Posts

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Oleh Yuliana Martha Tresia, Depok

Masih jelas tergambar dalam pikiranku kondisi pemukiman di kolong jembatan di daerah Ancol, Jakarta Utara yang kukunjungi sebulan lalu. Mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Rumah-rumah mereka didirikan seadanya, bukan tergolong rumah yang sehat. Anak-anak berkerumun dan mengenakan pakaian yang lusuh berdebu. Apakah mereka sekolah? Kebanyakan tidak. Apakah mereka mendapatkan akses kesehatan? Tidak juga.

Itulah sedikit gambaran dari kemiskinan, suatu fenomena yang mengakar dan menyebar tak hanya di Jakarta, tetapi juga di wilayah lain Indonesia, bahkan juga di dunia. Kemiskinan adalah masalah yang pelik, dan mungkin juga membuat kita bertanya-tanya: apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya dan menolong mereka yang kurang beruntung?

Pertanyaan seperti ini pernah membuatku bingung. Buatku, kemiskinan adalah sebuah realita yang terlalu besar—too cruel to be complicated. Sejak aku masih duduk di bangku SMA, hatiku selalu tergerak ketika bersentuhan dengan realita kemiskinan. Aku merasa gelisah jika melihat anak-anak mengemis di lampu merah ataupun kalau aku menonton tayangan reality show di TV yang menyoroti kemiskinan. Namun, waktu itu aku tidak tahu langkah nyata apakah yang sejatinya bisa kuperbuat sebagai kontribusiku untuk mengentaskan kemiskinan tersebut.

Sewaktu duduk di SMA dulu, aku mengagumi Bunda Teresa, seorang biarawati yang mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin. Teladan yang diberikan oleh Bunda Teresa membuatku semakin terpanggil untuk melayani mereka yang paling miskin di antara orang-orang miskin. Mengikuti panggilan ini, aku pun bergumul untuk belajar mengenai kemiskinan lebih banyak melalui Ilmu Sosiologi. Dalam rencana-Nya, Tuhan ternyata membukakan jalan dengan kelulusanku di jurusan Sosiologi.

Selama tiga setengah tahun belajar Sosiologi, aku menyadari bahwa jurusan ini memberiku pemahaman tentang kemiskinan dari sudut pandang yang amat kaya, yaitu kemiskinan dari sisi makro dan mikro. Melalui ambil bagian sebagai relawan dalam berbagai acara kemanusiaan, aku memahami bahwa ternyata kemiskinan bukan melulu soal ekonomi, tapi juga ada faktor pendidikan, lingkungan, kesehatan, gender, dan sebagainya.

Setelah lulus kuliah, aku pun bekerja di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pelayanan terhadap kaum miskin. Sehari-harinya, aku bertanggung jawab untuk mempublikasikan konten-konten terkait pelayanan sosial-kemanusiaan yang kami lakukan. Tapi, dalam beberapa kesempatan aku pun diterjunkan ke lapangan untuk melayani orang-orang miskin secara langsung.

Sejak masa SMA hingga hari ini, aku rasa aku telah melakukan banyak hal sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Aku mengikuti berbagai kegiatan kemanusiaan, berdonasi, sampai bekerja di yayasan yang melayani orang-orang miskin. Namun, dalam hati aku sempat merasa bahwa aku belum berdampak apa-apa bagi masalah kemiskinan di Indonesia. Aku pernah membandingkan diriku dengan teman-teman lain yang kupikir karyanya jauh lebih banyak dan baik daripada aku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa benar masyarakat pra-sejahtera yang kutolong selama ini juga memang merasa tertolong? Aku merasa pertolongan yang kuberikan itu begitu terbatas, minimal, dan hanya sementara. Aku tetap merasa bahwa kemiskinan ini terlalu sulit untuk diatasi.

Namun, dalam perenunganku, aku mendapati bahwa Tuhan menegurku: mengapa harus mendambakan hal-hal besar dan tidak bersyukur untuk hal-hal kecil yang sudah kulakukan? Aku sadar bahwa pikiranku berpikir terlalu jauh hingga aku lupa bahwa setiap orang memiliki bagiannya masing-masing. Ada yang Tuhan percayakan hal-hal besar, tapi ada pula yang dipercayakan hal-hal kecil.

Pikiranku yang terlalu berfokus pada dampak membuatku melupakan satu hal yang amat penting. Paulus menuliskan demikian:

“If I give all I possess to the poor and give over my body to hardship that I may boast, but do not have love, I gain nothing” (1 Corinthians 13:3 NIV).

Atau dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia tertulis:

“Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1 Korintus 13:3).

Perkataan Rasul Paulus di atas kembali menegurku. Yang terpenting dalam pelayanan kepada orang-orang miskin bukanlah tentang seberapa besar karya yang sudah kita perbuat, melainkan lebih kepada sikap hati kita: adakah kasih yang mendalam yang terus dipertahankan untuk mereka yang tidak berpunya di sana?

Hari itu aku menyadari bahwa satu hal sederhana yang bisa aku dan kita semua lakukan untuk menghadapi peliknya masalah kemiskinan adalah dengan mengasihi. Kita bisa mulai mengasihi mereka dan kemudian kasih inilah yang akan menggerakkan kita menuju aksi-aksi nyata selanjutnya. Cara pertama untuk mulai mengasihi adalah dengan berdoa. Dalam refleksiku bersama Tuhan, aku sadar bahwa doa yang tulus bagi seorang anak kecil yang kita lihat memulung di pinggir jalan pun bisa merupakan sebuah tanda kasih yang besar. Kita bisa berdoa untuk masalahan kemiskinan yang terjadi dan juga berdoa supaya Tuhan menolong mereka yang terjerat dalam kemiskinan.

Kok hanya berdoa? Doa bukanlah alasan bahwa kita tidak mau berbuat apa-apa, melainkan doa adalah tanda keberserahan penuh kita kepada Tuhan yang jauh lebih berkuasa atas masalah kemiskinan yang pelik dan yang tak bisa kita selesaikan sendirian. Kita harus mengakui bahwa menolong seseorang keluar dari kemiskinan bukanlah pekerjaan yang sepele. Kita membutuhkan intervensi tangan Tuhan, dan itu dimulai dengan doa.

Aku belajar untuk mendasari setiap pelayananku dengan doa dan kasih yang besar. Segala sesuatu yang dilakukan dengan kasih yang besar tentu berarti lebih di mata Tuhan dan akan memberi dampak kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan.

Mungkin tidak banyak dari kita yang memang hidupnya terpanggil untuk melayani orang-orang miskin secara langsung. Tapi, aku percaya bahwa kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mengasihi semua orang, termasuk orang-orang yang miskin, sebagaimana Tuhan sendiri bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).

Hari ini, di tengah peliknya masalah kemiskinan yang sepertinya tak ada ujungnya, maukah kamu berdoa kepada Tuhan dan meminta hati yang mau mengasihi dengan kasih yang besar?

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Temanku Meninggalkan Gereja Karena Konflik

Ketika seseorang meninggalkan gereja karena sebuah konflik, sangatlah mudah untuk menyembunyikan masalah itu dan berpura-pura seolah semuanya tidak pernah terjadi. Tapi, pertanyaannya adalah: siapa yang mau merendahkan dirinya untuk mengakui bahwa mereka telah salah dan meminta maaf?