai dan menjadi pengharapan, karena benih Injil yang pernah kutaburkan tidak akan pernah sia-sia. Pekerjaan baik yang telah Allah mulai tidak akan pernah terhalangi atau berhenti karena apapun. Sebaliknya, Dia akan meneruskan-Nya hingga sampai Kristus datang untuk kedua kalinya. Bukankah realita ini dapat menjadi pengharapan bagi kita di tengah pelayanan kita?

Kiranya teladan Paulus di dalam sukacitanya melayani dapat menjadi pembelajaran yang berharga buat kita yang juga saat ini sedang berjuang untuk membimbing jemaat, adik-adik rohani, dan keluarga kita. Sukacita Paulus tidak berasal dari luar dirinya, tetapi berasal dari Allah yang memulai pekerjaan baik di tengah kita. Sukacitanya juga berasal dari Injil Kristus itu sendiri yang dia yakini berkuasa mentransformasi kehidupan seseorang. Terakhir, sukacitanya bertumbuh karena kehadiran Roh Kudus yang terus menuntun setiap orang yang dilayaninya untuk semakin serupa dengan Kristus dari hari ke hari.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Mengalami Pelecehan Seksual, Aku Memilih untuk Mengampuni dan Dipulihkan

Ketika apa yang kujaga dinoadai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, seketika aku merasa hancur. Aku merasa kotor dan tak layak di hadapan Tuhan. Aku pun trauma berelasi dengan lawan jenis, terlebih apabila terjadi sentuhan fisik.

Menang Mengatasi Kesepian

Oleh Riski Winner Lorenzo, Jakarta

Aku bersyukur Tuhan membawaku menikmati kampus yang dipakai-Nya untuk menolongku bertumbuh dan aku percaya tidak ada satu pun yang kebetulan di muka bumi ini. Aku bersyukur Tuhan memberikan anggota tubuh Kristus yang giat menjangkau, bahkan menjangkauku sejak SMA. Aku bertemu dengan komunitas yang sangat menolongku. Aku dikelilingi oleh kakak-kakak rohani yang membimbingku agar setiap harinya aku berjuang untuk hidup kudus dan menjadi bagian dalam anggota tubuh Kristus yang menolong dan menguatkan satu dengan yang lain.

Namun, sesuatu yang berbeda terjadi ketika aku menapaki kehidupan perkuliahanku. Aku bertemu dengan banyak wajah baru dari berbagai latar belakang dan ideologi yang berbeda. Awalnya, aku merasa asyik karena lingkungan baru yang beragam ini memperkaya cara pandangku akan orang-orang di sekelilingku. Namun lama kelamaan, semua terasa asing dan mereka mulai menawariku untuk memiliki cara hidup yang melupakan Tuhan dan meninggalkan kekudusan. Tawaran tersebut semakin kuat, sehingga aku merasa ada di garis yang membatasi kedua pilihan yang kualami saat itu. Tawaran-tawaran yang membuatku harus menghancurkan keimananku seperti merokok, minum-minum, dan lainnya.

Aku ketakutan dan dilema sejadi-jadinya. Aku sangat membutuhkan anggota tubuh Kristus lain untuk menolongku di saat-saat ini, seperti yang mereka telah lakukan untukku di masa-masa sebelumnya. Aku membutuhkan saudara-saudara rohaniku yang lain yang selalu bersamaku di saat aku merasa terpuruk dan bergumul atas kehidupanku, tapi mereka semua menghilang. Dunia kampus membuat kami melupakan satu dengan yang lainnya sepertinya. Mereka memiliki kesibukan sendiri dan aku merasa tidak enak untuk menghubungi mereka duluan. Aku merasa pergumulanku terlalu remeh di hadapan mereka.

Semua perasaan berkumpul jadi satu: keinginan untuk ditolong namun aku ketakutan untuk meminta tolong. Keseharianku saat itu dipenuhi perasaan tertekan karena aku merasa tidak memiliki seorang pun yang bersama denganku. Aku menjadi sangat takut dan perasaan campur aduk ini membuatku semakin terjatuh pada kecemasan akan hal-hal yang seharusnya tidak perlu aku khawatirkan. Aku sangat kesepian bahkan sekalipun aku tahu aku memiliki keluarga, tetapi kedengarannya mereka bahkan tidak bisa mengerti aku.

Tetapi karena kasih karunia Tuhan yang berlimpah-limpah, pada hari Minggu saat aku bergereja, Tuhan menjawab semuanya. Ada satu lagu yang Tuhan pakai untuk menyentuhku yang berjudul ‘Yesus Kekuatan’. Di dalam lagu tersebut sepenggal liriknya menyatakan, “Kau yang pedulikan seluruh hidupku, walau lewati lembah aku tak ditinggalkan, Yesus kekuatan di hidupku.”

Aku menangis sejadi-jadinya saat menyanyikan lagu ini. Bahkan saat tidak ada seorang pun bersama denganku, aku lupa kalau aku punya Yesus, Sahabat yang sejati. Aku bahkan diingatkan, bukankah Yesus Kristus bahkan mengalami kesepian yang lebih parah jika dibandingkan dengan apa yang aku alami? Bukankah Dia bahkan ditinggalkan oleh murid-murid-Nya sepanjang jalan salib-Nya? Bukankah Kristus adalah Gembala yang sejati yang selalu besertaku sekalipun aku berada di lembah kekelaman (Mazmur 23:4)? Bagaimana bisa aku lupa akan hal ini? Tuhan menjawab segalanya tepat pada waktu-Nya dan aku tahu Tuhan bahkan memakai tetesan air mata untuk mengajariku memandang kepada-Nya.

Aku belajar bahwa Yesus Kristus bukan hanya selalu ada buatku dan mengerti kondisiku, namun Yesus Kristus bahkan sudah mengalahkan sesuatu yang kita sebut sebagai ‘kesepian’ lewat karya-Nya di kayu salib. Dia memberikan diri-Nya untuk menanggung dosa-dosa kita sehingga kita tidak mengalami ‘kesepian’ kekal. Bukankah hal ini, keindahan Kristus ini yang seharusnya kuingat? Kenapa aku bisa lupa?

Aku sangat belajar kalau relasiku tidak akan pernah membuatku puas, hanya Kristus yang sanggup. Sebaik apapun orang lain berusaha untuk mengerti aku, tidak akan ada yang seperti Yesus. Di saat aku berada pada titik hidup yang paling rendah, di saat semua orang meninggalkanku, hanya satu yang menetap yaitu Yesus Kristus.

Tuhan benar-benar menolongku mengatasi perasaanku. Lewat setiap firman-Nya yang hidup, Dia hadir menjawab pergumulanku. Bahkan lewat lagu, Dia juga berbicara. Dia menunjukkan betapa rapuhnya aku dan hanya Dia yang selalu ada di sana.

Sekarang aku terus menerus belajar untuk memandang pada Kristus. Terkadang perasaan kesepian itu bisa saja muncul, tapi Kristus selalu menang atas setiap kesepian yang datang kepadaku itu. Aku sadar saudara-saudara seimanku adalah orang-orang yang terbatas dan tidak bisa selalu bersama denganku, namun Kristus tidak terbatas dan Dia selalu ada di sana. Bahkan dari pergumulan ini, aku juga belajar untuk menceritakannya pada saudara seiman lain. Aku belajar untuk terbuka dan membuka diri untuk ditolong. Aku juga belajar untuk memberikan diriku dengan mengusahakan segala cara agar bisa menolong anggota tubuh Kristus lain yang saat ini mungkin sedang mengalami pergumulan. Aku belajar untuk mendengarkan mereka dan berdoa dengan mereka. Ini semua hanya karena Allah, yang mengambil rupa manusia, menjadi Sahabat untuk kita.

“Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:1-4 TB).

Baca Juga:

Mengupas Mitos Femininitas

Sebagai wanita, dari kecil kita akrab dengan teguran “Anak perempuan nggak boleh…” lalu beranjak remaja, “Eh kamu sudah gadis, nggak boleh….” Kita hidup dalam sebuah konstruksi realitas, apapun gender dan jenis kelamin kita

Dalam Segala Situasi, Bersekutu Itu Selalu Perlu

Oleh Frida Oktavia Sianturi, Pekanbaru

Sudah dua bulan sejak pandemi menghampiri kota Pekanbaru, aku dan adik KTB-ku (Kelompok Tumbuh Bersama) tidak pernah bertemu untuk PA (Pendalaman Alkitab) bersama. Biasanya aku mengunjungi mereka, tetapi kali ini tidak bisa. Mereka memutuskan pulang kampung saja karena perkuliahan mereka dilaksanakan secara daring.

Berbeda denganku, aku harus tetap berada di Pekanbaru. Aku tidak bisa pulang ke rumahku di kabupaten Rokan Hilir karena tetap harus masuk kerja. Pandemi ini pun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Pertanyaan terus menghampiri: Kapan ya ini akan berakhir? Kapan ya aku bisa bertemu lagi dengan adik KTB-ku? KTB teman-temanku yang lain kebanyakan dilakukan via online. Aku pun menawarkan kepada adik-adik KTB-ku untuk KTB online.

Namun, respon mereka membuatku sedih.

“Aku tidak bisa kak, jaringan internet di kampungku susah.”

“aku tidak bisa kak, memori HPku tidak cukup untuk download aplikasi yang baru.”

“aku tidak bisa kak, paket internetanku terbatas. Uang jajan tidak diberikan karena aku saat ini di rumah”

Respons mereka membuatku bergumul di hadapan Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Awalnya, aku memutuskan agar kami saling berbagi pokok doa saja supaya kami bisa tetap saling mendoakan di tempat kami masing-masing sekaligus kami jadi saling mengetahui kondisi satu sama lain.

Namun aku masih gelisah. Aku merenung bagaimana caranya agar adik-adikku juga tetap diperlengkapi oleh Firman Tuhan selama masa-masa karantina ini. Aku berdiskusi dengan teman sekamarku. Dia lalu memberiku saran untuk KTB via telepon saja. Opsi ini baik meskipun aku perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli pulsa. Untuk menelepon empat orang adik dan biasanya kami KTB bisa lebih dari tiga jam, tentu aku harus mengeluarkan uang yang lebih untuk beli pulsa.

Sebenarnya sulit bagiku untuk mengeluarkan uang lebih di tengah kondisi ini. Work From Home membuat kebutuhanku meningkat. Cicilan juga tetap harus dibayar, tetapi kepada Tuhan kuserahkan semua kesulitanku ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon mereka berempat dan mengajak mereka KTB via telepon. Tak hanya belajar firman, kami saling mengabari kondisi kami, berbagi pokok doa, dan saling menopang. Aku sangat bersyukur bisa kembali KTB bersama mereka meskipun kami tak bisa dekat secara fisik. Aku bersyukur kami bisa belajar firman Tuhan kembali. Dan aku jadi belajar, lewat kondisi ini sebenarnya tidak ada alasan bagi anak-anak Tuhan untuk tidak datang kepada-Nya. Kemajuan teknologi bisa dipakai-Nya sebagai sarana untuk kita tetap bertumbuh.

Aku teringat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Ketika raja Nebukadnezar meminta mereka untuk menyembah patung emas dan memuja dewa, mereka menolaknya. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap memegang teguh kepercayaan mereka kepada Tuhan. Kesetiaan mereka berkenan kepada Tuhan, dan Tuhan meluputkan mereka dari panasnya perapian yang menyala-nyala (Daniel 3).

Kita mungkin tidak menghadapi ancaman seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, namun kita dapat meneladani kesetiaan mereka pada Tuhan. Dengan tetap terhubung bersama saudara seiman, kita dapat dikuatkan dalam menghadapi masa-masa sulit. Ibrani 10:24-25, berkata, “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”.

Pandemi ini mungkin tampak mengerikan bagi kita, tapi janganlah kiranya kepercayaan kita kepada Tuhan menjadi padam. Pandemi ini tidak lebih besar dari pada Tuhan kita. Dalam situasi ini, kita hanya butuh hati yang mau taat belajar firman-Nya. Apa pun persoalan yang saat ini kita hadapi, biar kiranya kita melakukannya di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita.

Jika kita kesulitan mengakses persekutuan secara online, tetaplah bangun persekutuan pribadi kita melalui doa dan saat teduh. Atau, jika kita memiliki materi-materi lain seperti buku rohani, kita bisa membacanya sebab itu pun baik untuk pertumbuhan iman kita.

Baca Juga:

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya.

Arti Sesungguhnya Mengasihi Seseorang

Hari ke-2 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:9-11

1:9 Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian,

1:10 sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus,

1:11 penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.

Beberapa waktu lalu, seorang temanku mengirimiku chat yang panjang, ia sedang merasa frustrasi. Aku tidak nyaman dengan konflik—terutama ketika kondisinya tidak melibatkanku. Maka meskipun aku tahu aku harus menolong temanku itu, aku tidak tahu bagaimana caranya.

Suamiku mendorongku untuk meneleponnya, namun aku tidak menyukai pembicaraan melalui telepon. Aku tergoda untuk membiarkan perasaanku mengalahkan kepedulianku terhadap temanku, dan mengabaikannya begitu saja.

Namun, jika aku benar-benar mengasihi saudariku dalam Kristus, aku seharusnya memilih untuk berada di sampingnya. Aku pun memberanikan diri untuk meneleponnya, ternyata itu berdampak positif bagi kami berdua.

Menyatakan kasih dalam puji-pujian di hari Minggu atau melalui hashtag di Instagram memang mudah. Tetapi, cara tersebut bisa menjadi cara yang dangkal jika tidak disertai dengan tindakan nyata dari kasih tersebut. Terkadang kita memiliki niat yang baik, tapi kita tidak tahu bagaimana cara menyatakannya itu melalui tindakan.

Untungnya, Paulus meneladankan aplikasi praktis dari kasih ini. Dalam suratnya, ia mengekspresikan rasa syukurnya atas jemaat Filipi, dan menjelaskan bagaimana ia seringkali berdoa untuk mereka. Paulus membagikan detail doanya dalam ayat 9-11.

Dua frasa yang sangat menonjol bagiku adalah “pengetahuan” dan “segala macam pengertian”. Kata pengetahuan yang digunakan disini bukan hanya sekadar kumpulan fakta-fakta. Bahasa Yunaninya, “epignosis”, memiliki arti jenis pengetahuan yang berdampak pada pikiran dan hati, yang menuntun pada aplikasi yang personal dan relasional. Paulus menggunakan kata ini setiap kali ia mendorong para pembacanya untuk mengetahui/mengenal Tuhan (Efesus 1:17; Kolose 1:9-10; Filemon 6).

Istilah yang kedua, segala macam pengertian, dapat diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan. Itu adalah kemampuan untuk melihat hal-hal yang benar-benar penting, dan mengetahui hal terbaik untuk dilakukan di setiap situasi.

Paulus mengatakan bahwa seiring kita mengenal Allah dengan lebih baik, kasih kita pada-Nya dan orang-orang lain akan semakin mendalam dengan sendirinya dan terwujudnyatakan dalam kehidupan. Kasih tersebut adalah kasih yang tanggap, dan sangat penting bagi perjalanan spiritual kita, hingga Paulus juga menyinggung perlunya bertumbuh dalam kasih ini dalam surat-suratnya yang lain (1 Tesalonika 3:12).

Kasih yang bijak tidak berhenti dalam pikiran. Kasih itu akan membentuk sikap dan perilaku kita. Kecenderungan alamiku adalah menjauh dari situasi yang sulit. Namun pengetahuanku akan perintah Kristus untuk mengasihi sebagaimana Ia mengasihi kita—dan mengetahui dengan jelas apa yang akan Kristus lakukan di dalam situasi tersebut—meyakinkanku untuk menelepon temanku.

Ketika kita mampu mengenali apa yang benar, kita akan mampu membuat keputusan yang “kudus dan tidak bercacat” yang sejalan dengan firman Tuhan dan sifat-Nya. Hidup seperti inilah yang akan menghasilkan buah-buah yang baik dan memuliakan Tuhan.

Aku lega karena mengetahui kitab Filipi menunjukkan pada kita bahwa ada cara untuk menumbuhkan kasih. Jika tidak, aku hanya akan mengandalkan pemahamanku sendiri tentang cara mengasihi—pemahaman yang aku tahu tidak cukup baik. Sebagai permulaan, kita dapat membudayakan kasih seperti yang Paulus tuliskan—kasih yang dibentuk melalui pengetahuan dan segala macam pengertian—dengan cara membaca dan merenungkan firman Tuhan, mengambil waktu untuk berdoa, belajar dari para mentor dan pemimpin, dan dengan menjadi pendengar dan pemerhati yang lebih baik bagi orang-orang di sekitar kita.

Mari izinkan diri kita untuk mengambil langkah untuk menumbuhkan kasih yang bijaksana. Mari kita berkomitmen untuk mengenal Tuhan lebih lagi, dan mengizinkan-Nya untuk mengubah kasih kita menjadi kasih yang tidak mudah digoyahkan oleh keadaan ataupun perasaan. Mari kita bertumbuh hari demi hari, bagi kemuliaan Allah.—Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikirkan sesorang yang kamu kenal yang bijak dan penuh kasih. Pernahkah kamu mendapat nasihat yang didasari oleh “kasih” dan “pengetahuan”?

2. Hal-hal apa yang biasanya kamu doakan? Apakah kamu berdoa untuk nilai, kondisi finansial, dan relasi yang baik—atau kamu berdoa agar bertumbuh dalam kasih, kearifan, dan sifat-sifat yang benar?

3. Bagaimana doa Paulus dalam surat ini menantang caramu melihat hal yang penting dalam hidupmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain menyuikai coklat, kue-kue, dan cerita-cerita luar biasa dari orang biasa. Charmain juga menyukai kejutan-kejutan kecil namun berarti yang Tuhan berikan untuknya setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Bukan Persekutuan Biasa

Hari ke-1 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:1-8

1:1 Dari Paulus dan Timotius, hamba-hamba Kristus Yesus, kepada semua orang kudus dalam Kristus Yesus di Filipi, dengan para penilik jemaat dan diaken.

1:2 Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.

1:3 Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.

1:4 Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.

1:5 Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini.

1:6 Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.

1:7 Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil.

1:8 Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.

 

Bukan Persekutuan Biasa

Apa yang muncul di pikiranmu ketika kamu mendengar kata “persekutuan”? Seringkali kita membayangkannya sebagai sekadar acara “kumpul-kumpul”, bermain bersama di komunitas pemuda, atau berbincang-bincang tentang topik-topik yang santai.

Meskipun tidak ada yang salah dengan itu, pernahkah kamu merenungkan apakah ada makna yang lebih dalam dari sebuah persekutuan?

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menunjukkan gambaran yang berbeda mengenai persekutuan. Ia memulai suratnya dengan berterima kasih pada jemaat Filipi untuk “persekutuan mereka dalam Berita Injil” (Filipi 1:5). Persekutuan seperti apa yang membuat Paulus berterima kasih?

Jemaat Filipi adalah jemaat pertama yang Paulus bentuk di Eropa. Jemaat tersebut terdiri dari seorang pedagang bernama Lydia dan seisi rumahnya, seorang kepala penjara dan keluarganya, dan orang-orang lain yang menjadi percaya semenjak terbentuknya jemaat itu (Kisah Para Rasul 16). Ketika Paulus banyak menulis surat untuk mengoreksi atau menegur permasalahan di jemaat mula-mula, suratnya untuk jemaat Filipi terlihat berbeda sebagai surat yang berisi ucapan syukur dan sukacita.

Aku yakin jemaat Filipi tidaklah sempurna. Tidak ada gereja yang sempurna. Namun apa yang membedakan jemaat Filipi dari yang lainnya adalah fokus mereka yang tajam: mereka berkomitmen untuk melakukan tujuan bersama mereka—menyebarkan Kabar Baik tentang Kristus. Dengan membantu Paulus secara finansial dan bekerja dengannya (4:15), jemaat Filipi tidak hanya sedang menyebarkan Injil, tetapi mereka juga sedang menghidupi Injil itu di dalam komunitasnya.

Ketika Paulus mengucap syukur pada Tuhan untuk persekutuannya dengan orang-orang percaya di Filipi, ia tidak hanya membayangkan obrolan santai setelah makan atau permainan yang menyenangkan. Paulus mengucap syukur karena jemaat Filipi bekerja bersamanya dalam menyebarkan Injil pada orang-orang bukan Yahudi, menolong orang-orang yang membutuhkan, dan memperhatikan kebutuhan orang lain meskipun mereka sendiri sedang menderita.

Itulah persekutuan yang sesungguhnya.

Pernahkah kamu membaca buku J. R. R. Tolkien, Fellowship of the Ring?

Dalam cerita tersebut, persekutuan (fellowship) itu dibentuk dari sembilan individu dari berbagai ras dan kepribadian, dan berbagai pendapat tentang cara melakukan suatu hal. Orang-orang ini tidak menjalankan persekutuannya dengan duduk mengelilingi api unggun dan berbagi candaan. Itu bukanlah persekutuan yang sebenarnya.

Persekutuan mereka yang sejati adalah tentang menjaga satu sama lain untuk bertahan dari godaan kekuatan jahat; tentang melindungi satu sama lain dari musuh bersama. Yang menjadikan mereka sebuah persekutuan adalah perjalanan berbahaya mereka menghadapi kejahatan dan maut untuk memperjuangkan apa yang baik.

Seperti itulah seharusnya sebuah gereja.

Gerejaku tidak selalu seperti itu. Sebagai seorang pemimpin di gereja, kami sering berusaha keras untuk membuat gereja menjadi menyenangkan dan relevan, sampai kami lupa akan tujuan utama kami.

Jika itu terdengar seperti gerejamu juga, jangan putus asa. Sebaliknya, mari kita terdorong untuk mengejar gambaran yang Paulus tunjukkan mengenai persekutuan yang sesungguhnya.

Mari kita mulai dengan melakukan percakapan yang jujur dengan satu sama lain tentang sejauh mana kita melangkah dalam perjalanan iman kita. Mari kita saling berbagi dalam pergumulan satu sama lain (1:29-30), bertekad untuk berjalan bersama dan mendoakan satu sama lain melewati beragam musim dalam hidup, dan mendorong satu sama lain untuk bertumbuh di dalam kedewasaan rohani (2:12).

Persekutuan kita bukanlah sekadar persekutuan dunia biasa. Kita dipersatukan oleh Allah sendiri untuk suatu tujuan mulia. Maka mari kita bersama-sama memenuhi tujuan itu, yang adalah menyebarkan Kabar Baik-Nya pada dunia. (1:27)—Carol Lerh, Singapura

Handlettering oleh Naomi Prajogo Djuanda

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana caranya agar persahabatan kita di gereja dapat berfokus untuk menyebarkan Injil?

2. Pikirkan satu perubahan yang dapat kamu lakukan untuk membagikan persekutuan yang sesungguhnya pada komunitas Kristenmu.

3. Dengan cara apa kamu dapat bekerja bersama orang-orang Kristen di sekitarmu dalam pekerjaan Injil?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Carol Lerh, Singapura | Carol suka berpikir, salah satu hal yang selalu dia pikirkan adalah betapa lebar, dalam, dan luasnya kasih Allah yang tak terukur. Hal lain yang Carol suka lakukan adalah menulis.

 

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

 

Menegur dengan Maksud Baik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu menjadi pengurus di bagian acara persekutuan kampus kami di Pekanbaru, Johan rekan sepelayananku di bidang acara menunjuk Sari* untuk menjadi singer dalam Kebaktian Awal Tahun Akademik (KATA). Sari adalah adik tingkat kami yang telah mengikuti pembinaan. Kami menilai Sari punya relasi yang baik dengan Tuhan.

Atas pertimbangan relasi pribadinya yang erat dengan Tuhan, juga kedekatan kami dengannya, Johan pun menunjuk Sari sebagai singer di ibadah tersebut. Supaya ibadah bisa berlangsung baik, bisanya kami mengadakan latihan tiga sampai empat kali.

Ketika hari pertama latihan, aku dan seluruh rekan pengurus, termasuk Johan, menyadari bahwa Sari rupanya tidak punya talenta dalam menyanyi. Johan sendiri tidak memastikan apa talenta Sari sebelumnya. Karena takut melukai perasaan Sari, Johan tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Sari. Pun kami sebagai rekan pelayanan tidak berupaya untuk mendorong dan menegur Johan supaya dia berkata jujur pada Sari. Kami tidak ingin dianggap mengambil alih tanggung jawab Johan.

Ibadah KATA pun berlangsung. Sari menyanyikan lagu pengantar saat teduh secara solo. Menyadari hal yang sama dengan para pengurus, jemaat yang harusnya mengambil sikap teduh jadi tidak kondusif. Sari pun menyadari respons jemaat, dia menjadi sangat sedih dan malu. Kejadian ini lalu membuat kami merasa sangat bersalah karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan menegur Johan.

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Atas dasar relasi yang baik, kita tidak siap dengan risiko atau dampak yang akan dihasilkan, baik sebagai orang yang menyatakan atau menerima kebenaran itu sendiri. Sebagai orang yang akan menyatakan kebenaran kita takut orang yang menerimanya akan terluka, tidak terima dan dapat merusak relasi kita dengannya. Sedangkan sebagai orang yang menerima, kita tidak siap untuk rendah hati menerima teguran atau kebenaran.

Salomo dalam Amsal 27:5-6 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Ayat ini mengajarkan kita untuk menyatakan kebenaran dan teguran secara nyata sebagai bentuk kasih. Kita diajarkan bahwa kebenaran ataupun teguran meskipun sakit dan tidak mengenakkan di awal apabila didasarkan dengan kasih dan maksud baik akan mendatangkan kebaikan bagi kita dan setiap orang yang mendengar dan menerimanya.

Salomo juga di dalam kitab Amsal menyatakan beberapa manfaat teguran. Teguran mendidik kita untuk tetap berada di jalan yang seharusnya (Amsal 6:23), membawa kita kepada kehidupan (Amsal 15:31), memperoleh akal budi (Amsal 15:32) dan mendatangkan hikmat (Amsal 29:15).

Mengasihi orang lain, berarti kita bersedia untuk terus mendorong dan membantu orang yang kita kasihi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dengan mengungkapkan kebenaran dan teguran yang membangun bagi mereka. Dengan teguran yang dilandaskan kasih, kita mengingatkan orang yang kita kasihi agar tetap berada atau berbalik kepada kebenaran. Kita juga dapat menghindarkan mereka dari kejatuhan ataupun kesalahan yang terlalu dalam. Serta membantu mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal yang sama juga berlaku dengan kita. Ketika kita menerima kebenaran dan teguran dari orang yang mengasihi kita, kita harus melihatnya sebagai bentuk kasih untuk kita dan kerinduan yang mendatangkan kebaikan buat kita. Kita harus merespons teguran dengan sikap terbuka dan merefleksikan diri hingga kita dapat melihat manfaat dan tujuan teguran tersebut sebagai sesuatu yang membangun.

Dalam Wahyu 3:19 dikatakan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”

Tuhan sendiri pun mengingatkan kita bahwa teguran adalah salah satu bentuk kasih. Justru ketika dalam kesalahan dan kejatuhan kita tidak ditegur atau menegur itu tanda bahwa kita tidak peduli dan dipedulikan. Pukulan dengan maksud baik akan membangun sedangkan pujian yang palsu akan menjatuhkan.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?