Posts

Ketika Hal-hal Buruk Terjadi Pada Kita

Ketika hal buruk menimpa, mudah bagi kita untuk menyalahkan Tuhan, kecewa, dan menjauh dari-Nya. Kendati respons tersebut adalah naluri alamiah kita, memeliharanya tidak akan menjadikan keadaan kita lebih baik. Malahan, semakin kita jauh dari Tuhan, semakin pula kita tidak merasakan damai dan kasih-Nya.

Hal buruk boleh menimpa, tetapi kasih Allah tidak pernah berakhir. Jika hari ini kamu kecewa dan sedih karena hal buruk yang menimpamu, geser satu per satu postingan ini. Kiranya Tuhan menguatkan kakimu dan membalut luka-luka hatimu.

Artspace ini dibuat oleh Elok Bakti Pratiwi.

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Oleh Debora Asima Rohayani, Jakarta

17 September 2015, tanggal yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Hari itu rumah uwak, kakak dari mamaku mengalami musibah kebakaran. Rumah kami bersebelahan sehingga sebagian rumahku pun terkena kobaran api. Ketika menerima telepon tentang kejadian ini, aku sedang bekerja di kantor. Dengan segera aku pun pulang ke rumah.

Aku tidak melihat ada satu pun yang tersisa dari rumah uwakku, semuanya rata dengan tanah. Keponakan kembarku yang berusia dua tahun meninggal dalam musibah tersebut, kedua-duanya! Hatiku hancur, kakiku sudah tak kuat untuk berdiri rasanya. Aku melihat mamaku duduk tanpa ekspresi apa pun di depan rumah. Aku memeluknya, membisikkannya, “semua pasti baik-baik saja, Ma”. Tapi, kondisi saat itu jelas tidak sedang baik-baik saja. Aku berusaha menguatkan semua anggota keluargaku dengan membendung air mataku.

Aku lalu masuk ke dalam rumahku sendiri dan melihat semuanya hancur tak berbentuk. Aku tak dapat menahan lagi sesaknya hati ini. Aku menangis dalam kesendirianku. Semua peristiwa ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam hatiku, aku bertanya, “Tuhan, apa dosa yang aku perbuat?” Tanpa kusadari, pikiranku terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Apakah ini hasil aku melayani-Mu di gereja, berdoa, membaca firman-Mu? Adik-adikku juga melayani-Mu”. Saat itu, hanya pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di benakku, pertanyaan yang lebih mengacu kepada protesku pada Tuhan.

Namun, aku teringat tentang bagaimana Ayub yang di dalam kesalehan hidupnya mengalami hal yang sangat buruk, sangat tidak adil. Dan, ayat ini kemudian muncul di kepalaku:

“Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayub 1:22).

Ayub berusaha memakai sudut pandang Allah dalam menjalani apa yang terjadi di hidupnya. Aku tahu, apa yang dialami Ayub adalah sesuatu yang rasanya begitu berat untuk ditanggung seorang manusia. Dan kupikir, musibah yang kualami mungkin tidak lebih berat daripada yang Ayub alami.

Tapi, hidup ini rasanya tidak mudah bagiku. Kami harus tidur tanpa lampu penerangan karena semua aliran listrik dipadamkan. Sempat ada tetangga yang memberikan sambungan listrik, tapi tiba-tiba mereka mencabutnya kembali tanpa aku tahu alasannya. Dan, untuk pertama kalinya aku harus tidur di bawah langit malam secara langsung, ya tanpa atap. Saat hujan, kami berteduh di rumah tetangga yang lain. Bayangan canda tawaku dengan dua keponakanku selalu muncul di kepalaku. Tak sekali-kali air mataku pun mengalir.

Beberapa hari setelah musibah itu menjadi titik terendah dalam hidupku. Fase di mana aku bingung apakah aku mau tetap percaya kepada-Nya, atau berhenti berharap. Jelas sangat sulit, apalagi setelah aku mengetahui bahwa biaya untuk merenovasi total rumahku harus menggunakan uang tabungan mama yang awalnya ditujukan untuk membiayai kuliah adik pertamaku. Adikku bersedia merendahkan hatinya dan merelakan kesempatannya berkuliah. Adikku yang kedua akan masuk SMP tahun depan. Dan sebagai anak pertama yang baru bekerja dan kuliah di semester awal, aku bisa apa? Aku merasa semuanya tidak ada harapan lagi.

Tapi, ada satu kalimat yang muncul dalam hatiku. “Apakah kamu hanya mau menerima yang baik, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Kalimat ini menyentakku. Dari sudut pandangku sebagai manusia, jelas apa yang kualami rasanya begitu buruk dan tak mampu kutanggung. Tapi, maukah aku melihat musibah ini dari sudut pandang-Nya?

Aku menyesali segala pikiranku yang hanya menuntut Tuhan untuk mengerti perasaan dan mauku. Aku percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi yang luput dari pengawasan-Nya. Alih-alih menyerah, aku berusaha menguatkan kepercayaanku kepada Tuhan Yesus, dan belajar seperti Abraham yang sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, Abraham tetap memilih untuk berharap dan percaya (Roma 4:18).

Bulan demi bulan kami lalui, yang aku rasakan Tuhan memeliharaku dan keluargaku, walau ada tangisan dan pengorbanan dalam perjalanan yang kami lalui. Aku sempat merasa tidak mampu lagi, tetapi Tuhan menghiburku. Tuhan mengingatkanku kembali bahwa Tuhan Yesus selalu ada bagi aku dan keluargaku. Mama sudah 15 tahun menjadi single fighter bagiku dan adik-adikku karena Papa sudah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Dan, Tuhan selalu mencukupkan segala keperluan kami. Bahkan adik-adikku tetap dapat berkuliah dan membayar kebutuhan masuk SMP tepat waktu. Aku merasakan kekuatan tangan Tuhan Yesus yang perkasa, yang memampukan mamaku untuk menghidupi ketiga anaknya.

Aku mungkin tidak dapat menyelami apa rencana Tuhan dari awal sampai akhir. Tapi Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu, bahkan di dalam kesengsaraanku, untuk mendatangkan kebaikan. Yang aku rasakan adalah Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanku, Dia selalu ada. Kalau Yesus terasa jauh, mungkin akulah yang mulai menjauh dari kasih-Nya.

Kalau saat ini kita merasa beban hidup sangat berat, seolah tidak ada hasil yang baik, tidak ada perubahan atas keluarga, pasangan, atau apapun itu, tetaplah percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus, Dia sudah membuktikan menang atas maut di kayu salib. Dia juga sanggup menjadikan kita menang atas masalah apapun yang sedang kita alami saat ini, asalkan kita tidak menyerah. Karena Tuhan Yesus juga tidak pernah menyerah untuk tetap mengasihi kita dengan segala ketidaklayakan kita.

Di masa-masa yang lalu, kita mungkin pernah mengalami kesulitan. Tapi, sekarang kita telah tiba di titik ini meskipun mungkin kita mencapainya dengan tertatih-tatih. Kita berhasil melewatinya karena Yesus menyertai di setiap musim hidup kita. Mungkin kita terjatuh, tapi Dia tidak akan membiarkan kita tergeletak. Dan, pergumulan yang kita alami saat ini akan membuat kita melihat segala perkara besar yang Yesus sanggup lakukan, selama kita menaruh pengharapan kita kepada-Nya. Pengharapan di dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan dan salib-Nya yang ada di depan kita akan membawa kita kepada kemenangan.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Tetap bertahan, kawanku.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Benang Merah Kehidupan

Dalam hidupku, ada suatu hal yang awalnya kuanggap kurang penting. Tapi, inilah yang kemudian dipakai Tuhan sebagai sarana untukku memuliakan-Nya.

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi, kita dapat mengetahui secara cepat perkembangan suatu peristiwa atau musibah yang terjadi. Namun, tak jarang kemudahan ini malah menimbulkan kesimpangsiuran. Di saat informasi belum terhimpun sempurna, beberapa orang merespons dengan sengaja menyebarkannya melalui media sosial. Alih-alih membagikan informasi baik, yang ada malah menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Teruntuk kita semua, para warganet Indonesia dan khususnya para pemuda Kristen, sekiranya inilah tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum kita memposting sesuatu sebagai respons kita terhadap suatu musibah:

1. Jangan terburu-buru menyebarluaskan informasi

Cek terlebih dulu sebelum membagikan informasi kepada keluarga atau rekan-rekan kita. Apabila informasi yang kita terima hanya berupa pesan broadcast tanpa disertai tautan menuju sumber yang jelas dan kredibel, ada baiknya kita menunda dulu penyebarluasan pesan tersebut. Meski maksud untuk membagikan pesan itu adalah baik, tetapi apabila informasi yang diberikan itu ternyata tidak sesuai, bisa saja menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan kepanikan.

Hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk mengecek kebenaran suatu informasi adalah dengan membuka portal berita resmi dan terpercaya, atau dengan menunggu pernyataan resmi dari instansi terkait yang biasanya dengan cepat diumumkan melalui media sosial Twitter. Informasi yang tidak berasal dari sumber-sumber tersebut ada baiknya kita kesampingkan dahulu.

Ketika kita turut menyebarkan informasi yang tidak sesuai, bisa jadi kita juga turut menyebarkan kabar kebohongan. Keluaran 23:1 mengatakan demikian, “Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar.”

2. Tunjukkanlah empati, bukan spekulasi

Ketika bencana atau musibah terjadi, kita mungkin bertanya-tanya bagaimana itu dapat terjadi, siapa saja korbannya, apakah ada pihak yang bersalah atau tidak, dan sebagainya. Respons itu adalah wajar, akan tetapi bukanlah hal yang bijak apabila kita kemudian mengungkapkannya secara terburu-buru melalui media sosial, apalagi kalau kita bukan orang yang mengalami langsung hal tersebut. Mungkin yang kita ketahui ada benarnya, tetapi bukan itu yang benar-benar dibutuhkan oleh para korban dan keluarganya.

Selain itu, hindari menyebarluaskan informasi berisi gambar-gambar atau foto-foto korban. Menyebarkan foto dan gambar tersebut, apalagi apabila menonjolkan luka-luka dan kengerian di dalamnya tidak akan memberikan manfaat apapun selain menyebarkan ketakutan dan menambah duka bagi keluarga korban.

Ketika bencana atau musibah terjadi, baik korban maupun orang terdekat mereka mengalami trauma dan bahkan dukacita. Yang mereka perlukan adalah uluran tangan dan penghiburan. Sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk menunjukkan empati kita, sebagaimana yang Rasul Paulus katakan dalam Roma 12:15, “Menangislah dengan orang yang menangis!”

3. Doakanlah para korban dan mereka yang bertugas melakukan proses evakuasi

Kita mungkin tidak mengalami secara langsung suatu bencana atau musibah, pun bukan kerabat atau kawan dari mereka yang menjadi korban. Namun itu bukan alasan untuk kita bersikap tidak peduli. Salah satu dukungan sederhana tetapi nyata yang dapat kita lakukan adalah dengan mendoakan mereka. Ketika kita berdoa, kita mengakui kepada Tuhan bahwa diri kita terbatas. Tetapi, Tuhan kita adalah Pribadi yang Mahakuasa. Dia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dia sanggup menolong, memberikan kekuatan pada mereka yang berduka dan memberikan penghiburan yang sejati.

Ketika kita berdoa, mungkin musibah itu tidak seketika juga selesai diatasi. Tetapi kita tahu dan percaya bahwa Roh Kudus mampu menguatkan dan menghibur mereka yang kita doakan. Rasul Paulus pun dalam suratnya kepada Yakobus berkata, “Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa!” (Yakobus 5:13).

Pertolongan Tuhan dapat hadir dalam berbagai wujud, salah satunya adalah melalui para relawan atau petugas yang berada di lapangan untuk melakukan evakuasi. Kepada Tuhan, kita dapat berdoa memohon agar Dia mengaruniakan kekuatan dan kebijaksanaan kepada para petugas yang melakukan proses evakuasi. Untuk menyelamatkan para korban, mereka harus berpacu dengan waktu dan juga medan evakuasi yang mungkin sulit.

Tuhan Yesus memanggil kita untuk menjadi terang. Ketika dunia menjadi gelap akan segala kesimpangsiuran musibah, kita dapat menghadirkan terang itu dengan merespons dengan cara-cara yang bijak.

Baca Juga:

Terima Kasih Matt Kecil

Aku bekerja sebagai seorang pengajar. Suatu kali, dalam sebuah jadwal les di sore hari aku mendapatkan suatu pengalaman yang mengajariku tentang bersyukur dan tersenyum. Cerita pengalaman ini kudapat dari interaksiku dengan Matt, seorang murid les sekaligus teman kecilku yang manis.

7 Doa untuk Korban Bencana Alam

Oleh Aryanto Wijaya

Alam dan bencana bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, alam memberikan kita berkah. Namun, di sisi lainnya, terkadang alam bergejolak hingga menimbulkan bencana bagi orang-orang yang tinggal di dekatnya.

Ketika ada saudara-saudari kita yang terdampak bencana alam, kita mungkin tidak bisa memberikan pertolongan secara langsung kepada mereka. Akan tetapi, sebagai orang percaya, kita tentu tahu bahwa salah satu upaya yang bisa turut kita berikan adalah melalui dukungan doa.

Teruntuk korban bencana alam, kami mengingat kalian, dan menyebut nama kalian di dalam doa kami. Mari kita berdoa memohon tujuh hal berikut ini kepada Tuhan untuk mereka yang menjadi korban bencana alam.

1. Berdoa memohon kedamaian

Murid-murid Yesus ketakutan ketika perahu yang mereka tumpangi diterjang badai. Mereka lupa bahwa di perahu tersebut juga terdapat Yesus, Seorang yang berkuasa untuk mengatasi badai. Sama seperti murid-murid Yesus, seringkali kita sebagai manusia lebih berfokus kepada badai yang menerpa daripada kepada Tuhan yang sesungguhnya memegang kendali atas badai. Oleh karena itu, marilah kita berdoa agar para korban bencana tersebut tidak dikuasai oleh ketakutan, melainkan dilingkupi oleh damai sejahtera.

Bapa, kami berdoa supaya para korban bencana alam dapat ditenangkan hatinya. Biarlah damai sejahtera-Mu yang melampaui segala akal boleh melenyapkan ketakutan mereka dan membuat mereka bersandar pada pertolongan-Mu saja.

2. Berdoa memohon kecukupan

Bencana alam seringkali mengakibatkan para korbannya kehilangan harta benda dan sumber daya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika kita harus hidup tanpa persediaan sandang, pangan, dan papan. Oleh karena itu, marilah berdoa supaya Tuhan dapat mencukupkan kebutuhan para korban bencana tersebut.

Bapa, kami berdoa supaya para korban bencana tersebut dapat terpenuhi kebutuhannya. Engkau mengerti dan tentu menyediakan apa yang sejatinya mereka butuhkan. Biarlah mereka tidak khawatir akan apa yang hendak mereka makan, minum, ataupun pakai. Akan tetapi, biarlah mereka percaya sepenuhnya kepada-Mu bahwa Engkau sungguh peduli terhadap mereka.

3. Berdoa memohon bala bantuan

Para korban bencana alam membutuhkan orang lain. Mereka membutuhkan tim medis untuk menangani luka-luka fisik, tim SAR untuk menyelamatkan orang-orang yang terjebak, juga petugas keamanan untuk memastikan mereka mendapatkan tempat perlindungan yang tepat. Marilah berdoa supaya Tuhan boleh menolong orang-orang yang bertugas tersebut.

Bapa, kami berdoa supaya Engkau menolong orang-orang yang diberikan tanggung jawab untuk memastikan keselamatan para korban bencana. Beri mereka perlindungan dari marabahaya dan juga keberanian untuk bisa menolong para korban.

4. Berdoa memohon hikmat

Ketika bencana terjadi, orang-orang di sana harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Dari mana evakuasi akan dilakukan? Ke mana para korban harus diungsikan? Mau dibawa ke manakah korban-korban yang terluka? Dan sebagainya. Oleh karena itu marilah kita berdoa agar tim penyelamat dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

Bapa, kami berdoa supaya para korban dan tim penyelamat diberikan hikmat dan keberanian untuk menyelamatkan mereka yang terjebak dalam bahaya. Berikan mereka kekuatan dan perlindungan.

5. Berdoa memohon hati yang mau tetap percaya

Bencana yang terjadi tak jarang menorehkan luka secara fisik dan psikis kepada para korbannya. Selain kehilangan harta benda, mereka pun mungkin saja kehilangan sanak saudara ataupun orang-orang yang mereka kasihi. Oleh karena itu, marilah kita berdoa supaya di dalam masa-masa sulit tersebut, mereka tetap mampu mempercayai Tuhan dan rancangan-Nya yang baik.

Bapa, kami berdoa supaya mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihi dapat dikuatkan dan diteguhkan hatinya. Tolong mereka supaya dapat melihat maksud baik yang Engkau rancangkan di balik bencana yang saat ini menimpa.

6. Berdoa memohon pemulihan

Setelah bencana terjadi, para korban harus kembali meniti jalan hidupnya. Dari segala luka dan kehancuran yang bencana alam tinggalkan, mereka harus bangkit untuk menata kehidupan mereka seperti sedia kala.

Bapa, kami berdoa supaya Engkau boleh memulihkan kehidupan mereka dengan memberikan sukacita yang sempat terhilang karena bencana. Kami percaya Engkau sanggup memenuhi apa yang mereka butuhkan, baik itu tempat tinggal, pakaian, makanan, dan tentunya kedamaian hati.

7. Berdoa memohon perlindungan

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, seklaipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang geloranya,” (Mazmur 46:2-4). Seperti pemazmur yang memuji Allah karena perlindungan yang disediakan-Nya, marilah kita juga berdoa agar para korban bencana dapat bersandar dan berlindung sepenuhnya kepada Allah.

Bapa, kami berdoa kiranya agar Engkau menjadi tempat perlindungan yang teguh, dan sumber pertolongan satu-satunya tatkala masalah melanda. Biarlah mereka boleh mengenal Engkau secara pribadi agar mereka tahu bahwa sesungguhnya Engkau selalu ada untuk mereka.


Tulisan ini diadaptasi dari artikel 7 Prayers For Those Battered by Natural Disaster

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Melepaskan Diri dari Jeratan Dosa Seksual

Aku adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang memiliki riwayat jatuh ke dalam dosa seksual sejak SMP. Bermula dari pelecehan yang dilakukan oleh pacarku, aku jadi terjebak dalam dosa seksual. Namun, Tuhan menolongku untuk lepas dari dosa ini. Inilah kisahku.

Pengalamanku Merasakan Gempa Nepal 2015

pengalamanku-merasakan-gempa-nepal-2015

Oleh S. A., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reliving the Horrific 2015 Nepal Earthquake

25 April 2015. Itulah hari di mana temanku datang ke Nepal untuk mengujungiku (aku sedang menjalani satu tahun tugas penginjilan di Nepal). Itu juga hari di mana dunia menjadi saksi akan gempa bumi terdahsyat di Nepal sejak tahun 1934. Lebih dari 8.000 orang tewas dan lebih dari 21.000 orang terluka.

Temanku dan aku sedang mengikuti sebuah kebaktian di lantai 3 sebuah gereja pagi itu. Saat itu sedang waktu penyampaian khotbah dan sang pengkhotbah sedang membacakan firman Tuhan dari Kejadian 17 ketika seluruh gedung gereja mulai bergetar dengan hebat. Aku dapat mendengar gemuruh dari lantai di bawah kami; burung-burung di luar beterbangan ke segala arah, dan segala benda di sekitar kami berderak.

Datang dari negara Singapura yang bebas gempa, aku perlu beberapa saat untuk menyadari bahwa aku sedang berada di tengah gempa bumi—yang kemudian aku ketahui berskala 7,8 skala richter. Hal pertama yang kupikirkan adalah, “Aku harus keluar dari gedung ini!” Jadi aku mengambil tasku dan berdiri, bersiap untuk turun ke lantai dasar.

Namun ketika aku melihat sekitarku, aku tidak melihat seorang pun orang Nepal yang bergerak. Mereka tetap duduk atau berdiri, tangan mereka terangkat kepada Tuhan ketika mereka berdoa dengan sungguh-sungguh.

Aku langsung merasa malu ketika menyadari bagaimana reaksi pertamaku, tidak seperti mereka, bukanlah meminta pertolongan Tuhan. Jadi aku duduk lagi dan berdoa dengan sungguh. Aku berdoa agar Tuhan menjaga gedung gereja itu tetap berdiri. Aku berdoa agar Tuhan mengehentikan gempa bumi itu. Aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan kami. Tapi di pikiranku, aku tidak dapat tidak berpikir: “Ini adalah hari terakhir dalam hidupku.”

Setelah beberapa detik, getaran itu berhenti. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Lalu getaran itu datang lagi. Lalu kita kembali berdoa. Gempa bumi itu berakhir kurang dari satu menit, tapi saat itu, terasa seperti selamanya. Getaran itu pada akhirnya berhenti dan kami dapat menuruni tangga dengan normal.

Beberapa jemaat tetap berada di ruangan dan menyanyi, “Dhanyabaad Yesu mero man dheki”, yang artinya “Terima kasih Yesus dari dalam hatiku”. Air mata membasahi mataku melihat mereka bernyanyi kepada Tuhan.

Tiba-tiba, ada sejumlah petugas di luar. Aku tidak dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi karena aku kurang menguasai bahasa Nepal. Kami melihat beberapa orang berlari menuju gerbang biru gereja yang besar dan menutup gerbang itu. Kemudian kami baru mengetahui bahwa ada sekumpulan gajah yang menyerbu di luar dan mereka mau mencegah gajah-gajah itu masuk ke lingkungan gereja. Situasinya terasa begitu sulit dipercaya.

Kemudian, ketika kami berjalan pulang, kami melihat banyak batu bata yang mengelilingi rumah-rumah orang-orang telah runtuh. Orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok di tanah lapang terbuka, dan banyak yang berusaha menelepon. Di salah satu tempat, sebuah rumah berlantai tiga telah benar-benar hancur, dan polisi sedang mencoba untuk mengambil puing-puing yang ada. Sekitar 100 orang berkumpul di sana, beberapa menonton, beberapa mengambil foto. Kami tidak yakin apakah ada korban jiwa.

Selama sekitar satu jam, kami merasa seperti tanah di bawah kami bergoyang. Ada banyak kejutan-kejutan susulan di hari itu—dan beberapa hari, minggu, dan bulan setelahnya. Untuk beberapa hari berikutnya, kami tidur di tenda. Setiap pagi, kami menyanyikan lagu “10.000 Reasons” untuk mengingatkan kami bahwa setiap hari adalah hari untuk kita syukuri, dan berharap segala sesuatu menjadi lebih baik.

Orang-orang yang berbeda memberikan reaksi berbeda terhadap musibah itu. Beberapa rekan kerjaku mengalami trauma kecemasan pascatragedi dan harus pulang ke negara asal mereka untuk mendapatkan bantuan profesional dan menjalani proses pemulihan. Bagiku, aku tahu Tuhan memanggilku untuk tetap tinggal di sana—meskipun duta besar Singapura di New Delhi dan Menteri Luar Negeri telah menghubungi ibuku untuk bertanya tentang keadaanku dan menawarkan diri untuk mengevakuasi diriku. Saat itu, aku yakin bahwa aku harus tetap tinggal di sana sehingga aku dapat bersama orang-orang Nepal di sana, dan aku bersyukur karena orangtuaku menghormati keputusanku. Akhirnya aku tinggal di Nepal selama 18 bulan—hingga bulan Juli tahun ini.

Apakah gempa bumi itu masih berpengaruh kepadaku sekarang, setelah aku kembali ke Singapura?

Ya, dalam beberapa hal. Hingga sekarang, setiap kali aku mendengar suara yang serupa dengan alarm gempa bumi, tubuhku secara otomatis menjadi kaku dan langsung bereaksi seakan ada bahaya. Di minggu pertamaku setelah aku pulang ke rumah, ada beberapa kali ketika aku merasa tempat tidurku seperti bergoyang ketika aku sedang berbaring. Dan ketika aku naik kapal, getaran kapal yang ada di bawahku mengingatkanku akan gempa bumi itu.

Apakah itu berarti aku masih mengalami trauma? Tidak. Itu hanyalah sebuah “kebiasaan” yang aku perlu belajar hadapi. Melalui pengalamanku akan gempa bumi itu, aku kini mengerti lebih dalam akan ayat Alkitab dalam Yesaya 54:10, yang berbunyi, “Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”

Di tengah kekacauan, Tuhan tetap tidak tergoyahkan.

Baca Juga:

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu.