Ketika Aku Dipaksa Percaya Takhayul Supaya Tidak Kena Sial
Oleh Mita
1.“Jangan pakai baju serba putih, kayak lagi berduka!”
2.“Jangan jadi pengapit pengantin lebih 3x nanti kamu sulit ketemu jodoh,lho!”
3.“Jauhi semua yang serba angka 4 ,bakalan sial hidupmu!”
Apakah kalian juga akrab dengan wejangan mitos seperti ini? Sebagai seseorang yang lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa dan pernah memeluk agama Buddha-Konghucu, omongan-omongan ini tidak asing di telingaku. Namun, saat Tuhan membawa keluargaku mengenal-Nya dan menjadi Kristen, kepercayaan kami terhadap mitos-mitos itu mulai ditinggalkan meskipun pada kenyataannya perubahan itu tidaklah terjadi semalam karena keluarga besarku banyak yang belum mengenal Kristus dan masih menganut kepercayaan yang lama. Di saat ada momen perkumpulan keluarga seperti tahun baru, pernikahan, pemakaman, mitos turun temurun ini tentu masih sering kudengar dari generasi pendahuluku.
Saat dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pernah menanyakan ke orang tuaku bagaimana harusnya bersikap. Jawaban mereka terkadang masih setengah mengambang. “Udahlah, kita memang Kristen nggak percaya begituan. Tapi itu kan cuma wejangan kepercayaan turun temurun, gak ada salahnya kamu iya-in kata mereka, toh maksudnya baik buatmu. Salah-salah protes nanti kita jadi omongan mereka di belakang.”
Namun, jauh di lubuk hati, aku terusik dan berpikir: mengapa aku sebagai seorang Kristen seolah menginjak dua kepercayaan pada saat yang sama hanya untuk memuaskan pandangan orang lain? 1 Timotius 4:7 menjawab keraguanku akan hal ini “Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.”
Bukan kompromi, tetapi komunikasi
Suatu hari, bibiku dari pihak papa meninggal. Sebagai seorang Kristen, dia dimakamkan secara Kristen sesuai permintaannya sewaktu hidup. Namun, pada prosesi pemakaman dan penurunan peti jenazah ke dalam liang kubur, seperti biasa seluruh keluarga besarku termasuk orang tuaku pada saat bersamaan menoleh membelakangi peti. Hal itu dilakukan sebagai kepercayaan mereka untuk menghindari adanya nasib sial dari arwah yang keluar dan menghantui jika tetap menatap peti. Aku memperhatikan satu-satunya orang yang jelas tidak melakukannya adalah bapak pendeta pelayan kebaktian. Saat itulah kurasa tepat untukku melakukan hal serupa. Mamaku merasa heran sembari melirik ke arahku dan berkata: “Kamu ngapain sih, ayo noleh belakang sekarang!” Aku terdiam saja, tetap menonton prosesi itu hingga selesai sembari berdoa pada Tuhan dalam hati agar nantinya bisa memberi penjelasan padanya.
Benar saja, sesudah prosesi itu, beliau mulai mengkonfrontasi keras apa yang kulakukan. Roh Kudus mengingatkanku untuk menyatakan suatu ayat padanya dalam Roma 12 : 2yang berkata: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Aku juga memberikan pengertian padanya bahwa apa yang dilakukan Pak Pendeta adalah benar dan menjadi contoh baik pada kita sebab iman kita seharusnya didasarkan pada Yesus Kristus saja dan bukan mitos pemali seperti itu. Dengan demikian kita dapat merasakan damai sejahtera, tak perlu takut atas opini orang lain atas kita karena Kristus-lah yang sepenuhnya memegang kendali hidup kita. Perlahan respons beliau berubah dan mulai tersadar. Hari itu, aku sangat bersyukur karena melalui kesempatan ini, Tuhan membukakan kebenaran-Nya padaku dan membebaskan pergumulan keluargaku.
Mungkin ada pendapat yang menyatakan bahwa dengan menolak pemali ataupun mitos, iman Kristen dianggap sebagai iman yang anti terhadap budaya dan tradisi. Ini tidaklah benar. Budaya merupakan keragaman dan kekayaan dalam kehidupan sosial dan ini tidaklah ditentang oleh iman kita. Namun, apabila mitos-mitos dan pemali ini membuat kita tidak lagi memercayai Allah dan menggantikan posisi-Nya sebagai yang terutama, di sinilah yang menjadi masalahnya. Dalam kasusku di prosesi pemakaman, menoleh ke belakang dengan alasan agar tidak kena sial tidaklah sesuai dengan iman kita. Kesialan tidak datang dari menatap prosesi penguburan, tetapi karena dosa memang telah merusak segala sendi kehidupan manusia. Namun, Kristus telah membayar lunas semua utang dosa kita dan memberikan kita jaminan yang pasti dan kekal.
Kawanku, mungkin tidak mudah bagi kita terutama sebagai orang muda untuk teguh berpegang pada kebenaran, terutama jika hal itu berisiko bagi kita untuk menjadi tidak disukai orang lain, bahkan oleh keluarga kita sendiri seperti yang kualami. Namun, tak perlu berkecil hati, karena yang terpenting dari semua itu adalah adalah iman kita pada Tuhan. Dan jika tiba saatnyaa, justru itulah kesempatan bagi kita untuk menjadi contoh mewartakan Kabar Baik yang memerdekakan bagi mereka yang belum mengenal-Nya dalam penuh kasih.
Kiranya Roh kudus terus memperbaharui budi kita dari pandangan-pandangan dunia dan menguatkan kita untuk tanpa lelah mengejar kebenaranNya. Amin.
1 Timotius 4:12: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu