Posts

Melihat dan Memahami Injil Natal Lewat Tokoh Manga

Oleh Jefferson

“Dasar lu wibu!” canda teman-temanku. 

“Huh? Apa tuh ‘wibu’?” aku bertanya, bingung.

“Jeff, lu baru aja jelasin plot satu manga, itu berarti lu wibu.”

Percakapan di atas kurang lebih merangkum kali pertama aku mendengar kata “wibu”. Maaf kalau aku terdengar ketinggalan zaman. Aku memang tak begitu aktif di media sosial, yang kupahami mempopulerkan istilah ini di antara orang Indonesia. Kalau kamu juga tidak tahu, “wibu” dipakai – kerap dengan konotasi ejekan – untuk mendeskripsikan orang-orang yang kelihatannya terobsesi dengan budaya pop dari Jepang dan bahkan menganggapnya lebih unggul dibandingkan budaya-budaya lain.

Aku bilang “kelihatannya” karena tidak semua orang yang disebut “wibu” memiliki persepsi maupun obsesi seperti di atas. Kami hanya menikmati manga dan anime sebagai hiburan, tidak lebih dari itu. Maafkan kalau terkadang aku membicarakan tentang serial manga yang kuikuti dengan terlalu antusias, tapi aku percaya kamu dapat berempati dengan gairahku ini. Lagi pula, bukankah wajar jika kita membagikan sukacita kita atas sesuatu dengan penuh semangat kepada orang lain agar mereka juga bisa menikmatinya?

Itulah yang akan kulakukan dalam tulisan ini: berbagi tentang seorang protagonis dari salah satu serial manga favoritku dan bagaimana aku berempati dengannya. Tapi kita tak berhenti di situ: aku akan menghubungkan perenunganku tentang karakter tersebut kembali kepada Tuhan Yesus. Lewat refleksi yang tidak biasa yang menghubungkan manga dengan Injil ini, aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa: (i) kita bisa mengikut Tuhan Yesus dengan penuh komitmen dan tetap menikmati bentuk-bentuk hiburan di dunia ini dan (ii) Ia dapat ditemukan di dalam semua ciptaan, termasuk ciptaan tangan kita, ketika kita mencari-Nya dengan segenap keberadaan kita (Kis. 17:27, bdk. Yes. 55:6–7).

Mari kuperkenalkan kamu dengan, dari serial manga My Hero Academia (MHA):

Izuku Midoriya, pewaris One for All

Untuk memahami apa itu “One for All” dan signfikansi Izuku sebagai pewarisnya, pertama-tama kita perlu menyelami latar – dan sedikit sejarah – dari jagat MHA.

Serial manga ini mengambil tempat di dunia di mana hanya sebagian kecil populasinya yang tidak memiliki “quirk” (istilah MHA untuk kekuatan super). Maka keberadaan pahlawan dan penjahat adalah lazim di masyarakat. Para penjahat dikepalai All For One (AFO), penjahat yang quirk-nya dengan nama yang sama memampukannya untuk mencuri dan memakai quirk orang lain. Yang memimpin perlawanan para pahlawan melawan penjahat adalah All Might, yang memiliki quirk One For All (OFA).

Lima tahun sebelum cerita utama MHA, All Might sukses mengalahkan AFO sehingga ia dijuki “Simbol Perdamaian”. Namun, ada harga yang harus dibayar All Might untuk kemenangannya: luka parah yang membatasi hari-harinya sebagai Simbol Perdamian. Mengetahui bahwa AFO suatu hari akan kembali untuk menghancurkan perdamaian yang ia perjuangkan dengan keras, All Might mulai mencari pewaris yang layak untuk OFA dan mampu menyelesaikan misinya untuk menghentikan AFO untuk selamanya. Setelah pulih dari luka-lukanya, All Might mulai mengajar di almamaternya SMA U.A.

Masuk: Izuku Midoriya. Seorang tipikal remaja kutu buku, Izuku bercita-cita untuk mendaftar masuk ke U.A. dan menjadi seorang pahlawan hebat seperti All Might. Tetapi Izuku terlahir tanpa quirk, jadi bagaimana dia bisa mewujudkan cita-citanya ini? Kamu pasti bisa menebak apa yang kemudian terjadi: Izuku secara tidak sengaja bertemu All Might dan terlibat dalam sebuah kejadian di mana ia menunjukkan kepahlawanannya walaupun tidak memiliki quirk. Setelah kejadian itu lewat, All Might mengungkapkan rahasianya kepada Izuku dan memilih Izuku sebagai pewaris OFA. Dengan quirk barunya, Izuku berhasil bergabung ke SMA U.A. dan mulai berlatih untuk pada akhirnya menjadi Simbol Perdamaian menggantikan All Might.

Dari sini alur cerita MHA berjalan dengan cukup standar hingga, seperti semua cerita bagus lainnya, sang protagonis harus mengalami masa nadir sebelum mencapai klimaks kejayaannya. Sembilan bulan setelah belajar di U.A., Izuku terlibat dalam operasi rahasia untuk menangkap pengikut AFO. Apa daya, mereka berhasil kabur dari sergapan para pahlawan dan membebaskan AFO dari penjara. Kembalinya AFO mengembalikan kondisi masyarakat kepada kekacauan seperti masa sebelum ia dikalahkan All Might. Menghadapi AFO yang aktif mengejarnya untuk merebut kembali OFA, Izuku memutuskan untuk kabur dari U.A. bersama All Might untuk melindungi teman-teman kelasnya. Sebelum pergi, Izuku meninggalkan mereka surat yang menjelaskan tentang OFA dan alasan kepergiannya. Maka dimulailah misinya untuk melacak dan menghadapi AFO.

Namun, setelah beberapa waktu mencari petunjuk dan mengalahkan penjahat kiriman AFO, Izuku masih tidak dapat menemukannya sama sekali. Rasa letih memperberat beban yang Izuku pikul sebagai penerus OFA. Izuku pada akhirnya menjauhkan diri dari sekutu-sekutu yang telah membantunya sejauh itu, termasuk All Might, dan beroperasi sendiri dengan alasan untuk melindungi mereka dari bahaya. Perjalanan Izuku akhirnya mencapai titik nadir ketika berhari-hari pencarian dan pertarungan yang melelahkan membuat penampilannya lebih mirip penjahat daripada pahlawan, seperti yang ditunjukkan pada gambar di sebelah kanan.

Melihat diriku dalam Izuku Midoriya

Setelah mengetahui lebih banyak tentang Izuku dan MHA, aku ingin berbagi bagaimana aku berempati dengannya.

Sebagaimana Izuku menerima OFA dari All Might pada usia 14 tahun, aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku sembilan hari sebelum ulang tahunku yang ke-15. Hidup kami tidak pernah sama lagi: Izuku mulai sekolah di U.A., berlatih untuk menghadapi AFO, dan tumbuh menjadi pahlawan yang cakap; Tuhan memanggilku untuk belajar tentang lingkungan hidup di Nanyang Technological University di Singapura, di mana aku menjadi mahasiswa dari Indonesia satu-satunya di angkatan pertama jurusan itu. Setelah “berlatih” selama 4 tahun dan bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama 3,5 tahun, Tuhan memberikanku afirmasi terhadap panggilan-Nya untukku di dunia kerja, terutama di bidang sustainability / keberlanjutan yang sedang berkembang.

Aku pun memutuskan untuk membekali diri lebih jauh dengan mengambil gelar S-2 dalam bidang sustainable finance di National University of Singapore. Herannya – atau harusnya bisa kuduga? – sekali lagi aku menjadi satu-satunya orang Indonesia di angkatan pertama program master itu. Sekarang aku bekerja di institut NUS yang menaungi jurusan masterku, di mana aku menyelidiki bagaimana sektor-sektor pasar bisa menginternalisasi eksternalitas lingkungan dan sosial mereka lewat sustainable finance sehingga kita bisa beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim dengan lebih baik. Selain pekerjaan, aku melayani di beberapa pelayanan seputar pengajaran dan pemuridan: memimpin kelompok kecil, mengembangkan kurikulum gereja, mengajar di ibadah remaja, dan menulis di WarungSaTeKaMu dan blog.

Seperti yang kamu lihat, kombinasi pekerjaan dan pelayananku, pemuridan dan sustainable finance, agak tidak biasa. Tergantung pada sudut pandangnya, kombinasi panggilanku bisa dipandang sebagai suatu kehormatan atau beban: kehormatan, karena tidak semua orang dipanggil oleh Allah untuk merintis dan menemukan pekerjaan kerajaan-Nya di bidang yang sedang berkembang dan semakin relevan; beban, karena trailblazing / perintisan berarti kita sering kali harus berjalan sendirian dan hanya segelintir yang bisa memahami apa yang kita lalui. Tambahkan ke dalam situasi ini latar geografisku, sebuah negara yang terkenal sibuk, maka kamu dapat melihat godaanku setiap harinya untuk memandang panggilanku sebagai beban. Sayangnya, aku lebih sering jatuh ke dalam godaan itu. Seperti Izuku, aku merasa terbebani oleh panggilanku sampai-sampai aku berulang kali berpikir, “Tidak ada yang dapat mengerti aku, tidak ada yang bisa memikul bebanku, aku harus berjuang sendirian!”

Sekarang kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana Izuku dan aku bangkit dari masa nadir. 

Kami tidak melewatinya sendiri.

Ada orang lain yang datang menyelamatkan kami.

Bagaimana Izuku melewati masa nadirnya

Bagi Izuku, adalah teman sekelasnya di U.A. yang menyelamatkannya. Setelah mengetahui beban yang dipikulnya, teman-teman Izuku mengonfrontasi dan memintanya untuk kembali ke U.A. sehingga mereka dapat bersiap menghadapi AFO bersama-sama. Izuku mencoba melawan, tetapi pewaris OFA kedelapan yang sedang keletihan tidak berdaya melawan 19 pahlawan dalam pelatihan. Menyadari kesalahan tindakannya, Izuku meminta maaf kepada teman-temannya dan kembali ke U.A. bersama mereka sehingga ia bisa mendapat istirahat dan dukungan yang cukup untuk pertempuran final melawan AFO dan kroni-kroninya.

Kesimpulan yang “gampangan” dari kisah ini adalah bahwa orang-orang terdekat kita dapat menyelamatkan kita dari titik nadir dan membantu kita bangkit kembali ketika kita sedang terpuruk. Namun, jauh di dalam lubuk hati kita tahu bahwa kenyataannya tidak semudah itu. Mengapa? Karena keluarga dan teman-teman kita tidak akan selalu bersama kita sepanjang kita hidup. Beberapa bahkan mungkin akan meninggalkan kita sendirian dalam pergumulan kita karena mereka sendiri tidak mampu menanggung beban-beban mereka pribadi.

Jadi, kepada siapa kita bisa meminta bantuan ketika kita berada di titik nadir?

Bagaimana kita dapat melewati masa nadir kita bersama Kristus

Membaca bagian cerita Izuku ini (bab 316–325, Izuku berhadapan dengan teman-temannya di bab 320–322) mengingatkanku pada satu sosok dalam sejarah yang dibawa ke titik nadir, seperti Izuku dan aku, dan berhasil melewatinya dengan pengharapan.

Inilah yang ia katakan tentang penderitaannya dan cara ia menyelesaikannya:

(16) Pada pembelaanku yang pertama, tidak ada seorang pun yang mendukung aku karena semua telah meninggalkan aku. Semoga hal ini tidak dibalaskan atas mereka. (17) Namun, Tuhan berdiri di sampingku dan menguatkanku sehingga Injil dapat diberitakan sepenuhnya melalui aku, dan semua orang bukan Yahudi dapat mendengarnya. Dengan demikian aku dilepaskan dari mulut singa. (18) Tuhan akan menyelamatkan aku dari setiap perbuatan jahat dan akan membawaku ke kerajaan surgawi-Nya dengan selamat. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin. (2 Tim. 4:16–18 AYT)

Rasul Paulus menulis teks di atas sebagai bagian dari suratnya yang kedua kepada anak didiknya Timotius sekaligus surat terakhirnya sebelum ia meninggal. Setelah dibebaskan dari penjara di Roma dalam Kisah Para Rasul 28, Paulus terus melayani dan membagikan Injil Yesus Kristus di Roma dan kota-kota lainnya. Pelayanan penginjilannya menyebabkan Paulus dipenjara lagi di kota yang sama beberapa tahun kemudian. Di sanalah kita melihat Paulus sedang menulis di sudut gelap sel penjara kepada Timotius, kemungkinan sambil menggigil karena musim dingin (ay. 13). Setelah rekan-rekannya meninggalkannya dalam pengadilan yang pertama (ay. 16), Paulus meminta Timotius untuk datang menemaninya (ay. 9) sambil menunggu pengadilan berikutnya, yang kemungkinan akan berakhir dengan kematiannya (ay. 6).

Kita tentu paham kalau Paulus mengakhiri suratnya dengan nada keputusasaan, tapi bukan itu yang dicatat setelah ayat 16. Apa yang terjadi? Kita melihat Tuhan Yesus mendampingi Paulus, meneguhkan panggilan-Nya kepadanya dan menguatkannya untuk melewati masa nadir ini (ay. 17). Mengapa kehadiran Tuhan Yesus cukup untuk menyanggupkan Paulus bertahan dalam pemenjaraannya dan bahkan memuji Dia (ayat 18)? Karena Paulus tahu bahwa Yesus pernah mengalami kesepian dan penderitaan yang lebih parah daripada yang ia alami, bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Paulus sendiri (Kis. 19:5). Dan, setelah menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, Paulus tahu pasti bahwa Yesus Kristus selalu bersamanya melalui Roh Kudus di dalam dirinya (Rom. 8:9–11). 

Aku pernah membaca perikop ini beberapa kali, namun aku tidak memahami signifikansi di balik kata-kata Paulus sampai aku melihat ilustrasi The Bible Project untuk ayat 17: Paulus di dalam sel penjara yang dingin, dengan Tuhan Yesus berdiri di sampingnya menghiburnya. 

Aku tidak bisa tidak memperhatikan kemiripan antara gambar 2 Tim. 4:17 ini dengan satu adegan di bab 321 MHA, di mana salah satu teman Izuku berhasil menggegam tangannya, melambangkan kesediaan mereka untuk mendukungnya dalam misinya mengalahkan AFO:

Aku langsung teringat nama lain Yesus: Imanuel, Allah beserta kita (Mat. 1:23, Yes. 7:14).

Nama ini memiliki implikasi pribadi dan kosmis. Inilah Injil, yang secara harfiah berarti Kabar Baik: kalau Allah beserta kita, tidak ada satu titik pun di alam semesta yang berada atau terjadi di luar kendali-Nya, termasuk penderitaan kita (Rom. 8:28, bdk. Mat. 6:25–30). Yesus sebagai Imanuel berarti Allah tidak akan membiarkan ataupun meninggalkan kita sendirian (Ul. 31:8). Kita punya jaminan untuk janji-Nya, jaminan terkuat di antara semua jaminan yang pernah dan mungkin ada. Di dalam pribadi Yesus, aku menemukan Izuku sejati yang menanggung beban seluruh dunia, ditinggalkan dan dikhianati oleh oleh orang-orang yang dikasihinya, namun bertahan sampai akhir tanpa kehilangan diri-Nya. Di mana? Di salib Romawi yang merupakan titik nadir Natal, Yesus berseru dengan keras, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34 TB).

Lihatlah Anak Allah, sang Penulis seluruh ciptaan (Kej.1:3; Yoh. 1:3), pewaris sejati Allah Bapa (Rom. 8:17), turun ke dunia mengambil bentuk ciptaan-Nya untuk menyertai kita dan mengalami nadir terburuk yang dapat dirasakan oleh manusia sendirian. Untuk apa? Supaya mereka yang percaya kepada-Nya tidak akan pernah lagi sendirian melainkan berada dalam hadirat-Nya yang setia dan kekal. Perlukah kita bukti lain bahwa inilah satu-satunya Allah yang patut kita sembah dan bisa andalkan setiap saat, terutama pada momen-momen kita paling membutuhkan-Nya? 

Kalau Yesus menyertai Paulus selama ia dipenjara, Ia pun pasti menyertai kita, sampai akhir zaman pada kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 28:20).

Melihat Yesus Kristus dalam setiap kisah di dunia ini

Sangat mudah bagi kita untuk melupakan bahwa kita pun adalah orang berdosa yang tidak layak menerima keselamatan yang dikaruniakan Tuhan Yesus kepada kita, terutama jika kita melihat diri kita sebagai orang yang baik dan diberkati. Anugerah dan berkat yang kita miliki dapat menjadi menjadi kutukan dan beban yang membuat kita melupakan bahwa kita pun membutuhkan keselamatan dari Kristus. Izuku menderita amnesia ini, tapi teman-temannya mencari dan menyelamatkannya. Orang-orang terdekat kita mungkin melakukan hal yang sama kepada kita, namun pada akhirnya hanya Yesus yang bisa  menyelamatkan kita. Izuku dan teman-temannya masih perlu melawan AFO di pertempurang terakhir, namun Kristus telah memenangkan pertempuran tersebut bagi kita. Maka kita terus berjuang karena Dia telah menang telak atas dosa dan maut.

Ada banyak aplikasi yang bisa kita ambil dari renunganku, seperti berinisiatif untuk berbagi dengan orang-orang terdekat tentang kesulitan yang kita alami, seperti yang dilakukan Izuku dan Paulus dengan surat-surat mereka. Namun ada satu hal yang dapat kita lakukan untuk menangani amnesia kita sampai ke akarnya. Kuharap kamu setidaknya akan mengingat dan menerapkan aplikasi ini: ketika kelihatannya tidak ada jalan keluar dan kamu tidak merasa ingin datang kepada Allah sama sekali, biarlah Roh-Nya menggerakkanmu untuk mengingat kisah-kisah yang menggerakkanmu, lalu telusurilah jalur yang mereka tunjukkan kepadamu. Di sana, kamu akan menemukan sang Penulis Agung, Yesus Kristus, dan bersama-Nya segala hal (Rom. 8:32; 1 Kor. 3:21–23): kasih (Yoh. 15:9), kekuatan dan penyertaan (2 Tim. 4:17), ketenangan (Mat. 11:28–30), keberanian serta pengharapan (Mzm. 23:4, 6) untuk terus berjalan dalam panggilan-Nya bagimu.

Seperti yang ditulis almarhum Tim Keller dalam bab 2 bukunya The Hidden Christmas:

Jika Natal benar-benar terjadi, itu berarti seluruh umat manusia menderita amnesia, tetapi kisah-kisah yang paling kita sukai bukan sekadar pelarian yang menghibur. Karena Injil adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi, semua kisah-kisah terbaik akan terbukti benar pada hakikatnya.

Temukan kisah-Nya di balik semua kisah baik di dunia ini, maka kamu akan menemukan diri kamu tersembunyi di dalam-Nya (Kol. 3:3), tenang, tenteram, dan penuh harapan (Mzm. 131) di hadapan segala hal.

Di akhir tahun ini, semoga kamu menemukan Yesus Kristus selalu hadir, selalu dekat, selalu penuh kasih.

Selamat Natal, kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria!

Cerita Lama yang Masih Baru

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Aku… Aku… Aku…” kata Herodes yang bingung untuk melanjutkan kata-katanya.

“Oh, Raja juga mau pergi menyembah Sang Raja yang baru lahir itu kan?” lanjut salah seorang Majus menyambung perkataan Herodes.

“Iya, iya… Aku juga mau pergi menyembah Dia,” jawab Herodes dengan terbata-bata.

Dialog itu membuatku terdiam sejenak. Aku sedang menyaksikan teman-temanku yang berlatih drama untuk nanti ditampilkan di ibadah Natal remaja dan pemuda gerejaku.

Kisah orang Majus yang datang mencari Sang Raja yang baru lahir di istana Herodes sebenarnya bukan lagi cerita asing untukku. Aku dibesarkan di lingkungan Kristen. Sejak masih duduk di bangku SD, sekolahku selalu menampilkan drama yang mengisahkan kelahiran Yesus dengan adegan orang Majus datang ke Betlehem karena melihat bintang terang yang bersinar di Timur. Aku pun sudah pernah berkali-kali mengambil peran sebagai salah satu orang Majus yang membawa hadiah-hadiah berupa emas, kemenyan, dan mur itu. Bukan itu saja, kisah tentang orang-orang Majus yang tercatat di Matius 2:1-12 pun sudah pernah kubaca berkali-kali.

Cerita seputar kelahiran Yesus yang rasanya sudah klise itu pun tanpa kita sadari sering kita abaikan begitu saja. Aku yang pernah menjadi seorang guru Sekolah Minggu, selalu bergumul jika harus mengajar dari cerita Alkitab yang sudah umum. Aku pun sudah bisa memprediksi respons dari adik-adik yang pasti akan berkata: “Kak, aku sudah tahu cerita itu.” Akibatnya, mereka tidak akan lagi tertarik dengan pengajaranku. Tak jarang, kita yang sudah semakin dewasa juga memberikan respons yang sama. Kita tidak lagi terpesona dengan indahnya cerita-cerita Natal yang sudah kita bisa hafal.

Hari itu, ketika aku menginjakkan kakiku ke gereja, aku hanya memiliki satu tujuan. Aku datang untuk memantau perkembangan dari proses latihan drama karena ibadah Natalnya hanya kurang dari satu bulan lagi. Sambil menonton, aku pun mengerjakan kesibukanku yang lain. Namun, di tengah ketidakseriusanku itu, aku tiba-tiba mengalihkan pandanganku ke para pemain drama yang sedang berdialog di atas panggung. Aku dipikat oleh logat bicara dari salah seorang teman yang memainkan tokoh orang Majus. Dia berbicara dengan logat yang biasanya dipakai oleh orang-orang di kotaku.

Drama ini memang telah mengalami improvisasi dari cerita yang tercatat di dalam Alkitab. Sang penulis naskah drama menambahkan beberapa adegan dan percakapan yang terjadi di istana Herodes, tetapi tidak menghilangkan makna dan pesan dari narasi Injil itu sendiri. Sesampainya di istana, orang-orang Majus yang ada di dalam drama ini langsung menghadap Herodes dan menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke situ. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang-orang asing yang datang dari tempat jauh karena melihat sebuah bintang yang bersinar sangat terang. Menurut ilmu perbintangan, bintang ini melambangkan bahwa ada seorang bayi yang baru dilahirkan dan kelak Dia akan menjadi seorang Raja yang sangat berkuasa. Mereka datang hendak menyembah Sang Raja itu.

Raja Herodes khawatir jangan-jangan takhtanya akan direbut oleh sang Raja yang baru lahir ini. Dia pun lantas meminta para orang Majus untuk tinggal beberapa hari di istananya sambil dia mencari tahu siapa gerangan bayi itu. Orang-orang Majus ini diundang untuk beristirahat di kamar-kamar yang telah dipersiapkan sambil menikmati hidangan-hidangan spesial dari para juru masak. Namun, mereka memilih pergi meninggalkan istana Herodes karena sosok Sang Raja yang mereka cari itu tidak dilahirkan di sana.

Ketika orang-orang Majus ini berpamitan untuk melanjutkan pencarian mereka, muncullah suatu permintaan kecil dari Herodes. Dia meminta agar mereka pergi ke Betlehem untuk menyelidiki di mana bayi Sang Raja itu. Tapi, para Majus tidak sadar akan niat jahat Herodes. Dengan polosnya, salah seorang Majus bertanya, “Mengapa Raja juga mau mencari bayi itu?”

“Aku… Aku… Aku…” kata Herodes yang bingung untuk melanjutkan kata-katanya.

“Oh, raja juga mau pergi menyembah Sang Raja yang baru lahir itu kan?” lanjut salah seorang Majus menyambung perkataan Herodes.

“Iya, iya… Aku juga mau pergi menyembah Dia.”

Jawaban Herodes yang terbata-bata menggambarkan ketidaktahuannya untuk bisa menanggapi orang-orang Majus. Di satu sisi, Herodes tidak mungkin mengungkapkan isi hatinya yang haus kekuasaan dan ingin mematikan jalan dari semua orang yang ingin merebut takhta raja itu. Namun, Herodes juga tidak mau kehilangan muka di depan para ahli perbintangan yang sedang mencari jawaban atas sebuah fenonena alam dahsyat yang terlukiskan di atas langit. Akhirnya, Herodes pun berkata bahwa ia ingin menyembah Sang Raja itu.

Hamba yang menyembah

Mungkinkah Herodes pergi untuk menyembah (kata dalam bahasa asli Alkitab, Yunani–proskuneo, yang berarti memuja dengan berlutut atau membungkukkan diri di hadapan orang lain)? Jawabannya adalah TIDAK MUNGKIN!

Kalau kita membaca Matius 2 secara keseluruhan, maka kita akan menemukan bahwa Herodes sama sekali tidak mempunyai maksud untuk menyembah Sang Raja itu. Setelah orang-orang Majus menemukan Yesus, Sang Raja, mereka diperingatkan di dalam mimpi untuk tidak kembali lagi ke istana Herodes. Herodes yang menyadari bahwa ia telah diperdaya oleh para Majus akhirnya mengambil keputusan yang mengerikan. Demi membinasakan Sang Raja itu, dia mengorbankan bayi-bayi lainnya yang lahir kira-kira dua tahun ke bawah di kota Betlehem. Namun, Sang Raja itu selamat karena malaikat Tuhan telah menyuruh Yusuf untuk membawa Dia menyingkir ke Mesir dan tinggal di sana sampai Herodes yang bengis ini akhirnya mati.

***

Kisah Natal yang sudah berulang kali aku dengar, baca, saksikan, maupun perankan ini memang awalnya tidak lagi berkesan sama sekali untuk diriku. Namun, di saat aku sedang bergumul dengan kata “hamba” di akhir tahun ini, aku bersyukur bahwa Tuhan membuka hatiku untuk mengerti bahwa hanya hamba yang bisa menyembah.

Dengan perspektif ini, aku membaca ulang kisah-kisah tentang kelahiran Sang Raja itu. Aku mememukan bahwa orang-orang yang terlibat mempersiapkan kedatangan Sang Raja itu ke dunia adalah orang-orang yang mau memberi diri untuk dipakai oleh Allah menjadi hamba-Nya. Maria dan Yusuf bisa saja menolak untuk menjadi orang tua dari Yesus karena ada rasa malu yang harus ditanggung—bayi yang dikandung Maria diperoleh di luar pernikahan. Namun, Yusuf yang sudah berniat menceraikan tunangannya diam-diam, akhirnya tetap memilih untuk menjadi seorang hamba Allah (Mat. 1:18-25). Ketika malaikat Allah datang menjumpainya, Maria juga berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk. 1:38). Bahkan, Maria dengan hati yang riang menaikkan pujian syukur dan menyembah Allah yang berkasih karunia kepadanya dan kepada bangsanya, Israel (Luk. 1:46-56).

Sebelum Maria melahirkan Yesus, dia sempat berkunjung ke rumah saudaranya, Elisabet. Ketika Sang Raja itu masih tinggal sebagai janin dalam kandungan ibunya, Elisabet dan anak dalam kandungannya, Yohanes Pembaptis pun melonjak untuk memuji Allah (Luk. 1:39-45). Ada pula gembala-gembala yang dengan segala kerendahan hati dan kesederhanaan dengan segera datang untuk mencari bayi Sang Raja itu setelah mereka mendapatkan kabar dari para malaikat bahwa Kristus, Tuhan, telah lahir di Kota Daud. Bukan itu saja, mereka pulang dengan penuh pujian yang memuliakan Allah (Luk. 2:8-20). Selain itu, Alkitab juga mencatat bahwa ada orang-orang Majus yang juga datang menyembah Sang Raja setelah melewati hamparan padang pasir luas dengan jarak beribu-ribu kilometer. Tujuan mereka hanya satu: menyembah dan memberikan persembahan mereka kepada Sang Raja (Mat. 2: 1-12).

Aku juga terheran-heran ketika membaca ulang kisah dua orang paruh baya yang dengan tekun menantikan Mesias, Yesus Kristus, yang telah dijanjikan oleh Allah kepada umat-Nya. Di masa tuanya, Simeon dan Hana melihat dan menggendong sendiri bayi Sang Raja yang baru berumur delapan hari itu. Ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Allah telah menggenapi janji-Nya, respons mereka hanya satu, yaitu memuji Allah dengan penuh ucapan syukur (Luk. 2:25-38).

“Menjadi hamba Allah” memang adalah sebuah topik utama dalam kekristenan. Kita sebagai orang-orang Kristen selalu diingatkan bahwa kita adalah para hamba Allah dan Allah itu adalah Raja. Seolah-olah, kita dituntut untuk setia dan taat kepada perintah Allah karena kita ini adalah hamba-hamba-Nya. Kita seperti tidak lagi memiliki kebebasan sama sekali.

Kita adalah hamba-hamba Allah, yang dipanggil untuk menyembah Allah. Namun, sebelum Allah memanggil kita menjadi hamba-hamba-Nya, Dia telah menghambakan diri terlebih dahulu. Sang Raja yang takhta-Nya tidak terbatas oleh wilayah geografis, ruang, dan waktu; rela menjadi seorang hamba yang terbatas untuk mengerjakan misi besar-Nya, yakni menjadikan kita hamba-hamba-Nya. Dia atas kayu salib itu, Sang Anak Allah, Yesus Kristus, menyatakan kesetiaan-Nya kepada Allah Bapa untuk menjadi Hamba Allah yang menderita demi menebus kita. Kita yang sebelumnya hidup di dalam kuasa kegelapan, ditebus (dibeli) oleh Allah untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang memiliki hidup kekal dan merdeka dari kuasa maut. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Kawan, aku menyadari bahwa diriku sering menjadi seperti Herodes yang ingin berkuasa atas hidupku sendiri. Padahal, aku adalah hamba Allah yang mendapatkan anugerah Allah. Aku enggan untuk taat dan setia sepenuhnya kepada Allah karena aku merasa hidupku terikat sebagai seorang hamba Allah. Aku memang terlihat menyembah Allah, tetapi sebenarnya jauh ke dalam hatiku, aku tidak sedang menyembah Sang Raja itu. Justru, aku menyembah kesombonganku, kebanggaanku, keegoisanku, kemauanku, dan kesuksesanku. Aku lupa pada siapa yang telah beranugerah kepadaku.

Kawan, kita ini adalah hamba-hamba Allah yang telah dipanggil untuk meninggalkan hidup yang lama kepada suatu hidup yang baru di dalam Kristus. Sang Raja yang lahir di Betlehem itu adalah Imanuel yang selalu bersama-sama kita dan Gembala Agung yang mau terus menuntun hidup kita. Marilah, kita terus hidup berjalan bersama-Nya karena seluruh hidup kita ini adalah penyembahan bagi kemuliaan-Nya. Memang tidak akan gampang kawan, tetapi anugerah-Nya yang akan juga terus menopang dan memampukan kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sudah Sulit Cari Tempat Magang, Eh Ditambah Jadi Ketua Natal!

Oleh Ingan Girsang, Medan

Aku adalah sosok yang bisa dibilang perfeksionis, tapi seringkali aku tidak menyadarinya. Ketika teman-temanku tidak on-time saat ketemuan, itu seketika membuatku jadi bad mood. Atau, ketika ada janji yang dibatalkan tiba-tiba, padahal diri sendiri sudah mempersiapkan diri, aku pun kecewa. Hasil dari perfeksionis ini tak cuma rasa kecewa, tapi juga kecenderungan untuk menyalahkan keadaan atau diri sendiri yang ujung-ujungnya jadi beban buatku.

Saat kuliahku memasuki semester tujuh, pergulatan antara taat pada proses dan jiwa perfeksionisku beradu. Di semester itu aku diwajibkan untuk melaksanakan magang dan kupikir proses ini akan mudah. Di bulan Juli 2022, sudah banyak temanku yang mendapatkan tempat magang, sementara aku masih belum dapat karena masih mencari tempat yang sesuai dengan konsentrasi studiku. Aku memilih konsentrasi Politik Internasional yang mewajibkanku untuk mencari tempat magang di kantor pemerintahan atau perusahaan internasional. Jungkir balik dengan ekspektasiku, ternyata sangat sulit diterima dan mendapatkan tempat magang untuk konsentrasiku di kota Medan.

Kucoba daftar posisi internship di kantor konsulat India pada bulan Juli, tapi sampai Oktober belum juga ada panggilan. Saat itu aku ingat proses seleksinya. Aku duduk di depan kantor konsulat dan berkata, “Tuhan, aku yakin pasti Engkau akan menolongku dan pasti aku bisa magang. Tapi, biarlah ini atas seizin dan kehendak Tuhan.” Dengan berani dan percaya bahwa Tuhan menemani dalam setiap keadaan, aku masuk ke gedung kantor. Proses wawancara pun berhasil dan tinggal menunggu izin penerimaan dari Kementrian Luar Negeri India di New Delhi.

Tapi, sebulan dua bulan, tak kunjung berita baik kuterima sementara teman-teman seangkatanku sudah mulai magang. Dalam masa penantian ini akhirnya aku membantu dosen-dosen di jurusanku. Dalam hatiku, aku sangat khawatir jika tidak lulus di semester tujuh karena belum magang secara resmi. Dan… di tengah kondisiku yang penuh dilema itu, pengurus persekutuan memintaku untuk jadi ketua panitia Natal!

Saat itu aku hanya berpikir, “Apa ini ya Tuhan? Tempat magangku aja belum ketemu, apa yang harus kujawab ke mereka?” Dilema lain pun muncul. Kalau nanti aku diterima magang, pulang sampai sore lalu ngurus acara Natal lagi, apakah semuanya bisa berjalan baik?

Setelah bergumul, akhirnya aku menjawab bersedia jadi ketua Natal dengan anggota timku yang berjumlah empat orang. Aku hanya mengimani, “Jika Tuhan yang memilih kami, pasti Dia bakal perlengkapi.”

Dalam proses kepanitiaan ini, aku merasakan ada banyak pertumbuhan rohani dan aku benar-benar menaruh kepercayaanku pada Allah. Akhirnya, acara Natal pun berjalan baik, dan aku diterima magang di Konsulat Jenderal India di Medan. Semester itu aku diberkati Tuhan dengan IPK 4.00. Ketakutan dan kekhawatiranku akhirnya berubah jadi iman jika kita menyerahkan apa yang kita kerjakan, dan berjalan tanpa tunduk pada rasa takut, dan percaya bahwa Tuhan akan menolong dan menyertai kita.

Aku sangat meyakini bahwa ketika Tuhan menolong kita dalam peristiwa yang sebelumnya kita gumulkan dan perjuangkan, pasti di hari-hari depan Dia tetap bersama kita. Teruslah menaruh pengharapan hanya kepada Dia saja. Sebab kita sangatlah terbatas, baik dari segi kekuatan, dan kita tidak mampu mengendalikan situasi yang akan datang. Tetapi, dengan menaruh pengharapan dan penyerahan diri di dalam Dia, Kita akan mampu melangkah dengan keberanian, tanpa takut. Sebab Allah yang menolong kita dulu, adalah Allah yang sama yang terus mengawasi dan memperhatikan kita, dan seperti ada tertulis dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat ku tanggung di dalam dia yang memberikan kekuatan kepadaku”.

Tuhan Yesus memberkati. Jangan pernah berhenti untuk berdoa, Dia Tuhan yang memperhatikan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Seandainya Tuhan Yesus Gak Pernah Dilahirkan…

Kisah Natal sering jadi kisah yang terasa biasa saja, atau bahkan bagi sebagian orang terasa tidak masuk akal. Tetapi, inilah peristiwa yang amat penting, yang menjadikan iman Kristen berbeda dari lainnya.

Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata (@ptrx.renata)

Artspace: Apa yang Kamu Berikan di Hari Natal?

Natal adalah tentang memberi. Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi kita (Yohanes 3:16). Lalu, sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus oleh-Nya, apa sudah kita berikan bagi Yesus?

Kita bisa memberikan kasih kita bagi sesama.

Selamat Natal!

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

Artspace: Natalku yang Berpohon

Si pohon cemara beserta ornamen bandul-bandulnya tegak berdiri. Kapas-kapas putih pun memberi kesan salju di sekujur tubuh pohon itu.

Tunggu…kapas? Kesan? Ya, itu bukan pohon sungguhan. Itu hanyalah pohon buatan yang menyerupai aslinya. Hadirnya pohon itu menandakan dimulainya sebuah masa yang disebut Natal, sebuah peristiwa agung ketika Allah yang kudus hadir ke dalam dunia melalui kelahiran Kristus.

Apa makna Natal bagimu, sobat muda?

—–

Artspace ini didesain oleh Shereen Feria diadaptasi dari artikel yang ditulis oleh Frans Hot Dame Tua yang telah ditayangkan di WarungSaTeKaMu pada 18 Desember 2017. Klik di sini untuk membaca artikelnya.

Beranikah Kamu Datang Merangkul Seterumu?

Oleh Jefferson

Beberapa minggu setelah Natal pertamaku di gereja, tepatnya pada awal 2013, banjir besar melanda berbagai sudut kota Jakarta. Salah satu bangunan yang kebanjiran adalah gedung gereja milik jemaat saudari (sister church) dari jemaat di mana aku sekeluarga beribadah. Sambil menunggu bangunannya selesai diperbaiki, semua aktivitas ibadah jemaat saudari kami digabungkan dengan jemaat kami, termasuk komisi remajanya.

Aku tidak menyangka bahwa orang-orang yang kujumpai dalam ibadah gabungan tersebut akan membangkitkan satu ingatan yang kukira telah lenyap hilang dalam rimba kenangan.

Kenangan Sebuah Perseteruan

Swung, tass, swung, tass. “Hahaha.”

Aku bisa mendengar jelas suara kotak pensilku yang dilempar dan ditangkap layaknya bola kasti oleh “teman-temanku”. Nada olokan di balik tawa mereka pun tak dapat dipungkiri. Dan di tengah kesulitan untuk merebut kembali kotak pensilku, tidak ada yang (berusaha untuk) membantuku. Beberapa orang hanya menonton seru dari bangku mereka seolah-olah kami sedang mengadakan pertandingan bola kasti, sementara yang lain menulikan diri terhadap keributan di kelas, sibuk dengan urusannya sendiri.

Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apa salahku sehingga mereka memainkan kotak pensilku begitu? Apakah karena aku anak baru di SMP ini? Atau akunya yang terlalu serius jadi perlu diajak ‘main’?” Makin lama aku makin geram. Dan melihat emosiku yang meningkat, mereka yang mengaku “teman-temanku” semakin menjadi-jadi.

“Permainan” ini hanya berakhir ketika bel kelas berbunyi, menandakan waktu istirahat telah selesai. Tepat sebelum guru masuk ke dalam kelas, “teman-temanku” mengembalikan kotak pensilku dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama istirahat. Suasana semu ini menyebar dengan cepat ke setiap sudut kelas. Tidak ada yang melapor kepada guru, termasuk aku, karena tidak ada dari kami yang ingin dicap sebagai pengadu.

Dalam cerita pertobatanku, peristiwa tersebut adalah salah satu dorongan penentu yang membuatku menolak keberadaan Tuhan dan merangkul paham Ateisme. Ini bukan pertama kalinya “teman-temanku”—termasuk anggota-anggota jemaat saudari dari gerejaku di masa depan—mempermainkan maupun mengabaikan aku. Keberadaan Tuhan yang sudah terasa samar-samar pada tahun pertamaku di SMP Kristen ini seketika dilenyapkan pada tahun kedua oleh mereka yang mengaku sudah Kristen sejak lahir. Perilaku “teman-temanku” tidak menyerupai Yesus Kristus sama sekali dan membawaku kepada kesimpulan bahwa iman Kristen tidak lebih dari kepercayaan yang ompong.

Maka ketika aku sendiri pada akhirnya dituntun oleh Kristus untuk percaya bahwa Ia adalah Allah yang sejati, aku diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: apa yang akan aku lakukan ketika aku menjumpai “teman-temanku” yang Kristen di lingkungan gereja?

Salah Satu Tujuan Kedatangan Pertama

Dalam perenunganku akan kejadian ini, Roh Kudus menuntunku kepada satu perikop dalam Efesus 2:11-20:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ”sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, –bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ”jauh”, sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Ialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.

Walaupun di bagian ini Paulus sedang membicarakan pendamaian yang diadakan Kristus di atas kayu salib antara Allah dengan semua orang, khususnya dengan orang non-Yahudi (ay. 11–13), aku menemukan bahwa kebenaran di dalamnya juga berlaku pada situasi yang aku hadapi. Aku semakin yakin ketika menyadari bahwa Paulus sedang berbicara kepada orang Kristen yang bukan Yahudi (ay. 11); dalam kasusku, “teman-temanku” yang mengaku Kristen sejak lahir adalah yang “bersunat” sementara aku yang percaya kepada Tuhan Yesus belakangan adalah yang “tak bersunat”. Lantas apa yang ingin Tuhan sampaikan kepadaku lewat perikop ini?

Bahwa di dalam Kristus, aku yang dulu bukan orang Kristen (“jauh”) dan diolok-olok mereka yang mengaku orang Kristen (“dekat”) sekarang turut menjadi bagian dari keluarga-Nya (ay. 13). Oleh darah-Nya, aku mendapatkan bagian dalam “ketentuan-ketentuan yang dijanjikan” dan “pengharapan… di dalam dunia” (ay. 12). Sang Allah Anak yang datang 2000 tahun lalu itu terlebih lagi telah mengadakan damai sejahtera di antara aku dan teman-temanku serta mempersatukan kami sebagai bagian dari tubuh-Nya (ay. 14–18). Oleh karena karunia-Nya, kami yang dahulu adalah seteru sekarang adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Seteru yang Dijadikan Kristus “Saudara”

Melihat ke belakang, aku tidak tahu apakah teman-temanku menyadari kesalahan mereka ketika mereka memperlakukanku begitu semasa SMP. Meskipun begitu, aku tahu dengan pasti bahwa Ia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati juga akan memampukanku (Rom. 8:11) untuk mengasihi musuh-musuhku (Mat. 5:44–45). Sebab Ialah batu penjuru yang mendasari hubungan antara sesama orang percaya (Ef. 2:20). Anggukan canggung disertai sapaan singkat ketika kami berpapasan di gereja menjadi langkah awal yang kuambil dalam perjalanan pemulihan relasiku dengan teman-teman.

Walaupun pada akhirnya banyak yang tidak berkembang lebih dari “kenalan di sekolah dan gereja” karena kepindahanku ke Singapura, ada seorang teman yang benar-benar menjadi saudara rohaniku di tanah perantauan. Karena hanya kami berdua dari angkatan kami yang melanjutkan studi ke Singapura, secara alamiah kami mulai sering berinteraksi dengan satu sama lain. Persaudaraan itu pun pelan-pelan bertumbuh, dari dimuridkan bersama dalam satu kelompok sampai akhirnya menjadi teman satu kos. Semuanya ini niscaya hanya dapat terjadi oleh karunia Tuhan Yesus sang “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (ay. 14).

Inilah Kerajaan yang dinyatakan Tuhan Yesus pada kedatangan-Nya yang pertama, di mana Ia “menciptakan [pihak-pihak yang bertikai] menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (ay. 15). Baik yang sudah Kristen sejak lahir maupun baru percaya kepada-Nya ketika dewasa, baik yang “tinggi” seperti orang-orang Majus maupun “rendah” seperti gembala, semua orang diundang tanpa terkecuali untuk berbagian di dalam damai sejahtera-Nya sebagai “anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Merayakan Natal sebagai Keluarga Allah

Selama masa pandemi COVID-19, kamu mungkin terkurung di rumah atau terdampar di luar kota sepertiku. Maka dalam ibadah Natal tahun ini, baik secara online maupun fisik, aku mengajakmu untuk mengamati dengan saksama orang di sekeliling dan depanmu: inilah saudara-saudari dan paman dan bibimu secara rohani yang Tuhan Yesus telah berikan lewat kedatangan pertama-Nya ke dunia. Bersama mereka, “kamu bukan lagi orang asing” (ay. 19).

Terlebih lagi, mari kita mendatangi dan mengajak mereka yang merasa kesepian selama pandemi—terutama seteru-seteru kita—untuk menjadi bagian dalam satu-satunya keluarga abadi yang dikepalai oleh Bapa yang Kekal (Yes. 9:6), sebagaimana Ia telah datang untuk mengundang kita.

Selamat merayakan kedatangan pertama Tuhan Yesus tahun ini bersama orang percaya di segala abad dan tempat, soli Deo gloria!

Panduan renungan

1. Apakah kamu pernah mengalami hal yang serupa dengan yang kuceritakan di atas? Bagaimanakah perseteruan yang kamu hadapi itu berakhir? Apakah seteru-seterumu pun turut menjadi saudara-saudaramu dalam keluarga Allah?

2. Baca kembali Efesus 2:11–22 dengan saksama. Tuliskan poin-poin kebenaran yang menggugah hati dan pikiranmu, terutama dalam kaitannya dengan pengalamanmu di nomor 1.

3. Adakah orang(-orang) yang ingin kamu ajak untuk bergabung dengan keluarga Allah pada perayaan Natal? Doakan nama-nama tersebut, pikirkan bagaimana kamu akan mendatangi dan mengundang mereka untuk mengikuti ibadah Natal, lalu ajaklah mereka dengan kekuatan dari Allah Roh Kudus.

Natal dan Cabe Rawit

Oleh Edwin Petrus, Malang

“Aku hanya orang biasa. Apalah pekerjaanku ini! Pekerjaan yang hina, tapi apa boleh buat aku gak punya pendidikan yang tinggi. Tapi, aku bersyukur bisa bekerja dengan beberapa teman yang bernasib sama. Paling tidak, pekerjaan kami ini berguna buat orang lain, ya walaupun mereka memandang kami dengan sebelah mata.”

Percakapan monolog di atas adalah imajinasiku. Aku membayangkan bagaimana isi hati seorang gembala di Betlehem pada abad pertama masehi. Pada masa itu gembala ternak bukanlah pekerjaan yang bergengsi. Secara sosial, masyarakat memandang rendah profesi itu karena dianggap kotor. Tapi, keberadaan mereka pun dibutuhkan. Salah satunya oleh para penyembah di Bait Allah yang membutuhkan domba sebagai korban persembahan. Kalau sekarang ada peribahasa, “habis manis sepah dibuang.” Kira-kira begitulah nasib mereka, dicari kalau pas lagi butuh saja.

Namun, pada suatu hari, terjadi peristiwa besar yang menggemparkan dunia. Para gembala, yang dipandang rendah oleh masyarakat zaman itu, malah mendapatkan hak istimewa. Mereka tercatat dalam sejarah sebagai saksi mata pertama dari peristiwa mulia. Mungkin saat itu mata mereka sulit terbuka karena tidak kuat melihat cahaya kemuliaan Allah, lalu mereka mendengar sesosok makhluk surgawi yang bersabda: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.” (Lukas 2:11). Bukan hanya itu, ketika mereka menatap ke langit, mata telinga mereka terpukau dengan merdunya suara bala tentara surga yang menyanyikan: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara semua manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Lukas 2:14).

“Kristus? Ya, Mesias. Dia itu yang kita nanti-nantikan selama ini!” Aku coba menerka kira-kira apa yang ada di dalam pikiran para gembala.

Kelahiran Mesias adalah penantian panjang orang Israel. Sejak zaman Perjanjian Lama, para nabi nenek moyang mereka telah menyuarakan janji akan Sang Juruselamat dari Allah (Yesaya 9:6-7; Yeremia 23:5-6; Amos 9:11-12) . Tanpa henti, janji ini pun terus dibicarakan oleh orang-orang Yahudi dari orang tua kepada anak-anak mereka. Mereka mendambakan sosok pemimpin politik yang dapat segera melepaskan mereka dari penjajahan bangsa Romawi. Tetapi, kita yang hidup di zaman sekarang mengetahui bahwa Kristus, Sang Mesias bukanlah membawa kemerdekaan dari penjajahan politis. Lebih dari itu, kelahiran, kematian, dan kebangkitan Kristus membawa kemerdekaan dari dosa.

Jikalau aku adalah seorang dari gembala itu, aku pasti punya reaksi yang sama. Aku ingin segera pergi melihat Sang Mesias yang baru lahir itu. Dengan petunjuk yang diberikan oleh malaikat, para gembala bergegas pergi dari satu kandang ke kandang yang lain di kota Betlehem untuk menemukan bayi yang dibungkus lampin dan terbaring di dalam palungan. Tanpa alamat yang jelas, apalagi belum ada Google Maps atau Waze pada masa itu, pastilah gembala-gembala ini bertanya ke sana dan ke sini, mengetuk pintu dari rumah ke rumah, dan mengamat-amati dengan saksama dari kandang ke kandang. Jangan-jangan bayi itu tertutup jerami kering dan mereka tidak melihatnya dengan jelas.

“Aha!!! Bayi itu ada di sini!” Inilah jeritan dari salah seorang gembala sambil mengibaskan tangan kanannya untuk memanggil teman-temannya yang lain. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka melihat sosok Sang Raja atas segala raja yang lahir merendahkan diri untuk mengambil rupa sama dengan manusia demi menjalankan misi besar-Nya. Tidak ada ranjang empuk di istana yang mewah yang menyambut kedatangan-Nya di tengah-tengah manusia yang dikasihi-Nya. Hanya beberapa pasang mata dari orang awam yang memberikan penghormatan kepada-Nya.

Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya para gembala tak bernama ini. Mereka senang dapat bertatap muka langsung dengan Tuhan yang menurunkan status-Nya untuk menjadi sama rendah seperti mereka yang hina. Tak heran, sukacita yang amat besar ini dinyatakan dengan pujian yang memuliakan Allah tanpa henti sepulang dari melihat Yesus (Lukas 2:20). Bukan itu saja, mereka juga mewartakan Kabar Baik dari surga itu kepada orang-orang yang mereka jumpai di sepanjang jalan. Dengan ucapan bibir mereka, Kabar Baik ini dari surga itu menjadi viral di telinga anak cucu Daud yang pada waktu itu sedang berkumpul di Betlehem karena adanya sensus penduduk.

Coba kita lihat apa yang menjadi dampak dari cuitan-cuitan gembala ini? Lukas mencatat bahwa masyarakat luas “heran” dengan kabar ini (Lukas 2:18). Kata “heran” di sini bisa mengandung banyak arti. Orang banyak mempertanyakan keabsahan dari pemberitaan ini. Mereka meragukan berita ini, jangan-jangan hoaks, karena gembala-gembala ini bukan tokoh agama. Bukankah seharusnya para imam dan ahli Taurat yang menyampaikan berita seperti ini? Ada pula kelompok orang yang memang melongo dengan penuh kebingungan karena sudah lebih kurang 300-400 tahun, Allah diam dan tidak memberikan tanda sama sekali kepada umat-Nya. Tidak tertutup kemungkinan, ada yang tercengang dan sekaligus merasakan sukacita karena Mesias yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Terlepas dari apapun respons yang diberikan orang banyak, kesaksian dari para gembala ini telah menggemparkan Betlehem.

Ibarat sebuah peribahasa berkata, “Kecil-kecil cabe rawit.” Jangan sepelekan bentuk cabe yang paling kecil dari semua ras cabe yang ada. Sebab, justru cabe rawit lah yang punya rasa paling pedas di antara semuanya. Para gembala memang hanyalah kaum kecil yang dipandang sebelah mata pada waktu itu. Namun, berita Natal yang pertama justru disampaikan kepada mereka dan mereka dipakai menjadi alat yang luar biasa untuk menyatakan Kabar Baik itu.

Lukas memang tidak memberitahu kita tentang apa yang terjadi dengan para gembala setelah ini. Namun, bayi yang terbungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan itu pada akhirnya menggenapkan misi-Nya sebagai Juruselamat. Yesus tidak menjadi Mesias politik yang membebaskan Israel dari penjajahan bangsa asing. Yesus menjadi Mesias yang melepaskan mereka, aku, dan kamu dari kematian kekal akibat dosa. Di atas kayu salib, Yesus menganugerahkan damai sejahtera dari Allah kepada orang-orang percaya kepada-Nya. Bahkan, Yesus juga mengundang kita semua untuk tinggal bersama-sama dengan-Nya di surga untuk selama-lamanya. Inilah seri komplit dari berita besar yang disebut malaikat itu sebagai “kesukaan besar bagi seluruh bangsa” (Lukas 2:10).

Episode pertama dari kisah Natal dengan para gembala sebagai aktor-aktornya telah lama berakhir. Namun, sang Sutradara belum ingin mengakhiri produksi dari kisah ini sampai di sana. Hari ini, Allah mengundang aku dan kamu untuk berlakon di dalam episode-episode yang akan segera diproduksi. Kita adalah orang-orang yang menikmati indahnya persekutuan yang dibangun oleh anugerah keselamatan di dalam Yesus Kristus. Saat ini, Allah memilih kita untuk dapat menyaksikan berita dari surga itu kepada dunia yang membutuhkan kasih anugerah-Nya.

Sobat muda, mungkin kamu bukan orang terkenal. Kamu tidak punya banyak talenta. Kamu pandang diri kamu biasa-biasa saja. Namun, sebagai anak-Nya, Tuhan tidak pernah memandangmu dengan sepele. Ia memandang kamu berharga dan bahkan mengundangmu untuk menjadi saksi dari karya keselamatan-Nya! Entah sudah berapa lama kita mendengarkan berita Natal. Namun, biarlah berita Natal itu tidak pernah menjadi kisah yang usang, karena kita mengalami kasih-Nya yang selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:23–24). Dengan terus merasakan kasih-Nya, kita dapat membagikan pengalaman iman ini sebagai kabar sukacita bagi orang lain!

Di hari Natal ini, mari ceritakan Yesus kepada satu orang yang belum mengenal Sang Juruselamat itu! Cerita kita tentang Yesus pasti dapat berdampak bagi dunia ini karena Dia adalah Sang Allah yang membawa damai sejahtera ke bumi (Yesaya 9:6).