Posts

Penjaga Jiwa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Khina melihatnya lebih dulu. Tepat ketika kakinya dan Erik menjejak di lantai empat, Rino tampak berdiri beberapa langkah di depan mereka. Kepalanya ditutup dengan kupluk abu-abu. Seutas tali rafiah yang ujungnya membentuk simpul digenggam dengan kedua tangannya, melingkar di lehernya. Satu ujung yang lain terikat pada tiang balkon. Sekali lompat… selesai. Rino yang tak menyangka kemunculan Khina dan Erik, menghentikan usahanya sejenak namun tangannya terkepal kuat-kuat menggenggam ujung tali di lehernya itu. Khina melirik Erik.

“Rik, buruan cari guru!” Suara Khina mendadak parau, napasnya memburu. Erik balik badan, bergegas turun. Khina mencoba berpikir cepat, kata-kata apa yang hendak dikeluarkannya untuk menenangkan Rino agar tak gegabah bertindak. Di hatinya, Khina terus merapalkan doa. Ia minta Roh Kudus yang tuntun setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Dadanya berdebar lebih cepat dan mendadak terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

“Rino, hidup kamu terlalu berharga untuk kamu selesaikan dengan cara begini.”

“Gak ada yang peduli sama aku, Khina…” suara Rino tercekat di tenggorokan. Ia buru-buru melempar pandangannya ketika bersirobok dengan mata Khina. Ada sesuatu di mata itu yang membuatnya kembali tunduk menyembunyikan wajahnya yang pias.

“Tuhan Yesus sayang kamu, Rino. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Erik mencari kamu karena sayang sama kamu.”

“Hitam. Pendek dan… kata-kata itu… yang selalu dilontarkan teman-teman untuk mengolok-olok kondisi fisikku. Itu menyakitkan, Khina. Selama ini aku berusaha meredam emosiku. Segala sesuatu ada batasnya kan, Khin? Aku… Aku… gak kuat… arrghhh…” Suara Rino tenggelam oleh tangisnya yang pecah.

“Rino, percayalah…” Khina bergeming beberapa detik. Di ingatannya muncul Roma 8:18, firman yang dibacanya beberapa hari kemarin. Pelan, kakinya mendekat dua langkah, “… Semua penderitaan yang kita alami sekarang, tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Khina tak berkedip memerhatikan tangan Rino yang perlahan melonggarkan ikatan tali rafiah di lehernya. Rino sesenggukan. Bahunya naik turun setiap kali air matanya jatuh. Di waktu yang bersamaan, Erik yang muncul dengan beberapa orang guru, mendekati dan merangkul Rino menjauh dari tali yang nyaris membuatnya kehilangan seorang kawan. “Hidupmu berharga, bro.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian di lantai empat itu, Khina merasa gagal mengerjakan tugasnya menjangkau jiwa-jiwa baru untuk diajak bergabung ke kelompok selnya. Padahal, tiap doa Khina telah sungguh-sungguh meminta Tuhan kirimkan jiwa. Ia juga telah melakukan promosi di tiap ibadah. Bukannya bertambah, malahan beberapa kawan komselnya tak bisa hadir di kegiatan mingguan mereka. Itu membuatnya sedih.

Rasa tak nyaman yang mengusik hati Khina dan Erik ketika menyadari Rino tak ada di kelas saat mereka hendak ulangan, adalah pekerjaan Roh Kudus. Bisa saja mereka mengabaikan rasa itu dan terus tinggal di dalam kelas hingga pelajaran selesai. Namun, ketidaknyamanan itu membuat mereka berinisiatif mencari Rino ke balkon lantai empat.

Lalu Tuhan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada tulang-tulang yang kering itu, “Aku Tuhan Yang Mahatinggi meniupkan napas ke dalam dirimu supaya kamu hidup kembali. Kutaruh urat dan daging padamu serta Kubalut kamu dengan kulit. Kamu akan Kuberi napas sehingga hidup. Maka tahulah kamu bahwa Akulah Tuhan.” (Yehezkiel 37:4-6 BIMK).

Kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mau pakai kita. Kejadian di sekolah siang itu menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi Khina. Karena lewat kejadian itu, Tuhan mengajarkannya tak sekadar meminta jiwa. Tapi, bagaimana menanggapi kegelisahan yang Tuhan taruh di hatinya untuk menjadi penjaga jiwa dan menyelamatkan jiwa rapuh yang Tuhan sudah berikan dan tempatkan di dekatnya.

Pernahkah kamu gelisah, jenuh, bahkan menjadi tak sabaran mengerjakan sesuatu yang hasilnya tak jua tampak dan rasanya jauh dari harapan?

Setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk mengerjakan tugas mulia yaitu, Amanat Agung (Matius 28:19-20). Sebuah tugas yang bukan sekadar menjangkau jiwa baru. Tetapi, bagaimana melatih diri sendiri menjadi murid yang mau buka hati, mau taat, mau dibentuk karakternya lewat masalah yang Tuhan izinkan terjadi di hidup kita; sebelum kita menyaksikan pekerjaan Tuhan di hidup kita kepada orang lain. Masalah akan terus datang! Berterima kasihlah pada masalahmu, sabar dan setialah berproses. Tuhan sudah menyiapkan master plan untuk hidup kita sampai kekekalan.

Yuk! Latih kuping rohani agar peka dengan suara Tuhan dengan tekun membaca firman. Karena cara pandang dan pikiran Tuhan, berbeda dengan manusia. Mari sama-sama belajar dari pengalaman spiritual Khina.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Aku tidak menginjili. Bukan dengan cara yang diinginkan gerejaku.

Berbagi Injil tak terbatas hanya dengan mengajak orang-orang untuk datang ke gereja. Lebih dari itu, kita harus menumbuhkan relasi yang baik dan memiliki hati yang peduli pada keadaan mereka.

Tak cukup dengan bilang “Tuhan Yesus baik, lho. Percaya deh” agar orang-orang percaya kepada-Nya. Sejatinya, Injil itu harus terlihat melalui diri kita: bagaimana kita hidup dan mengasihi sesama. Dengan begitu, teladan Yesus dapat dilihat melalui kita.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Maksud Hati Cerita tentang Yesus, Malah Jadi Canggung

Membagikan Injil di zaman now emang gak mudah. Kita pasti berhadapan dengan risiko ditolak, dijauhi, atau bahkan dianggap terlalu kolot. 

Tapi, membagikan Kabar Baik adalah tugas kita setiap orang percaya.

Gimana nih pengalamanmu? Boleh yuk share 🙂 

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Sabtu, 8 Februari 2020

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Baca: Mazmur 48

48:1 Nyanyian. Mazmur bani Korah.48:2 Besarlah TUHAN dan sangat terpuji di kota Allah kita!

48:3 Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi; gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja Besar.

48:4 Dalam puri-purinya Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai benteng.

48:5 Sebab lihat, raja-raja datang berkumpul, mereka bersama-sama berjalan maju;

48:6 demi mereka melihatnya, mereka tercengang-cengang, terkejut, lalu lari kebingungan.

48:7 Kegentaran menimpa mereka di sana; mereka kesakitan seperti perempuan yang hendak melahirkan.

48:8 Dengan angin timur Engkau memecahkan kapal-kapal Tarsis.

48:9 Seperti yang telah kita dengar, demikianlah juga kita lihat, di kota TUHAN semesta alam, di kota Allah kita; Allah menegakkannya untuk selama-lamanya. Sela

48:10 Kami mengingat, ya Allah, kasih setia-Mu di dalam bait-Mu.

48:11 Seperti nama-Mu, ya Allah, demikianlah kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi; tangan kanan-Mu penuh dengan keadilan.

48:12 Biarlah gunung Sion bersukacita; biarlah anak-anak perempuan Yehuda bersorak-sorak oleh karena penghukuman-Mu!

48:13 Kelilingilah Sion dan edarilah dia, hitunglah menaranya,

48:14 perhatikanlah temboknya, jalanilah puri-purinya, supaya kamu dapat menceriterakannya kepada angkatan yang kemudian:

48:15 Sesungguhnya inilah Allah, Allah kitalah Dia seterusnya dan untuk selamanya! Dialah yang memimpin kita!

Kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi.—Mazmur 48:11

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Biasanya kita dapat mengetahui dari mana sebuah peta digambar dengan melihat apa yang terletak di tengah-tengah peta tersebut. Kita cenderung berpikir bahwa rumah kita adalah pusat segalanya, maka kita meletakkan titik di tengah dan mulai membuat sketsanya dari titik itu. Kota-kota yang terdekat mungkin berjarak delapan puluh kilometer ke utara atau setengah hari perjalanan ke arah selatan, tetapi semua itu dijelaskan dalam hubungannya dengan lokasi kita. Kitab Mazmur juga menggambar “peta” mereka dari tempat kediaman Allah di bumi dalam Perjanjian Lama, sehingga pusat geografis dalam Alkitab adalah Yerusalem.

Mazmur 48 merupakan satu dari sekian banyak mazmur yang memuji Yerusalem. Inilah “kota Allah kita! Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi” (ay.2-3). Karena “dalam puri-purinya Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai benteng. . . . Allah menegakkannya untuk selama-lamanya” (ay.4,9). Kemasyhuran Allah dimulai di bait suci Yerusalem dan menyebar sampai ke “ujung bumi” (ay.10-11).

Kecuali kamu sedang berada di Yerusalem saat membaca ini, tempatmu tidaklah berada di pusat dunia Alkitab. Namun, tempatmu juga sangat berarti, karena Allah tidak akan berhenti berkarya hingga kemasyhuran-Nya “sampai ke ujung bumi” (ay.10). Maukah kamu menjadi bagian dari upaya Allah untuk mencapai tujuan-Nya? Beribadahlah setiap minggu bersama umat Allah, dan hiduplah secara terbuka setiap hari bagi kemuliaan-Nya. Kemasyhuran Allah akan “sampai ke ujung bumi” ketika kita mengabdikan seluruh keberadaan dan milik kita kepada-Nya.—Mike Wittmer

WAWASAN
Mazmur 48 adalah himne yang mungkin dipakai sebagai perayaan di Sion (Yerusalem). Para ahli teologi memperkirakan himne ini dipakai pada peringatan Hari Raya Pondok Daun. Kehadiran Allah disebutkan berada dalam puri-puri kota Sion sebagai benteng (ay.4). Gambaran raja-raja yang lari ketakutan begitu melihat kota tersebut (ay.5-6) mengukuhkan Sion sebagai lambang perlindungan Allah. Seruan “kelilingilah Sion dan edarilah dia, hitunglah menaranya, perhatikanlah temboknya, jalanilah puri-purinya” (ay.13-14) mengajak mereka yang datang ke sana untuk melihat tembok-tembok Sion dan memahami kehadiran dan perlindungan Allah secara nyata—sebuah tindakan ibadah secara jasmaniah yang akan menguatkan iman mereka.—Julie Schwab

Apa yang telah kamu lakukan untuk menyebarkan kemasyhuran Allah minggu ini? Apa lagi yang mungkin bisa kamu lakukan?

Ya Bapa, pakailah aku untuk menyebarkan kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 4-5; Matius 24:29-51

Handlettering oleh Angel Kosasih

Penginjilan lewat Media Sosial, Bagaimana Caranya?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, TikTok, Podcast di Spotify, ada banyak aplikasi dan media sosial yang saat ini digandrungi bukan hanya oleh kalangan remaja tetapi juga oleh orang dewasa. Aku juga merupakan pengguna media sosial yang cukup aktif, meskipun aku tidak punya akun di semua medsos tersebut. Di zaman post-modern ini, segala lini di media sosial dapat menjadi ladang yang subur untuk kita menuai benih firman Tuhan. Ada jutaan pengguna media sosial di Indonesia dan mereka selalu berpetualang di dunia maya. Bayangkan jika konten yang ada di media sosial kita dapat mengenalkan mereka tentang kasih Tuhan.

Perintah untuk memberitakan Injil bukan hanya untuk rohaniawan seperti misionaris atau pun pendeta, tetapi adalah tugas semua orang percaya (Matius 28:18-20). Sebagai seseorang yang belajar untuk memberitakan Injil melalui media sosial, aku ingin membagikan 5 tips untuk melakukannya:

1. Sebelum memulai menginjili orang lain, milikilah hubungan pribadi dengan Tuhan melalui merenungkan firman-Nya

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Alkitab adalah sumber dari segala hikmat dalam kita melakukan sesuatu. Ya, buku yang ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu itu masih sangat relevan untuk membimbing bagaimana cara kita hidup seharusnya. Alkitab mungkin tidak secara spesifik memberi arahan bermedia sosial, toh pada saat Alkitab ditulis, media sosial belum eksis. Tapi, Alkitab dengan jelas memberi arahan apa saja yang bisa kita bagi dan pelajari di sosial media.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Kita tidak bisa membagikan sesuatu yang tidak kita miliki, bukan? Ketika kita ingin memberitakan Injil, kita perlu melekat dan memiliki hubungan dengan Sang Sumber pemberi hikmat, yaitu Tuhan sendiri. Dengan setia membaca, merenungkan, dan melakukan firman Tuhan, kita akan memiliki hikmat untuk memberitakan kasih Allah kepada dunia melalui media sosial kita.

2. Jadi dirimu sendiri

Menjadi diri sendiri adalah cara terbaik bagi kita untuk melayani orang lain. David G. Benner dalam bukunya, The Gift of Being Yourself, mengatakan: “Saat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, maka kita akan menjadi semakin unik sebagai diri kita yang sejati.” Benner mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang otentik di hadapan Allah dan dunia.

Menjadi diri sendiri akan mempengaruhi apa yang akan kita bagikan di media sosial kita. Mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat kita, memaksimalkannya dan menunjukkannya kepada dunia adalah kombinasi yang sempurna untuk menyatakan kebaikan Allah. Misalnya, ketika kita hobi menulis maka kita akan menciptakan sebuah tulisan yang memuliakan Allah. Jika dirimu menyukai fashion, otomotif, menyanyi, menggambar, atau memiliki kepedulian di bidang kesehatan, semua hal itu dapat kita pakai untuk menyatakan kemuliaan Tuhan jika dibagikan.

Jadi mari mengenal diri kita sendiri di dalam Tuhan, melayani orang lain dengan bakat kita dapat kita lakukan dengan memberitakannya melalui media sosial.

3. Membaca lebih banyak, belajar lebih banyak

Mengetahui apa yang menjadi bakat kita saja tidaklah cukup, kita perlu terus berlatih dan belajar untuk memaksimalkannya menjadi lebih baik. Bisa dengan membaca buku, menonton video tutorial, dengan rendah hati mau belajar dari orang yang lebih berpengalaman, mengikuti kursus dan berbagai macam cara lainnya yang berkaitan dengan bakat dan minat kita itu.

Terkhusus jika kita ingin bersaksi di sosial media kita perlu belajar seperti bagaimana cara mengambil gambar dengan baik, mengedit foto, video, audio atau membuat desain tulisan menggunakan aplikasi di gawai kita masing-masing. Saat ini sudah ada banyak aplikasi di playstore yang dapat mendukung tampilan konten supaya lebih menarik.

Namun, tidak perlu menunggu menjadi profesional yang sempurna dalam membuat konten untuk memulai memberitakan kabar baik di sosial media. Langkah pertama perlu dilakukan, meski seringkali sulit. Kita akan diperhadapkan dengan rasa malu, kurang percaya diri, takut menerima kesan negatif dari orang lain, tapi jangan berkecil hati. Niat baik kita untuk memberitakan Injil akan senantiasa didukung oleh Allah. Mulailah saat ini dengan apa yang kita miliki sembari terus memperbaiki diri.

4. Tidak lupa menjadi berkat di dunia nyata

Craig Groeschel dalam bukunya #Struggles mengatakan bahwa “Hidup bukanlah tentang berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Melainkan tentang seberapa banyak kasih yang kamu perlihatkan.” Dia juga menambahkan demikian “Mereka (followers kita di sosial media) takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak followers-mu. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari seberapa cepat kamu membalas email. Percaya atau tidak, mereka bahkan takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak ayat Alkitab yang kamu posting. Tidak, mereka akan tahu kamu murid Yesus ketika mereka melihat kasih-Nya di dalammu lewat tindakan-tindakanmu.”

Jangan sampai keinginan kita untuk menjadi berkat di media sosial menghalangi hubungan kita dengan manusia di dunia nyata. Kita perlu hadir di tengah-tengah mereka sama seperti yang Yesus teladankan kepada kita. Dia Allah yang mau duduk dan makan bersama dengan orang-orang berdosa yang dipandang sebelah mata oleh dunia, yaitu kita. Menjalin hubungan dengan orang lain dan hadir dalam hidup mereka merupakan cara yang tidak akan pernah gagal untuk membangun Gereja.

Yang terpenting dari menjadi pemberita Injil di media sosial bukan seberapa banyak jumlah likes dan followers kita, tetapi apakah yang kita tuliskan di dunia maya juga kita lakukan di dunia nyata? Apa yang kita bagikan di dunia maya seharusnya selaras dengan sikap dan tindakan kita di kehidupan nyata, supaya kesaksian kita bukan kesaksian bohong atau munafik.

5. Memiliki fokus dan sikap hati yang benar

Ketika kita mulai menggunakan media sosial akan ada kemungkinan kita akan kecanduan. Memiliki hasrat untuk semakin terkenal, berpikir keras untuk memiliki banyak likes di setiap postingan, mendapatkan semakin banyak followers dan mungkin juga membandingkan diri dengan pengguna media sosial lainnya. Kita perlu berhati-hati karena manusia tidak ada yang kebal dengan dosa kesombongan dan iri hati.

Aku pun pernah mengalami kecanduan media sosial dan membandingkan diriku dengan orang lain. Tuhan menegurku dengan firman-Nya yang aku baca di Alkitab dan buku rohani. Ternyata untuk terus memiliki motivasi hati yang murni, kita perlu terus memelihara hubungan pribadi kita dengan Tuhan.

“Allah yang menciptakan segala sesuatu. Semuanya berasal dari Allah dan adalah untuk Allah. Terpujilah Allah untuk selama-lamanya! Amin.” Roma 11:36 (BIMK).

Dia terus bekerja membentuk karakter dan bakat kita hingga saat ini. Terkadang, Tuhan juga memakai orang lain untuk menegur kita. Diperlukan kerendahan hati untuk mau mengakui kesombongan dan motivasi kita yang salah. Tak mengapa kita sedang berproses bersama-sama, ketika menyadari kesalahan kita bisa segera bangkit dan bertobat. Akhir dari semuanya: kiranya hanya nama Tuhan saja yang dipermuliakan ketika kita menggunakan media sosial.

Baca Juga:

3 To-Do-List Saat Kita Melakukan Penginjilan

Memberitakan Injil adalah tugas semua orang percaya. Tapi, untuk melakukannya ada tiga hal yang harus kita siapkan lebih dulu.

3 To-Do-List Saat Kita Melakukan Penginjilan

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Saat ini aku bertumbuh di salah satu gereja lokal di Korea Selatan. Melihat kehidupan saudara-saudari di gereja di sini, aku banyak belajar tentang apakah dasar yang tepat buat penginjilan dan bagaimana semestinya penginjilan dilakukan. Terlepas dari kesibukan pekerjaan masing-masing, mereka tetap bergiat melakukan penginjilan di universitas-universitas buat mahasiswa yang masih belum mengenal Kristus.

Melalui apa yang kulihat dan kupelajari dari kehidupan mereka dan pengajaran di gereja, ada tiga hal tentang penginjilan yang harus kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari:

1. MENUMBUHKAN kasih buat orang lain, terutama berkaitan dengan keselamatan

Tuhan menginginkan semua orang tidak binasa dan memperoleh keselamatan yang kekal melalui Kristus Yesus (1 Timotius 2:4). Pertanyaannya, apakah kita juga memiliki kerinduan yang sama seperti hati Tuhan? Sebelum kita mengabarkan kabar baik-Nya, tugas kita adalah membuat isi hati kita selaras dengan isi hati Tuhan. Sama seperti pertumbuhan rohani kita, proses ini tidak dapat berlangsung dengan instan. Ini membutuhkan latihan dan komitmen dalam kehidupan kita.

Kita dapat melihat contohnya dalam kehidupan Musa. Sebelum dipakai Tuhan untuk menyelamatkan orang Israel keluar dari Mesir, Musa berpikir biar orang lain saja yang melakukannya. Musa selalu melihat kekurangan di dalam dirinya (Keluaran 4:1-17). Tetapi pada akhirnya, Musalah yang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.

Salah satu hal yang kukagumi dari Musa adalah walaupun bangsa Israel sering bersungut-sungut atas penyertaan Tuhan dan memberontak, Musa tetap berdoa buat keselamatan mereka. “Ampunilah kiranya kesalahan bangsa-Mu, seperti Engkau telah mengampuni bangsa ini mulai dari Mesir sampai ke mari” (Bilangan 14:19), seru Musa kepada Tuhan. Di ayat selanjutnya, kita mengetahui bahwa Tuhan mengabulkan doa Musa dan mengampuni bangsa Israel.

Di Bilangan 14:13-19, Musa mengungkapkan argumennya ketika Tuhan hendak menghukum bangsa Israel. Jika kamu membaca nats tersebut, kira-kira bagaimanakah Musa dapat mengatakan itu semua? Jawabannya adalah: Musa tahu isi hati Tuhan. Musa memiliki hubungan pribadi yang erat dengan Tuhan. Melalui kehidupan Musa, kita juga bisa menumbuhkan hati kita buat orang lain melalui hubungan yang akrab bersama Tuhan, caranya dengan saat teduh dan berdoa.

“Dan Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya” (Keluaran 33:11a).

2. MEMPERSIAPKAN diri untuk memberitakan Injil

Langkah selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita. 1 Petrus 3:15 memberikan kita gambaran bagaimana kita dapat melakukannya:

“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.”

Mempersiapkan diri berlangsung pada segala waktu untuk menjelaskan pengharapan yang ada dalam kehidupan kita. Sebagai contohnya, kita bisa mempersiapkan diri kita dengan menghafal beberapa ayat yang berkaitan dengan keselamatan melalui Yesus Kristus untuk memudahkan kita bercerita kepada orang di sekitar kita. Atau, kita juga dapat menulis kesaksian kita tentang keadaan kita sebelum dan sesudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Di tengah dunia yang penuh tantangan dan penderitaan, memiliki pengharapan yang teguh adalah kebutuhan. Sebagai orang Kristen, kita memiliki pengharapan tersebut di dalam Kristus, yang memampukan kita untuk bersukacita, mengampuni, memberi, dan melakukan teladan-teladan Kristus lainnya yang secara manusia sulit untuk dilakukan. Ketika kita menghidupi pengharapan tersebut, orang-orang lain akan tertarik dengan kehidupan kita. Kita dapat mengarahkan mereka kepada Pengharapan sejati yang memampukan kita untuk hidup seperti itu.

Setelah kita mempersiapkan ini semua, berdoalah kepada Tuhan agar kita diberi kesempatan memberitakan Injil kepada orang-orang di sekitar kita.

3. MENGINGAT terus makna kasih karunia dalam kehidupan kita

Poin ketiga berkaitan dengan bagaimana kita harus tetap memandang kasih karunia Tuhan sebagai alasan kita untuk melakukan penginjilan. Kita diselamatkan karena kasih karunia Yesus dan kita juga harus hidup berdasarkan kasih karunia. Penginjilan tidak boleh melupakan kebenaran ini.. Ketika kita lupa bahwa keselamatan adalah kasih karunia Allah, kita akan lebih berfokus pada perbuatan atau hal-hal yang tidak esensial dalam penginjilan. Kita lebih mementingkan hasil dibanding dengan proses ketika kita menginjili. Kita bisa menjadi kecewa ketika penginjilan gagal, sekaligus kita juga bisa jatuh dalam dosa kesombongan ketika penginjilan kita berhasil. Terlepas dari hasil yang kita peroleh, kita harus tetap mengingat bahwa semua karena kasih karunia-Nya ketika kita dipakai Tuhan buat melakukan penginjilan.

“Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Roma 11:6).

Aku berharap melalui tiga poin di atas, kita semua bisa bertumbuh dalam penginjilan kepada orang-orang di sekitar kita. Selamat menginjili!

Baca Juga:

Kasih-Nya Merobohkan dan Membangun

Kasih Kristus mampu merobohkan tembok-tembok dosa dalam hidup kita dan menggantinya dengan anugerah yang mengubahkan kehidupan. Sudahkah kamu mengalaminya?

Belajar Penginjilan dari Paulus (Pengajaran dari Kisah Para Rasul 17:16-34)

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Injil memang bersifat kekal dan universal. Kekal, karena sampai kapan pun manusia membutuhkan kebebasan dari belenggu dosa dan keselamatan dari hukuman ilahi. Injil akan selalu relevan dan tidak pernah ketinggalan zaman. Universal, karena kebutuhan terhadap kebebasan dan keselamatan ini menjadi milik semua orang. Tidak peduli siapa, darimana, bagaimana, dan di mana seseorang berada, Alkitab dengan jelas berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23)”.

Pengakuan terhadap kekekalan dan universalitas Injil ini tidak berarti penolakan terhadap elemen temporal dan kultural dalam pemberitaan Injil. Kemasan dan strategi penginjilan harus disesuaikan dengan orang dan situasi. Beda orang, beda keadaan, beda pendekatan.

Begitu juga yang dilakukan oleh Paulus. Dia mendekati orang-orang Yahudi dengan cara yang berbeda dengan dia menghadapi orang-orang Yunani. Tatkala dia berada di depan orang-orang Yunani dia tidak mengutip ayat-ayat kitab suci maupun menunjukkan penggenapan nubuat-nubuat dalam kitab suci, walaupun apa yang dia katakan selaras dengan kitab suci. Pendengarnya mungkin tidak pernah mengetahui atau membaca kitab-kitab itu. Karena itu, Paulus menggunakan strategi yang berbeda.

Bagaimana Paulus memberitakan Injil kepada orang-orang di Athena? Apa yang kita bisa adopsi dan adaptasi ke dalam keadaan kita sekarang?

1. Mengenali keadaan dengan cermat (ayat 16-21)

Hal pertama yang dilakukan Paulus di Atena adalah mengamati kota itu. Dia mendapati begitu banyak penyembahan berhala di sana, sehingga hatinya merasa sedih (LAI:TB, ayat 16). Beberapa versi Inggris menerjemahkan kata “sedih” (paroxynomai) di sini dengan “tertekan” (RSV/NIV/NLT). Terjemahan yang lebih hurufiah adalah “terprovokasi” (ESV/NASB). Maknanya lebih berkaitan dengan kemarahan (1Kor. 13:5 “kasih itu tidak marah”; Yes. 65:3; Hos. 8:5) daripada kesedihan atau tekanan. Sikap hati yang marah atau jijik terhadap penyembahan berhala ini sangat lazim di antara orang-orang Yahudi yang menganut monoteisme secara ketat.

Apa yang ada di dalam hati perlu diekspresikan dengan hati-hati. Ada banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan. Setiap ungkapan kemarahan harus memperhatikan keadaan.

Paulus memilih untuk menyalurkan isi hatinya melalui dialog (ayat 17 dialegomai, LAI:TB “bertukar pendapat”). Dia melakukannya ini pada tempat yang tepat, yaitu synagoge (untuk orang-orang Yahudi) atau pasar (untuk orang-orang Yunani). Dua tempat ini memang menjadi salah satu tempat strategis untuk menyampaikan pendapat. Tidak heran, ajarannya dengan cepat menarik perhatian banyak orang. Dia pun dibawa ke sidang Areopagus (ayat 19-20), entah dalam rangka diadili atau sekadar diminta pendapatnya.

Paulus juga cermat dalam mengamati pendengarnya. Dia mengetahui dengan baik bahwa penduduk Atena memiliki keterbukaan terhadap berbagai ajaran (ayat 21). Sikap ini tidak lepas dari posisi Atena sebagai kota pengetahuan. Banyak filsuf ternama lahir atau berkarya di sana. Keterbukaan ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Atena.

2. Menghargai keyakinan orang lain (ayat 22-23)

Di awal khotbahnya, Paulus menyebut penduduk Atena sebagai orang-orang yang “sangat beribadah kepada dewa-dewa” (deisidaimōn, ayat 22). Kata ini bisa bermakna positif (“relijius”, RSV/NASB/NIV) atau negatif (“percaya takhayul”, KJV). Dalam hal ini yang menjadi penentu arti adalah konteks. Karena pernyataan ini diucapkan oleh Paulus di awal khotbahnya dan keseluruhan khotbah juga tidak terlalu menyerang keyakinan mereka, kita sebaiknya menhgambil makna yang lebih positif. Paulus memang mengapresiasi hasrat relijius mereka.

Penduduk Atena bukan hanya relijius. Mereka sangat relijius (NRSV “extremely religious”). Hal ini ditunjukkan bukan hanya melalui satu hal, tetapi “dalam segala hal”(kata panta). Kita tidak tahu persis hal-hal apa saja yang dilihat oleh Paulus dan membuat dia mengambil kesimpulan seperti itu. Yang jelas, salah satu bukti kualitas relijius mereka adalah keberadaan mezbah yang diperuntukkan bagi illah yang tidak dikenal (ayat 23).

Bagi penganut politeisme, keberadaan mezbah seperti ini sangat bisa dipahami. Pada prinsipnya mereka ingin menyembah semua dewa. Namun, mereka juga tidak mengetahui jumlah pasti dari semua dewa yang ada. Sebagai upaya berjaga-jaga—supaya tidak ada satu dewa pun yang terabaikan dan menjadi marah—mereka mempersembahkan mezbah kepada dewa itu.

Apa yang mereka sembah tanpa mengenal, itulah yang ingin dikenalkan Paulus kepada mereka. Bukan berarti Paulus dan mereka menyembah allah yang sama. Bukan berarti tidak ada perbedaan konsep antara keduanya. Dalam konteks “allah-allah yang tidak dikenal oleh penduduk Atena”, Allah yang disembah oleh Paulus jelas masuk dalam kategori itu.

Penghargaan seperti ini terbilang luar biasa. Paulus sendiri memahami bahwa apa yang disembah mereka sebenarnya bukan allah (Gal. 4:8). Lebih jauh lagi, objek penyembahan itu adalah roh-roh jahat (1Kor. 10:20-21). Bagaimanapun, di mata mereka, objek penyembahan adalah allah/dewa. Paulus hanya memulai dari sana sebagai titik awal penginjilan.

3. Menggunakan penalaran sebagai pijakan bersama (ayat 25-26)

Dalam bagian ini Paulus memulai dengan konsep tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Dua hal ini juga diamini oleh orang-orang Yunani yang relijius. Terlepas dari berapa banyak allah yang mereka percayai, semua percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara.

Yang ditekankan oleh Paulus adalah implikasi dari konsep di atas. Jika Allah adalah Pencipta, maka Dia tidak dapat dibatasi oleh tempat (ayat 25). Dia lebih besar daripada semua tempat. Bagaimana Pencipta langit dan bumi dapat dibatasi pada mezbah atau kuil tertentu buatan manusia? Poin ini sebenarnya berakar dari Perjanjian Lama (1Raj. 8:27), tetapi Paulus sengaja tidak menggunakan kitab suci. Pada poin ini, penalaran saja sudah memadai.

Jika Allah adalah Pemelihara alam semesta, maka Dia tidak membutuhkan apapun di luar diri-Nya (ayat 25). Dia benar-benar bebas dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada keharusan dan kebutuhan dalam diri-Nya. Tanpa apapun Dia tetap sempurna dan utuh, karena itu, Allah tidak membutuhkan pelayanan manusia (bdk. Rm. 11:33-35). Konsep yang sama diajarkan oleh para pemikir Yunani (Aristobulus, Euripides, Heracles). Bagaimana mungkin Allah membutuhkan manusia sedangkan manusia sendiri menggantungkan diri pada Allah untuk nafas dan segala sesuatu dalam hidup ini?

4. Memahami dan memanfaatkan ajaran pihak lain (ayat 26-29)

Allah adalah Pemelihara semua manusia (ayat 24-25). Bagaimana Dia menunjukkan pemeliharaan tersebut? Di ayat 26-29 Paulus menerangkan lebih jauh tentang salah satu wujud pemeliharaan Allah atas alam semesta, yaitu asal-usul dan keberlangsungan umat manusia di bumi ini.

Allah menjadikan semua bangsa dari satu orang saja (ayat 26a). Dia juga yang menentukan batas kediaman dan musim bagi mereka (ayat 26b). Tidak terlalu jelas apakah musim di sini merujuk pada sejarah politis masing-masing negara atau musim yang berkaitan dengan alam (musim panen, iklim, dsb.). Manapun yang benar, poin yang ingin disampaikan adalah keterlibatan Allah secara langsung dalam pemeliharaan segala bangsa (bandingkan dengan ayat 24-25 yang masih terkesan konseptual).

Allah memiliki maksud di balik keterlibatan yang langsung ini. Allah ingin menunjukkan bahwa Dia tidak jauh dari manusia (ayat 27b), sehingga manusia seyogyanya bisa menemukan Dia (ayat 27a). Seberapa dekatkah Allah dengan kita? Paulus, mengutip beberapa pujangga (filsuf/pemikir) Yunani, berkata: “sebab di dalam Dia kita hidup, kita ada, kita bergerak” (ayat 28). Ungkapan yang sangat mirip diucapkan oleh Seneca, salah seorang penulis Yunani kuno: “Allah itu dekat dengan engkau, bersama engkau, dan di dalam engkau”. Beberapa penulis kuno lain pun mengajarkan konsep yang sama (misalnya: Dio Chrysostom, Epimenidies).

Manusia bisa sedekat itu dengan Allah sebab manusia adalah keturunan Allah (ayat 28). Konsep ini tidak asing bagi penduduk Atena. Konsep ini seringkali dikaitkan dengan Aratus atau Cleanthes. Dalam pikiran pendengarnya, Paulus mungkin sedang membicarakan tentang Zeus sebagai cikal-bakal semua manusia.

Kutipan-kutipan ini menyiapkan landasan bagi kritikan Paulus terhadap penyembahan berhala. Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka dalam banyak hal manusia mencerminkan Allah. Jikalau manusia bukan hanya terdiri dari aspek-aspek jasmaniah, apalagi Tuhan (ayat 29). Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka Allah pasti lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh manusia (mezbah, patung, kuil, dsb.).

5. Menjelaskan keunikan kekristenan (ayat 30-31)

Kritikan terhadap keyakinan penduduk Atena (ayat 22-29) bermanfaat untuk membuktikan bahwa semua manusia bersalah (ayat 30). Rasio menunjukkan betapa salahnya penyembahan berhala. Allah tidak boleh dan tidak dapat dibatasi oleh mezbah, kuil, atau patung. Keteraturan alam menyingkapkan bahwa Allah sebenarnya tidak jauh. Tetapi, mengapa manusia tidak mampu menemukan Dia? Kesalahan ini lebih ke arah kebebalan daripada kebodohan.

Jikalau manusia memang melakukan kesalahan, maka hukuman patut diberikan. Itu adalah keadilan. Pertanyaannya, apakah dengan memberikan hukuman maka kegagalan itu dapat diselesaikan? Tentu saja tidak! Pasti ada cara dan solusi lain.

Manusia memang gagal menemukan Allah, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Allah gagal untuk ditemukan. Sesudah membiarkan periode kebebalan cukup lama, Allah berintervensi langsung ke dalam sejarah (ayat 31). Allah menjadi manusia untuk menanggung kesalahan dan menggantikan kegagalan manusia. Kematian-Nya menyelesaikan persoalan dosa. Namun, upah dosa belum sepenuhnya dibereskan. Kebangkitan-Nya dari antara orang mati membuktikan bahwa upah dosa sudah diselesaikan.

Poin yang ingin ditegaskan Paulus di ayat 31 sangat mungkin terletak pada kebangkitan tubuh. Konsep ini sangat ditentang dalam budaya Yunani, karena tubuh dianggap jahat atau tidak sempurna. Melalui kebangkitan tubuh di dalam Kristus, aspek jasmaniah dan rohaniah manusia dipuaskan. Tubuh tidak sepenuhnya jahat dan tidak selamanya lemah. Tubuh tidak selalu menjadi penjara bagi jiwa-roh.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Petrus (Pengajaran dari 1 Petrus 3:15-16)

“Sebagian orang berpikir bahwa membela kebenaran itu cuma melibatkan aspek substansi dan strategi. Materi dikuasai dan metode diikuti. Yang dipentingkan hanya pengetahuan yang mendalam dan pendekatan yang relevan.

Tanpa bermaksud meremehkan penguasaan materi dan manfaat suatu metode, kita perlu menegaskan bawa membela kebenaran membutuhkan lebih daripada dua hal itu.”

Belajar Penginjilan dari Petrus (Pengajaran dari 1 Petrus 3:15-16)

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepda tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetpai haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”

1 Petrus 3:15-16

Sebagian orang berpikir bahwa membela kebenaran itu cuma melibatkan aspek substansi dan strategi. Materi dikuasai dan metode diikuti. Yang dipentingkan hanya pengetahuan yang mendalam dan pendekatan yang relevan.

Tanpa bermaksud meremehkan penguasaan materi dan manfaat suatu metode, kita perlu menegaskan bawa membela kebenaran membutuhkan lebih daripada dua hal itu. Seorang pemberita kebenaran seyogyanya menghidupi kebenaran. Kebenaran tersebut juga seyogyanya disampaikan dengan cara yang benar. Seluruh kehidupan pemberita kebenaran harus dikuasai oleh kebenaran itu. Kita dipanggil bukan hanya untuk memberitakan, tetapi juga menghidupi kebenaran.

Itulah yang akan diajarkan daam teks kita hari ini. Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang pekabar Injil yang baik?

1. Menguduskan Kristus dalam hati kita (ayat 15a)

Penginjilan dimulai dengan hati kita. Yang terpenting bukan seberapa banyak pengetahuan kita tentang kebenaran. Bukan pula seberapa besar pengalaman kita dalam penginjilan atau pengenalan kita terhadap orang lain. Bagaimana kondisi hati kita jauh lebih penting daripada perkataan yang kita ucapkan.

Rasul Petrus menasihati penerima suratnya untuk menguduskan Kristus sebagai Tuhan di dalam hati mereka (3:15a). Menguduskan di sini jelas bukan berarti membuat Kristus menjadi kudus secara moral. Menguduskan berarti mengkhususkan. Menguduskan berarti menghargai keunikan Kristus, memberi tempat yang sepantasnya bagi Dia. Dengan kata lain, menguduskan Kristus berarti menghormati Kristus lebih daripada yang lain.

Makna di atas didasarkan pada perbandingan antara 1 Petrus 3:14-15 dan Yesaya 8:12-13. Ada beberapa kemiripan yang signifikan di antara dua teks ini, sehingga para penafsir Alkitab menduga Petrus memang sedang memikirkan Yesaya 8:12-13.

– Yesaya 8:12-13, “Jangan sebut persepakatan dengan segala apa yang disebut bangsa ini persepakatan, dan apa yang mereka takuti janganlah kamu takuti dan janganlah gentar melihatnya. Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar.

– 1 Petrus 3:14b-15a, “Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!”

Jika Yesaya 8:12-13 memang berada di balik 1 Petrus 3:14-15, maka kita sebaiknya menafsirkan “menguduskan Kristus” dengan “mempertimbangkan Kristus sebagai objek rasa hormat kita”. Dia adalah Tuhan yang kudus. Dia harus mendapatkan tempat yang terutama dalam hati kita (NIV, “But in your hearts set apart Christ as Lord”)

2. Meyakini pengharapan kita (ayat 15b)

Di ayat ini Rasul Petrus mengantisipasi suatu keadaan: orang-orang luar menanyakan pengharapan yang ada pada orang-orang Kristen. Ini bukan sekadar tentang pengharapan yang abstrak. Bukan hanya sebuah konsep yang belum tentu terwujud atau terbukti. Ini adalah tentang pengharapan yang ada pada mereka. Bukan yang tidak ada pada diri mereka.

Pembicaraan tentang pengharapan merupakan topik yang sangat relevan bagi penerima surat 1 Petrus. Mereka adalah orang-orang Kristen yang berada di perantauan (1:1). Mereka adalah para pendatang dan perantau (2:11). Mereka adalah orang-orang asing. Keterasingan ini bukan cuma secara rasial atau sosial, tetapi juga spiritual. Dalam dunia yang sementara ini mereka hanya menumpang (1:17). Dunia bukan rumah mereka. Mereka mengarahkan pandangan ke depan.

Sebagai kelompok minoritas, mereka juga menghadapi berbagai tekanan. Fitnah seringkali ditujukan kepada mereka (2:12, 3:16). Beberapa bahkan menderita karena kebenaran atau kebaikan (2:19-21). Jika hanya memperhatikan apa yang terjadi pada saat itu, mereka pasti akan kehilangan semangat dan sukacita. Mereka sangat memerlukan jaminan untuk masa depan. Bukan di dunia ini, melainkan di dunia selanjutnya. Itulah yang disebut pengharapan.

Yang sedang dibicarakan di sini adalah pengharapan, bukan tindakan berharap. Ini bukan tentang apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Ini tentang apa yang ada pada mereka (3:15b “tentang pengharapan yang ada padamu”). Ada unsur kepastian di dalamnya. Semua yang dihidupkan melalui kuasa kebangkitan Kristus pasti memiliki “suatu hidup yang penuh dengan pengharapan” (1:3). Iman dan pengharapan kita tertuju pada Allah yang membangkitkan Kristus dari kematian dan yang memuliakan Dia di surga (1:21).

Mempunyai pengharapan di tengah dunia yang penuh tantangan dan penderitaan merupakan sebuah kebutuhan. Pengharapan ini membuat orang-orang Kristen memiliki gaya hidup dan semangat yang berbeda dengan dunia. Kita tidak mudah mengeluh, selalu optimis, senantiasa bersukacita. Dengan demikian, orang-orang lain akan tertarik dengan kehidupan yang seperti ini. Mereka akan terdorong untuk menanyakan rahasia di balik kehidupan itu. Di baliknya, ada pengharapan.

3. Siap memberikan pembelaan (ayat 15b)

Memiliki pengharapan adalah satu hal. Memberikan penjelasan tentang pengharapan itu adalah hal yang berbeda. Kita dituntut bukan hanya untuk menunjukkan kehidupan yang berpengharapan, melainkan juga memberikan “pertanggungjawaban” (LAI:TB).

Dalam teks Yunani, kata yang digunakan di bagian ini adalah apologia. Secara hurufiah kata ini berarti pembelaan, bukan pertanggungjawaban. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan terhadap dirinya maupun Injil yang dia sampaikan (Kis 22:1; 1 Kor 9:3). Tidak jarang pembelaan ini dilakukan dalam konteks tuntutan legal atau pemenjaraan (Filipi 1:7, 16), sehingga tidak semua orang mau melibatkan diri dalam pembelaan tersebut (2 Tes 4:16).

Dalam teks kita hari ini Petrus memerintahkan penerima surat untuk selalu siap (hetoimoi aei) memberikan pembelaan. Kesiapan ini bukan hanya dalam konteks waktu (selalu siap), tetapi juga orang. Siapa saja yang menanyakan. Tidak peduli kapan dan kepada siapa, kita harus senantiasa siap memberitakan pembelaan.

Pembelaan yang kita berikan harus rasional. Yang mereka tanyakan bukan hanya pengharapan, tetapi alasan di balik pengharapan itu. Dalam teks Yunani, ayat 15b berbunyi: “senantiasa siap memberikan pembelaan kepada siapa saja yang menanyakan alasan tentang pengharapan yang ada pada diri kalian”. Ada kata “alasan” (logos) di bagian tadi (lihat mayoritas versi Inggris “who asks you for a reason for the hope that is in you”).

Apakah kita tahu apa yang kita percayai? Apakah kita tahu mengapa kita memercayai hal itu?

4. Memberikan pembelaan dengan sikap yang benar (ayat 15b-16)

Pembelaan bukan hanya harus rasional. Pembelaan juga harus disertai dengan kesalehan. Kekuatan intelektual bukan substitusi bagi kematangan spiritual, emosional, dan sosial.

Petrus menasihati orang-orang Kristen di perantauan untuk menunjukkan sikap lemah lembut dan hormat serta hati nurani yang baik. Tiga hal ini sebenarnya lebih berkaitan dengan hati daripada tindakan. Namun, apa yang ada dalam hati seseorang akan terlihat dari tindakan orang itu. Hati yang dikuasai oleh kekudusan Kristus (ayat 15a) adalah hati yang memunculkan sikap lemah lembut, hormat, dan tulus kepada orang lain.

Dengan demikian Petrus sedang mengerjakan tentang keseimbangan antara kebenaran suatu ajaran (ortodoksi) dan tindakan yang benar (ortopraksi). Apa yang kita percayai harus selaras dengan apa yang kita hidupi. Apa yang kita ucapkan sama pentingnya dengan bagaimana kita mengucapkannya.

Sebagian orang sukar diyakinkan oleh kebenaran, bukan karena kebenaran itu kurang rasional. Yang menjadi persoalannya seringkali adalah orang yang menyampaikannya. Adalah ironis apabila banyak orang yang sagat gigih memperjuangkan kebenaran ternyata adalah orang-orang yang hidupnya tidak diubahkan oleh kebenaran yang mereka perjuangkan.

Di mata Petrus, kesalehan memegang peranan cukup sentra. Allah bisa membawa seseorang kepada diri-Nya melalui kesalehan orang Kristen. Dia memerintahkan orang-orang Kristen untuk memiliki gaya hidup yang baik “supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” (2:12b). Kepada para isteri yang bersuamikan orang non-Kristen, Petrus menasihati mereka untuk menunjukkan kesalehan dengan tujuan “supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu” (3:1b-2).

Sudahkah kamu memiliki pengharapan di dalam Kristus? Sudahkah kamu menunjukkan hal itu melalui kehidupan yang penuh semangat dan sukacita? Mampukah kamu memberikan alasan rasional bagi pengharapan itu? Maukah kamu membagikan hal itu kepada orang lain dengan sikap yang benar?

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Yesus (Pengajaran dari Yohanes 4:3-26)

Orang-orang Kristen tidak hanya dihidupkan oleh Injil dan dipanggil untuk menghidupi Injil, melainkan juga untuk hidup bagi Injil. Memberitakan Injil adalah salah satu wujud kehidupan yang dipersembahkan bagi Injil. Sayangnya, tidak semua orang Kristen bergairah dalam membagikan Injil.

Belajar Penginjilan dari Yesus (Pengajaran dari Yohanes 4:3-26)

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Orang-orang Kristen tidak hanya dihidupkan oleh Injil dan dipanggil untuk menghidupi Injil, melainkan juga untuk hidup bagi Injil. Memberitakan Injil adalah salah satu wujud kehidupan yang dipersembahkan bagi Injil. Sayangnya, tidak semua orang Kristen bergairah dalam membagikan Injil.

Banyak dalih dimajukan sebagai pembenaran. Sifat pemalu, tidak fasih bicara, tidak tahu caranya, takut ditolak, khawatir tidak dapat melaksanakan dengan baik, dan masih banyak segudang dalih yang lain.

Teks hari ini akan mengajarkan prinsip-prinsip penting dalam pekabaran Injil. Ada dua bagian besar yang akan kita pelajari: prinsip dan strategi. Prinsip bersifat teoritis (konsep). Strategi bersifat praktis (cara).

Prinsip pekabaran Injil

Percakapan antara Yesus dan perempuan Samaria bukan ditulis sebagai buku panduan pekabaran Injil. Ada tujuan teologis lain di balik penulisan kisah ini. Bagaimanapun, beberapa prinsip penting tentang penginjilan tetap dapat ditarik dari cerita yang terkenal ini.

Yang terutama, penginjilan merupakan keharusan. Kemunculan kata “harus” (edei) di ayat 4 cukup mengagetkan. Secara geografis, perjalanan dari Yudea ke Galilea (4:3) tidak harus melewati daerah Samaria. Banyak orang Yahudi justru memilih jalan lain yang agak memutar supaya mereka tidak usah melintasi Samaria.

Kita sebaiknya memahami keharusan ini sebagai keharusan ilahi. Maksudnya, ada rencana Allah yang memang harus digenapi melalui Yesus Kristus. Penafsiran seperti ini juga mendapat dukungan dari konteks. Di ayat 34 Tuhan Yesus mengajarkan bahwa melakukan kehendak Bapa adalah makanan-Nya. Sesuatu yang harus ada, bukan pilihan. Lalu Dia menerangkan lebih lanjut bahwa kehendak itu berkaitan dengan penuaian jiwa-jiwa yang terhilang (4:35-38).

Yang lebih menarik, keharusan ilahi ini (4:4) muncul sesudah kesuksesan pelayanan Yesus Kristus di Yudea (3:28; 4:1-2). Pelayanan publik di depan banyak orang tidak meniadakan pelayanan pribadi pada seseorang. Yesus bukan hanya secara sengaja menghindari sorotan dari golongan Farisi (4:1; bdk. 1:19-25), Dia juga secara sengaja mendatangi perempuan Samaria.

Berikutnya, penginjilan membutuhkan kepekaan kultural dan personal. Tidak sukar untuk menemukan bahwa percakapan dengan perempuan Samaria (4:3-26) sangat berbeda dengan percakapan dengan Nikodemus (3:1-21). Yang satu perempuan, yang satu laki-laki. Yang satu di siang hari, yang lain di malam hari. Yang satu kepada orang yang tidak terpandang, yang satu kepada pemimpin agama Yahudi. Yang satu orang Samaria, yang satu orang Yahudi. Tidak heran, strategi penginjilan yang dilakukan pun berlainan.

Dalam dunia teologi, strategi seperti ini disebut konteksualisasi, yaitu bagaimana membagikan Injil dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya dan situasi pendengar. Berita Injil sendiri tidak diubah. Hanya kemasan dan strategi pemberitaan yang disesuaikan. Injil tetap satu dan untuk semua orang. Namun, penyampaiannya harus dilakukan secara bijaksana sesuai keadaan seseorang.

Strategi pekabaran Injil

Alkitab memberikan beberapa contoh pekabaran Injil. Masing-masing mengajarkan tentang strategi penginjilan yang berbeda-beda. Hari ini kita hanya akan berfokus pada teks kita saja. Ada beberapa strategi penting yang perlu digarisbawahi:

1. Kita harus mau melewati batasan-batasan sosial dan kultural (ayat 6-9)

Pembacaan yang teliti akan menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus dalam cerita ini sebenarnya tidak lazim. Seorang Yahudi tidak akan mau bercakap-cakap dengan orang Samaria, apalgi meminta air dari dia (4:7, 9). Menurut budaya Yahudi pada waktu itu, menggunakan alat yang sama dengan yang digunakan oleh orang Samaria (timba) akan menjadikan seorang Yahudi najis. Sebagai seorang rabi (bdk 3:10), Yesus juga tidak akan mau berbincang-bincang dengan seorang perempuan, apalagi yang bukan dari antara orang Yahudi. Bahkan murid-murid-Nya sendiri merasa heran ketika mereka melihat Yesus bercakap-cakap dengan seorang perempuan (4:27).

Secara umum bangsa Yahudi memang tidak bergaul dengan bangsa Samaria. Akar historis permusuhan ini sudah lama ada. Bangsa Yahudi dari kerajaan Yehuda di selatan, sedangkan Samaria dari kerajaan Israel di utara. Berkali-kali dua bangsa ini saling berperang. Pada waktu dikalahkan oleh bangsa Asyur, kerajaan Israel disebar ke berbagai tempat kekuasaan Asyur, sementara bangsa-bangsa lain ditempatkan di wilayah utara. Tidak terelakkan, perkawinan campur terjadi antar bangsa-bangsa tersebut. Itulah sebabnya orang-orang Samaria dipandang rendah oleh bangsa Yahudi. Ditambah dengan beberapa kali pertikaian yang terjadi beberapa abad sesudah kelaihran Yesus Kristus, pertikaian ini menjadi semakin kuat. Perbedaan teologis di antara mereka (jumlah kitab suci, pusat ibadah, dsb) juga mempertebal kebencian masing-masing.

2. Kita harus memanfaatkan situasi konkret untuk menarik perhatian orang lain pada Injil (ayat10-15)

Pembicaraan tentang air hidup di dekat sebuah sumur merupakan strategi yang jitu. Sangat relevan. Di tengah terik matahari siang dan iklim Palestina yang sangat panas, siapa yang tidak memahami betapa pentingnya air? Semua orang membutuhkan air. Dengan demikian keberadaan sumur (atau sungai) juga menjadi satu elemen kehidupan yang terpenting. Yesus memulai pekabaran Injil dari sana. Dari sesuatu yang sama-sama diketahui. Dari sesuatu yang sama-sama dibutuhkan dan dipentingkan.

Yesus Kristus tidak hanya menyinggung tentang air sumur. Dia memahami betapa pentingnya sumur ini bagi bangsa Samaria. Sumur Yakub lebih dari sekadar sumber air. Sumur ini adalah sumber kebanggaan. Mereka adalah keturunan Yakub (Israel), terlepas dari bagaimana bangsa Yahudi memahami mereka. Tidak heran, perempuan ini langsung membandingkan Yesus dengan Yakub (4:11-12). Jadi, sumur ini memiliki nilai penting yang ganda bagi perempuan Samaria.

Di tengah situasi seperti inilah Yesus mencoba untuk menarik perhatiannya. Dia menjanjikan air walaupun Dia tidak membawa timba (4:11). Bagaimana Dia bisa memberikan air sedangkan Dia sendiri tidak membawa timba dan bahakan baru saja meminta air dari perempuan itu? Air yang Dia janjikan juga jauh lebih menarik daripada air sumur Yakub (4:13-14). Apakah Dia benar-benar lebih besar daripada Yakub?

3. Kita perlu mengungkapkan keberdosaan seseorang secara tepat (ayat 16-19)

Momen menimba air mungkin menjadi momen yang paling menyiksa bagi perempuan ini. Dia tidak bergabung dengan perempuan-perempuan lain yang biasa ke sumur pada waktu sore hari. Dia memilih terkena sinar matahari yang terik daripada berkumpul bersma perempuan-perempuan lain. Dia sadar siapa dirinya. Dia tahu bahwa masyarakat sukar untuk menerima dia apa adanya. Itulah sebabnya dia begitu tertarik dengan tawaran Yesus tentang air hidup. Dia tidak perlu lagi pergi ke sumur Yakub (4:15). Momen kesendirian, ketertolakan dan kepanasan setiap kali mengambil air dari sumur akan segera berlalu.

Perempuan ini tidak menyadari bahwa kasih karunia Allah yang besar dan indah akan terlihat lebih kentara pada saat seseorang menyadari kehinaan dirinya. Mereka yang tidak memahami keindahan kasih karunia tidak akan menginginkannya (4:10). Mereka yang tidak menyadari keberdosaannya tidak akan memahami kasih karunia Allah. Semakin besar pemahaman dan kesadaran kita terhadap keberdosaan diri kita, semakin besar pula pemahaman dan kesadaran kita terhadap kasih karunia Allah yang menutupi dosa tersebut.

Itulah sebabnya, Yesus sengaja menunjukkan keberdosaannya. Dia mengungkapkan ini dengan cara yang ajaib, persuasif, dan lembut. Sama seperti Dia mengenal Natanael (1:47-51) dan hati semua orang (3:23-25), demikian pula Dia mengenal perempuan ini. Namun, Dia tidak langsung menanyai perempuan ini tentang suaminya atau langsung menegur. Dia meminta perempuan ini untuk memanggil suaminya. Permintaan ini jelas sangat mengagetkan.

Tatkala perempuan ini mengatakan bahwa dia tidak mempunyai suami, Yesus mengapresiasi jawaban itu. Dua kali Yesus menimpali, “Tepat katamu” (4:17) dan “engkau berkata benar” (4:18). Namun, justru di balik “kebenaran” inilah terkuak kehidupan yang tidak benar. Perempuan ini tinggal serumah dengan laki-laki yang bukan suaminya. Dia juga sebelumnya sudah memiliki lima suami. Kemungkinan besar dia berkali-kali mengalami kawin-cerai.

4. Kita sebaiknya menghidari perbedaan yang tidak esensial (ayat 20-24)

Sesudah mengakui Yesus sebagai seorang nabi karena bisa mengetahui kehidupan pribadinya, sang perempuan Samaria itu langsung menggeser topik ke arah pusat ibadah (4:20). Tidak terlalu jelas apakah dia sengaja menghindar dari perbincangan tentang suaminya ataukah dia memang secara tulus ingin menanyakan isu teologis ini kepada Yesus sebagai seorang nabi. Apapun alasannya, topik ini merupakan isu yang sangat sensitif. Pertikaian tentang pusat ibadah sudah berlangsung berabad-abad. Saat bangsa Yehuda hendak membangun kembali Yerusalem dan bait Allah, mereka menolak bantuan dari bangsa Samaria. Bangsa Yahudi bahkan pernah menghancurkan pusat ibadah bangsa Samaria di Gunung Gerizim.

Yesus Kristus memilih untuk tidak terjebak pada persoalan ini. Yang paling penting dalam ibadah bukanlah tempat, melainkan cara. Bapa menghendaki penyembah-penyembah di dalam roh dan kebenaran (4:23-24). Artinya, ibadah tidak dibatasi oleh tempat tertentu, karena Yesus Kristus adalah bait Allah yang sejati (1:14 “diam”= lit. “bertabernakel”; 2:20-22). Dia adalah kebenaran yang sejati (14:6).

5. Kita menyatakan Injil dengan jelas (ayat 25-26)

Perkataan Yesus tentang penyembahan dalam roh dan kebenaran mungkin masih membingungkan bagi perempuan Samaria. Karena itu dia segera menimpali dengan pengharapan tentang Mesias versi Samaria. Bangsa Samaria memang menantikan kedatangan Taheb yang bertugas mengajarkan kehendak Allah kepada mereka (4:25; bdk. Ul. 18:15-18). Mungkin Pribadi inilah yang akan membuat segala sesuatu menjadi jelas.

Sebagai respons, Yesus langsung menyatakan diri-Nya sebagai Mesias (4:26). Perempuan itu tidak perlu menunggu lebih lama. Yesus adalah satu-satunya yang pernah melihat Bapa dan satu-satunya yang menyatakan Bapa kepada manusia (1:18), sehinga siapa saja yang melihat Yesus berarti sudah melihat Bapa (14:8-9). Dia adalah tetapi sekaligus lebih besar daripada Taheb yang dinanti-nantikan oleh bangsa Samaria.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Kelemahan Bukanlah Alasan untuk Tidak Melayani

Pernahkah kamu merasa tidak layak melayani karena kelemahan atau kekuranganmu?
Yuk baca artikel ini.