Posts

Aku, si Keong di Antara Macan

Minder, gak percaya diri… Mungkin kita pernah mengalaminya.

Melihat teman yang sudah mapan dalam banyak hal dan melihat diri sendiri yang rasanya “gitu-gitu aja”, seolah benar adanya kalau aku si keong di antara macan: aku berjalan lambat, sedangkan teman-temanku melaju cepat.

Sobat Muda, perjalanan hidup kita dengan orang lain pasti berbeda. Karena itu, hidup bukanlah tentang siapa yang paling cepat, melainkan suatu proses untuk kita belajar banyak hal dan menjalani hidup yang sesungguh-Nya di dalam Dia.

Jadi, jangan patah semangat yaa. Teruslah berproses. Tuhan melihat upayamu dan senantiasa menyertaimu 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Just Be Yourself! Apakah Harus Selalu Begitu?

Oleh Yulinar Br. Bangun, Tangerang

Dalam sebuah kesempatan makan malam di luar bersama teman, aku tidak sengaja mendengar percakapan beberapa orang yang juga sedang makan di sebelah meja kami. Percakapan mereka seperti pembicaraan wanita pada umumnya yang saling curhat. Aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka sampai aku mendengar sebuah statement dari salah satu di antara mereka yang kurang lebih seperti ini “just be yourself, hidup kita terlalu berharga untuk menghiraukan komentar orang lain. Nobody perfect, jadi anggap saja itu bagian dari kelemahanmu.” Just be yourself, kalimat ini menjadi pertanyaan untukku dalam beberapa hari ini. Kalimat tersebut mungkin sering di dengungkan oleh seorang sahabat untuk menghibur sahabatnya. Apa sebenarnya makna dari kalimat tersebut? Ketika aku melihat ke dalam diriku, aku menyadari bahwa aku adalah seorang yang cuek, emosi meluap-luap, perfeksionis dan masih banyak kelemahan yang lain. Lantas, apakah aku cukup dengan menjadi pribadi yang demikian?

Sebagai ciptaan Tuhan, memang benar bahwa setiap manusia adalah unik dengan kepribadiannya masing-masing. Namun, bukan berarti kita harus berpuas diri dengan kepribadian yang melekat dalam diri kita. Aku percaya bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang indah, namun juga telah rusak oleh karena dosa. Dosa itu yang membuat manusia memiliki kepribadian buruk dalam dirinya. Manusia memang tidak sempurna, tapi kita diminta untuk mengejar kesempurnaan itu hari demi hari. Dalam proses mengejar tersebut tentunya terdapat perubahan. Memang benar bahwa mengerti konsep ini tidak membuat prosesnya mulus tanpa hambatan. Setiap orang mungkin juga bergumul dengan hal ini. Perubahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, kita membutuhkan komunitas yang mendukung dalam pertumbuhan kita menuju kesempurnaan tersebut.

Seorang pendeta pernah berkata dalam khotbahnya bahwa kita harus mengerjakan segala sesuatu dengan kapasitas terbaik yang kita punya, karena semakin baik kualitas diri kita semakin banyak orang yang akan terberkati. Kuncinya adalah melakukan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan kita. Bukan karena ambisi, tapi untuk menjadi berkat.

Kita memang tidak mungkin bisa menjadi sempurna, karena hanya Dia pribadi yang sempurna. Namun, kita juga tidak bisa membela diri dengan berkata “just be yourself” yang kemudian berujung menoleransi diri. Lantas apakah jargon ini salah untuk diucapkan? Tentu tidak, saat ini aku hanya ingin kita melihat dari sudut yang benar. Konsep menjadi diri sendiri sebenarnya adalah konsep yang Alkitabiah. Kita tahu bahwa setiap manusia terlahir unik dengan ciri khas dan talenta masing-masing. Tuhan menciptakan kita sebagai orang yang super limited edition, hanya satu yang seperti kita di seluruh permukaan bumi. Karena itu, adalah salah jika kita mengacaukan kehendak Allah dengan berusaha menjadi seperti orang lain.

Hal yang perlu kita lakukan adalah menjalani kehidupan sesuai dengan alur cerita yang telah dirancang Tuhan dengan upaya terbaik yang kita punya dan penuh pertanggungjawaban atas setiap karunia unik yang Ia percayakan. Apakah dengan sikap cuek aku telah melakukan upaya terbaik dalam relasiku? Apakah dengan emosi yang meluap-luap aku telah melakukan yang terbaik dalam menghargai orang-orang di sekitarku? Jawabannya tentu tidak. Oleh karena itu, daripada “just be yourself” aku lebih menyukai “please improve yourself.” Kenali diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, melalui itu temukan cara terbaik untuk mengalami pertumbuhan yang semakin menyerupai Dia.

Kolose 3:23, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Baca Juga:

Jatuh Bangun Mencari Pekerjaan, Ada Rencana Tuhan Di Balik Setiap Kegagalan

Aku pernah gagal dalam upayaku mencari pekerjaan. Tetapi, pada akhirnya Tuhan menganugerahiku buah yang manis, dan aku pun berkomitmen untuk bekerja dengan baik dan disiplin.

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If God Made Me Pretty?

Tubuhku pendek, gemuk, dan penampilanku terlihat biasa-biasa saja. Ketika aku tumbuh besar, orang-orang suka mengomentari hidungku yang pesek. Seorang temanku bahkan berkata kalau hidungku itu seperti habis ditabrak oleh sesuatu.

Waktu masih kecil, aku mengenal boneka Barbie; boneka-boneka itu terlihat cantik, tinggi, dan langsing. Aktris utama di sinema televisi favoritku penampilannya mirip seperti boneka Barbie, dan aku berharap supaya bisa terlihat seperti mereka. Meskipun aku tahu bahwa lebih penting menjadi sehat daripada cantik, sulit buatku untuk menerima diriku sendiri yang tampilannya biasa-biasa saja dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain di sekelilingku.

Saat usiaku sekitar 18 tahun, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku. Dari yang semula mengenakan kaos dan celana jeans, aku mulai berpakaian lebih keren, memakai aksesoris, topi, dan jaket. Aku juga mulai berdandan setiap kali aku pergi keluar. Namun, dandananku hanya dapat menutupi kekuranganku, bukan mengubahnya. Aku tidak dapat mengubah tinggi badanku. Dan, tak peduli latihan dan keringat yang tercucur, aku tidak dapat mengubah bentuk tubuhku; yang kuinginkan hanyalah tampak lebih langsing. Aku ingin menjadi cantik dan populer, seperti para model dan aktris yang aku kagumi.

Saat usiaku menginjak 20-an, aku menemui seorang dokter kecantikan untuk membicarakan tentang langkah-langkah apa yang mungkin dilakukan untuk membuat wajahku lebih cantik. Tapi, setelah menimbang-nimbang risiko dan suntik botoks yang kuperlukan, aku mengurungkan ide ini. Selain ingin mengubah penampilan wajahku, aku juga ingin mengubah bentuk tubuhku, tapi dokter tidak bisa menganjurkan cara-cara yang nyaman buatku. Prosedur meninggikan badan sangat berisiko karena perlu melakukan operasi kaki, dan keberhasilannya pun tidak dijamin. Setelah menimbang risiko, biaya, dan hasil yang tidak terjamin, tidak butuh waktu lama buatku untuk membuang ide ini.

Di atas keinginan bahwa aku ingin terlihat lebih menarik, diam-diam aku ingin punya pacar. Banyak perempuan di sekolah yang punya pacar, dan kupikir aku tidak punya pacar karena wajahku yang tidak cantik. Aku juga pemalu dan menganggap kalau perempuan cantik pasti percaya diri, mudah bersosialisasi, dan populer karena penampilan mereka. Aku iri kepada mereka. Aku membenci Tuhan dan merasa Dia tidak adil. Dia menciptakan banyak perempuan cantik, tapi bukan aku. Aku tidak suka teman-temanku yang cantik. Aku tidak suka berbaur dengan mereka karena di sanalah aku merasa jelek dan tidak nyaman. Jadi, aku cenderung berusaha untuk mengabaikan mereka.

Aku tidak dapat mengerti ayat dari Mazmur 139:14 yang berkata “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” Aku merasa ayat itu tidak berlaku buatku. Aku kecewa dan berkata pada Tuhan, “Engkau pasti bercanda. Kalau Engkau menciptakanku dahsyat dan ajaib, tentu aku jadi perempuan muda yang cantik.”

Hingga suatu ketika, aku menemukan ayat dari Amsal 31:30 saat aku bersaat teduh, dan melalui ayat ini aku sadar kalau Tuhan sedang berbicara denganku. Ayat itu berkata, “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.” Ayat lain yang menyentakku adalah 1 Petrus 3:3, “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah.”

Tuhan tidak mencari orang yang menawan atau cantik, melainkan yang takut akan Dia. Tuhan tidak melihat penampilan luar, tapi hati kita. Ayat-ayat ini menguatkanku dan membuatku sadar betapa dangkalnya pemikiranku. Aku hanya berfokus pada kecantikan yang fana daripada Dia. Tuhan tidak pernah menghukumku; akulah yang menghukum diriku sendiri karena merasa jelek. Kenyataannya, Tuhan memuji perempuan yang takut akan Dia. Jadi, kalau aku ingin dipuji oleh-Nya, aku harus takut akan Dia. Aku harus memuliakan Dia dengan menjadikan Dia yang pertama dan utama dalam hidupku.

Sekalipun aku masih belum tahu mengapa Tuhan menciptakan beberapa perempuan tampak cantik dan yang lain tidak, aku tahu bahwa aku bisa berlari kepada-Nya dengan membawa segala perasaanku. Firman-Nya berbicara kebenaran untuk memuaskan kehampaan dalam diri kita. Alkitab berkata dalam Yesaya 55:9 bahwa jalan dan rancangan Tuhan lebih tinggi daripada jalan dan rancanganku. Sungguh, aku bisa mempercayai Allah bahwa Dia membuatku dahsyat dan ajaib dalam cara-Nya, seperti yang tertulis dalam Mazmur 139:14. Tuhan menciptakan kita seturut rencana-Nya supaya kita dapat memenuhi tujuan dan panggilan yang diberikan-Nya secara unik kepada masing-masing kita.

Seiring aku bertumbuh dalam pengetahuan tentang-Nya, aku merasa terpanggil untuk melayani-Nya melalui tulisan. Aku merasakan kebenaran Allah meresap dalam setiap area kehidupanku dan berbicara kepadaku. Aku juga mendapatkan wawasan baru ketika aku membaca tulisan-tulisan dari rekan-rekan Kristen yang membagikan cerita tentang bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan mereka. Semuanya itu menguatkanku. Dan, aku terinspirasi untuk berbuat yang sama, membagikan pengalaman dan ceritaku supaya orang lain dapat ikut dikuatkan di saat mereka membutuhkan. Untuk menulis aku tidak perlu tampil cantik. Yang aku perlukan adalah hati yang murni, yang merindukan Allah di atas segalanya, dan menjadikan-Nya satu-satunya keinginanku.

Ketika aku melihat ke belakang, jika seandainya aku cantik, aku mungkin bisa menggapai impianku menjadi seorang model. Pekerjaan itu mungkin tidak mengizinkanku berpakaian sederhana, dan mungkin juga aku jadi terlalu berbangga diri atas tubuhku. Aku mungkin tidak memperlakukan tubuhku dengan hormat atau mengingat bahwa tubuhku adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19). Tuhan menciptakanku seperti ini supaya aku bisa fokus kepada-Nya dan mengemban panggilan-Nya dalam hidupku.

Sekarang, meskipun aku masih tergoda untuk mengharapkan kecantikan fisik setiap kali aku melihat seseorang yang tampak cantik, aku mengingatkan diriku bahwa apa yang dunia anggap cantik bukanlah apa yang Tuhan katakan. Aku mengerti sepenuhnya bahwa tidak perlu menjadi cantik dulu untuk bisa percaya diri. Kepercayaan diriku ada pada Allah yang memuji orang-orang yang takut akan Dia dan berbicara pada kita dalam masing-masing panggilan hidup kita. Sekarang aku mengerti apa yang Mazmur 139:14 maksudkan, bahwa aku diciptakan dengan dahsyat dan ajaib. Dia meyakinkanku bahwa aku dicipta oleh-Nya dan identitasku yang sejati ada di dalam Dia.

Baca Juga:

Ketika Orangtuaku Melarangku untuk Ikut Kelompok Pendalaman Alkitab

Aku bersemangat mengikuti kelompok Pendalaman Alkitab (PA) bersama rekan-rekan sekampusku. Tapi, setelah beberapa kali ikut PA, orangtuaku melarangku dengan alasan khawatir. Aku sedih, kecewa, dan bergumul dengan keputusan orangtuaku tersebut.

Ketika Orang Menjulukiku Gendut

Oleh: Chrisanty L, Indonesia
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When Others Called Me Fat)

ketika-aku-dijuluki-gendut

Saat aku kuliah di China dan melihat-lihat pakaian di toko-toko sekitar kampus, kerap aku tidak dihiraukan para penjaga toko. Bila melayani, biasanya mereka akan berkata, “Maaf, kami hanya punya ukuran kecil.”

Kebanyakan dari 15.000 mahasiswa di kampusku memang bertubuh kecil. Para pendatang yang posturnya lebih tinggi dan besar biasanya akan tampak menonjol. Aku sendiri adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa, namun posturku lebih besar dari rata-rata mahasiswi Tionghoa. Sebab itu, lambat laun aku mulai takut untuk memasuki toko-toko di sekitar kampus. Aku merasa orang memperhatikan dan memberi penilaian minus terhadap penampilanku.

Aku selalu merasa tidak nyaman dengan posturku yang besar dan bahuku yang lebar. Mungkin perasaan itu muncul karena aku selalu merasa orang melihat dan menilaiku sebagai “cewek gendut”. Aku sangat tidak suka bila ada orang yang meraih lenganku dan mulai memberi komentar tentang betapa besarnya lenganku itu. Aku juga kesal setiap kali teman atau anggota keluargaku bercanda tentang berat badanku, menasihatiku untuk mulai diet, atau membanding-bandingkan aku dengan gadis-gadis lain seusiaku. Parahnya lagi, setiap kali aku berusaha menguruskan badan, biasanya aku akan jatuh sakit. Dan, orang tetap saja menjulukiku “gendut”.

Pada akhirnya, menjadi “gendut” membuat aku membenci diriku sendiri. Makin lama, makin tertanam di benakku bahwa aku memang gendut dan jelek, dan hal itu tidak akan pernah berubah.

Aku mulai menjadi orang yang sangat sensitif. Sangat mudah aku tersinggung oleh kata-kata orang lain, bahkan saat mereka sebenarnya berniat baik dan komentar mereka tidak berkaitan dengan postur tubuhku. Aku merasa semua orang mengejekku. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku tidak suka berkenalan dengan orang baru dan kehilangan rasa percaya diri. Aku tidak ingin berteman dengan orang lain atau melakukan apapun. Aku jengkel kepada orang-orang di sekitarku. Ketika kita tidak menyukai diri sendiri, hampir mustahil kita bisa bersikap baik dan murah hati kepada orang lain, karena kita sendiri tidak punya pikiran dan sikap yang positif untuk dibagikan.

Pemikiranku mulai berubah ketika kemudian aku bertemu dengan seorang mahasiswi lain di China. Ia juga kesulitan menemukan pakaian yang pas dengan ukuran tubuhnya di toko-toko sekitar kampus. Ia juga menghadapi orang-orang yang menganggapnya gendut. Tetapi, bukan kesamaan itu yang mengesankan aku. Mahasiswi tersebut datang ke China penuh kerinduan melayani Tuhan melalui panti-panti asuhan. Ia bertekad untuk membagikan kasih yang telah ia terima kepada anak-anak yang sangat sedikit merasakan kasih sayang. Selepas pembicaraan kami pada suatu sore, aku sempat berpikir: “Tuhan pasti melihatnya sebagai seorang yang cantik dan menyayanginya, meskipun orang lain atau bahkan ia sendiri tidak melihat dirinya demikian.”

Aku pun mulai memikirkan situasiku sendiri. Bagaimana Tuhan melihatku? Bagaimana Sang Pencipta melihat ciptaan-Nya?

1 Samuel 16:7 berkata, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Selama ini aku tidak bisa menerima diriku sendiri. Aku hanya bisa melihat diriku sebagai seorang yang gendut. Aku lupa bahwa yang dilihat Tuhan, Sang Pencipta, melampaui penampilanku di depan orang lain. Tuhan melihat hati dan hidup kita. Dia melihat bahwa semua ciptaan-Nya itu baik. Kebenaran ini mengubahkan hidupku.

Ketika kita mulai memikirkan betapa besar Tuhan kita dan betapa luar biasa kasih-Nya, kita akan mulai mengobarkan kembali kasih kita kepada diri sendiri, orang lain, bahkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita. Harus kuakui prosesnya tidak mudah, apalagi karena aku sendiri telah banyak mendengar dan percaya dengan komentar-komentar orang lain tentang tubuhku. Aku mengawali perubahan sikapku dengan bersyukur atas tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadaku, lalu menjaganya agar selalu sehat. Aku tidak lagi terobsesi dengan bentuk dan ukuran tubuh yang menurut orang baik untukku.

Kupikir wajar saja jika kadang-kadang kita merasa tidak percaya diri dengan penampilan kita—namun jangan biarkan perasaan itu merusak hidupmu. Ada Bapa di surga yang tidak menilaimu berdasarkan penampilan belaka, dan yang mengasihimu bagaimanapun keadaanmu. Aku juga menyadari bahwa sekalipun sebagai manusia kita selalu mendambakan penampilan yang baik, tak seharusnya pengejaran itu menghalangi kita untuk membangun persahabatan dan mengerjakan hal-hal yang memuliakan Tuhan.