Posts

Tuhan Menjumpaiku Ketika Aku Melajang dan Merasa “Tertinggal”

Oleh Grace Lim 

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: How God Met Me Where I was Single and Feeling Left Behind

Telah lama aku merindukan sosok pasangan, untuk membangun satu keluarga yang menyembah Tuhan bersama-sama. Namun, rencanaku untuk menikah di usia muda tidak tercapai. Usia 20-anku dipenuhi kisah cinta yang berakhir dengan tidak bahagia. Sampai sekarang aku masih melajang dan mengalami masa-masa ketika aku merasa begitu kesepian.

Mencari pasangan dari circle terdekat seperti teman-teman gereja tidak lagi memungkinkan. Sebagian besar mereka sudah berpasangan atau menikah, meskipun kebanyakan jemaat gerejaku masih berusia muda. Kadang aku merasa seperti orang aneh yang tertinggal. Bergaul dengan teman-teman yang sudah menikah itu jadi tantangan tersendiri bagiku—mereka sering kali tidak punya waktu, prioritasnya beda, dan sulit nyambung karena tahap kehidupan kami yang berbeda. Sulit juga untuk berkenalan dengan orang baru dari orang-orang yang mereka coba kenalkan karena kebanyakan sudah menikah. 

Sikapku dulu hanya duduk diam, menunggu Tuhan memberiku sosok pasangan. Tapi, seiring usiaku bertambah, pandangan ini berubah. Kudengar beberapa pasangan ‘sukses’ dari dating-apps. Kupikir, siapakah aku sehingga aku membatasi cara kerja Tuhan? Aku percaya Tuhan dapat menggunakan media apa pun, termasuk dating apps, untuk memberiku pasangan yang saleh. 

Sudah lebih dari setahun aku menggunakan aplikasi kencan dan ternyata perjalannya tidak mulus. Seperti yang dikatakan beberapa orang, “dating-apps bukanlah untuk orang yang lemah hati.” Swipe kanan-kiri yang entah sudah berapa ribu kali, mengulang lagi sapaan dan pertanyaan, yang ujung-ujungnya malah membawaku pada kecewa dan putus asa. Meski begitu, aku blum menyerah. Aku terus berdoa agar hatiku selalu tertuju pada Tuhan dan Roh Kudus menuntunku dalam perjalanan ini. Bagaimana pun juga, aku ingin membangun sebuah keluarga yang mengutamakan Kristus sebagai pusatnya.

Setelah melalui banyak penolakan, akhirnya aku dipertemukan dengan seseorang yang sangat nyambung denganku. Kami memiliki banyak kesamaan, termasuk keyakinan. Kami beberapa kali bertemu dan sungguh menikmati kebersamaan. Pikiran bahwa dia mungkin adalah “orangnya” terlintas di benakku. Meskipun demikian, aku berdoa agar kehendak Tuhanlah yang terjadi dan Dia menunjukkan apakah si pria ini memang orang yang Tuhan inginkan untukku.

Tuhan menjawab doaku dengan cepat. Suatu sore, pria itu mengirim pesan. Katanya, dia tidak tertarik padaku dan tidak bisa melihat masa depan bersamaku. Mengejutkan. Padahal kami baru saja bertemu sehari sebelumnya dan pertemuan itu terasa menyenangkan dan obrolannya asyik.

Kecewa dan bingung kurasakan. Aku bertanya-tanya: apakah aku telah melakukan kesalahan dalam pertemuan kami? Meskipun aku ingin kehendak Tuhan yang terjadi, aku tidak bisa tidak merasa kesal karena kencanku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku juga bingung mengapa Tuhan menutup pintu dengan begitu tiba-tiba, padahal pria itu tipeku.

Namun, dalam kasih karunia dan belas kasih-Nya, Tuhan menjumpaiku dalam kehancuran. Aku merasakan bisikan lembut yang bertanya kepadaku, “Jika kamu sepenuhnya percaya kepada Tuhan dan membiarkan kehendak-Nya terjadi dalam hidupmu, mengapa kamu begitu patah hati dan marah?” Tuhan melihat peperangan di dalam diriku—ingin melakukan kehendak-Nya, namun merasa frustrasi ketika kehendak-Nya terjadi.

Pertanyaan yang kuterima mendorongku untuk merenung dan bertanya kepada Tuhan apa yang ingin Dia ajarkan kepadaku. Meskipun Dia tidak menjawab doaku seperti yang kuharapkan, tapi Tuhan mengizinkanku belajar dua hal dari kejadian ini.

1. Ini tentang mengungkapkan keadaan hatiku

Seringkali, hati kita begitu ingin memenuhi kehendak sendiri, sampai-sampai obsesi itu menguasai diri kita.

Elisabeth Elliot pernah berkata, “Sesuatu yang tampaknya sedikit atau kecil justru punya kekuatan untuk membuat kita mengasihani diri sendiri, seperti halnya kesepian”. Meskipun hubungan dan pengalamanku di masa lalu telah mengajarkanku bahwa Tuhan selalu ingin yang terbaik untukku, tapi ketika aku merasa sangat kesepian, aku tidak dapat melihat kebenaran itu. Seperti yang dikatakan Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Bagaimanapun juga, Tuhan mengetahui isi hatiku dan apakah aku telah benar-benar menetapkan hatiku di hadapan-Nya, seperti yang telah kudoakan. Lalu, muncul pertanyaan: apakah aku akan tetap menyembah Dia walau segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan?

Aku butuh pengingat untuk tunduk kepada-Nya sebagai Raja atas hidupku dan menyerahkan setiap keinginanku kepada-Nya. Aku perlu terus mengulangi kebenaran ini dan mengatakannya dalam hati bahwa Yesus telah membeliku dengan nyawa-Nya sendiri, dan hidupku bukan lagi milikku sendiri (Galatia 2:20, 1 Korintus 6:19-20). Ayat-ayat ini memberiku ketenangan, menunjukkan padaku tentang Seseorang yang mengasihiku hingga rela mengejarku sampai ke kayu salib.

2. Ini tentang kesabaran

Kedua, kejadian ini juga memberikan pelajaran tentang kesabaran. Mempercayakan masa depanku pada rencana baik Tuhan (Roma 8:28-30; Yesaya 55:8-9) membantuku untuk bersabar dalam penantian. Aku tahu bahwa definisi-Nya tentang kebaikan mungkin berbeda dengan apa yang dapat kupahami. Sebagaimana Amsal 3:5 mengingatkanku untuk “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”, aku tahu bahwa aku tidak perlu ngotot untuk menemukan seseorang atau mewujudkan sesuatu (misalnya, mengecek aplikasi tiga kali sehari, atau memaksa buru-buru nyambung dengan orang baru).

Sambil menunggu, aku dapat melakukan apa yang telah Tuhan percayakan kepadaku di gereja dan komunitas, seperti menggunakan waktu untuk menulis artikel ini (menulis telah menjadi cara yang efektif untuk mengalihkan pikiranku dari rasa kesepian), berperan aktif dalam kelompok pendalaman Alkitab, dan menolong teman-teman yang membutuhkan.

Berjalan erat dengan Tuhan menunjukkan padaku bahwa Dia berdaulat, Dia baik, dan Dia senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupku. Hal ini mengingatkanku untuk terus bersandar pada Roh Kudus ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku mungkin tidak mengerti situasi yang kuhadapi, tetapi dengan menyerahkan hidupku kepada-Nya setiap hari, membantuku menyelaraskan keinginanku dengan keinginan Tuhan. Sebagai gantinya, Dia memenuhiku dengan kekuatan dan hikmat.

Aku juga membangun beberapa rutinitas untuk melewati hari-hari yang sulit itu, seperti meletakkan kesepianku dalam doa, menyatakan janji-janji baik Tuhan dengan lantang, berjalan-jalan, atau menelepon seorang teman. Melakukan hal-hal kecil ini membantu mengalihkan pikiranku dari perasaan mengasihani diri sendiri.

Aku tidak tahu kapan Tuhan akan menjawab doaku untuk mendapatkan pasangan, tapi aku percaya pada waktu-Nya, dan aku tahu Yesus akan menyertaiku dalam kesepianku. Faktanya, aku tahu Dia akan menggunakan kesepianku untuk membawaku lebih dekat kepada-Nya, dan betapa indah serta berharganya hubungan ini!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sedalam Apa Kamu (Mau) Membangun Cinta Bersamanya?

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Apa hal pertama yang terlintas di benak teman-teman ketika membicarakan tentang cinta? Biasanya, yang muncul pertama kali di benak kita adalah perasaan. Ya, topik seputar cinta (terutama ketika berada di seminar atau kelas yang membosankan) kerap kali menjadi “dopamin” ketika rasa ngantuk melanda. Disadari atau tidak, kita cenderung akan lebih antusias ketika topik pembicaraan beralih ke percintaan lawan jenis (hayo, benar enggak, wahai muda-mudi?)

Tidak heran jika cinta juga menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas dalam berbagai karya, baik secara lisan maupun tertulis. Iya, semudah itu kita excited ketika berbicara soal cinta, sampai-sampai ada sebuah pepatah populer yang familiar bagi kita:

Cinta itu kuat seperti maut.

Ungkapan yang tertulis dalam Kidung Agung 8:6 ini menggambarkan bahwa saking kuatnya, cinta seolah-olah memiliki daya tarik bagi manusia untuk berkorban bagi mewujudkan perasaan cintanya kepada pasangannya. Ketika sebuah relasi dimulai, perasaan cinta yang “kuat seperti maut” juga seakan-akan menggiring pada imajinasi bahwa kita dapat memberikan “diri sendiri” kepada orang yang dikasihi. Perasaan menggebu-gebu ini seolah-olah divalidasi oleh ajaran-ajaran tentang pengorbanan Yesus Kristus, sang Anak Allah yang mati di atas kayu salib (Yohanes 3:16, Filipi 2:5-8). Kita merasa bisa menjadi “Kristus kecil” setidaknya bagi orang yang kita cintai itu. Namun, tulisan ini tidak berhenti pada “cinta yang kuat seperti maut”, melainkan melampauinya dengan “cinta yang membangun kehidupan”.

“Loh, bukannya cinta hingga rela mati itu lebih besar, ya, dibandingkan cinta selama masih hidup? Kan, Tuhan Yesus rela membuktikan cinta-Nya bagi kita sampai mati di atas kayu salib.”

Betul, tetapi menurut Paulus, kasih melampaui yang namanya kematian. Paulus menjelaskannya dalam 1 Korintus 13:3:

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.

“Seheroik” apa pun anggapan kita terhadap tindakan yang kita (atau pasangan) lakukan dalam relasi, maknanya akan sia-sia tanpa kasih di dalamnya. Nah, kasih yang sejati digambarkan oleh Paulus dalam dan Yohanes demikian:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 𑁋1 Korintus 13:4-7

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 𑁋1 Yohanes 4:7-8, 10

So what? Bagiku dan pasanganku, tantangan terbesar bagi kami bukanlah mewujudkan “cinta hingga mati” melainkan membangun cinta di dalam Allah. Jika Kristus hanya mati untuk kami, maka sia-sia pengorbanan-Nya. Namun, Ia bangkit, naik ke surga, dan akan datang kedua kalinya untuk menggenapi janji keselamatan kekal manusia. Karena itulah, relasi kami sesungguhnya adalah wujud nyata bagaimana Kristus menyucikan dan menguduskan hidup kami.

“Ah, kok holy banget, sih. Skip, ah.”

Tunggu, tunggu. Kami juga manusia biasa yang juga punya drama dalam relasi, teman-teman 🤣 Anyway, poin di atas adalah prinsip yang perlu kita terus perjuangkan dalam membangun relasi; bukan hanya dalam percintaan, tetapi juga bentuk kasih kita kepada setiap orang yang kita jumpai. Jadi, prinsip Alkitabiah ini bersifat umum, ya. Nah, sekarang, izinkan kami membagikan sisi psikologis dari pengalaman kami dalam membangun relasi.

1. Berani terbuka pada kerapuhan diri tidak menjamin bisa mendekatkan satu sama lain

Dalam sebuah relasi, makin terbuka pada diri sebenarnya membuka kesempatan untuk melihat sisi lain kehidupan pasangan maupun diri sendiri. Idealnya demikian, kan? Melalui keterbukaan pada kerapuhan diri, kita lebih peka pada kebutuhan emosi dan menyampaikannya secara tepat pada pasangan. Aku belajar cukup banyak dalam berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari belas kasihan Tuhan), kami sudah mulai bisa memperkenalkan kerapuhan diri masing-masing sejak dia mendekatiku.

By the way, berikut beberapa poin kerapuhan diri yang kami buka dalam proses pendekatan (PDKT), termasuk setelah kami mulai berpacaran:

a. Pola asuh dalam keluarga, karena hadir atau absennya orang tua punya andil besar dalam membentuk kami jadi pribadi yang sekarang
b. Pelajaran dari relasi di masa lalu
c. Sisi kepribadian kami yang bisa jadi bibit konflik dalam relasi
d. Trauma maupun pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan di masa lalu

“Kapan kita bisa mulai membuka kerapuhan diri ke (calon) pasangan?”

Tergantung kesiapan keduanya, dan kesiapan ini pun dipengaruhi oleh banyak hal. Dari pengalaman kami, proses perkuliahan dan konseling pribadi dari kampus yang sama menolong kami untuk memiliki kesiapan dalam membuka kerapuhan diri, serta peka pada kerapuhan orang lain. Namun, kita juga perlu waspada agar tidak segera mengizinkan (calon) pasangan mengenali kerapuhan kita jika belum ada kepercayaan (trust) di antara kedua pihak.

Mengapa? Karena kerapuhan kita bisa menjadi “keuntungan” baginya. Tentunya kita tidak ingin kerapuhan kita menjadi sesuatu yang “dieksploitasi” orang lain, kan? Itulah sebabnya kita perlu belajar membuka diri setahap demi setahap. Kalau kita maupun (calon) pasangan memiliki “tembok” yang terlalu tinggi dalam relasi, kita perlu mempertanyakan ulang keputusan untuk berelasi dengannya. Yesh, ada risiko-risiko yang perlu diambil ketika berelasi dengan orang lain, karena itulah Pdt. Wahyu Pramudya pernah mengungkapkan, “Mencintai hanya untuk pemberani.” Dibutuhkan keberanian untuk merapuh, terluka, dan kembali merajut cinta.

2. Relasi membutuhkan komunikasi yang terus-menerus dilatih

Poin pertama tadi berkaitan dengan poin ini. Yesh, tanpa ada komunikasi yang dilatih, kita tidak akan terbiasa untuk mengembangkan relasi yang terbuka satu sama lain. Nah, relasi yang terbuka membutuhkan kepercayaan dan empati, dan untuk menumbuhkannya membutuhkan waktu dan kesiapan hati kedua pihak.

Mungkin teman-teman sering membaca atau mendengarkan pernyataan serupa dari berbagai sumber yang membahas tentang relasi. Kenyataannya, belajar berkomunikasi dengan pasangan tidaklah semudah yang kita harapkan: kita dan pasangan saling tahu apa yang kita maksudkan tanpa banyak ba-bi-bu, dan bisa saling peka dengan tiap kodenya secara langsung.

Aku𑁋yang telah belajar psikologi dan konseling𑁋pun tidak luput dari kesulitan ini. Ada kalanya aku melukai pasangan dengan pernyataan yang kurang tepat, meskipun aku tidak bermaksud melakukannya. Begitu pula dengannya yang juga perlu terus belajar memberikan validasi emosiku. Namun, di situlah kami akhirnya menyadari bahwa komunikasi adalah seni yang dipengaruhi oleh banyak warna dari kehidupan kami. Warna itu berasal dari perlakuan orang tua kami (kalau bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, itu akan menolong pengenalan kita terhadap pasangan menjadi lebih utuh), tempat asal yang berbeda, pengalaman dari relasi sebelumnya, maupun pergaulan yang dimiliki memengaruhi kepribadian, cara pandang, dan bentuk komunikasi kami.

Perbedaan-perbedaan ini ada kalanya memicu konflik, sehingga kami (melalui konseling pasangan) belajar untuk mengembangkan pola I-statement dalam berkomunikasi. I-statement ini menolong kita untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran berdasarkan sudut pandang kita; berbeda dari you-statement yang menitikberatkan konflik pada orang lain. Contohnya seperti ini:

I-statement: “Ken, kamu kelihatan enjoy, ya, sama game-nya, tapi aku merasa enggak diperhatiin waktu kamu dengerin ceritaku sambil bermain game.”

You-statement: “Kamu bener-bener, ya, nggak perhatian sama sekali!

Dalam komunikasi, kata “tidak … sama sekali”, “tidak pernah”, dan “selalu” perlu kita waspadai𑁋khususnya saat menghadapi konflik. Rasanya tidak menyenangkan, ya, ketika kita sudah mencoba berusaha memperbaiki diri, tetapi mendapatkan respons yang bernada kamu-enggak-pernah-berusaha-berubah. Tidak heran kalau sebuah konflik bisa menjadi “bom waktu”, belum lagi pengaruh dari pembelajaran kita terhadap pola komunikasi antara ayah dan ibu kita (baik-buruknya mereka pun kita pelajari sejak kecil secara sadar maupun tidak).

Ada kalanya membangun komunikasi yang sehat bersama (calon) pasangan itu tidak mudah. Namun, ketika kita berinisiatif belajar untuk mengembangkan komunikasi bersamanya, jalan itu terbuka lebar, kok. Teman-teman bisa mencari permainan yang mendorong pertanyaan bermunculan seperti yang ada di sini.

3. Yuk, konseling!

Dua poin di atas kami pelajari bersama melalui interaksi sehari-hari kami, termasuk dalam proses konseling pasangan yang sedang kami jalani. By the way, konseling pasangan ini berbeda dari bina pranikah di gereja, ya 😂 Kalau bina pranikah biasanya membahas tentang persiapan sebelum memasuki pernikahan (termasuk mempelajari pernikahan dari sudut pandang teologi, hukum, dan kesehatan keluarga), konseling pasangan adalah salah satu cara kami untuk saling mengenal diri (dibantu konselor tentunya, karena kadang-kadang kami mengalami stuck kalau sedang berkonflik). Selain itu, di dalam konseling, ada alat tes yang menolong kami untuk mengenali bibit-bibit konflik yang bisa muncul ketika ada pemicunya.

“Yah, tapi kalau konseling kayak gitu bayar, kan?”

Nah, kalau soal ini, silakan tanyakan pada lembaga konseling terdekat, ya. Teman-teman bisa juga hubungi beberapa layanan konseling di akhir artikel ini untuk informasi lebih lanjut.

Relasi kami memiliki lika-likunya masing-masing, begitu pula dengan teman-teman yang sedang menjalin relasi dengan kekasih hati. Yesh, tiap relasi itu unik adanya dan demikianlah Tuhan pun menciptakan manusia. Tiga poin di atas juga hanya sepersekian dari pembelajaran yang kami dapatkan selama berelasi. Namun, poin yang paling penting adalah kita memerlukan hikmat dan anugerah Tuhan dalam berproses menjadi pribadi yang dipulihkan untuk membangun relasi yang sehat. Keduanya hanya dapat dialami ketika kita dan (calon) pasangan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga perlahan-lahan kita𑁋dengan tuntunan Roh Kudus𑁋dimampukan untuk mengasah kepekaan rohani dalam merajut kisah kasih bersama-Nya. Jadi, mohon doanya juga, ya, teman-teman, agar kami terus bertumbuh makin serupa Kristus melalui relasi ini.

Kiranya setiap pertumbuhan dan pengenalan diri yang disingkapkan membawa kita makin mengagumi dan memuliakan Tuhan yang berkarya melalui relasi kita. Selamat membangun cinta di dalam anugerah Sang Kasih!

Beberapa list lembaga konseling (silakan ditambahkan oleh teman-teman, ya)
1. Lifespring Counseling and Care Center
2. Gading Counseling & Empowerment Center
3. HOPE Counseling Center
4. Konseling Kristen (by hotline)
5. PERHATI Counseling & Care Center

Bacaan lebih lanjut:

Rogers, Shane L., Jill Howieson, dan Casey Neame, “I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict,” PeerJ (2018), 1-13.

Tsai, George, “Vulnerability in intimate relationships,” The Southern Journal of Philosophy 54 (2016), 166-182.

***

Terima kasih pada Kenny Tjhin yang menolongku menuliskan sudut pandang teologi tentang “cinta yang kuat seperti maut”. I thank God for you.

 

Menikah atau Selibat? Pilihan Hidup yang Perlu Kita Doakan dengan Sungguh

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kita punya banyak pertanyaan terkait masa depan. Salah satunya mungkin kita bertanya-tanya dengan siapa, kapan, dan bagaimana kita akan menikah. Namun, konsep tentang pernikahan sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama. Contohnya, di negara-negara maju, pernikahan umumnya dianggap sebagai keputusan pribadi dan bersifat privasi, sedangkan di Indonesia pernikahan dianggap sebagai keharusan. Jadi, kalau ada orang yang sudah masuk usia ‘matang’ tapi tak kunjung punya pasangan, pertanyaan ‘kapan nih nikah?’ bukan jadi hal yang asing.

Aku sendiri punya pengalaman terkait keputusanku untuk menikah. Sewaktu aku menyelesaikan studi sarjana strata satuku (S-1), banyak orang yang bertanya-tanya kepadaku soal kapan aku mau menikah dengan wanita yang jadi pacarku saat itu (yang kini jadi istriku). Bukannya menjawab sesegera mungkin, aku malah menjawab bahwa aku akan melanjutkan studi strata duaku (S-2), dan setelah itu barulah aku akan menikah. Mendengar jawabanku tersebut, seketika juga ekspektasi banyak orang bahwa aku akan segera menikah menjadi gugur. Namun, setelah aku berpikir kembali bahwa keputusan menikah atau tidak terutama adalah terkait dengan kehendak Tuhan, maka aku seharusnya tidak perlu merasa bersalah, sebab pernikahan memang adalah sebuah karunia, sakramen, dan perjalanan bersama Tuhan.

Dari pengalamanku itulah ada 3 hal yang ingin kubagikan:

1. Pernikahan bukanlah suatu keniscayaan

Apabila kita melihat kembali ke dalam Alkitab, baik menikah maupun tidak menikah (selibat), keduanya adalah karunia Allah. Artinya jelas, pernikahan bukanlah satu-satunya karunia Allah. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan adanya dua karunia tersebut dengan mengatakan: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (1 Kor. 7:7).

Bagi Paulus, orang yang tidak menikah seperti dirinya adalah baik karena selibat adalah karunia dari Allah. Namun, Paulus juga tidak menutup kemungkinan bahwa Allah memberikan karunia kepada sebagian umat-Nya untuk menikah. Lebih lagi, Paulus bahkan mengajarkan bahwa saling memenuhi kewajiban sebagai pasangan suami istri bukanlah dosa (1 Kor. 7:3). Yang salah ialah jika kita memutlakkan bahwa semua orang Kristen harus menikah, atau sebaliknya, semua orang Kristen seharusnya tidak menikah (asketisme dan gnostisisme). Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, kamu bisa melihat artikel yang dipublikasikan di sini.

2. Tujuan utama dari pernikahan bukanlah kebahagiaan, tetapi pengudusan

Di dalam bukunya yang berjudul “Sacred Marriage,” Gary Thomas mengajukan sebuah pertanyaan, sekaligus yang menjadi tesis utama tulisannya bahwa, “bagaimana seandainya Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada untuk menyenangkan kita?” Artinya, bagi Thomas, sekalipun kita dapat menikmati kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya, sebab tujuan utama Tuhan merancang pernikahan adalah supaya kita dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan-Nya.

Secara sederhana, kita bisa mengartikan hidup yang kudus di sini sebagai bagaimana kita hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Berkaitan dengan pengudusan, pernikahan adalah salah satu cara (sakramen) Tuhan membentuk kita supaya dapat memiliki hidup yang kudus dengan belajar untuk saling menerima, mengampuni, dan mencintai satu sama lain. Kita bisa menambahkan daftar mata pelajaran yang lain untuk menjadi kudus dalam hubungan pernikahan. Namun, yang salah adalah jika kita mengira kebahagiaan adalah tujuan utama dari pernikahan, apalagi kebahagiaan yang kita maksudkan sebatas perasaan senang.

Meski demikian, perlu juga kita ingat bahwa pengudusan hidup tidak hanya ditemukan di dalam pernikahan. Sebab ketika kita diselamatkan oleh Allah di dalam karya Kristus, maka kita juga dikuduskan secara personal (1 Kor. 1:30; 1 Pet. 1:2). Ini artinya, hidup sebagai orang percaya yang melajang pun dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan Tuhan, tidak hanya bagi mereka yang mendapatkan karunia untuk menikah. Asalkan kita tetap hidup berdampingan dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau rekan kerja kita. Ini karena penerimaan, pengampunan, mencintai, dan lain seterusnya hanya bisa terjadi jika kita hidup berdampingan dengan orang lain, bukan hidup seorang diri (individualistis).

3. Pernikahan dimulai dengan keutuhan, bukan kekosongan jiwa

Pernikahan dimulai dengan sebuah keutuhan diri di hadapan Tuhan, yang sekalipun belum selesai, tetapi sudah dimulai (already, but not yet) oleh karya Kristus yang mengutuhkan diri kita melalui berdamai kembali dengan Allah (2 Kor. 5:19). C.S. Lewis pernah berkata, “The fact that our heart yearns for something Earth can’t supply is proof that Heaven must be our home,” yang berarti, “Fakta bahwa hati kita merindukan sesuatu yang tidak dapat disediakan di Bumi (termasuk mengenai pasangan hidup) adalah bukti bahwa surga (maksud Lewis di sini ialah Allah) harus menjadi rumah kita.”

Janganlah kita mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikah hanya karena merasa kosong di dalam jiwa kita, sebab itu hanya akan dapat melukai pasangan kita, termasuk juga diri kita di kemudian hari. Ibaratnya seperti memberi makan monster yang tak pernah kenyang. Begitu pula, jika kita memulai pernikahan dengan sebuah kekosongan, maka pasangan kita juga tidak akan pernah cukup untuk menutup lubang di dalam hati atau jiwa kita yang terdalam, yang hanya bisa ditutup pertama-tama oleh kasih Allah di dalam Kristus.

Selain itu, ketika kita mundur ke belakang, dalam kisah Penciptaan ketika Tuhan Allah menciptakan Adam, keutuhan diri Adam sebagai manusia sudah dimulai, meskipun belum selesai (Kej. 2:7). Karena Adam tak baik jika sendirian. Jadi, ketika Adam mengambil Hawa sebagai pasangan hidupnya, itu tidak dimulai dari sebuah kekosongan jiwa, tetapi dari keutuhan diri Adam sebagai manusia, yang kemudian mengekstensikan kasih Allah kepada Hawa, seorang manusia yang lain (Kej. 2:23).

Kiranya tiga hal yang perlu kita pikirkan kembali sebelum memutuskan untuk menikah di atas dapat mencerahkan kita yang sedang bergumul untuk menikah atau tidak menikah. Terakhir, saranku adalah jangan pernah memikirkan hal-hal ini sendirian. Carilah sahabat dalam Kristus untuk menemanimu dan memberikan nasihat, serta masukan mengenai pergumulanmu soal status kehidupanmu. Itulah juga yang aku lakukan bersama pasanganku dalam perjalanan kamu sebelum menikah. Kami mencari mentor kami masing-masing, dan bahkan menjalani pelayanan konseling bersama dengan beberapa hamba Tuhan untuk mempersiapkan setiap kami untuk menjadi satu kelak.

Jika kamu punya pertanyaan dan ingin berdiskusi, kamu bisa tuliskan di kolom komentar.

Tuhan Yesus memberkati.

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Tuhan, Berikan Aku Pasangan yang Suka Mencuci Piring!

Oleh God’s Little Flower
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 主啊,请赐我一个爱洗碗的丈夫吧!(有声中文

Meski rasanya memalukan, tapi judul artikel ini faktanya adalah doaku bertahun-tahun lalu.

Aku belum lama jadi orang Kristen kala itu dan terdorong untuk mendoakan calon suamiku di masa depan. Aku merinci 10 kriteria yang harus ada pada “suami idealku”. “Suka mencuci piring” ada di nomor 9. Alasan dari tertulisnya kriteria itu adalah, “Tuhan, aku amat tidak suka mencuci piring. Bukankah cocok jika suamiku nanti sangat suka mencuci piring?”

Kupikir kamu bisa menebak kelanjutan ceritanya. Tentunya Tuhan tidak memberiku suami yang suka mencuci piring, namun pada kenyataannya Tuhan menggunakan rutinitas remeh mencuci piring untuk mengajari kami pelajaran penting tentang pernikahan.

Siapa yang akan mencuci piring?

Ketika suamiku dan aku bertunangan, kami menghadiri beberapa seminar dan kelas tentang pernikahan. Banyak pembicara menyebutkan bahwa alasan utama konflik antar pasangan adalah pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak jelas.

Jadi, untuk menghindari ribut-ribut tentang urusan bersih-bersih rumah, aku dan suamiku berdiskusi bagaimana kita nanti membagi tugas saat menikah.

Kami setuju untuk membagi pekerjaan rumah dengan seimbang. Siapa yang bertanggung jawab untuk suatu tugas bergantung pada kekuatan, kepribadian, dan kesukaannya.

Berbicara kebenaran kepada satu sama lain

Berdasar prinsip, “…buanglah dusta dan berkatalah benar..”(Efesus 4:25), aku jujur berkata kepada suamiku kalau aku tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada banyak alasan untuk ini. Pertama, aku tidak punya standar kebersihan yang tinggi. Kedua, aku tidak suka pekerjaan yang simpel tapi berulang-ulang. Ketiga, aku gampang lelah. Alih-alih bersih-bersih rumah, aku lebih memilih menolong suamiku untuk urusan lain, semisal membuatkan slide presentasi dan membaca ulang artikel-artikelnya.

Pandangan suamiku mirip-mirip denganku. Dia bahkan punya standar makanan yang lebih rendah dariku, dan dia juga tidak berekspektasi punya rumah yang selalu rapi dan bersih setiap waktu. Daripada menikmati hidup dalam kemewahan, dia lebih memilih punya hidup sederhana dan istri yang bahagia. Jika aku bisa menolongnya mengerjakan hal-hal kecil dalam risetnya, dia akan amat senang.

Jadi, kami memutuskan bersama tujuan dari pekerjaan rumah tangga yang kami lakukan adalah memastikan bahwa kondisi rumah tidak akan mengganggu keseharian kami. Dengan demikian, kami bisa meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk mengurus pekerjaan rumah.

Setelahnya, kami akan mengevaluasi pembagian tugas kami dengan sering, membagikan unek-unek dan perasaan, juga menyesuaikan kembali rencana kami berdasarkan kondisi. Contohnya, kami biasanya makan di rumah setiap akhir pekan, tapi supaya bisa punya waktu istirahat lebih banyak, kami memutuskan makan di luar lebih sering.

Kasih melenyapkan ketakutan

Selain urusan rumah tangga, aku dan suamiku menerapkan prinsip yang sama terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan kami dan dengan jujur mendiskusikannya. Contohnya, bagaimana kami menggunakan uang, meluangkan waktu pelayanan di gereja, seberapa sering kami mengunjungi rumah orang tua, bagaimana kami merespons pendapat keluarga yang lain, bagaimana membina komunikasi saat salah satu pergi dinas, dan sebagainya.

Kami membagikan apa yang jadi pendapat dan pemikiran kami, merumuskan tujuan bersama, mengatur ekspektasi, sampai akhirnya kami menghasilkan kesepakatan. Sering juga kami mengevaluasi rencana-rencana dan menyusunnya ulang jika dibutuhkan.

Banyak hal dalam hidup pernikahan itu tidak sepenuhnya benar tidak sepenuhnya salah. Antara suami dan istri perlu memiliki pengertian dan melihat dari sudut pandang yang sama. Agar pengertian bersama bisa tercapai, kuncinya adalah dua pihak harus bersedia berkomunikasi dengan jujur.

Kasih dari suamiku dan penerimaannya atasku menolongku untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanku tanpa sungkan. Dia sering mengakui kelemahannya, dan itu menolongku mengerti kebutuhannya dan bersimpati pada perasaannya. Tujuh tahun hidup dalam pernikahan telah menolong kami mengalami lebih dalam kasih Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 4:18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.”

Belakangan ini, aku bercerita pada suamiku tentang doa cuci piring yang kunaikkan bertahun-tahun lalu. Dia tersenyum dan menjawab, “Aku membayangkan sedikit sekali orang yang suka cuci piring. Kalau bisa menebak, mungkin Tuhan Yesus juga tidak suka mencuci piring!” Tapi, selama bertahun-tahun ini, suamiku bersedia mengambil tanggung jawab mencuci piring karena dia memang tahu aku tak suka mencuci piring.

Melihat ke belakang, aku bersyukur karena Tuhan tidak menjawab doaku yang egois itu, malahan Dia mengizinkanku untuk mengalami kasih-Nya melalui suami yang tidak suka mencuci piring, tapi bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya dan berkorban untukku.

Inilah pelajaran amat penting yang kupelajari dalam pernikahan.

Baca Juga:

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

manakah-yang-lebih-baik-menikah-atau-tetap-single

Oleh Poh Fang Chia, Singapura

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Better To Be Married or To Stay Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Coba kita berpikir realistis sejenak. Kita asumsikan bahwa umumnya hubungan pacaran itu berlangsung selama tiga tahun. Di tengah kehidupan yang sangat sibuk ini, jika sepasang kekasih itu bisa meluangkan waktu bertemu seminggu sekali saja sepertinya sudah bagus. Tapi, jika memang berlaku demikian, berarti dalam tiga tahun pacaran, pasangan itu hanya bertemu tatap muka dan saling mengenal selama 156 hari! Padahal seumur hidupku sendiri, aku telah menjalani 13.870 hari sebagai single.

Selain itu, aku juga memikirkan tentang bagaimana caranya dua orang dengan latar belakang, budaya, dan kehidupan yang berbeda itu menjadi satu. Memikirkan bagaimana caranya berubah dan menyesuaikan diri saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.

Mungkin aku seorang yang ragu terhadap sebuah komitmen. Atau, mungkin juga seperti yang temanku pernah katakan, yaitu aku memang belum menemukan sosok pria yang tepat. Tapi, apapun alasannya, aku tahu bahwa Tuhan akan mengubah diriku apabila menikah memang adalah bagian dari rencana-Nya dalam hidupku. Tapi, semakin aku berpikir, semakin pula aku merasa bahwa pernikahan itu berasal dari surga.

Pendapatku tentang pernikahan

Terkadang, aku merasa bahwa pernikahan malah membuat kita kehilangan lebih banyak daripada apa yang seharusnya kita dapat. Rasa-rasanya pernikahan itu malah membatasi dunia kita.

Hal inilah yang kurasakan ketika ada pria-pria yang menyukaiku. Aku merasa jika aku menjalin hubungan dengan mereka, hidupku yang semula bebas dan penuh banyak kesempatan akan menyempit dan terbatas.

Aku menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi dalam dirinya yang tidak dapat diubah. Ada komitmen pribadi dan visi kehidupan yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup aku perlu berhati-hati. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama pasangan yang tidak dapat menerima bagian dari diriku yang tidak bisa kuubah. Aku juga tidak mau terjebak dalam situasi di mana aku dan pasanganku tinggal bersama, namun hati dan impian kami masih terpisah. Aku tidak ingin kehidupan kami nanti terpisah walaupun sejatinya sudah menikah.

Pemahamanku tentang pernikahan

Namun, aku juga percaya bahwa ada keajaiban dalam sebuah pernikahan, itulah yang disebut sebagai sebuah transformasi atau perubahan.

Dalam pernikahan, dua kehidupan yang berbeda akan membaur bersama. Dua insan dengan latar belakang berbeda akan hidup dan mengarungi masa depan bersama. Mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda, tapi mereka telah menjadi satu. Pernikahan bukan membuat hidup mereka menjadi sempit dan penuh batas, melainkan dari pernikahan lahir sebuah pengertian dan kesadaran untuk saling mengerti satu sama lain.

Hanya dalam sebuah pernikahan, komitmen dua menjadi satu itu akan membawa mereka menyelami kehidupan lebih dalam. Ibarat roti dan ragi, dua kehidupan yang berbeda itu akan menjadi khamir, atau menyatu sempurna. Komitmen dalam pernikahan juga membuat perjalanan hidup seseorang jadi lebih kaya dan bermakna lewat segala kerumitan-kerumitan yang terjadi setiap harinya. Mereka juga belajar untuk tidak menjadi egois. Tidak ada relasi apapun di dunia ini selain pernikahan yang dapat menguji kesetiaan dan kepuasan sejati antar pasangan.

Kadang, pernikahan seolah tampak bukan sesuatu yang logis. Dua pribadi menjadi satu, namun mereka dapat menghasilkan karya yang jauh lebih besar daripada ketika mereka seorang diri.

Karena itu, temanku pun mengucapkan sebuah kalimat:

Pernikahan adalah sebuah keajaiban.
Secara ajaib, dua insan yang adalah laki-laki dan perempuan, berubah dan dikuduskan menjadi satu dalam hubungan suami istri.

Pengertian Alkitab tentang pernikahan

Surat Paulus kepada jemaatnya di Korintus adalah dasar dari pendapatku mengenai pernikahan dan masa single.

Dalam 1 Korintus 7:8-9, Paulus menasihati kita bahwa lebih baik untuk tidak menikah karena kita bisa mempunyai kesempatan lebih untuk melayani Kristus tanpa diliputi banyak kekhawatiran (7:32-35). Tapi, walaupun pernikahan seolah dianggap sulit, memilih untuk menikah dengan tulus jauh lebih baik dibandingkan hidup di dalam hawa nafsu.

Paulus memberikan tiga alasan umum mengapa orang yang belum menikah lebih baik untuk tetap tidak menikah.

Pertama, orang yang tidak menikah memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah (1 Korintus 7:25-28).

Kedua, di akhir zaman ini, orang Kristen tidak boleh membiarkan hidupnya dikuasai oleh pernikahan maupun hal-hal duniawi. Fokus utama orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan (1 Korintus 7:29-31).

Ketiga, pernikahan menghasilkan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Tapi, mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat mengabdikan hidup mereka seutuhnya untuk melayani Kristus (1 Korintus 7:32-35).

Tiga alasan itu membuat aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa Tuhan merancangkan sebuah pernikahan jika memang sudah jelas bahwa pernikahan itu membawa kerugian?

Tapi, aku menyadari bahwa sesungguhnya 1 Korintus 7 sedang membahas mengenai dunia dan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, aku menarik kesimpulan bahhwa pernikahan Kristen adalah pernikahan yang dirancang untuk jadi kesaksian yang kuat tentang Yesus Kristus, sebagai wujud demonstrasi kasih Allah kepada dunia ini.

Pernikahan Kristen yang sejati bukan terjadi secara otomatis karena dua orang Kristen memilih untuk menikah, ataupun karena pernikahan itu diberkati di gereja. Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencari pasangan hidup yang sepadan.

Inilah pemahamanku yang baru tentang apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 7.

Ya, orang yang tidak menikah memang memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menikah. Namun, fakta bahwa berdua lebih baik daripada seorang diri juga benar adanya. Pasangan yang hidup bersama dapat mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih baik.

Ya, kita hidup di akhir zaman, orang Kristen tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi menguasai hidupnya. Prioritas utama sebagai orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan, dan kedua hal ini berlaku baik bagi orang yang menikah ataupun tidak.

Ya, pernikahan akan memberikan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat membaktikan seluruh kehidupannya untuk melayani Kristus. Akan tetapi, adalah sesuatu yang juga benar apabila dua orang yang memutuskan menikah itu menghidupi misi ini bersama-bersama. Tentu hasil yang dihasilkan akan jadi lebih besar. Suami dan istri harus menghidupi hari-hari mereka untuk melayani Kristus. Pemahaman ini membawa kita pada pandangan yang lebih luas tentang ladang pelayanan. Sebagaimana dunia ini adalah ladang pelayanan, demikian juga rumah dan keluarga kita.

Kalimat penutup

Aku masih harus banyak belajar tentang pernikahan, masa single, dan juga tentang hubungan.

Baca Juga:

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja di perusahaan-perusahaan bonafide. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

mengapa-aku-berada-dalam-friend-zone-selama-15-tahun

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Spent 15 Years In The “Friend Zone”

15 tahun. Ya, selama itulah aku dan suamiku, Jonathan, berteman sebelum kami akhirnya menikah. Mungkin kamu akan menganggap kami sebagai contoh nyata dari kata-kata bijak, “Hubungan yang terbaik berawal dari pertemanan”.

Kalau kamu berpikir aku adalah seorang yang sangat kaku atau penganut setia dari buku tentang berpacaran yang paling populer di zamanku, “I Kissed Dating Goodbye” karangan Joshua Harris—yang mendorong para pasangan untuk pacaran hanya jika siap untuk menikah—mungkin kamu akan kecewa. Kenyataannya, Jonathan adalah pacarku yang kelima (dan itu belum termasuk gebetan-gebetanku yang lain).

Namun, aku adalah pacar kedua Jonathan, dan ketika dia “menembakku”, dia cukup yakin bahwa aku adalah orang yang ingin dia nikahi. Dia memiliki kepercayaan diri itu karena dia telah cukup lama mengenalku, di mana sepanjang masa itu kami telah melewatkan berbagai masa perang dingin, teleponan hingga larut malam, dan saling berbagi begitu banyak kartu ucapan. Aku baru sadar setelah menikah bahwa aku punya sebuah kotak sepatu yang penuh kartu ucapan yang pernah diberikannya.

Izinkan aku untuk menceritakan kisah kami dari awal.

Jonathan dan aku pertama kali bertemu dalam sebuah kelompok pemuda setelah aku lulus Sekolah Minggu. Pada usia 15 tahun, kami menjadi teman baik dan memimpin sebuah kelompok kecil bersama-sama. Selama dua tahun berikutnya kami mulai menganut pandangan kami masing-masing tentang hubungan dengan lawan jenis. Jonathan memutuskan untuk tidak berpacaran sampai dia selesai menyelesaikan Wajib Militer (sekitar usia 19 tahun), sedangkan aku memutuskan untuk berpacaran sesegera mungkin.

Waktu itu, prinsip kencanku sederhana: berkencanlah sampai kamu menemukan “orang yang tepat”. Jadi itulah yang aku lakukan. Satu demi satu kegagalan dalam hubungan aku alami selama beberapa tahun, sampai aku menjadi meragukan prinsipku. Aku juga menjadi ragu apakah nanti aku akan menikah.

Di sisi lain, Jonathan terus memegang komitmennya untuk tetap menunggu—bahkan hingga dia lulus kuliah dan menjalani tahun-tahun yang berat sebagai penyelam di Angkatan Laut. Ketika akhirnya dia mulai berpacaran, dia melakukannya dengan berhati-hati dan penuh komitmen, dengan sebuah harapan untuk dapat menikahi pacarnya saat itu.

Beberapa tahun kemudian, dia menceritakan kepada anak-anak muda tentang alasannya mengapa dia menunggu hingga usia 21 sebelum dia mulai berpacaran: Dia ingin mendedikasikan masa-masa muda terbaiknya untuk Tuhan dan untuk pelayanan di mana Tuhan menempatkannya. Dia terinspirasi oleh Pengkhotbah 12:1, yang berkata, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”

Dia juga mempunyai alasan-alasan lainnya—menurutnya akan sulit untuk menjalin sebuah hubungan ketika dia ada dalam Angkatan Laut, dan dia juga belum siap secara finansial untuk menikah saat itu. Namun alasan utamanya tetap single adalah agar dia dapat fokus untuk melayani Tuhan.

Ketika teman dekat kami tahu bahwa kami akhirnya akan menikah, dengan bercanda mereka mengatakan bahwa aku telah membiarkan suamiku berada dalam “friend-zone” (“zona-teman”) selama 15 tahun. Aku tidak setuju dan mengatakan pada mereka, justru yang terjadi adalah sebaliknya! Suamiku telah membiarkanku ada dalam zona ini selama 15 tahun karena dia ingin menggunakan masa mudanya untuk melayani sepenuh hati dalam pelayanan kaum muda. Dan aku senang karena dia melakukannya.

15 tahun itu memberikan kami waktu untuk saling mengenal sifat-sifat aneh yang kami miliki, untuk belajar arti di balik setiap kernyitan alis, dan untuk memahami apa yang menjadi pendorong semangat bagi masing-masing kami. Dan karena kita memiliki banyak teman bersama, kami sangat senang karena ada banyak teman yang mau membantu persiapan pernikahan kami, dan kini juga membantu menjaga bayi kami! Waktu pertemanan yang panjang telah membuat kehidupanku setelah pernikahan menjadi jauh lebih baik.

Jangan salah, kami masih memiliki perbedaan-perbedaan yang harus kami hadapi. Namun memiliki seseorang yang tahu betul apa yang kamu rasakan hanya dari sekali memandang, menurutku itu adalah hasil dari sebuah fondasi yang telah teruji—pertemanan.

Baca Juga:

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

“And they live happily ever after.”
Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.