Posts

Tergesa-gesa Menghakimi

Selasa, 19 Juni 2018

Tergesa-gesa Menghakimi

Baca: Matius 7:1-6

7:1 “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.

7:2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

7:3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?

7:4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.

7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

7:6 “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. —Matius 7:1

Tergesa-gesa Menghakimi

Saya sering tergesa-gesa menghakimi orang-orang yang berjalan kaki sambil menatap ponsel mereka. Saya pikir, bagaimana mungkin mereka begitu masa bodoh dengan mobil yang lalu-lalang dan bisa saja menabrak mereka? Tidakkah mereka peduli dengan keselamatan mereka sendiri? Namun suatu hari, saat menyeberangi jalan menuju suatu gang, saya begitu terpaku pada sebuah pesan di ponsel sampai-sampai saya tidak menyadari mobil yang datang dari sisi kiri saya. Syukurlah, pengemudi mobil itu melihat saya dan berhenti saat itu juga. Namun, saya merasa malu. Tadinya saya pikir saya ini lebih baik daripada orang lain, tetapi kini semua penghakiman yang saya lontarkan kepada mereka berbalik kepada saya. Saya telah menghakimi orang lain karena satu hal, tetapi ternyata saya sendiri melakukan perbuatan yang sama.

Kemunafikan saya adalah perbuatan yang ditegur Yesus dalam Khotbah di Bukit: “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat. 7:5). Ada “balok” besar di mata saya—sebuah kekurangan dalam diri yang tidak saya sadari tetapi yang saya pakai untuk menghakimi orang lain.

“Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi,” kata Yesus (7:2). Saat membayangkan kembali raut wajah kesal pengemudi yang berhenti mendadak saat saya melintas di depan mobilnya hari itu, saya diingatkan pada kejengkelan yang saya tunjukkan kepada orang lain yang sedang asyik dengan ponsel mereka.

Tak satu pun dari kita sempurna. Namun, terkadang saya melupakan hal itu ketika saya begitu tergesa-gesa menghakimi orang lain. Kita semua sungguh membutuhkan anugerah Allah. —Linda Washington

Bapa Surgawi, tolonglah aku agar lebih cepat menghibur atau menguatkan sesamaku daripada menghakimi mereka.

Janganlah tergesa-gesa menghakimi orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Nehemia 12-13; Kisah Para Rasul 4:23-27

Belas Kasihan

Selasa, 30 Mei 2017

Belas Kasihan

Baca: Lukas 18:9-14

18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:

18:10 “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;

18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. —Lukas 18:13

Belas Kasihan

Ketika saya mengeluhkan keputusan seorang teman yang membawanya semakin jatuh ke dalam dosa dan dampak dari perbuatannya itu terhadap saya, seorang wanita yang setiap Minggu berdoa bersama saya meletakkan tangannya di atas tangan saya. Ia berkata, “Mari berdoa untuk kita semua.”

Saya terkejut, “Kita semua?”

“Ya,” jawabnya. “Bukankah kamu yang selalu berkata bahwa Yesuslah yang menetapkan standar kekudusan, dan karena itu kita tidak seharusnya membandingkan dosa kita dengan dosa orang lain?”

“Ya, kamu benar,” kata saya. “Sikapku yang menghakiminya dan kesombongan rohaniku tidak lebih baik atau lebih buruk dari dosanya.” “Lalu, dengan membicarakan temanmu, kita telah bergosip. Jadi—”

“Kita telah berdosa.” Saya pun menundukkan kepala. “Silakan, berdoalah untuk kita semua.”

Dalam Lukas 18, Yesus menceritakan perumpamaan tentang dua orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa dengan cara yang sangat berbeda (ay.9-14). Seperti orang Farisi itu, kita bisa terjebak untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita meninggikan diri (ay.11-12) dan menjalani hidup seolah-olah kita berhak menghakimi orang lain dan merasa bertanggung jawab untuk mengubah mereka.

Namun, ketika kita menjadikan Yesus sebagai teladan untuk hidup kudus dan mengalami kebaikan-Nya secara pribadi, sama seperti si pemungut cukai, kita pun menyadari bahwa kita sangat membutuhkan anugerah Allah (ay.13). Pada saat kita mengalami belas kasihan Tuhan dan pengampunan-Nya secara pribadi, kita akan diubahkan selamanya. Kita juga akan dimampukan untuk lebih menerima dan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain daripada menghakimi mereka. —Xochitl Dixon

Tuhan, jagalah kami agar tidak terjebak untuk membandingkan diri kami dengan orang lain. Ubahlah dan bentuklah kami semakin serupa diri-Mu.

Ketika kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan belas kasihan, kita akan lebih siap menunjukkan belas kasihan kepada orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 10-12; Yohanes 11:30-57

Bertolak Belakang

Minggu, 26 Maret 2017

Bertolak Belakang

Baca: Roma 14:1-12

14:1 Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.

14:2 Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja.

14:3 Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.

14:4 Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.

14:5 Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri.

14:6 Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah.

14:7 Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri.

14:8 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.

14:9 Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup.

14:10 Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.

14:11 Karena ada tertulis: “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.”

14:12 Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.

Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? —Roma 14:4

Bertolak Belakang

Seorang guru tamu dari Amerika Utara mendapat pelajaran berharga saat mengajar para mahasiswa dari Asia Tenggara. Setelah memberikan ujian yang berisi soal-soal pilihan ganda kepada mahasiswanya, ia merasa heran melihat banyaknya pertanyaan yang tidak dijawab. Saat mengembalikan lembar-lembar jawaban yang telah dikoreksi, ia menyarankan agar lain kali sebaiknya mereka menebak saja apa yang kira-kira menjadi jawabannya, daripada tidak menjawab sama sekali. Seorang mahasiswa yang terkejut mengangkat tangan dan bertanya, “Bagaimana jika saya secara kebetulan memberikan jawaban yang benar? Itu berarti saya memberikan kesan bahwa saya tahu jawabannya, padahal sebenarnya tidak.” Mahasiswa dan guru itu mempunyai sudut pandang dan penerapan yang berbeda.

Di masa Perjanjian Baru, para petobat dari latar belakang Yahudi dan bukan Yahudi mengenal Kristus dengan membawa sudut pandang masing-masing yang sangat bertolak belakang. Karena itulah mereka kemudian berbeda pendapat tentang hal-hal tertentu, seperti hari-hari ibadah dan apa saja yang boleh atau tidak boleh dimakan atau diminum oleh seorang pengikut Kristus. Rasul Paulus mendorong mereka untuk mengingat satu fakta yang penting: Tidak seorang pun dapat mengetahui atau menghakimi keyakinan hati orang lain.

Untuk menjaga keharmonisan dengan saudara-saudari seiman, Allah mendorong kita untuk menyadari bahwa kita semua bertanggung jawab kepada Tuhan, dan harus bertindak sesuai dengan firman-Nya dan hati nurani kita. Namun demikian, hanya Dia yang berhak menghakimi sikap hati kita (Rm. 14:4-7). —Mart DeHaan

Bapa di surga, ampunilah kami karena kami cenderung menghakimi keyakinan hati orang lain yang berbeda sudut pandang dengan kami.

Hendaklah kamu lebih dahulu mengintrospeksi diri sendiri sebelum menghakimi orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 22-24; Lukas 3

Artikel Terkait:

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik.

Berikut 5 tips yang akan membantumu menghentikan kebiasaan bergosip.

Sampah Siapa?

Rabu, 29 Juli 2015

Sampah Siapa?

Baca: Matius 15:7-21

15:7 Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:

15:8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.

15:9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

15:10 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka:

15:11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

15:12 Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya kepada-Nya: “Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi?”

15:13 Jawab Yesus: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya.

15:14 Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang.”

15:15 Lalu Petrus berkata kepada-Nya: “Jelaskanlah perumpamaan itu kepada kami.”

15:16 Jawab Yesus: “Kamupun masih belum dapat memahaminya?

15:17 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?

15:18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.

15:19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

15:20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.”

15:21 Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon.

Karena dari hati timbul segala pikiran jahat . . . . Itulah yang menajiskan orang. —Matius 15:19-20

Sampah Siapa?

Apa mereka tak bisa membuang sampah mereka sendiri ke tempat sampah sedekat ini?” gerutu saya kepada Jay sembari memunguti botol-botol kosong di tepi pantai dan melemparnya ke tempat sampah yang jauhnya kurang dari 6 M. “Apakah meninggalkan pantai dalam keadaan kotor dan berantakan untuk orang lain membuat mereka merasa lebih baik? Aku berharap mereka itu turis. Aku tak bisa membayangkan kalau ada penduduk di sini yang memperlakukan pantai kita seenaknya saja.”

Tepat keesokan harinya secara tak sengaja saya menemukan sebuah doa yang saya tulis bertahun-tahun sebelumnya tentang sikap menghakimi orang lain. Tulisan saya sendiri telah mengingatkan akan kesalahan saya yang berbangga karena membersihkan sampah orang lain. Padahal kenyataannya, saya sendiri memiliki begitu banyak sampah yang saya abaikan begitu saja, terutama dalam hal rohani.

Saya bisa dengan cepat mengaku-ngaku bahwa saya tidak dapat membereskan hidup saya karena orang lain yang selalu membuatnya berantakan. Saya juga bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa “sampah” yang menimbulkan bau tak sedap di sekeliling saya adalah milik orang lain dan bukan milik saya sendiri. Namun itu semua tidak benar. Tak ada sesuatu pun di luar diri saya yang dapat menjatuhkan atau mencemari saya—hanya yang ada di dalam diri sayalah yang dapat melakukannya (Mat. 15:19-20). Sampah yang sesungguhnya adalah sikap saya yang menutup hidung ketika mencium sedikit bau dosa orang lain dan mengabaikan bau busuk dari dosa saya sendiri. —Julie Ackerman Link

Ampuni aku, Tuhan, karena tidak mau membuang “sampahku” sendiri. Bukalah mataku untuk melihat bagaimana kesombongan merusak ciptaan-Mu yang alami dan rohani. Kiranya aku tak mengambil bagian di dalamnya.

Umumnya kita Rabun dekat terhadap dosa—kita dapat melihat dosa orang lain tetapi melewatkan dosa kita sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 49–50; Roma 1