Posts

Ketika Aku Dipaksa Percaya Takhayul Supaya Tidak Kena Sial

Oleh Mita

1.“Jangan pakai baju serba putih, kayak lagi berduka!”

2.“Jangan jadi pengapit pengantin lebih 3x nanti kamu sulit ketemu jodoh,lho!”

3.“Jauhi semua yang serba angka 4 ,bakalan sial hidupmu!”

Apakah kalian juga akrab dengan wejangan mitos seperti ini? Sebagai seseorang yang lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa dan pernah memeluk agama Buddha-Konghucu, omongan-omongan ini tidak asing di telingaku. Namun, saat Tuhan membawa keluargaku mengenal-Nya dan menjadi Kristen, kepercayaan kami terhadap mitos-mitos itu mulai ditinggalkan meskipun pada kenyataannya perubahan itu tidaklah terjadi semalam karena keluarga besarku banyak yang belum mengenal Kristus dan masih menganut kepercayaan yang lama. Di saat ada momen perkumpulan keluarga seperti tahun baru, pernikahan, pemakaman, mitos turun temurun ini tentu masih sering kudengar dari generasi pendahuluku.

Saat dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pernah menanyakan ke orang tuaku bagaimana harusnya bersikap. Jawaban mereka terkadang masih setengah mengambang. Udahlah, kita memang Kristen nggak percaya begituan. Tapi itu kan cuma wejangan kepercayaan turun temurun, gak ada salahnya kamu iya-in kata mereka, toh maksudnya baik buatmu. Salah-salah protes nanti kita jadi omongan mereka di belakang.”

Namun, jauh di lubuk hati, aku terusik dan berpikir: mengapa aku sebagai seorang Kristen seolah menginjak dua kepercayaan pada saat yang sama hanya untuk memuaskan pandangan orang lain? 1 Timotius 4:7 menjawab keraguanku akan hal ini “Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.”

Bukan kompromi, tetapi komunikasi

Suatu hari, bibiku dari pihak papa meninggal. Sebagai seorang Kristen, dia dimakamkan secara Kristen sesuai permintaannya sewaktu hidup. Namun, pada prosesi pemakaman dan penurunan peti jenazah ke dalam liang kubur, seperti biasa seluruh keluarga besarku termasuk orang tuaku pada saat bersamaan menoleh membelakangi peti. Hal itu dilakukan sebagai kepercayaan mereka untuk menghindari adanya nasib sial dari arwah yang keluar dan menghantui jika tetap menatap peti. Aku memperhatikan satu-satunya orang yang jelas tidak melakukannya adalah bapak pendeta pelayan kebaktian. Saat itulah kurasa tepat untukku melakukan hal serupa. Mamaku merasa heran sembari melirik ke arahku dan berkata: “Kamu ngapain sih, ayo noleh belakang sekarang!” Aku terdiam saja, tetap menonton prosesi itu hingga selesai sembari berdoa pada Tuhan dalam hati agar nantinya bisa memberi penjelasan padanya.

Benar saja, sesudah prosesi itu, beliau mulai mengkonfrontasi keras apa yang kulakukan. Roh Kudus mengingatkanku untuk menyatakan suatu ayat padanya dalam Roma 12 : 2yang berkata: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Aku juga memberikan pengertian padanya bahwa apa yang dilakukan Pak Pendeta adalah benar dan menjadi contoh baik pada kita sebab iman kita seharusnya didasarkan pada Yesus Kristus saja dan bukan mitos pemali seperti itu. Dengan demikian kita dapat merasakan damai sejahtera, tak perlu takut atas opini orang lain atas kita karena Kristus-lah yang sepenuhnya memegang kendali hidup kita. Perlahan respons beliau berubah dan  mulai tersadar. Hari itu, aku sangat bersyukur karena melalui kesempatan ini, Tuhan membukakan kebenaran-Nya padaku dan membebaskan pergumulan keluargaku.

Mungkin ada pendapat yang menyatakan bahwa dengan menolak pemali ataupun mitos, iman Kristen dianggap sebagai iman yang anti terhadap budaya dan tradisi. Ini tidaklah benar. Budaya merupakan keragaman dan kekayaan dalam kehidupan sosial dan ini tidaklah ditentang oleh iman kita. Namun, apabila mitos-mitos dan pemali ini membuat kita tidak lagi memercayai Allah dan menggantikan posisi-Nya sebagai yang terutama, di sinilah yang menjadi masalahnya. Dalam kasusku di prosesi pemakaman, menoleh ke belakang dengan alasan agar tidak kena sial tidaklah sesuai dengan iman kita. Kesialan tidak datang dari menatap prosesi penguburan, tetapi karena dosa memang telah merusak segala sendi kehidupan manusia. Namun, Kristus telah membayar lunas semua utang dosa kita dan memberikan kita jaminan yang pasti dan kekal.

Kawanku, mungkin tidak mudah bagi kita terutama sebagai orang muda untuk teguh berpegang pada kebenaran, terutama jika hal itu berisiko bagi kita untuk menjadi tidak disukai orang lain, bahkan oleh keluarga kita sendiri seperti yang kualami. Namun, tak perlu  berkecil hati, karena yang terpenting dari semua itu adalah adalah iman kita pada Tuhan. Dan jika tiba saatnyaa, justru itulah kesempatan bagi kita untuk menjadi contoh mewartakan Kabar Baik yang memerdekakan bagi mereka yang belum mengenal-Nya dalam penuh kasih.

Kiranya Roh kudus terus memperbaharui budi kita dari pandangan-pandangan dunia dan menguatkan kita untuk tanpa lelah mengejar kebenaranNya. Amin.

1 Timotius 4:12: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah  karena engkau muda. Jadilah teladan  bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Percayalah, Mencintai Itu Tidak Mudah, Tapi…

Oleh Triska Zagoto, Medan

“Kapan terakhir kali kamu jatuh cinta?” tanya seorang teman di sela perbincangan kami tentang teman hidup beberapa waktu yang lalu. Aku terdiam. Beberapa menit setelah berhasil mengumpulkan ingatan, aku memberi jawaban—yang sebenarnya aku juga kurang yakin ketepatannya.

Harus diakui, topik tentang teman hidup memang selalu menarik untuk dibahas, sulit dihindari, dan tak ada habisnya terutama di usia di mana kita akan menjumpai pertanyaan kapan nikah???” atau “kapan nyusul???” ketika menghadiri pesta pernikahan teman. Aku menemukan ada perbedaan yang cukup mencolok ketika memperbincangkan tentang teman hidup di usia yang hampir 30 tahun ini, di mana pembahasannya lebih realistis, dari karakteristik secara rohani maupun jasmani, yang kita yakini cukup menjamin hari depan ketika berkomitmen untuk masuk dalam sebuah pernikahan. Mungkin, pengalaman hidup dua dekade lebih, telat membawa kita untuk melihat segala sesuatu yang cukup riil bersentuhan dengan kehidupan sehari demi sehari. Namun, dari karakteristik- karakteristik yang kita inginkan itu, ternyata masih terbatas pada hal-hal yang dapat goyah dan berubah.

Paul R. Stevens, dalam bukunya Down to Earth Spirituality membahas satu bab tentang masa sebelum pernikahan. Menariknya, penulis tidak menggunakan istilah dating (pacaran) melainkan courting (kencan), artinya ada pendekatan persuasif—memberi perhatian dengan penuh cinta kasih kepada seseorang. Courting dimaksudkan supaya kumpulan aktivitas yang ada bertujuan untuk menemukan dan memenangkan orang yang tepat untuk suatu pernikahan.  Menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah hubungan perjanjian (kovenantal), akan membawa kita pada keseriusan dalam mempersiapkannya di masa courting. Jadi, hal-hal apa yang harus dibangun di masa-masa kencan itu? Apakah melalui perkencanan kita, orang lain makin kagum dan melihat kemuliaan Allah, atau justru sebaliknya, mempermalukan nama Tuhan? Apakah konsep relasi yang kita pegang sudah benar-benar berlandaskan firman Tuhan?

Percayalah, mencintai itu tidak mudah

Cinta yang kita miliki kepada seseorang dan kepada Tuhan itu dilihat dari besarnya pemahaman kita akan cinta yang Allah berikan pada kita di dalam Kristus. Ketika kita gagal melihat besarnya cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita, maka aku yakin kita tidak akan mudah mengasihi orang lain karena kita merasa bahwa kita kurang dicintai oleh Tuhan Allah. Di tengah kemajuan zaman ini, kita menemukan bahwa dunia terus berusaha menawarkan definisi cinta yang begitu rapuh, tidak berdasar, kosong, dan palsu. Banyak lagu, film, buku, dan lain-lain yang pelan-pelan yang mengikis kebenaran-kebenaran yang seharusnya ada dan dibangun di masa-masa courting itu. 

Hal yang bisa kita lakukan adalah meneladani cinta Kristus kepada kita, yaitu unconditional yang menuntut self-sacrificed. Jadi, ketika dua orang berkomitmen masuk dalam sebuah tahap kencan berarti bukan lagi untuk memperoleh sesuatu yang sifatnya seperti “treat me like a queen/king”, tetapi menyerahkan diri untuk dimiliki orang lain. Mencintai—memaksa diri dengan rela untuk tidak menguasai, mendominasi, dan mempertahankan ego. Maka, perlahan-lahan cinta yang terjalin bukan cinta yang kaku, melainkan cinta yang semakin bertumbuh dan dapat dinikmati.

Masa courting = masa diskusi dan membangun argumentasi

Pdt. Antonius Un, dalam sebuah sesi di acara retret mengatakan jangan sampai tanggung jawab yang seharusnya dilakukan ketika sudah menikah malah dilakukan dalam tahap pacaran. Yang harus dilakukan di masa-masa ini adalah berdiskusi dan membangun argumentasi. Hanya karena kita tidak ingin mengecewakan orang yang kita cintai, apalagi saat cinta itu menggebu-gebu kita rela menjadi budak cinta (bucin), dengan berusaha melakukan apa pun yang semestinya dilakukan ketika sudah menikah. Entah dalam hal keuangan, pertemuan dengan keluarga masing-masing sebelum waktunya, atau bahkan melakukan hubungan seksual, dan lain-lain.  Kita perlu merenungkan apakah dalam hubungan yang sedang atau yang akan kita jalani dengan calon pasangan hidup, kita menyaksikan Kristus semakin bertakhta? Apakah pengejaran akan kekudusan diri terus bergema dan dengan gentar kita lakukan? Tentu saja hal ini tidak mudah. Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, peperangan rohani selalu ada setiap hari, setiap saat. Maka sangat perlu untuk menjaga kesucian diri: rohani dan jasmani. Diskusi dan membangun argumentasi bisa dikerjakan dengan pendalaman Alkitab bersama, memiliki jam doa bersama, terlibat dalam komunitas di gereja, melayani bersama, membahas dan mengulas buku rohani, diskusi dengan orang-orang yang dewasa rohani dan memiliki kesaksian hidup yang benar maupun dengan hamba Tuhan. Masa courting, masa di mana kita mempertanyakan hal-hal yang perlu disetujui, disepakati, dan dijalani ketika sudah masuk dalam tahap pernikahan; bisa berupa pekerjaan, pelayanan, panggilan, dan lain-lain. Dan, bila perlu sesekali mengambil jarak sejenak untuk bersama-sama mengevaluasi diri.

Bertumbuh melalui proses

Karena menikah adalah komitmen seumur hidup—sampai maut memisahkan, maka kita dituntut untuk sungguh-sungguh dalam mempersiapkannya. Dalam berbagai proses yang Tuhan izinkan, kita perlu bijaksana untuk melihat apakah dalam masa courting ini, kita jalani dengan joy dan happy atau malah kita restless karena kita memasuki hubungan tersebut untuk mengakhiri loneliness kita? Perlu kita ingat bahwa pernikahan adalah tempat untuk dua orang yang berkelimpahan sehingga bisa saling berbagi, bukan untuk dua orang yang kekeringan. Kualitas masa kencan kita menentukan kualitas pernikahan kita. Biarlah dalam masa-masa evaluasi diri, kita dituntun Allah untuk menilik hati kita dan menjadikan kita pribadi yang utuh. Sebagaimana hidup yang utuh, kata Henry Cloud dalam bukunya Boundaries In Dating, adalah hidup yang penuh. Pemazmur mengingatkan kita: Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mazmur 1:3).

Bila saat ini kamu sedang berada dalam tahap pendekatan maupun tahap kencan, nikmatilah setiap proses, yang bila diarahkan kepada Allah dapat menjadi ujian bagi pembentukan iman, kasih, dan kekudusan sejati sehingga menjadi pasangan yang sepadan, yang saling mengenali kelemahan satu sama lain, saling membangun, dan saling melengkapi untuk menyaksikan bahwa Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5), untuk mengenal dan mengerjakan panggilan Allah, demi kemuliaan Allah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seiman Sih, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…

Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.

“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.

“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”

Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.

Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”

Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.

“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”

Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”

Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”

Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.

***

Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.

Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.

Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.

Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.

“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?

Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”

Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”

Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?

Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.

Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.

“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”

Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?

“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.

Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?

Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?

Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.

Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?

Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?

Tetapi…

Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.

Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?

Apakah iman kami sudah seimbang?

Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?

Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?

Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.

Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.

Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.

Aini menekan tombol kirim.

Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.

Menghidupkan Hidup

Oleh Charisto*

Seseorang dapat dikatakan hidup ketika ia masih bernafas serta jasmani dan rohnya masih menyatu atau dapat dikatakan bernyawa. Tetapi, tidak sedikit orang yang merasa hidupnya seolah sudah seperti zombie—masih bisa bernafas, hanya tak lagi ada gairah hidup karena diselimuti oleh kecemasan, kebingungan, ketakutan yang tak terdefinisikan, lelah atau muak dengan situasi yang ada ataupun karena banyak pikiran. Tentunya tidak ada orang yang menginginkan hidupnya menjadi seperti zombie. Namun, proses kehilangan gairah hidup itu tidak terjadi begitu saja,  melainkan terpupuk secara berkala saat menghadapi situasi-situasi yang pelik… apalagi ditambah dengan urusan dosa.

Apa yang terjadi dalam hidupku juga demikian. Aku harus menerima realita di mana saat ini kondisiku tidak sedang baik-baik saja dan ingin mati rasanya, tapi aku masih hidup jadi seperti zombie. Aku harus menerima kenyataan bahwa studi sarjanaku di jurusan Psikologi tidak selesai, terlilit utang, kesulitan mencari pekerjaan, bingung untuk biaya hidup, didiagnosis mengalami psikotik, dan lagi soal masa depan yang semua terasa kelabu. Ada peristiwa masa lalu seperti trauma dengan orang tua dan broken home, yang sempat teratasi, tetapi sekarang trauma itu memperparah yang terjadi saat ini. Aku tidak tahu lagi rasanya hidup itu seperti apa, ke depan seperti apa, nanti jadi apa. Ada dorongan untuk mengakhiri hidup juga, tetapi aku takut gagal dan nanti malah menyusahkan orang lain. Hari demi hari kulewati dengan rasa cemas. Aku bisa histeris menangis sendiri dan terus dihantui rasa ingin mengakhiri hidupku.

Jika ditanya akar dari permasalahannya apa, aku sendiri sudah bingung menjelaskannya. Aku berusaha untuk mengatasi apa yang kualami dengan konseling di gereja, ikut kelompok tumbuh bersama (KTB) dengan mentor, beribadah, berdoa, dan menghadiri persekutuan rohani, tetapi itu semua rasanya seperti anastesi sesaat. Aku bisa tenang sementara waktu, tetapi kemudian panik dan bingung dengan semua masalah yang ada, lalu rasa ingin mati muncul lagi. Hal-hal tersebut intens terjadi sejak Juni 2023 sampai saat ini. Memang dorongan untuk mati atau mengakhiri hidup bukanlah sesuatu yang dibenarkan firman Tuhan, tetapi rasa itu selalu muncul seperti pergulatan panjang dengan diri sendiri.

Sampai akhir-akhir ini, aku menarik sebuah kesimpulan terkait hidup yang sering diucapkan di kala KTB atau dalam ibadah. “Hidup adalah pilihan. Pilihlah hidup yang memuliakan Tuhan”. Aku mengamini kutipan ini, tetapi aku ingin menambah satu bagian lagi, yaitu kadang pilihan kita salah dan dampaknya di luar kendali kita. Tetapi, kita senantiasa ada dalam kendali Tuhan. 

Seperti apa manifestasi “Tuhan pegang kendali” dalam hidupku, aku sendiri tidak dapat menyelaminya. Rasa ragu sering muncul tetapi tidak bisa menyangkali juga hal baik yang Tuhan kerjakan. Masalah yang kuhadapi bagiku belum ada yang teratasi menurut standarku. Akan tetapi masih ada orang yang kukasihi yang menguatkanku, ada mentor yang membagi firman yang membangun dan teman persekutuan yang membantu memberi insight soal pekerjaan. Bagiku itu semua bentuk pernyataan Tuhan bekerja dan memegang kendali sekalipun aku belum mengalami breakthrough atas peliknya masalah yang kuhadapi dalam hidup. Jadi, memilih hidup yang memuliakan Tuhan bagiku berarti bertarung melawan semua kecemasan yang mendorongku untuk mengakhiri hidup, dan percaya Tuhan sekalipun ragu, sekalipun belum terjadi mukjizat. Aku tidak mau mengatakan hal yang menggebu-gebu seolah yakin penuh, karena apa yang kuhadapi benar-benar sulit dan mungkin orang lain juga mengalami kesulitan yang demikian juga. Di posisi seperti ini yakin penuh itu sulit, tetapi tidak yakin sama sekali akan menambah kacau. Oleh karena itu tetaplah memilih untuk yakin walaupun ada keraguan. Tatkala aku memilih percaya pada Tuhan sekalipun ada keraguan, bagiku adalah langkah iman menuju keyakinan yang penuh.

Hanya Tuhan yang tahu akhir hidup seseorang. Aku sendiri tidak tahu kapan kematianku dan keadaan yang kualami berlalu. Tetapi, pilihan untuk hidup memuliakan Tuhan membuatku memiliki pandangan baru yang menghidupkan hidupku yang selama ini seperti zombie. Aku berusaha mengungkapkan apa yang kualami agar orang bisa menangkap sebuah pesan yang berarti mengenai hidup.

Hidup adalah pilihan untuk memuliakan Tuhan dan itulah satu-satunya cara menghidupkan hidup. Memuliakan Tuhan juga bukan selalu terkait mengalami manifestasi mukjizat atau dengan hal-hal memukau yang mendatangkan pujian, tetapi yakin Tuhan pegang kendali dalam sebuah keraguan itu juga memuliakan Tuhan. Aku teringat firman Tuhan yang biasa disematkan sebagai kutipan ketika kedukaan, yaitu 2 Timotius 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

Aku ingin menyatakan firman itu dengan menghidupkan kembali hidupku, bukan lagi seperti zombie, tetapi memiliki pilihan untuk memuliakan Tuhan yang diaplikasikan dalam tindakan, yakin dalam keraguan, dan bergulat dengan diri sendiri melawan dorongan-dorongan negatif untuk mengakhiri hidup. Aku akan terus mengupayakan segala yang kubisa untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi. 

Kendati aku lemah, aku tahu Tuhan sungguhlah kuat dan Dia telah mengutus Roh Kudus untuk senantiasa hadir bersamaku.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang telah kehilangan gairah dalam hidup, aku mengundangmu untuk bergandengan tangan, untuk kembali percaya pada-Nya karena hanya dalam Allah sajalah ada kehidupan yang sejati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Si Remaja yang Mencari Tuhan: Film “Are You There God? It’s Me, Margaret”

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Are you there God? It’s me, Margaret adalah film Amerika yang dirilis pada 28 April 2023 di bawah rumah produksi Lionsgate Films. Sebenarnya ini adalah film dengan genre komedi-drama, tetapi di dalamnya ada pesan rohani yang dapat kita petik.

Film ini mengisahkan tentang Margaret yang berusia 12 tahun. Dia adalah anak yang ceria dan hidupnya menyenangkan sampai suatu ketika dia harus menghadapi situasi yang mengubah alur hidupnya. Dia ikut orang tuanya pindah ke tempat baru, meninggalkan teman-teman lamanya. Namun, teman-teman barunya membuatnya insecure dan kondisi diperparah dengan perbedaan agama dalam keluarganya. Ibu Margaret dan keluarga besarnya adalah penganut Kristen yang taat, sedangkan ayahnya seorang Yahudi.

Suatu ketika, Pak Benedict, guru Margaret, memberikan tugas penelitian selama setahun buat kelasnya. Benedict mendapati kalau Margaret tidak menyukai hari raya keagamaan. Margaret pun menjelaskan bahwa ayah dan ibunya tidak merayakan hari raya tersebut dan menyerahkan kepada Margaret untuk menentukan identitas keagamaannya sendiri seiring bertambahnya usia.

Menariknya, di tengah situasi yang menurutnya tidak nyaman dan di tengah pertanyaannya terhadap pertemanan, keluarga, dan agama, setiap malam dalam kamarnya Margaret berdoa kepada Tuhan. Ia menyampaikan keluh kesahnya. Awalnya ia tekun berdoa, namun setelah ia mendapati kondisi di sekitarnya tidak sesuai yang ia harapkan dan malah semakin tidak baik, ia mulai meragukan kehadiran Tuhan. Ia merasa doa-doa yang selama ini ia sampaikan tidak didengar dan dijawab oleh Tuhan. Namun, meskipun sempat merasa kecewa dengan Tuhan, ending film ini menunjukkan ternyata Margaret tidak meninggalkan Tuhan. Ketika ia mulai menemukan teman yang tulus dan orang tuanya yang tidak menuntutnya harus memilih mengikuti kepercayaan Kristen atau Yahudi, ia kembali datang kepada Tuhan dalam doa dan mengucapkan terima kasih kepada-Nya.

Film ini memiliki premis yang sederhana, namun di sisi lain isu yang diangkat cukup kompleks. Sepanjang film mungkin kita akan tersenyum melihat sikap Margareth yang lugu, namun pergumulan yang dialami oleh Margareth bukan pergumulan yang sederhana bagi anak-anak seusianya yang bergumul mencari identitas keimanannya.

Di dunia nyata, mungkin ada banyak Margaret yang hidup dalam keluarga berbeda iman. Atau, mungkin keluarganya Kristen, tetapi tetap saja tumbuh keraguan. Kita yang telah melewati fase anak-anak mungkin juga pernah meragukan iman kita, terutama ketika kita sedang mengalami pergumulan yang sepertinya tidak pernah selesai. Kita mungkin pernah merasa Tuhan seakan-akan diam dan tidak peduli dengan masalah kita. Kita mungkin juga bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa kita padahal kita sudah datang dan mengandalkan Tuhan.

Keraguan dan pertanyaan bukanlah hal asing dalam perjalanan kekristenan. Tidak hanya kita yang merasakan hal seperti itu. Ayub, seorang yang dicatat Alkitab sebagai sosok paling saleh pun pernah mengalami perasaan yang sama seperti kita. Ayub memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan, tetapi dia juga mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seluruh kekayaannya ludes dalam sekejap, anak-anaknya mati, dan tubuhnya pun didera penyakit mengerikan. Dalam kondisinya itu Ayub pun bertanya-tanya, namun pada akhirnya Ayub tetap percaya kepada Tuhan (Ayub 42:1-6). 

Ayub telah merasakan kasih setia Tuhan karena ia membangun relasi akrab dengan-Nya. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (ayat 5). Ayat ini menyiratkan betapa Ayub memiliki pengalaman personal yang autentik dengan Allah, sehingga sekalipun ia merasa sedih dan kecewa dengan keadaannya tapi ia tidak putus asa dan tetap percaya kepada Tuhan. Ayub sungguh mengenal dan merasakan kasih Allah. Apa yang Ayub teladankan bukanlah tindakan yang usang untuk kita lakukan di zaman ini. Formulanya tetap sama: relasi yang erat dengan Tuhan bukan berarti kita tidak akan mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Karena kasih Allah yang begitu besar, kita mampu tetap percaya bahwa Ia mengasihi dan tidak meninggalkan kita.

Film Are you there God? It’s me, Margaret mengingatkanku kepada masa-masa ketika aku seusia Margaret. Ketika usiaku 12-14 tahun aku juga pernah mempertanyakan identitas diriku. Aku merasa insecure dengan teman-temanku, dan juga mempertanyakan imanku seperti mengapa aku harus percaya kepada Kristus. Aku pernah tidak ingin mendengarkan firman Tuhan lagi karena aku merasa ada hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Namun, aku bersyukur Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaanku sekalipun perasaan dan pemikiran itu terus menerus hadir. Tuhan menjawabnya melalui keluargaku, hamba Tuhan, terkadang melalui orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu dekat denganku, dan terutama melalui firman Tuhan yang (ketika itu mau tidak mau) aku baca dan dengar setiap Minggu. Ketika aku memutuskan untuk mau hidup taat dan dekat dengan Tuhan, aku mendapati bahwa Tuhan selama ini tidak jauh dariku sekalipun aku tidak segera menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Ketika aku dekat dengan Tuhan, aku merasakan sukacita dan damai sejahtera. Meskipun hingga kini aku masih mengalami pergumulan, aku tetap percaya kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkanku.

Teman-teman, marilah kita terus bangun hubungan yang dekat dengan Tuhan dan rasakan kasih Tuhan yang Ia berikan kepada kita semua. Tuhan tidak meninggalkan kita meskipun seringkali kita mengecewakan-Nya, mari kita juga tetap percaya kepada Tuhan sekalipun masalah kehidupan seakan-akan tidak hilang. Percayalah kasih Tuhan jauh lebih besar melampaui setiap masalah dalam hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cek Ulang: Di Mana Peran Tuhan dalam Resolusimu?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT 

Hey pembaca setia WarungSaTeKaMu! Selamat tahun baru semuanya! Tidak terasa setahun berlalu begitu cepat dan kita sudah memasuki tahun yang baru lagi. Pastinya, kita memiliki harapan baru untuk kita wujudkan dalam tahun ini, atau biasa kita sebut “resolusi”.

Ngomongin soal resolusi dan harapan, ada yang menuliskannya, ada yang tidak; ada yang mempublikasikannya, diceritakan, tapi ada juga yang tidak. Namun, aku yakin jauh di dalam lubuk hati masing-masing, kita semua berharap hal-hal baiklah yang akan terjadi sepanjang setahun ke depan.

Untuk Dia, dan bersama Dia

Tahun lalu banyak gagalnya deh…

Ini harapan tahun lalu, masukin lagi deh di tahun ini…

Ada banyak banget suara dalam pikiranku. Ketika aku membuat resolusi, aku bertanya-tanya: bagaimana selama ini aku memandang Tuhan? Apakah Tuhan ikut hadir di sana? Apakah aku berjalan bersama-Nya, atau hanya mengharap Dia mengabulkan keperluan dan keinginanku?

Jujur, saat menulis ini, aku sendiri sedang mempertanyakan semua hal di atas kepada diriku sendiri sambil kucoba menjawabnya dengan terus terang.

Tahun 2023 lalu terkadang hubunganku dengan Tuhan sepertinya terasa transaksional. Aku menjadikan Tuhan seakan-akan sebagai menteri kesehatan, keuangan, dan pertahananku. Aku berelasi dengan-Nya, menjadikan persekutuanku sebagai cara ‘memaksa’-Nya untuk ikut apa mauku… dan kulupakan apa yang jadi kerinduan-Nya buatku.

Disiplin rohani yang kulakukan pelan-pelan menjadi kendor karena alasan yang kubuat sendiri. Di tengah kesibukan, kupakai waktu bermain hp terlalu lama hingga larut malam. Karena mengantuk, saat teduh pun “besok saja deh.” Ini hanyalah salah satu contoh ketidaktaatan yang seringkali menutup pintu-pintu berkat, yang membuatku gagal dalam merealisasikan setiap harapan yang seharusnya bisa kuraih. Kok bisa begitu? Sederhananya, ketidaktaatan membuat kita tidak lagi fokus kepada tujuan awal. Keberadaan Tuhan pun kita jadikan samar dalam proses hidup kita, sampai akhirnya kita hilangkan peran-Nya. Kadang juga saat hidup kita baik-baik saja, kita mulai membangun kerajaan kita sendiri. Kita ambil alih peran Tuhan sehingga hasilnya pun berantakan.

Kalau teman-teman pernah membaca artikel berjudul “Tuhan Utus, Tuhan Urus“, itu adalah artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu. Kala itu aku baru dua minggu tinggal di desa terpencil di provinsi NTT sebagai guru pedalaman. Aku begitu bersemangat, dan kini sudah dua tahun aku menjalani panggilanku. Sebagai kesaksianku, sekalipun aku tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupku, tapi ada masa-masa di mana aku merasa sangat menderita—ingin pulang, bahkan berkali-kali aku menanyakan apakah memang di sini panggilanku, dan wadahnya melalui pekerjaanku saat ini sudah tepat? Kondisi di pedalaman yang tidak seperti diharapkan membuatku memikirkan keraguan ini. Entah karena lingkungannya, anak-anak yang kulayani, atau rekan kerja yang kadang sangat menjengkelkan.

Sampai akhirnya aku sadar satu hal… Hanya ketika kita taat dan fokus pada Tuhan, kita akan menemukan damai sejahtera. Damai yang tidak bisa ditemukan di dunia ini, hanya ada di dalam Dia. Damai yang bukan tergantung kondisi, tapi bagaimana kita tetap beriman kepada-Nya yang membuat kita memperoleh sukacita itu.

“Kalau kita tahu kita menderita karena kebenaran, tidak apa-apa. Jangan sampai sudah menderita, tapi tidak di dalam Tuhan pula.”

Kutemukan kalimat ini yang pesannya benar-benar menamparku. Betapa pentingnya hubungan di dalam Tuhan itu. Hubungan menentukan pengenalan, dan pengenalan kepada Kristus menentukan kenyamanan menjalani hidup serta pola pikir yang berubah.

Teman-teman, tahun ini mungkin banyak sekali resolusi yang sudah kita buat. Sekalipun demikian, kita tetap saja tidak tahu apakah akan lebih banyak berkat daripada cobaan; sukacita daripada dukacita; tawa daripada tangis; pertemuan daripada perpisahan; mendapat daripada melepaskan, dan begitu banyak hal lainnya.

Satu hal yang pasti, Dia, Kristus tidak akan meninggalkan kita berjalan sendirian. Bisakah Tuhan memberikan yang baik saja? Sebenarnya bisa saja, tapi hal itu tidak akan pernah membuat kita belajar dan naik kelas. Maka, Dia akan selalu izinkan banyak hal yang tidak enak agar kita terus bergantung kepada-Nya, melihat kuasa-Nya, dan semakin menyatakan kemuliaan-Nya.

Jadi, yuk, kita cek ulang di mana kita meletakkan peran Tuhan? Sebaik apapun resolusi tanpa Dia, semua hanya akan jadi kesia-siaan.

Semoga bukan hanya tahun yang baru ya, tapi kita juga harus turut ikut baru. Percuma tahun baru kalau diri kita masih terus hidup dalam manusia lama kita. Hehehehe😊

Selamat menjalani hidup kita bersama Tuhan, setiap hari.

“Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih.” (2 Yohanes 1:3).

Gently Reminder Buat Kamu Hari Ini

Untuk mengawali tahun yang baru ini, kiranya firman Tuhan berikut dapat menjadi harapan dan semangat baru untuk kita semua. Amin. 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik (Secara Manusia) Tidak Terjadi

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Sedari bayi, aku telah bolak-balik menemui dokter dan mengunjungi rumah sakit untuk urusan kesehatan. Memang kondisi kesehatanku tak sebaik orang pada umumnya. Aku didiagnosa pneumonia dan asma… dan nyaris mati karena sudah membiru pada usia tiga bulan. Larut malam menjelang subuh, aku dibawa ke klinik mandiri dokter anak dan segera dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang ICU khusus anak.

Seperti yang diketahui, penyakit paru-paru yang diderita tidak dapat sembuh, hanya dapat dikontrol, dan segera harus ditangani jika batuk pilek, karena dapat berakibat fatal. Dari saat itu, aku sering bolak-balik dokter. Rumah sakit, ICU, ruang isolasi, sampai ruang rawat inap seolah menjadi rumah keduaku. Dokterku sebagai orang tua kedua, dan para perawat menjadi teman untuk ngobrol.

Menjelang akhir tahun 2019, aku didiagnosa diabetes oleh dokter penyakit dalamku. Memasuki tahun 2020, seperti yang diketahui, COVID-19 melanda seluruh dunia. Semenjak tahun 2020 sampai menjelang akhir 2023 aku tiga kali kena COVID-19 dan sempat kritis, didiagnosa gangguan irama jantung, dan asma serta pneumonia. Di samping itu, aku sempat kecelakaan motor dan adanya lateral meniscus tear yang sedang dalam tahap evaluasi dan menuju tahap bedah. Sederhananya, aku mengalami cedera pada tulang rawan lutut yang berupa luka atau robek pada area tersebut. Akibatnya, aku kesakitan dan kesulitan bergerak karena lututku bengkak dan kaku.

Omongan sekitar termasuk orang terdekat kerap kali mengatakan kalau kamu beriman pada Tuhan dan memiliki iman biji sesawi, kamu harus beriman bahwa kamu akan dilepaskan dari bedah dan semua diagnosa dokter yang telah berjalan sedari kamu kecil. Kamu tidak perlu rutin berobat ke dokter, kamu tidak perlu minum obat rutin, bahkan kamu tidak perlu bedah atas kecelakaan motor yang dialami. Sudah cukup banyak kesaksian dari orang-orang yang beriman dan mereka sembuh. Jadi kamu tidak perlu lagi berurusan dengan dokter, rumah sakit, obat, dan sederet hal lainnya yang menyangkut dengan medis.

Sebagai manusia, aku cukup down mendengar omongan orang yang masuk. Meskipun aku bisa saja tidak perlu mendengar omongan itu, tetapi omongan itu cukup mendominasi apa yang aku dengar, sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Meskipun aku tidak meminta pendapat mereka, justru mereka datang padaku dan memberi masukkan tentang iman menurut pandangan mereka. Sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Sampai pada satu titik, aku mempertanyakan kembali apa itu iman? Apa itu iman? Apakah iman itu meminta Tuhan menjawab keinginan sekaligus kebutuhan manusia? Bukankan iman itu kita sebagai manusia yang harus menyelaraskan keinginan dan mengikuti kehendak agung Tuhan?

Sulit bagiku untuk menemui rekan bertukar pikiran untuk topik mendasar yang filosofis seperti penderitaan, penyakit, dan iman. Aku meminta arahan Tuhan untuk menunjukkan pada siapa aku harus bertemu dan kapan harus menemuinya. Akhirnya aku menemui dosen konseling dan dosen Bahasa Ibrani di tempatku menempuh sekolah Alkitab. Pembahasan cukup panjang dengan sekian kali pertemuan dengan kedua dosenku.

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik Tidak Terjadi

Tanpa janjian, kedua dosenku kembali bertanya padaku, coba sebutkan satu tokoh saja di Alkitab yang hidupnya baik-baik saja dan tidak pernah mengalami pencobaan? Aku terdiam, karena memang tidak ada satu tokoh dalam Alkitab yang hidupnya mulus dan tidak mengalami proses sepanjang hidupnya. Bahkan sebagian lagi prosesnya tidak ada ujungnya sampai yang bersangkutan pun mati. Ditambah dengan banyak kisah pribadi dari kedua dosenku yang diceritakan saat mengalami masa sulit dan proses dari Tuhan, dan sebagian memang tidak terjawab mengapa hal itu terjadi. Kesaksian-kesaksian yang penuh misteri itu menjadi sumber kekuatan bagi aku karena bukan aku satu-satunya yang mengalami ini.

Lalu, apakah iman itu? Iman yang benar adalah iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu (harapan, hal baik, doa) tidak terjadi, aku akan tetap maju dan berada di jalan Tuhan serta di panggilan Tuhan. Aku tidak akan mengumpat pada Tuhan. Dijawab atau tidak itu hak prerogatif Tuhan dan bukan milik kita sebagai manusia ciptaan.

Alkitab menulis tentang iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu terjadi dan kita sebagai umatnya untuk tetap bertahan dan maju.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3: 17-18).

Habakuk mengetahui bahwa keagungan dan kekuasaan Tuhan ini tidak berkurang karena manusia menghadapi cobaan yang sulit. Habakuk mengetahui bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kuat dan perkasa, dan jika kita berada dalam keadaan yang menyedihkan, itu karena kita pantas mendapatkannya.

Aku akan tetap memuji Engkau, dan bahkan bergembira karena Engkau.

Bersukacitalah karena TUHAN. Bersukacitalah karena Allah yang menyelamatkanku.

Dalam keadaan yang sunyi seperti yang baru saja digambarkannya, Habakuk tidak dapat menemukan kegembiraan pada pohon ara, pada tanaman merambat, atau pada ladang atau kawanan domba; namun Tuhan tidak berubah. Dia masih bisa bergembira karena TUHAN tidak berubah.

Habakuk tidak hanya mempraktikkan pemikiran positif dan menolak gagasan tentang pohon ara yang tandus dan kandang ternak yang kosong. Sebaliknya, dia melihat masalah-masalah tersebut sebagaimana adanya dan ingat bahwa Tuhan lebih besar dari semuanya.

Secara sempit dan dalam masa kini, doa Habakuk dapat diambil maknanya bagi kita semua. Pertama, dalam masa kesulitan. Saat seseorang mengalami masa-masa sulit dalam hidup, seperti kehilangan pekerjaan atau penyakit serius, sebagai pengingat untuk tetap mempercayai Tuhan dan menjaga semangat. Mereka bisa berkata, “Walaupun segala sesuatu tampak suram dan penuh penderitaan, aku akan bersukacita dalam Tuhan, karena Dia adalah kekuatanku.” Kedua, dalam proses pembelajaran. Ayat-ayat ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajar orang percaya tentang pentingnya bersyukur dalam segala situasi. Mereka dapat diajarkan untuk melihat berkat-berkat kecil dalam kehidupan mereka dan tetap bersyukur kepada Tuhan, bahkan ketika mereka menghadapi rintangan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥