Posts

Menjadikan Relasi Lebih Berkualitas: Sikap Hormat

Yohanes 15:12: Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat ini adalah ayat umum yang dipakai untuk bicara soal relasi, tapi di saat yang sama paling mudah disalahmengerti. Mungkin karena saking biasanya ayat ini, kata “kasih” lebih cepat menarik mata kita dibandingkan kata perintah”. Jujur saja bagiku sebagai anak muda kata perintah memang punya konotasi ‘negatif’ karena kesannya yang “bossy”. Tapi kenyataannya kata ini keluar dari mulut Tuhan Yesus dan menjadi dasar dari hukum kasih.

Perintah dan hukum, adalah dua kata yang membawa kita melihat ada otoritas di dalam hidup kita. Jika kita percaya dan mengakui bahwa tidak ada hukum yang dapat mengatasi hukum kasih, secara tidak langsung kita akan lebih baik menjadi pelaku kasih dengan belajar menghormati. Dengan menghormati, kita tidak pernah kehilangan kehendak bebas, melainkan menjadi bijak dengan meletakkan kehendak bebas itu berdiri di atas batu penjuru yang kokoh dan tidak tergoyahkan, yaitu otoritas Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.

  • Dengan memilih, relasi itu dimulai; dengan tunduk dan hormat, relasi itu tumbuh menjadi cinta

Di masa-masa jombloku, pernah pada masanya aku senang main dating apps. Ternyata melalui dating apps aku bisa menentukan pilihan dan kriteria penampilan, pekerjaan, agama, ras, hobi, tinggi, umur sesuka aku. Pernah beberapa kali aku bertemu seorang yang cantik sekali, fun, enak untuk diajak ngobrol. Namun, tidak lama setelah itu aku di-ghosting. Pernah juga aku memilih seorang perempuan yang cantik di foto, namun kenyataannya tidak semenarik itu. Terkena cat fishing dalam dating apps, aku pun sebagai laki-laki yang adalah makhluk visual harus jujur bahwa aku kecewa. Kenyataannya ternyata punya pilihan itu tidak selalu menjamin bahwa kitalah yang memegang kendali.

Ironisnya, sering kali kita berpikir bahwa mendapatkan jodoh intinya adalah “aku memilih yang benar” dan “karena pilihanku benar, maka aku mencintai kamu”, tetapi perenunganku tentang arti perintah di dalam Alkitab mengungkap bahwa di samping memilih, aku juga pun perlu belajar menghormati pilihan Tuhan. Hari ini, kata “tunduk” dan “hormat” kalah populer dibandingkan “hak memilih”. Hal ini bisa terjadi karena kenyataannya lebih mudah menentukan kriteria orang yang berhak dicintai kita, dibandingkan menjadi orang yang patut dicintai.

Di dalam memulai sebuah relasi, kita boleh saja memilih. Tetapi untuk memiliki kasih dalam relasi, kita perlu belajar tunduk dan hormat. Tunduk dan hormat adalah sikap yang fokusnya di dalam diri setiap kita, sedangkan memilih fokus kepada apa yang ada di dalam diri orang lain. Memilih pasangan hingga presiden, kita bebas berkriteria. Tapi, untuk menghormati mereka belum tentu mudah bagi kita. Bagaimana kita harus menghormati pilihan doi yang menolak kita? Bagaimana kita menghormati batasan di dalam berpacaran? Bagaimana kita menghormati perbedaan kepribadian di dalam pacaran? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita mau mengikuti proses mengenal Tuhan, diri, dan sesama kita tanpa memaksakan “pilihan manusiawi kita” yang berdosa.

  • Memperhatikan hidup adalah jalan yang harus ditempuh bagi kita yang mau tinggal di dalam kehendak Tuhan

Saat ini aku berstatus sebagai orang berpacaran. Izinkan kuceritakan sedikit bagaimana aku bisa menjalin relasi ini. Aku sedang menempuh studi di sekolah Teologi dan di tahun kedua aku memilih masuk asrama. Ketika kasus Covid sedang naik, aku pun dikarantina dengan seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru tiga hari bersama, aku takut dan cemas karena perilaku teman sekamarku ini membuatku tidak nyaman. Terpikir olehku untuk mencari pertolongan dengan menghubungi seorang mahasiswi konseling yang kukenal di BEM. Singkat cerita, dari sesi konsultasiku, aku jadi tertarik dengan mahasiswi ini. Pembicaraan kami makin dalam dan kami memutuskan menjadi relasi hingga saat ini.

Sepanjang perjalananku berelasi, aku belajar dan menyadari bahwa tunduk dan hormat adalah sikap yang mahal! Hari ini, kita hidup di dalam zaman yang terbalik, yaitu ketika kita lebih mudah memilih kriteria pasangan sesuai kriteria sendiri tetapi sulit menghormati kriteria Allah. Allah memberikan kita kriteria berupa iman kepada Kristus, ketaatan, dan memiliki kasih kepada Allah dan sesama.

Lebih mudah memilih untuk segera menjalin hubungan tanpa bertanya kepada Tuhan apakah dia memang pasangan yang Tuhan berkenan. Lebih mudah memilih menjadikan jalan pacaran sebagai “jalan pertobatan”, dibandingkan tunduk dan menghormati anugerah Allah melalui Firman-Nya. Lebih mudah untuk menyerahkan tubuh kita kepada manusia dibandingkan menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Lebih mudah memilih menutup mata ketika cinta kita menggebu-gebu, daripada menghormati proses persiapan yang serius menuju pernikahan. Lebih mudah memilih cerai, daripada menghormati Allah yang membentuk institusi pernikahan.

Poin terakhir, kita dipanggil untuk tunduk dan hormat pada pasangan kita semata-mata kita mau tunduk dan hormat kepada Allah. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, kita yang laki-laki akan perlahan kehilangan alasan untuk berkorban bagi pasangan kita ketika dia tidak lagi menarik di mata kita. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, perempuan mungkin akan terlihat kuat dan baik-baik saja, namun rapuh dari dalam. Kristus yang mencintai kita hingga saat ini adalah alasan kita laki-laki mau belajar apa arti pengorbanan. Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia yang paling layak untuk dicintai adalah alasan bagi perempuan untuk terus belajar apa itu artinya tunduk kepada pasangan.

Belajar menghormati itu mengajarkan kita memelihara relasi kita. Mungkin ada di saat ini kita masih bergumul tentang pilihan kita, tapi akan ada waktunya pilihan itu harus ditutup misalnya ketika kita memutuskan menikah. Ketika pilihan itu tertutup, hanya sikap menghormati dan kasih yang akan terus dipakai di dalam hubungan pernikahan (Lihat Efesus 5:21-33).

Aku yakin semua keinginan kita untuk punya pasangan adalah juga keinginan untuk hidup menjadi seorang suami dan istri yang baik. Oleh karena itu, yuk kita belajar 1% lebih baik dengan mulai belajar menghormati Allah kita dahulu, sebelum lalu kita menghormati orang tua, saudara kita, bos kita, karyawan kita, teman kita, guru kita, dan orang-orang di sekeliling kita. Terkadang sulit menghormati mereka yang mengecewakan kita dengan hidup mereka yang jelas-jelas salah, namun di saat seperti itu aku berdoa agar kita juga punya waktu untuk berhenti dan kembali melihat Tuhan yang telah menebus hidup kita dengan darah-Nya di atas kayu salib.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk takut dan menghormati Allah, karena di dalam Dia saja ada relasi yang terus tumbuh dan indah pada waktunya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Dunia Tipu-Tipu, Kasih Tuhan Tak Pernah Menipu

Oleh Prilia

Di dunia tipu tipu
Kamu tempat aku bertumpu
Baik jahat abu abu
Tapi warnamu putih untukku

Dalam video clip lagu tersebut, Yura Yunita dengan lagunya “Dunia Tipu-Tipu” mengundang 7 pasang orang dengan beragam hubungan, di antaranya: sepasang kekasih, sepasang sahabat, sepasang saudara, ayah-anak, hingga kakek-nenek yang usia pernikahannya sudah 39 tahun. Masing-masing pasangan tersebut diberi ruang dan waktu secara bergantian untuk berkomunikasi hanya melalui tatapan mata sambil diiringi lagu “Dunia Tipu-Tipu”.

Ketika menonton dan mendengar tiap liriknya, aku tersentuh. Lagu itu seakan menyadarkan kita tentang arti kehadiran seseorang yang berharga di tengah hiruk pikuk dunia ini. Aku mengenang satu orang yang pernah amat berarti di hidupku. Orang yang selama itu kuanggap menjadi tempatku bertumpu dan mengerti isi kepalaku. Orang yang selalu ada dan sigap ketika aku membutuhkannya. Dialah (mantan) pacarku.

Kami sudah berpacaran selama hampir tiga tahun, dan selama itu juga aku merasa begitu dicintai olehnya. Lewat tutur katanya, perhatiannya, bahkan sampai tindakan-tindakan manis yang membuatku makin menyayanginya.

Ketika aku sangat lelah sepulang kerja, aku bertanya apakah dia mau menjemputku. Dia bersedia. Ketika aku stres, dia mengirimkan makanan, video-video lucu di media sosial, juga memotivasiku dengan kata-kata yang membuatku merasa aku spesial. Ketika aku sakit, dia langsung mendatangiku dengan membawakan bubur ayam favoritku juga berbagai macam obat. Padahal, ada mama, papa, juga adikku di rumah yang bisa kumintai tolong.

Masih banyak hal lainnya tentang dia yang membuatku merasa istimewa. Rasanya, dia sempurna bukan sebagai sosok pacar, bukan? Semua jenis love language dia miliki. Selama hampir tiga tahun bersamanya, dialah warna yang paling terang di hidupku.

Tapi, perlahan warna itu memudar. Seiring berjalannya waktu, aku merasa dia tidak seperhatian dulu. Terlebih kali ini dia cenderung menolak tiap permintaanku. Aku jadi bertanya-tanya apakah dia sedang bosan dengan hubungan kami atau lelah denganku, atau hal lainnya. Hingga kuberanikan diri untuk bertanya. Tapi, responsnya sungguh di luar dugaanku. Bukannya menjawab, dia malah memutuskanku.

Saat itu juga, duniaku terasa runtuh. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi itulah yang kurasakan. Aku bahkan tak percaya atas ucapannya. Ketika kutanyakan kenapa tiba-tiba dia memutuskanku, jawabannya adalah… aku terlalu baik untuknya. Alasan klasik, bukan?

Aku heran. Bagiku, itu bukanlah suatu alasan untuk putus. Aku menolak untuk diputuskan, tapi dia sungguh-sungguh dengan keputusannya. Aku tanya alasan yang lebih masuk akal, dia tak memberikannya. Dia terlihat benar-benar ingin putus denganku. Baru kali ini aku merasakan kecewa yang teramat dalam.

Aku memberikan usul untuk merenungkan kembali, namun lagi-lagi dia menolak. Entah apa lagi yang harus kulakukan. Aku jadi bertanya-tanya apa salahku. Apa yang pernah kuperbuat sampai tanpa kusadari mungkin menyakiti hatinya. Kutanyakan juga padanya, dia bilang tidak ada. Hingga akhirnya, kami selesai begitu saja.

Beberapa minggu tak berhubungan lagi dengannya membuat hidupku terasa hampa. Warna terang itu meredup. Berakhirnya hubunganku dengan dia mempengaruhi hari-hariku. Tidak jelasnya penyebab putus kami pun masih menggerogoti pikiranku. Sampai dua bulan kemudian, aku mendapatkan kabar dari temanku kalau dia, mantanku, sudah memiliki pacar. Ralat. Tunangan. Kabar itu… membuatku kembali menangis. Seakan luka di hatiku yang masih menganga, ditaburi garam.

Butuh waktu untuk memproses kabar itu. Mungkinkah itu penyebab dia memutuskanku? Tapi, kenapa? Padahal dia berjanji “takkan kemana-mana”. Hingga suatu memori menyeruak di benakku, yang kurasa menjadi alasan dia memutuskanku.

Kami memiliki latar belakang berbeda, yaitu suku. Pernah suatu kali aku dikenalkan ke orang tuanya. Sambutan dari orang tuanya tidak hangat, tapi tidak bisa juga dibilang dingin. Namun sepulang dari situ, dia cerita bahwa sebenarnya orang tuanya tidak merestui hubungan kami. Sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarga, orang tuanya sangat berharap—terkesan mengharuskan—dia menikah dengan perempuan yang satu suku dengannya karena hal itu sangat penting dalam adat mereka.

Dia, mantan pacarku, pernah bilang kalau akan terus mencoba mempertahankan hubungan kami sampai orang tuanya memberi restu. Dia juga berjanji untuk tidak meninggalkanku walau itu yang menjadi permintaan orang tuanya. Kami juga berusaha untuk meluluhkan hati orang tuanya. Tapi nyatanya, dia tak memenuhi janjinya itu. Dia menyerah, entah apa pun alasan di baliknya. Alih-alih mau membagikan masalahnya, dia justru memilih memutuskanku.

Sungguh semua ini tidak mudah, tapi aku harus tetap menjalani hari-hari seperti biasa, bukan? Walau setelahnya, banyak perubahan dalam diriku yang kurasakan, bahkan orang-orang terdekatku juga dapat membaca perubahanku. Aku jadi lebih pendiam, jarang tertawa, dan hanya berinteraksi seperlunya.

Jalan panjang memulihkan hati

Aku mencari cara untuk mewarnai hidupku dengan berbagai hal, karena warna paling terang itu sudah benar-benar pergi. Salahku juga dulu terlalu mengandalkan dia.

Hari demi hari kucoba menata lagi hatiku. Kudengar lagu-lagu dari YouTube setiap malam sebelum tidur. Suatu kali, ada satu lagu yang liriknya mengetuk pintu hatiku.

Hanya yang pernah merasakannya
Tahu duri dalam dagingku
Ternyata Kaulah yang paling mengerti

Rahasia hatiku

Lirik ini mendorong seluruh isi hatiku tumpah ruah. Aku menangis sejadi-jadinya di kamarku, membiarkan Tuhan melihat seluruh luka dan kerapuhanku.

Kubuka kembali ruang-ruang hatiku yang selama ini hanya diisi oleh dia, tetapi telah kosong. Dalam kehampaannya, kusadar tak ada ruang yang kuberikan buat Tuhan. Fokusku hanya dia, seolah hanya lewat dia sajalah aku bisa merasakan kasih. Padahal, jauh sebelum aku memiliki pacar, Tuhan telah mewujudkan kasih-Nya lewat mama, papa, saudara, teman dekat, dan banyak hal lainnya.  Kecenderungan hatiku yang berdosa membuatku cepat-cepat melupakan Tuhan dan melekat pada hal lain. Padahal, Yesus sendiri telah bersabda, “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar aku Aku tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5-6). 

Walau seakan tiada harapan
Kasih yang t’lah menjadi dingin
Ku suka cara-Mu memulihkan
Hatiku yang suam

Lagu itu pasti juga menjadi cara Tuhan memulihkanku. Hatiku yang hampa, Tuhan isi dengan kasih-Nya. Walau dia pergi, walau dia memilih menyerah, tapi Tuhan tak pernah menyerah padaku. Nyatanya, Tuhan memperhatikanku tiap saat. Patah hati memang pahit, tapi ibarat pahitnya obat yang membawa kesembuhan, demikian jugalah getir dari patah hati bila diserahkan pada Tuhan. Kukembalikan hati ini pada Sang Pemilik, agar Dia melekatkanku kembali pada pokok yang benar.

Saat yang lainnya begitu mudah sirna
Kasih-Mu, ya Tuhan, tetap bertahan
Engkaulah alasan hatiku percaya
Kasih masih ada dalam dunia

Terima kasih Tuhan karena masih bertahan denganku. Terima kasih juga, karena di dunia tipu-tipu ini, kutemukan kasih-Mu yang tidak pernah menipu. Kasih-Mu yang sejatinya selalu hadir di hidupku; keluarga, sahabat, teguran lembut-Mu, dan masih banyak lainnya, yang selama ini tidak kusadari karena kebucinanku. Ajarlah aku untuk dapat sungguh-sungguh merasakan kasih-Mu dan mensyukurinya tiap waktu, juga menanamkannya di hatiku. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seiman Sih, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…

Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.

“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.

“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”

Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.

Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”

Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.

“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”

Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”

Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”

Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.

***

Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.

Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.

Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.

Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.

“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?

Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”

Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”

Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?

Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.

Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.

“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”

Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?

“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.

Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?

Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?

Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.

Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?

Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?

Tetapi…

Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.

Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?

Apakah iman kami sudah seimbang?

Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?

Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?

Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.

Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.

Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.

Aini menekan tombol kirim.

Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.

Podcast KaMu ep. 26: BUCIN PADA ORANG YANG TEPAT | Belajar Mencintai dari Yang Sudah Menikah 25 Tahun!

Mencintai adalah perkara yang gampang-gampang-sulit. Gampang bagi seseorang yang sedang dimabuk asmara, dan sulit bagi yang tengah diterpa konflik dan mati-matian mempertahankan hubungan.

Barry dan Monic adalah sepasang suami-istri yang telah menikah selama lebih dari 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Seperempat abad dalam bahtera rumah tangga telah mengajari mereka begitu banyak hal-hal bijaksana tentang arti cinta; tentang bagaimana memupuk, memelihara, dan menumbuhkan cinta pada segala musim kehidupan.

Yuk simak cerita seru dari pengalaman Barry dan Monic di Podcast KaMu.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sabar Menunggu Pasangan Hidupmu

Oleh Jessie

Hayooo… Kamu klik artikel ini pasti karena kamu masih single ya? Hahaha, bercanda.

Apa pun status relasimu saat ini, tulisanku ini bukan hendak membandingkan antara yang single atau taken, ataupun berbagi tips and trick mencari jodoh. Jika kamu klik artikel ini karena masih menunggu calon pasangan yang batang hidungnya pun belum kelihatan, maka kamu berada di renungan yang tepat.

Aku menulis dalam statusku sebagai seorang lajang. Sejauh apa level ke-single-an-ku? Hmmm… Kalau malam Minggu aku sering pergi sendirian, atau mungkin nonton bioskop dengan orang tuaku. Kadang pula aku pergi ke mal, tapi menemani temanku yang sudah berpasangan hingga aku jadi seperti obat nyamuk saja. Di usiaku yang sudah seperempat abad, aku tidak menampik kalau aku pun ingin punya pacar. Oleh karenanya, aku mengerti keresahan dan menderitanya setiap kali ditayai kapan punya pacar dan menikah. Karena posisiku yang juga masih dalam tahap mencari dan menunggu, maka ada beberapa hal yang aku selalu ingatkan buat diriku sendiri yang juga aku ingin bagikan kepada kita semua yang ada dalam masa penantian ini.

Siapa pengemudi kapal cintamu?

Kita pasti tahu kalau jawaban yang seharusnya adalah Tuhan. Tapi, memberi kendali atas kehidupan percintaan kita pada-Nya tidaklah selalu mudah. Contoh: bagaimana kalau pria atau wanita yang kita sungguh-sungguh tertarik akan paras dan keasyikannya ternyata bukan pilihan yang berkenan buat Tuhan? Atau lebih jauh lagi, bagaimana jika ternyata lebih baik bagiku untuk tidak menikah?

Pertanyaan kedua memang cukup menakutkan bagi kebanyakan orang, termasuk aku. Namun, harus diketahui bahwa menikah atau tidak, keduanya merupakan panggilan, yang dipercayakan dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Sebagai orang Kristen yang telah menyerahkan dirinya untuk Tuhan, kita seharusnya melepaskan setir kemudi kita kepada pengemudi yang lebih handal. Atau, setidaknya kita berusaha untuk melepaskannya. Percayalah bahwa Pencipta kita tahu apa yang terbaik untuk kita, sehingga kalau memang belum bertemu pasangan yang sesuai, sepadan, jangan dipaksakan. Tetap percayakan roda setir hidup kita pada Tuhan dalam segala aspek apa pun itu, termasuk kisah cinta kita. Menyerahkan hidup pada Tuhan itu bukan persoalan kita senang atau tidak, namun itulah fondasi dari segala aspek kehidupan kita. Biarlah Tuhan yang memegang kendali dan menuliskan kisah cinta kita, oleh sebab itu berikanlah pulpen itu kepada-Nya.

Leslie Ludy dalam bukunya yang berjudul “When God Writes Your Love Story”, memberikan perspektif unik setelah kita bertekad menjadikan Tuhan sebagai pengarang dari kisah cinta kita. Pertanyaan yang membantu kita adalah, jadi apa tugas kita jika Tuhan sudah mengambil alih roda kemudi kehidupan kita? Jawabannya semudah mengenal Pengemudi kita secara pribadi. Mungkin banyak di antara kita mengaku sering berdoa, membaca Alkitab, dan ke gereja setiap Minggu; akan tetapi pertanyaan terpentingnya adalah, apakah kita mengenal Tuhan kita? Karena realitanya, kebanyakan dari kita hanya memberikan beberapa menit di sana dan beberapa menit di sini untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya rohani, namun sebenarnya tidak menambah kearifan kita dalam mengetahui kehendak Tuhan atas kehidupan kita, termasuk aspek kehidupan percintaan kita. Seek and know Him intentionally. Mau mengenal Tuhan lebih dalam lagi ya memang harus disengaja, bukan tanpa usaha.

Banyak cara mencari dan mengenal Tuhan, karena Tuhan kita tidak seperti kandidat-kandidat calon pasangan kita yang suka jual mahal dan sering tarik lalu mengulur. Tuhan kita selalu membuka diri-Nya bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari-Nya. Menulis jurnal mengenai perasaan kita dan apa yang Tuhan ajarkan dalam saat teduh harian kita adalah salah satu metode yang sangat membantu kita dalam mengenali diri kita dan apa yang Tuhan mau. Adapun cara lainnya yaitu membaca buku rohani, dan banyak hal lainnya yang kalian bisa eksplor saat melakukannya. Kunci utamanya niat.

Leslie Ludy juga melanjutkan bahwa perubahan dalam relasi kita dengan Kristus adalah kunci dari segalanya dikarenakan dua hal:

Yang pertama, kita belajar untuk bersandar pada relasi pribadi kita dengan Kristus sebagai sumber utama pengharapan, kebahagian, jaminan hidup kita. Poin ini penting banget dicatat baik-baik, khususnya untuk generasi kita sekarang ini. Kenapa? Karena begitu banyak anak muda menjadikan status hubungan romantis sebagai identitas utama mereka. Mungkin ada yang tidak bisa banget sendirian, sampai harus terus-menerus dalam keadaan atau mode mencari pasangan; atau saat putus, ada yang lalu kehilangan arah dan tujuan hidup; bahkan, banyak yang menganggap status hubungan romantisnya sebagai kewajiban yang membuat mereka lebih secure dalam berkomunitas. Leslie mengingatkan, jika kita terus memiliki ekspektasi bahwa calon pasangan kitalah yang akan memberikan kita kebahagian dan kepuasan kita, maka kita akan selalu kecewa. Se-ideal-ideal nya calon pasangan kita, mereka tetap manusia, lebih spesifik lagi, manusia yang berdosa; dan semua manusia pasti akan mengecewakan.

In case kita belum sadar, hubungan yang didasarkan pada emosi manusia saja cenderung tidak stabil dan tidak akan bertahan lama. Satu hari kita bisa bucin kebangetan, lain hari lagi kita mengabaikan perasaan tersebut karena mulai bosan; atau kalau lagi berantem, si cowo dan si cewe bisa ribut seolah mereka tidak pernah jatuh cinta. Belum lagi, saat kita memilih pasangan kita dikarenakan parasnya, lalu suatu hari parasnya sudah tidak seindah di hari pertama kita berjumpa mereka. Jadi, wajar saja kalau terjadi banyak perceraian dan ketidakharmonisan antara pasangan; karena mereka hanya mengandalkan emosi manusia yang sifatnya labil dan tidak menentu.

Poin yang kedua adalah, relasi pribadi kita dengan Kristus seharusnya akan menuntun kita untuk menjadikan Dia sebagai fokus utama saat kita berpacaran hingga menikah nantinya. Saat relasi kita dengan Kristus sudah benar, barulah kita mulai bertanya pasangan yang seperti apa yang harus kita cari? CS Lewis pernah mengatakan, A woman’s heart should be so hidden in God that a man should seek Him in order to find her.” Hati kita harus tenggelam dalam Tuhan sampai-sampai calon pasangan kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk mendapatkan kita. Jadi jawabannya se-simple, carilah pasangan yang juga memiliki relasi pribadi yang baik dengan Kristus. Kalau sampai akhirnya kita dan calon pasangan kita bisa bersama, itu dikarenakan kita memiliki kesamaan dalam mengasihi Kristus.

Di titik dan level itulah baru kita dan calon pasangan kita bisa se-visi-misi, tahu harus mengandalkan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Sehingga sebahagia dan sesulit apa pun tantangannya, mereka berpegang pada Tuhan dan ajaran kebenaran-Nya yang tidak akan pernah gagal ataupun mengecewakan endingnya. Aku percaya kalau kita dan dan pasangan kita mengutamakan Tuhan, Tuhan akan selalu menuntun dan memberkati kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Soulmate atau Solemate?

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

*Ditulis berdasarkan Refleksi dari Buku The Sacred Search, Gary Thomas.

Guys, nanti malam hunting makanan di Little India yuk, lagi ada bazar kuliner di sana,” celetuk Alma dari seberang ruangan. Dia masih sibuk dengan ponselnya, asyik scroll Instagram. Aku tidak menanggapi, juga sibuk dengan buku di tanganku. Sisca di sebelahku juga tampak sibuk dengan gim di ponselnya, hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar. Kami baru saja selesai latihan untuk kunjungan gereja hari Minggu ini.

Melihat kami bergeming, Alma mendekat ke arah kami.

“Halooo,” serunya dengan nada melambat untuk mendapatkan perhatian kami. Tapi, belum sempat kami menjawab, dia kembali bertanya, “Eh, lagi baca buku apa sih, Gi?!” Diperhatikannya sampul bukuku lalu dibacanya dengan bersuara, “The Sacred Search, Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus…. Wih! Ini buku keren banget!”

Mendengar suara Alma yang heboh sendiri, Sisca pun jadi teralihkan perhatiannya. Dia matikan gimnya lalu ikut serta dalam pembicaraan. 

“Apa yang kamu dapat dari membaca buku seperti itu, Gi?” tanya Sisca.

Aku mengangkat bahu. Bukan sebagai ekspresi tidak tahu, tapi memang buku ini isinya bagus sekali sehingga sulit rasanya memberikan jawaban singkat.

“Banyak hal sih. Kalian mau baca?” kutanya mereka balik.

“Kamu aja yang sharing sama kita, kamu ‘kan tahu minat baca kita rendah,” jawab Alma sambil nyengir.

“Ada beberapa hal yang paling aku highlight sih tentang pasangan atau teman hidup dari buku ini,” jawabku sembari memperhatikan ekspresi wajah mereka berdua. Kulihat mereka sepertinya sungguh ingin mendengar, tapi sebaiknya kuuji dulu pemahaman mereka tentang hidup berpasangan. “Sebelumnya, coba deh aku tanya, menurut kalian apa sih tujuan kita menikah?”

Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tampak kerutan-kerutan di keningnya, tanda bahwa sedang berpikir.

“Kalau aku sih, memiliki pasangan atau menikah itu kan kebutuhan biologis kita sebagai manusia. Jadi ya kita perlu menikah. Selain ya karena mandat dari Tuhan, untuk beranakcucu,” Sisca menjawab duluan.

Aku mengangguk tanda setuju. Kini giliran Alma menjawab. “Iya sama. Tapi dulu aku sempat berpikir kalau menikah itu sesuatu yang wajib kita lakukan, karena mana mungkin kita bisa hidup sendiri selamanya kan? Kita pasti butuh pasangan, kalau tidak kita bakal kesepian seumur hidup nggak sih?”

Senyum simpul tersungging di wajahku mendengar pertanyaan Alma. Sejatinya, pertanyaan itu tidaklah asing. Kebanyakan orang tentu berpikir yang sama, bukan? Bahwa tidak punya pasangan itu seolah hidup tidak utuh dan pasti kesepian. Kurapikan sedikit posisi dudukku. Dengan punggung yang lebih tegak dan kedua telapak tangan kuletakkan di paha, aku memulai penjelasanku dengan nada lebih lambat.

“Kebanyakan orang mungkin memang berpikir seperti itu ya ‘kan! Nah, poin pertama dari buku ini yang aku highlight, yaitu kita sering berpikir atau mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah. Tapi, bagaimana kalau pertanyaannya adalah mengapa kita menikah? Dan buku ini mencatat, dasar kita menikah adalah ayat Matius 6:33. Aku yakin, kita sudah hafal isi ayatnya kan?”

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” ucap Sisca menggemakan kembali ayat yang tidaklah asing di telinga.

Kulanjutkan lagi penjelasanku,  “Jadi, ketika kita memutuskan untuk menikah, itu bukan karena kita harus menikah atau karena sudah waktunya menikah, atau semata untuk kebutuhan biologis, untuk mendapat keturunan, dll. Itu memang bagian darinya, tapi tujuan kita menikah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangun keluarga Allah, menjadi rekan sekerja mewujudnyatakan rencana-Nya.” Kata-kata ini kuucapkan dengan mantap, mengutip bagian dari buku itu. Kedua orang di depanku seperti terbius dan hanya mendengarkan dengan khidmat. Aku hampir tertawa melihat ekspresi serius mereka.

“Oke, poin keduanya ini soal pasangan hidupnya sendiri sih. Ehm… tahu nggak, soal pasangan hidup ini aku itu awalnya mengira kalau kita akan dipertemukan dengan jodoh kita pada waktunya nanti. Jadi kita—apalagi perempuan—tinggal menunggu saja, nanti bakal ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pasangan kita.”

“Terdengar sangat rohani, bukan?” candaku. “Pernah beranggapan kayak gitu nggak?” Mereka berdua serentak mengangguk.

“Nah, tapi nyatanya, kalau seseorang tiba-tiba datang ke depan pintu rumah kita dan berkata bahwa dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menikahi kita, kira-kira apakah kita mau?” tanyaku, dengan sedikit tertawa. Mereka pun ikut tertawa.

“Kalo di buku ini, kita tidak menganggap bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang tertentu untuk kita. Seolah sejak lahir kita udah pasti akan menikah dengan seseorang yang sudah ditetapkan untuk kita, apapun yang terjadi. Jadi buku ini menggunakan istilah Solemate, bukan Soulmate,” jelasku.

Aku sengaja berhenti sejenak melihat tanggapan mereka. Dan mereka tampak antusias, menunggu aku melanjutkan. “Soulmate itu kan diartikan sebagai belahan jiwa, yang mana maksudnya ada seseorang di dunia ini yang pasti cocok, dan pasti bisa mengisi jiwa kita. Jadi kayak, kita ini setengah potongan, dan dia potongan yang lain, maka jika kita bersama kita akan menjadi satu bagian yang utuh. Padahal kalau di Alkitab ‘kan, kita bukan setengah ditambah setengah menjadi satu, tapi dua orang dipersatukan menjadi satu, gitu ‘kan?” kataku.

Alma dan Sisca mengangguk-angguk.

“Lalu kalau Solemate apa?” tanya Sisca.

Aku berdiam sesaat, mencoba mengingat. “Kalau Solemate, secara harfiah ‘kan sole itu berarti sol atau karet di bagian bawah sepatu. Jadi, kalau solemate itu yaitu seseorang yang akan berjalan bersama kita menjadi partner untuk mencari dahulu kerajaan Allah, sesuai dengan tujuan kita menikah tadi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Dan pasangan seperti itu kita temukan, bukan dengan sendirinya datang kepada kita. Memang bukan dengan mencari-cari secara agresif, tapi mendoakan, menemukan dan memilih dengan sungguh-sungguh.”

“Kita pun jika ingin ditemukan, kita harus berdiri di tempat di mana kita bisa ditemukan. Contohnya dengan mengikuti persekutuan, pelayanan, atau komunitas dimana kita berharap akan mengenal dan menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama.”

Kedua temanku itu masih serius mendengarkan. “Gimana? Sudah cukup dengan sharing session hari ini?” tanyaku bercanda. Mereka tertawa. Tapi, tampaknya mereka belum bosan dan justru menikmati percakapan ini.

“Aku jadi teringat deh sama sepupunya tetanggaku yang kemarin mau nikah. Masih cukup muda sih, tapi dia mantap buat menikah karena katanya dia yakin dia sudah bertemu dengan soulmatenya. Dia yakin setelah menikah dia akan menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak akan kesepian,” cerita Alma.

Aku tersenyum, mengingat sebuah kutipan. “Memang iya sih, ada hal-hal yang berubah dari seseorang yang sudah menikah. Dan, kita pun nggak mau langsung menghakimi keyakinan seperti itu kan.” Kemudian kulanjutkan, “Tapi ada satu kutipan dari buku ini yang membuatku tertawa saat membacanya. Menikah tidak akan membuat Anda menjadi orang yang berbahagia atau menjadikan Anda orang yang semakin dewasa; menikah hanya akan membuat Anda menjadi orang yang… sudah menikah.

Lalu entah bagaimana kami tertawa bersamaan setelah itu.

“Nah guys, teorinya udah ada kan, tinggal prakteknya nih yang tidak semudah itu,” candaku, menutup topik pembicaraan kali ini.

“Iya, memang pasti nggak mudah sih menerapkannya ya walaupun kita sudah tahu teorinya. Untuk itulah aku membutuhkan kalian guys, dan persekutuan kita, supaya kita saling menolong untuk taat,” kata Sisca dengan pelan dan terdengar tulus setelah diam cukup lama.

Aku tersenyum, Alma juga. Kami saling bertatapan, menyetujui untuk saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan untuk taat. Aku pun yang sedang menjalin hubungan juga sedang belajar taat untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.

“Eh udah gelap nih, ayo nanti bazar makanannya keburu rame, kita nggak kebagian tempat kosong,” seru Alma tiba-tiba. Kami tertawa dan mengikuti tarikannya melangkah keluar.

***

“Wahai para lelaki dan perempuan, temukanlah seorang pasangan yang bersamanya Anda bisa mencari dahulu kerajaan Allah, yaitu seseorang yang menginspirasi Anda menjalani hidup saleh. Dan, ketika Anda berhasil melakukannya, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

-The Sacred Search, Gary Thomas-

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi you attract what you are, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.

Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!

To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.

Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata  “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.

Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach

Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.

Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”

Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.

Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.

Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.

Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.

Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.

Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Apakah Ia Benar Jodohku? Kehendak Tuhan vs. Kehendak Manusia, Why Not Both?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

Dear single fighter maupun muda-mudi yang sedang pacaran, ada yang notice-kah dengan berita yang sedang trending akhir-akhir ini? Wakil Presiden kita, Pak Ma’ruf Amin, mengimbau anak-anak muda (yang termasuk Generasi Z) untuk tidak menunda nikah. Beliau melandaskan imbauannya pada laporan adanya pengurangan jumlah kelahiran di Indonesia. Reaksi warganet pun beragam, salah satunya adalah komentar di Instagram Story pacarku mengenai isu tersebut, “Ya, gapapa, sih, Pak asal sama orang yang bener.” Mungkin sebagian kita yang masih single akan mengangguk-angguk dengan pernyataan warganet itu. Bahkan ketika membaca komentarnya, kita (dan aku) yang sedang berpacaran mungkin juga memikirkan kembali, “Apakah benar pacarku yang sekarang ini memang adalah pasangan yang benar?” Toh siapa yang mau punya pasangan yang “salah”?

Terlepas dari faktor-faktor seperti kesiapan finansial, mental, kesehatan, keluarga, dan lain-lain, banyak di antara kita mendambakan pasangan yang “benar” atau “tepat”. Oke, deh, mungkin ideal ini tidaklah sama dengan spesifikasi tampang artis Korea dan tingkat spiritualitas pendeta, tetapi setidaknya dia mau sama-sama berjuang dan tidak punya ciri-ciri red flag

Omong-omong, ciri-ciri calon pasangan yang tidak red flag itu apa, sih?

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut tampak pada orang-orang yang mau peduli dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Di antaranya adalah peduli dan bersedia mempersiapkan diri secara finansial, mental, kesehatan, serta keluarga asalnya maupun pasangannya. Mungkin kita sudah memahami prinsip ini, tetapi kenyataannya tidak jarang kita bisa meragukan “kelayakan” orang lain menjadi pasangan kita, atau bahkan ragu apakah kita “layak” menjadi pasangan baginya.

Fenomena ini membawaku merenungkan tentang pelayan Abraham yang mencari jodoh untuk Ishak (Kejadian 24). Secara kasat mata, mungkin kebanyakan anak muda akan alergi dengan yang namanya perjodohan oleh orang tua. Akan tetapi, jika memang kita pernah berdoa dijodohkan Tuhan, perikop ini tetap relevan bagi kita dengan satu pesan, yaitu mencari pasangan itu bukan adu-aduan antara kehendak Allah dan manusia, melainkan cerminan relasimu dengan Tuhan. Berikut adalah doa sang pelayan ketika memohon bimbingan Tuhan dalam memilih istri bagi Ishak, anak dari bapa segala bangsa itu:

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.” (Kejadian 24:12-14 (TB 1974)).

Secara sepintas, doa pelayan ini begitu sederhana, tetapi aku justru melihat imannya kepada Allah di tengah-tengah kebingungan yang dialaminya. Jika mau sedikit berempati, kita akan melihat bahwa pelayan ini takut akan pilihannya yang tidak sesuai dengan keinginan tuannya—yaitu Abraham—dan Ishak. Ketika mengutus sang pelayan, Abraham hanya berpesan untuk mencari perempuan bukan Kanaan. Ya, hanya kriteria itu yang dicatat di Alkitab. Kita tahu bahwa Kanaan adalah bangsa penyembah berhala, sehingga secara tersirat Abraham tidak ingin Ishak justru mengikuti penyembahan berhala. Namun, apakah Ishak tidak punya kriteria sendiri? Bukankah salah satu anak Ishak yang bernama Yakub punya kriteria pasangan dan bisa memilih Rahel dibandingkan Lea, padahal kedua perempuan itu adalah kakak-beradik (Kejadian 29:18)? Jika demikian, tentu wajar bagi pelayan Abraham untuk meminta Ishak ikut bersamanya dalam pencarian istri. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Abraham. Tidak heran jika pelayan itu merasa khawatir dan takut untuk membawa pulang calon pasangan yang tidak sesuai bagi Ishak.

Di dalam kelelahan dan kekhawatirannya, pelayan itu berdoa kepada Tuhan. Jika kita mau mundur ke pembukaan doa sang pelayan itu, sesungguhnya kita dapat menemukan bahwa dia melihat jelas betapa hidupnya relasi antara Abraham dan Tuhan:

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.

Ungkapan ini bukanlah pembukaan doa semata, melainkan sebuah pernyataan iman atas kedaulatan Tuhan di dalam hidup Abraham. Sangat mungkin jika kita melihat pelayan ini menyaksikan hidup Abraham yang bergaul erat dengan Tuhan, sehingga ia pun bisa berdoa seperti yang dilakukan tuannya. Tidak hanya kebiasaan berdoa, pelayan ini juga mengenal Allah Abraham sebagai Allah yang penuh kasih dan—mungkin juga—mengenal janji Allah kepada Abraham yang akan memberkati keturunannya. Ungkapan pelayan ini mencerminkan relasi pribadi antara manusia dengan Allah yang autentik dan erat, sehingga dirinya mengenal siapa Allah yang mengutusnya mencari pasangan bagi Ishak.

Di samping pengenalan akan Tuhan yang begitu baik, pelayan ini juga mengenal dirinya sendiri. Seperti ungkapan seorang teolog bernama John Calvin, Without knowledge of self, there is no knowledge of God (tanpa pengenalan akan diri, tidak ada pengenalan akan Allah),” pelayan ini tahu apa yang dia butuhkan untuk memenuhi mandat tuannya. Selain berdoa, pelayan itu mengenal kebutuhannya, bahkan rela untuk menjadi rapuh dengan meminta air dari perempuan—yang tidak lain adalah Ribka—pada saat itu. Iya, perjalanan yang sangat jauh tentu menguras tenaga sang pelayan, bukan?

Mengenal diri dan menjadi rapuh adalah poin yang penting di dalam proses pengenalan diri, tetapi tentunya memerlukan waktu bagi kita untuk mencernanya dan melalui proses pendewasaan yang tidak mudah. Tuhan mengizinkan kita untuk menguji-Nya di dalam ketaatan (lihat Maleakhi 3:10, Efesus 5:10, 1 Tesalonika 5:2), tetapi kita juga perlu rendah hati untuk diuji Tuhan (lihat Mazmur 26:2; 139:23). Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Tuhan ingin kita mencari pasangan yang sepadan dengan kita, seperti Adam dan Hawa. Di sisi lain, kita juga perlu sadar bahwa Tuhan membiarkan Adam untuk bekerja dan mencari terlebih dahulu di antara ciptaan-ciptaan-Nya, sehingga dia sadar bahwa tidak ada yang sepadan dengannya sampai Allah menyediakan Hawa baginya (lihat Kejadian 2:20).Bagi sebagian kita, pengalaman mencari pasangan mungkin adalah pengalaman yang penuh perasaan menggebu-gebu. Perasaan seperti ini tidak terhindarkan, tetapi kita perlu mewaspadainya dengan membuka mata maupun telinga lebar-lebar untuk mengenal dan dikenal pasangan. Lalu, bagaimana dengan yang sudah “pesimis” terhadap kata-kata cinta karena pernah dikecewakan dan menelan rasa pahit? Pikiran pesimistis itu pun tidak terhindarkan saking menyakitkannya jika terulang lagi. Namun, momen-momen pahit itu juga dapat menjadi tanda kita untuk kembali berefleksi dan berdiam diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa menerima segala kelemahan dan kerapuhan kita.

Pengalaman mengenal orang lain sesungguhnya tidak pernah lepas dari pengalaman kita mengenal Tuhan dan diri. Sebagai laki-laki, aku berpikir bahwa secara tanpa sadar, sering kali kriteria pasangan ditentukan oleh bagaimana sang laki-laki berelasi dengan ibunya (wahai kaum laki-laki, bagaimana menurut kalian?). Sebagai contoh, aku mendambakan perempuan yang mindful, ramah, dan detail dalam mengurus berbagai hal. Ternyata, aku tidak menyadari bahwa sifat-sifat tersebut telah ditunjukkan terlebih dahulu oleh ibuku. Sebagai konsekuensi, sering kali aku perlu menerima komentar detail dari pasanganku, misalnya tentang tata bahasa tulisan. Dikritik itu tidak mudah, dan sering kali aku memerlukan kerendahan hati sebagai laki-laki. Di sisi lain, aku juga bisa merasa terganggu jika pasangan tidak punya kerapian dalam berpakaian, berpenampilan, dan mengurus barang. Dari mana asal ketidaknyamanan itu? Dari orang tua tentunya. Apakah aku terganggu? Iya, tetapi melaluinya aku mengenal diri dan sifatku, serta belajar menerima pasangan yang memang Tuhan sudah berikan bagiku saat ini.

Jadi, apakah ada pasangan yang adalah pasangan yang benar? Hanya Tuhan yang tahu persis skenario kisah cinta anak-anak-Nya, dan biarlah Dia yang menguji tiap relasi yang terjalin. Bagian kita adalah terus mengenal siapa Tuhan, diri sendiri, dan dia yang berelasi dengan kita. Sesungguhnya, musuh dari relasi bukan sekedar kebencian, melainkan keangkuhan hati yang membuat kita berasumsi sudah mengenal pasangan “sepenuhnya”. Ingatlah, setiap manusia—siapa pun itu—pasti menyimpan kerapuhan dan kelemahan yang tidak mudah diterima. Ketika menikahi seseorang kelak, kita tidak hanya “menikahi” kecantikan dan kebaikannya, melainkan juga kelemahan, keberdosaan, kerapuhan, dan ketidaksempurnaannya.

Pada akhirnya, mencari pasangan bukanlah tentang permasalahan cocok-cocokan, melainkan sebuah cerminan relasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Aku pernah mendengar curhat dari seorang perempuan bahwa menurutnya laki-laki di gereja itu adalah laki-laki yang “lempeng-lempeng (mudah ikut arus) aja hidupnya”, sehingga dirinya tidak memiliki tujuan hidup. Bagaimana jika anggapan ini benar-benar menggambarkan semua laki-laki yang mengaku percaya kepada Kristus, Sang Kepala Gereja yang mengasihi umat-Nya dan menjadi teladan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dalam sebuah relasi? Bagaimana jika semua perempuan beranggapan serupa, sehingga mereka memilih untuk mencari laki-laki yang lebih “membawa gairah”—bahkan meskipun itu berarti mencarinya di luar persekutuan orang percaya? (lihat 2 Korintus 6:14).

Hai, laki-laki, angkat kepalamu, arahkan matamu kepada Tuhan yang memberikan mandat untuk mengelola hidupmu dan sesamamu. Kasihilah perempuan seperti Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu tidak dengan paksaan—melainkan dengan kerelaan.

Hai, perempuan, terima kasih sudah menjadi penolong yang sepadan bagi kami. Kiranya hidupmu senantiasa terang berkilau seperti mahkota raja yang selalu membawa kami melihat Sang Raja dan Sahabat kami, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita di dalam perjalanan mencari pasangan dan membangun rumah tangga Allah. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥