Posts

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

5 Cara Hidup dalam Keluarga Disfungsional

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa inggris : 5 Ways I Learned To Love My Dysfunctional Family

Keluargaku bisa dikatakan sebagai “Keluarga Kristen Harmonis”. Kami pergi ke gereja setiap hari Minggu, menghadiri persekutuan, dan ikut retret. Kami juga membaca Alkitab, bergabung dengan grup komsel, dan mengadakan sesi belajar Alkitab di rumah. Kami percaya bahwa keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.

Namun, selalu ada hal yang menyakitkan bagiku, yaitu melihat betapa banyak konflik dan ketegangan yang kami miliki di rumah. Sebagai seorang anak, aku selalu merasa tidak nyaman setiap kali melihat orang tuaku bertengkar hebat sebelum ke gereja, kemudian pertengkaran itu terhenti saat tiba di gereja. Lalu mereka pergi ke tempat masing-masing—ayah ke ruang ibadah dan ibu bergabung dengan paduan suara atau mengajar kelas, sementara aku ke kelas sekolah Minggu dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Entah bagaimana, secara tidak langsung aku mengerti bahwa aku harus memendam hal tersebut untuk diriku sendiri.

Aku pun tidak ingat bahwa aku pernah mendengar orang tuaku saling meminta maaf, apalagi untuk membahas masalah pertengkaran mereka setelahnya.

Ketika aku tumbuh dewasa dan menyadari betapa disfungsionalnya—tidak normal dan tidak sehat—interaksi semacam itu, semakin sulit bagiku hanya untuk berdiam diri dan tidak mengatakan apa-apa. Oleh karena itu, aku memilih berbicara. Tentu saja hal ini tidak disambut baik, mengingat bagaimana konsep hubungan orang tua dan anak dalam budaya kita.

Selama bertahun-tahun, aku terus belajar untuk menyerahkan keadaan ini kepada Tuhan. Aku pun diberkati karena dapat berteman dengan para pendeta yang peduli dan mentor-mentor yang bijaksana, dan mereka juga yang menemaniku melalui berbagai konflik yang kualami. Aku juga mengikuti terapi dengan seorang konselor Kristen, dan memiliki teman-teman yang mau melakukan yang terbaik untuk berada di sisiku. Secara pribadi, aku telah melakukan apa yang bisa kulakukan untuk belajar hidup dalam keluargaku yang tidak baik-baik saja.

Aku juga telah belajar untuk menyebut situasiku sebagai disfungsional, sesuatu yang tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Hampir satu dekade yang lalu, aku bercerita pada seorang teman tentang bagaimana orang tuaku bertengkar dan bagaimana hal tersebut terlihat normal, sampai ketika dia dengan blak-blakan menjawab, “Uhm, itu tidak normal.”

Tanggapannya mengejutkanku, dan setelah itu, aku langsung merasa malu. Apa maksudnya keluargaku tidak normal? Apakah ini berarti kami disfungsional? Bagaimana bisa dia mengatakan itu? Betapa beraninya dia mengatakan itu? Orang tuanya bahkan bukan orang percaya — setidaknya keluargaku orang percaya. Bagaimana kami bisa ‘bermasalah’ jika kami orang Kristen?

Kalau dipikir-pikir, itu adalah momen pembelajaran yang penting bagiku. Walau temanku mungkin bisa mengatakan istilah yang lebih baik, tapi apa yang dia katakan itu benar. Tidak normal bagi keluarga untuk menjadi seperti ini. Dan menjadi orang Kristen tidak membebaskan kita dari masalah.

Tuhan dengan jelas menggambarkan visi-Nya tentang kehidupan keluarga dalam Efesus 5:2-6:4 — melibatkan penyerahan yang sama dan kasih yang rela berkorban, untuk mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja. Di keluargaku, sebagian besar konflik kami berasal dari ketidaksabaran dan keinginan kuat untuk “melakukan segala sesuatu dengan caraku” ( Yakobus 4:1 ). Yang terpenting, kedua bagian ini menyajikan kesimpulan yang sama—kita perlu tunduk kepada Tuhan.

Seiring waktu, aku telah melihat bagaimana teman-temanku juga berjuang dengan keluarga mereka sendiri dan memilih membawa keadaan disfungsional tersebut kepada Tuhan. Itu menggerakkanku untuk tetap setia pada imanku. Mereka mengajariku berulang kali bahwa kekacauan keluarga yang tampaknya permanen tidak menghapus kebenaran Alkitab dan apa yang telah Yesus lakukan di kayu salib. Tanggapan mereka mengingatkanku bahwa Tuhan terus bekerja dalam kita dan akan menyelesaikan pekerjaan-Nya sampai kita melihat-Nya lagi.

Aku juga belajar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita menggunakan kata “normal’. Walaupun konflik adalah hal normal dan merupakan bagian dari kehidupan, konflik yang sering terjadi dan tidak terselesaikan tidak boleh diperlakukan sebagai hal yang normal.

Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 6: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ay.1-2). Ini berarti bahwa meskipun kesulitan melawan dosa terus berlanjut, perjuangan juga harus terus berlanjut, dan kemenangan pasti ada karena perbuatan Yesus di kayu salib (11-14).

Lalu bagaimana kita bisa hidup dengan ketidaknormalan dan tetap sehat? Bagaimana kita menerimanya dan tidak mengabaikan dampak dan konsekuensinya dalam hidup kita?

1. Mengakui dan meratapi kehancuran dosa

Kita tahu konsekuensi dari dosa, tetapi hidup dalam dosa setiap hari bisa menjadi sangat berat. Mengakui dosa terus-menerus tidak berarti kita menyerahkan diri kepada kuasa dosa, sebaliknya itu berarti kita tidak lagi menganggap remeh dosa atau melakukan pembenaran bahwa dosa yang kita lakukan adalah ‘normal’.

Ketika aku berbicara dengan seorang teman tentang keluargaku, dia mengingatkanku betapa disfungsionalnya beberapa keluarga dalam Alkitab (misalnya, Abraham, Yakub, Daud), dan bagaimana Tuhan memelihara dan memakai mereka untuk memenuhi rencana-Nya. Kami juga membahas bagaimana kita harus merefleksikan peran kita dalam keluarga yang rusak: selain mengakui luka kita sendiri, kita juga perlu dengan rendah hati memeriksa keadaan hati kita dan mengakui bahwa kita telah menyakiti orang lain.

Bukan berarti kita dapat berpikir bahwa satu luka menghapuskan luka lainnya. Ini berarti bahwa “kita semua telah berbuat dosa” ( Roma 3:23 ), namun “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” ( Roma 5:8 ).

2. Kembalilah kepada Tuhan dan renungkan janji-Nya

Setiap kali konflik muncul dalam keluargaku, aku tergoda untuk melarikan diri dan bersembunyi, untuk tidak ikut campur kalau aku bisa. Tapi mengelak sebaik apa pun hanyalah jeda singkat. Aku menyadari bahwa aku dapat bersembunyi di guaku sendiri atau aku dapat memilih untuk bersembunyi di hadirat Tuhan ( Mazmur 32:7 ).

Bersembunyi di hadirat Tuhan berarti berpaling pada Firman-Nya dan menyalurkan seluruh kesedihan kita kepada-Nya, meletakkannya di kaki-Nya. Bersembunyi di dalam Tuhan tidak berakhir dengan tangisan dan ratapan (Mazmur 30), karena Dia “hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” ( Mazmur 32:8 ).

Ketika sakit hati dan putus asa, aku sering mengingat kembali Ratapan 3 :

”Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
”Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. (ay.19-24).

3. Carilah pemulihan

Kita tahu bahwa kehidupan di bumi tidak pernah mulus, tetapi kita dapat (dan harus) berdoa dan berharap bahwa Tuhan akan membawa pertobatan, penyembuhan, dan pemulihan hubungan yang sempurna. Namun, kita juga perlu belajar untuk berdamai dengan kemungkinan bahwa pemulihan itu mungkin tak selalu selaras dengan yang kita dambakan.

Ada saat ketika aku berharap semua orang di keluargaku akan mencari bantuan konseling sehingga kami dapat menyelesaikan semua masalah kami, tetapi aku sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan pribadi. Dulu aku merasa sangat putus asa, bahkan pahit akan penolakan keluargaku untuk mencari pertolongan konselor. Tetapi melalui sesi konselingku sendiri, dan para mentor yang mendengarkan, serta teman-teman yang mendoakanku, perlahan aku belajar menerima pilihan keluargaku dan mencintai mereka dengan kemampuan terbaikku. Ini berarti melayani mereka sebanyak yang aku bisa sambil menjaga batasan yang sehat, dan terus berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan mereka.

4. Tetapkan batasan yang sehat dan cari pemulihan untuk diri sendiri

Dalam budaya tempat aku tumbuh, konsep menciptakan ‘batasan’ dengan orang-orang atau konflik sangatlah asing, bahkan dianggap tidak berbakti. Tetapi dengan bantuan terapi, buku, dan literatur Kristen, aku telah belajar bahwa memberi batasan sebenarnya sehat.

Hal pertama yang aku pelajari adalah mengenali peranku dalam konflik. Ketika orang tuaku bertengkar, aku tahu bukan tanggung jawabku sepenuhnya untuk menengahi dan membantu mereka berdamai. Bagian yang sulit adalah mengatakan tidak, tetapi aku telah belajar melakukannya demi kesehatan mentalku. Sebaliknya, aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku juga menghadiri sesi konseling secara teratur karena ini selalu menjadi jalan keluar yang bermanfaat bagiku dan merupakan kunci untuk perjalanan penyembuhanku.

5. Terus berusaha dalam doa

Lebih dari sekadar kata-kata yang kita ucapkan, doa ada dalam sikap hati kita—bagaimana kita mengarahkan pikiran dan emosi kita kepada Tuhan. Itu berarti, mengakui bahwa Dia mengasihi kita dan melihat serta mendengar segala sesuatu yang kita katakan dan tidak katakan. Dari sana, kita dapat mengingat bahwa Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” ( Efesus 3:20 ).

Jangan menyerah mendoakan keluargamu, sebesar apapun kehancuran di dalamnya. Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita untuk kehidupan yang akan datang, Dia terus menyelamatkan kita setiap hari (Mazmur 68:19) dan Dia telah memberi kita pengharapan hidup dalam Yesus (1 Petrus 1:3).

Aku: si “Ketidaksengajaan” yang Hadir dalam Keluarga

Oleh Priliana

Aku lahir sebagai anak bungsu dengan kedua saudara yang usianya cukup jauh di atasku. Antara aku dan kakak pertamaku laki-laki, terpaut 10 tahun, sedangkan dengan kakak perempuanku, terpaut 7 tahun. Aku pernah bertanya pada orang tuaku, kenapa aku lahir dengan rentang usia yang cukup jauh dari saudara-saudaraku? Lalu mamaku menjawab, “Iya, kamu itu gak sengaja jadi.”

Entah apa yang kurasakan saat jawaban tersebut terlontar dari orang tuaku. Mereka menjawab sambil tertawa, mungkin mereka bergurau. Aku pun ikut tertawa, tapi juga bertanya-tanya, sungguhkah itu jawaban mereka? Tapi aku tetap merespons jawaban mamaku, “Ah.. Justru kalian beruntung ada aku di keluarga ini. Kalau gak ada aku, pasti keluarga ini sepi, gak ramai.” Dan mereka semakin tertawa.

Interaksi itu kumaknai dengan keterbukaan. Ternyata orang tuaku jujur menjawab pertanyaanku dan aku bersyukur atas itu, dan lebih bersyukur karena sesungguhnya mereka senang atas kehadiranku yang tidak sengaja ini. Ya, aku adalah ketidaksengajaan yang membawa sukacita, pikirku saat itu.

Tapi, ternyata aku tidak selalu membawa sukacita dalam keluargaku.

Ketika SD aku mulai dibandingkan dengan kedua saudaraku mengenai nilai rapor dan prestasiku di sekolah. Kedua saudaraku memang selalu memiliki nilai rapor di atas rata-rata, selalu dapat peringkat kelas, belum lagi prestasi lomba dan keahlian lainnya. Di tengah ekonomi kami yang sulit, kedua saudaraku sungguh seperti air yang mengalir di tengah gurun pasir.

Tetapi, dibanding-bandingkan bukanlah hal yang menyenangkan, justru menjengkelkan.
Aku paham maksud orang tuaku membandingkan kami agar aku mengikuti hal-hal baik dari saudaraku, tapi tetap saja aku jengah.

Setiap perbandingan itu seakan-akan berteriak: “Mereka saja bisa, masa kamu nggak bisa?”

Rasanya ingin kujawab: “Kalau mereka bisa, kenapa harus aku?”

Tentu keinginanku menjawab seperti itu bukanlah hal baik. Kalimat itu hanya tersimpan dalam hati.

Walaupun kesal dibandingkan terus, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. Sampai waktu membuktikan usahaku. Aku yang belum pernah dapat juara semasa SD, berhasil meraih peringkat ketika kelas 1 SMP. Pertama kalinya, dan aku peringkat 3, mengalahkan teman SD ku yang sedari dulu selalu jadi juara kelas.

Aku senang. Aku semakin senang melihat betapa terkejut dan senangnya orang tuaku mendengar hal itu, bahkan orang tuaku langsung mengajakku makan es krim favoritku setelah pulang ambil rapor. Sejak saat itu, aku berusaha mempertahankan peringkatku dan bersyukur hingga SMA tetap memiliki peringkat dan nilai yang cukup baik.

Tapi perbandingan itu tidak kunjung selesai.

Habis membandingkan perihal pendidikan dengan kedua saudaraku, terbitlah membandingkan perihal zaman.

“Zaman kamu sekarang enak, dek. Sekolah negeri udah ga bayaran. Dulu saudara-saudaramu harus bayar. Untung dapat beasiswa, jadi dapat potongan. Makanya, belajar lah yang giat. Lihat abang dan kakakmu.”

“Dulu abang dan kakakmu harus bantu mama dagang sebelum berangkat sekolah. Bawa es batu subuh-subuh ke kantin pakai sepeda, cuci banyak piring setelah masak, angkat air, baru berangkat sekolah. Kamu bangun tidur cuma melakukan persiapan untuk sekolah, lalu berangkat. Enak, toh, dek.”

Huft.. Tidak cukup perbandingan dari orang tua, abangku juga melakukan hal yang sama.
“Enak jadi lo. Dulu gue harus bangun subuh-subuh, angkat air, beresin rumah, bantu dagang sebelum pergi sekolah. Pulang sekolah juga masih harus bantu mama dagang sampai malam. Lo di rumah aja, main-main.”

Hal-hal itu tidak sekali dua kali diungkit. Entah mengapa zaman saja dibandingkan.

Lalu aku harus bagaimana? Rasanya ingin bilang kalimat ini ke abangku:

“Ya siapa suruh lahir duluan. Itu sih DL, Derita Lo.” Tapi lagi-lagi itu hanya tersimpan dalam hati.

Hingga aku sudah merasa sangat jengah. Dan ketika perbandingan itu dilontarkan lagi oleh orang tuaku, aku memberi respon:

“Untuk apa membandingkan zaman kalian dulu dengan zamanku? Toh kita nggak bisa pilih mau hidup di zaman yang seperti apa. Untuk apa juga membandingkanku dengan abang dan kakak? Kita punya bakat masing-masing. Kalau mereka ahli di bidang akademis, apa salah kalau keahlianku di bidang non akademis?”

Dan orang tuaku terdiam. Entah karena terkejut atas sikapku atau memikirkan ucapanku.

Tapi aku lega setelah mengucapkannya. Keluh kesah yang kupendam akhirnya meluap. Entah apakah kejujuranku tersebut dapat mereka terima dengan baik atau tidak, tapi aku selalu mengingat ayat Alkitab yang berbunyi:

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2:7).

Aku percaya bahwa keterbukaan adalah awal pemulihan, baik untuk hubunganku dengan keluarga, untuk hatiku, dan mungkin untuk hati keluargaku juga. Keterbukaan menjadi kunci utama untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dan membangun. Dan setiap anggota keluarga memiliki hak untuk berterus terang mengenai perasaannya.

Bagiku, keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka karena dalam keluarga kita tidak perlu menutupi siapa diri kita sesungguhnya.

Selama menjadi anak, aku tetap berusaha mengutamakan rasa hormatku, seperti yang Alkitab bilang:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).

Bagaimanapun, orang tuaku adalah orang pertama yang merawatku sejak aku dalam kandungan. Pasti rasanya tidak mudah merawat seorang anak. Mamaku pernah berkata bahwa ketika memiliki anak, seluruh hidupnya berubah. Jam tidur yang berubah dan tidak teratur, waktu pribadi yang terbatas, dan lainnya. Begitupun dengan seorang ayah. Bertambahnya anggota keluarga pasti bertambah pula kebutuhan finansial untuk sang anak, dan lainnya.

Ayat Alkitab dan hal-hal di atas menjadi pengingat bagiku untuk tetap menghormati orang tuaku. Selama aku hidup, aku tahu mereka berusaha memberikan yang terbaik bagiku, bagi masa depanku.

Tapi orang tua tetaplah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, baik mereka sadari atau tidak. Karena itu, aku memilih terbuka mengenai perasaanku pada orang tuaku. Aku mau hubunganku dan keluarga dilandasi dengan keterbukaan dan kepedulian untuk mau membangun satu sama lainnya.

Ketika aku berterus terang tentang perasaanku— ketidaksukaanku atas perbandingan yang mereka lakukan, aku melihat bahwa sikap orang tuaku mulai berubah. Mereka mulai memberi apresiasi terhadap hal apapun yang yang dapat kulakukan, memberi semangat ketika aku gagal mengikuti ujian masuk universitas negeri, dan berusaha untuk tidak lagi membandingkanku dengan kedua saudaraku.

Aku bersyukur atas itu. Aku tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Ya, aku mau keluargaku bertumbuh dalam kasih-Nya dan berlandaskan kasih-Nya.

Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa membentuk pandangan kita terhadap keluarga.

Bagaimanapun hubungan dalam suatu keluarga, Tuhan tetaplah kepalanya. Dia tidak pernah secara asal menaruh kita dalam suatu keluarga. Dia selalu memiliki tujuan ketika menempatkan kita di mana pun.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dalam kehidupan pekerjaan profesional, tantangan tentu menjadi hal yang tidak mungkin kita hindari. Pergumulan terkait kecukupan gaji, nyaman-tidaknya lingkungan bekerja, tinggi-rendahnya tingkat stres dari pekerjaan yang kita lakukan, hingga apakah pekerjaan tersebut membawa pertumbuhan dan perkembangan pada diri kita tentu selalu ada. Dari beberapa tempat kerja yang memberiku banyak sekali pengalaman dan pelajaran, ada satu hal lainnya juga yang pasti akan kita temui ketika bekerja di manapun: berhadapan dengan karakter orang lain.

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Entah banyak, atau sedikit. Entah dengan usia yang lebih tua, atau lebih muda. Entah dengan perempuan, atau laki-laki. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Seperti relasi antar manusia pada umumnya (dengan keluarga, teman dekat, dan lain-lain), relasi dengan rekan kerja pun tentu akan mengalami dinamika. Ada masa di mana kita kompak dengan mereka ketika mengerjakan suatu pekerjaan, namun ada juga masa di mana kita harus berhadapan dengan karakter atau tingkah mereka yang menyebalkan dan tidak kita sukai. Meskipun indikator ‘menyebalkan’ dan ‘tidak suka’ antara satu orang dengan yang lain akan berbeda, namun fase ini tentu tidak terhindarkan. Ini hal yang wajar, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia unik dan berbeda satu sama lain (Efesus 4:7). Juga tidak boleh dilupakan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).

Lalu apa yang harus kita lakukan jika tengah berhadapan dengan rekan kerja yang menyebalkan, atau bahkan sampai muncul konflik yang tak terhindarkan?

1. Akui emosi hatimu pertama-tama pada Tuhan

Aku pernah memiliki rekan kerja yang tidak mau berbicara padaku gara-gara kami berdebat soal konten media sosial apa yang harus diprioritaskan untuk publikasi hari itu. Aku sedih karena dia mendiamkanku selama beberapa hari dan itu sangat mengganggu jalannya kinerja harian kami (kebetulan pekerjaan harianku selalu berkorelasi dengannya). Mudah bagiku untuk terus larut dalam emosi, berpikiran negatif, hingga berpengaruh pada pekerjaan. Namun, masih ada pilihan untuk berdoa dan mengakui apa yang kurasakan pada Tuhan. Awalnya aku gengsi, ingin berada di posisi yang paling benar, tapi lama-lama Tuhan tolong aku untuk melihat situasi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Dengan keberanian yang Tuhan anugerahkan, aku akhirnya meminta maaf duluan padanya meskipun dia tetap tidak membalas pesanku. Sedih dan sedikit kecewa, tapi setidaknya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.

Mengakui keadaan hati kita pada Tuhan mungkin tidak menolong konflik mereda seketika, tetapi itu akan memberikan damai sejahtera pada hati kita. Ketika hati kita lebih damai, kita lebih mampu untuk melihat lebih jelas dan luas konflik yang sedang kita alami.

2. Bicarakan pada pimpinan atau atasan jika sudah mengganggu profesionalitas kerja

Masih lanjutan dari cerita di atas, karena dia masih mendiamkanku, sedangkan urusan publikasi masih harus terus berlangsung setiap harinya, akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan atasan kami. Menjadi suatu berkat yang harus disyukuri ketika memiliki pimpinan yang mau peduli dengan masalah yang dialami anak buahnya. Singkat cerita, ia mengajak ngobrol rekan yang mendiamkanku itu, lalu tak berapa lama kemudian ia akhirnya membuka komunikasi denganku dan relasi kami kembali baik seperti semula.

Namun bagaimana jika atasan kita malah tidak mau ikut campur dengan konflik antar rekan kerja yang sedang terjadi?

Tetap tenangkan diri dan pikiran, lalu coba sampaikan pada atasan bahwa kita butuh pertolongan atau masukan atas pekerjaan yang terhambat akibat konflik tersebut. Usahakan kita tidak perlu fokus pada perilaku rekan kerja yang membuat kita marah, kesal hingga berkonflik, namun fokus pada mencari solusi dari masalah pekerjaan yang sedang dilakukan.

3. Belajar rendah hati untuk terus perbaiki diri

Meski rasanya kesal dan seringkali tidak mau berada di posisi salah, namun kita juga tetap rendah hati untuk terus belajar dalam memperbaiki diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Suzanne Stabile dalam bukunya yang berjudul The Path Between Us: “Sangatlah bagus jika Anda menghabiskan energi untuk mengobservasi dan memperbaiki diri sendiri ketimbang mengobservasi serta memperbaiki orang lain.”

Kesal dengan tingkah laku si rekan kerja tentu bukan berarti kita menjadi pihak yang paling berdosa. Bukan juga artinya dia yang paling berdosa. Namun, Firman dalam Efesus 4:2 mengatakan perintah yang jelas: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” Sulit? Tentu. Keberdosaan kita membuat kita ingin menjadi pihak yang selalu benar dan tidak ingin salah. Pada akhirnya, meminta tolong kerendahan hati untuk mau belajar pada Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.

4. Komunikasikan dengan baik ketidaksukaan kita dengan cara yang tidak menghakimi

Ada kalanya kita kesal dengan rekan kerja kita hanya karena tingkahnya yang memang tidak kita sukai, misalkan: si dia terlalu banyak bicara, si dia sok tahu, si dia memiliki kebiasaan menghentak-hentakkan kaki sehingga ruangan kantor jadi berisik, si dia tidak sabaran, si dia pemalas, si dia suka datang terlambat, dan lain-lain. Jika hal itu tidak mengganggu pekerjaan kita, tentu harusnya tidak ada masalah. Namun, jika sudah mengganggu, membuka komunikasi secara baik-baik menjadi cara yang layak dicoba.

Sewaktu bekerja di perusahaan media, salah satu rekanku sering sekali berbicara dengan nada menuntut dan cukup tinggi kepadaku. Konteksnya seperti ini: alur kerja kami memang dimulai dari aku dulu yang membuat konsep, kemudian dia yang membuatkan desain. Aku selalu berupaya untuk memberikan konsep tepat waktu, namun dalam beberapa kesempatan ia tetap marah-marah padaku. Emosinya membuatku merasa di posisi serba salah. Aku jadi kesal. Hingga pada suatu hari aku mencoba iseng mengungkapkan rasa kesal itu. Dimulai dengan berdoa singkat dalam hati meminta ketenangan, aku bertanya, “Woy, kamu kenapa sih? Lagi dikejar kereta api? Ngomong sama aku kok ngegas mulu gitu lho.” Lalu dia menjawab, “Hah? Aduh aku emang ngegas ya? Maaf, maaf.” Responnya dia ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia bahkan meminta maaf dan setelah itu menceritakan bahwa ada masalah yang tengah mengganggunya sehingga di saat itu ia sebenarnya tidak sedang berkonsentrasi bekerja.

Singkat cerita, hubungan kami malah jadi semakin dekat, dan ketika dia mulai berbicara dengan nada yang sama, aku tidak masukkan ke dalam perasaan lagi, selama memang pekerjaan kami sudah pada alur dan waktu yang tepat.

Jadi, belum tentu tingkah menyebalkan seseorang selalu tanpa alasan. Kadang mungkin saja ada permasalahan atau beban berat yang sedang mereka pikul namun enggan membicarakannya pada siapapun, sehingga membuat tingkahnya jadi menyebalkan untuk orang sekitar. Di sini, kita bisa meminta hikmat pada Tuhan untuk menjadi pendengar yang baik, atau bahkan kita bisa membantu dan menolongnya sesuai kapasitas yang Tuhan anugerahkan untuk kita.

5. Hindari membicarakan kelemahan atau keburukannya kepada orang lain

Aku menuliskan ini bukan berarti aku berhasil menghindarinya. Tidak. Membicarakan keanehan atau kelemahan orang lain yang tidak kita senangi rasanya menjadi makanan sehari-hari dan kita sadar-tidak sadar senang melakukannya. Aku pribadi mengakui bahwa masih sangat sulit untuk mengekang lidah dan sulit untuk menjaga hati agar tidak bergunjing, apalagi jika itu menyangkut orang yang menyebalkan bagiku.

Sayangnya, Tuhan tidak menghendaki demikian. Yakobus 1:26 secara jelas menyampaikan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Ketika ‘terjebak’ pada situasi bergosip yang sungguh menggoda, kita bisa minta tolong pada Allah dalam doa untuk menahan motivasi hati kita yang ingin ikut-ikutan membicarakannya. Aku sendiri beberapa kali lebih memilih diam atau bermain ponsel ketika topik tentang si orang-yang-menyebalkan mulai muncul dalam percakapanku bersama rekan-rekan kerjaku yang lain. Ada kalanya aku juga jatuh dan ikut tergoda membicarakannya. Minta tolong pada Allah menjadi cara terbaik yang bisa kita lakukan.

* * *

Beberapa pengalaman bekerja di ranah profesional sebelumnya mengajariku bahwa meskipun kita bisa memilih perusahaan, ladang, gaji, hingga jenis pekerjaan dan jabatan yang kita mau, kita tidak bisa memilih pemimpin, tim, serta rekan kerja yang akan bekerja bersama kita. Aku belajar bahwa jika pun aku memperoleh semua yang aku mau dalam pekerjaan tersebut, aku tidak bisa mengelak dari dinamika relasi yang terjadi antara aku dan rekan sekerjaku. Talenta yang kumiliki untuk berkontribusi dalam pekerjaan tersebut ternyata satu paket dengan bayar harga dan penderitaan di dalamnya, termasuk juga ketika menghadapi konflik dan masalah dengan sesama.

Pertanyaannya: apakah kita mau untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam pekerjaan hari ke hari, atau lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan sendiri?

Baca Juga:

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Berteman lama dan sangat dekat tidak jadi jaminan kalau pertemanan itu akan bebas dari konflik. Lalu, bagaimana caranya kita berekonsiliasi kala konflik terjadi dengan kawan dekat?

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dulu aku sempat berpikir bahwa relasi pertemanan yang sudah terjalin lama dan sangat dekat tidak akan pernah bersentuhan dengan konflik atau perseteruan. Aku pikir karena kita sudah sama-sama saling mengenal, saling tahu kelemahan dan kelebihan, harusnya relasi kami baik-baik saja.

Ternyata aku salah.

Tahun 2020 merupakan tahun pembelajaran besar buatku akan hal ini. Aku mengalami konflik dan gesekan karakter dengan teman-temanku sendiri yang berada dalam lingkaran pertemanan kelompok tumbuh bersama (KTB). Hal-hal yang sempat kurasakan waktu itu adalah mereka sudah tidak peduli denganku, berbeda dengan masa-masa kuliah di mana kami benar-benar saling memperhatikan satu sama lain. Nyatanya, kehidupan di dunia alumni merubah semuanya. Aku yang saat itu tengah kesepian merasa ‘tidak aman’ berada bersama-sama dengan mereka. Obrolan di grup chat kami pun terasa hambar dan tidak sesuai ekspektasiku. Belum lagi ditambah dengan momen kesalahpahaman yang terjadi. Niatnya aku hanya peduli pada salah satu temanku, ternyata dia merespon aku berbeda. Tersinggung dan merasa direndahkan, katanya. Aku pun ikut tersinggung karena merasa dihakimi. Akhirnya dengan emosi yang campur aduk antara sedih, kesal, dan kecewa, aku meninggalkan grup chat kami dan memutuskan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan mereka.

Jika aku menyelesaikan cerita sampai sini, mungkin rasanya sedih sekali, bukan? Memutuskan relasi dengan teman-teman dekat tentu tidak menjadi mimpi dan anganku. Singkat cerita, saat ini aku sudah kembali berteman baik dengan mereka, kembali masuk grup chat—setelah dua kali kutinggalkan, dan aku pribadi mendapat banyak sekali pelajaran berharga dari konflik yang kami alami. Nah, izinkan aku untuk membagikan hal-hal apa saja yang kita perlu lakukan ketika sedang terlibat konflik, khususnya dengan mereka yang sudah sangat dekat dengan kita:

1. Pahami dan kenali diri sendiri dengan baik

Orang lain, termasuk teman-teman dekat kita, mungkin tidak sepenuhnya mengenal kita. Untuk itu, kita sendiri yang terlebih dahulu harus mengenal diri sendiri. Lihat bagaimana respons kita ketika menghadapi konflik, bagaimana cara kita menyelesaikannya, apakah kita termasuk orang yang lebih baik kabur atau cari aman alih-alih menghadapi konflik tersebut, dan sebagainya. Kita bisa juga melakukan tes kepribadian seperti MBTI, Enneagram, atau tes kepribadian lain yang sejenis. Kita juga bisa mencari tahu apa bentuk bahasa kasih yang dimiliki diri sendiri dan juga teman-teman kita. Mengetahui bahasa kasih ini dapat menolong untuk memahami bagaimana bentuk kasih yang perlu disampaikan secara nyata melalui tindakan kita.

2. Terus belajar bahwa konflik dalam relasi pertemanan itu adalah hal yang wajar

Konflik yang aku sebut di sini mengarah pada konflik yang sehat; konflik yang membawa pertumbuhan baik bagi diriku sendiri, maupun bagi relasi kami. Menurut situs christiantoday.com, relasi pertemanan akan mengalami ujian tersendiri. Ujian tersebut dapat membawa kita pada 3 pelajaran penting: pengampunan, kerendahan hati, dan pertumbuhan.

Dalam pertemanan, biasanya kita menjadi dekat karena menemukan persamaan-persamaan. Entah itu karena persamaan hobi, selera musik, atau masalah yang sedang dihadapi. Namun, sekadar menemukan persamaan saja tidak cukup. Seiring berjalannya waktu, pertemanan akan menunjukkan perbedaan-perbedaan, dan di sinilah biasanya konflik terjadi. Pertemanan yang baik bukanlah pertemanan yang bebas konflik, karena tentunya perbedaan-perbedaan bisa menimbulkan gesekan, tetapi pertemanan yang baik dapat terjadi ketika masing-masing pihak bersedia untuk memahami perbedaan.

3. Lebih baik jujur namun menyakitkan, daripada ‘cari aman’ tapi tidak menjadi diri sendiri

Hal yang membuat kita takut untuk jujur dan sulit menjadi diri sendiri adalah: rasa malu (shame). Curt Thompson dalam bukunya yang berjudul “The Soul of Shame” mengatakan bahwa: “Kita hidup dalam sebuah budaya di mana kita takut menunjukkan siapa kita karena takut dipermalukan karena menjadi diri sendiri.” Pilihannya jatuh di tangan kita: menjadi jujur demi kesehatan emosi dan relasi, atau tidak menjadi diri sendiri.

Hal yang kuakui secara jujur pada mereka waktu itu adalah aku merasa tidak ditanggapi ketika sedang menceritakan masalahku. Di saat aku butuh didengar, mereka malah meresponi ceritaku dengan masalah pribadi mereka juga. Mungkin ini sebenarnya tidak masalah, tapi yang kurasakan saat itu tentu kecewa. Akhirnya aku tinggalkan grup, dan sempat menuliskan sekelumit perasaanku dalam tulisan blog—yang kemudian tulisan itu kukirimkan ke mereka satu-satu. Aku tahu ini sangat berisiko, namun saat itu aku tetap terbuka jika mereka ingin menegur atau memberikan respons lainnya. Seperti ada tertulis: “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5). Jadi aku memilih untuk tetap jujur meskipun dengan risiko, daripada menyembunyikan apa yang kurasakan dan tenggelam dalam situasi relasi yang kurang sehat.

4. Ambil waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu supaya tidak dikuasai emosi

Emosi marah, kesal, dan kecewa bisa berdampak pada keputusan-keputusan yang kita ambil. Itulah mengapa pilihan untuk menyudahi pertemanan sempat terlintas di pikiranku. Alasannya karena aku gagal menjadi teman yang baik, karena mereka tidak mengerti diriku, dan alasan-alasan lainnya yang dikendalikan oleh emosi. Aku tahu sangat sulit untuk mengaplikasikan Firman yang tertulis dalam Efesus 4:6. Namun ternyata membuat hati dan pikiran tenang adalah cara terbaik yang bisa kita lakukan demi memperoleh solusi terbaik ketika berkonflik. Tidak perlu paksakan waktu, dan izinkan diri kita berserah pada kasih Allah yang sanggup membuat hati kita tenang.

Emosi bersifat sementara, tetapi keputusan yang kita ambil bisa berdampak permanen.
Mengambil keputusan dalam emosi yang lebih stabil menolong kita untuk melihat secara lebih luas dampak apa yang akan timbul dari keputusan yang akan kita buat.

5. Berdoa, dan akui sakit hati serta kekecewaan kita pada Tuhan

Sebagai Pencipta, Tuhan tahu betul karakter, kepribadian, serta emosi-emosi diri kita. Selain belajar jujur pada diri sendiri dan teman, belajar juga untuk jujur pada Tuhan di dalam doa. Aku pernah mendoakan bahwa aku sulit sekali mengampuni. Aku sulit memaafkan diriku sendiri yang gagal dan juga sulit memaafkan teman-teman yang mengecewakanku. Pada akhirnya, Tuhan sendirilah yang memberikan jalan keluar bagi relasi kami hingga saat ini.

Memulihkan hati yang terluka tidak cukup hanya dengan upaya kita sendiri. Kita butuh sentuhan kasih Ilahi yang tak hanya menutup luka itu, tapi juga membaharui hati kita.

6. Ceritakan kondisimu pada orang yang dipercaya

Ketika aku tengah menangis dan tidak tahu harus berbuat apa, aku teringat akan beberapa kakak dan abang senior yang menurutku dapat menolongku. Awalnya aku khawatir dan sempat tidak bisa mempercayakan ceritaku pada mereka. Namun, aku memberanikan diri saja untuk mengontak mereka demi mendapat pertolongan. Mereka memberiku nasihat yang bijak, aplikatif, dan netral (tidak membela teman-temanku, juga tidak membelaku). Aku makin percaya bahwa di luar dari lingkaran pertemanan dengan teman-teman dekat, masih ada orang-orang lain yang Tuhan pasti sediakan untuk menolong kita.

Menceritakan pergumulan kita pada orang yang dipercaya bukanlah tergolong sebagai gosip atau gibah, melainkan itu dapat menjadi sarana agar kita menerima perspektif baru yang benar dan baik. Namun, yang perlu diperhatikan ialah sikap hati kita. Apakah kita bercerita untuk mendapatkan masukan, atau untuk menjelekkan nama teman atau seseorang yang sedang berkonflik dengan kita?

7. Buka komunikasi kembali, dan sampaikan permintaan maaf ketika kondisi hati kita sudah jauh lebih baik

Butuh waktu beberapa bulan sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk bergabung kembali dalam grup chat kami. Di masa itu, aku merasa bahwa aku sudah cukup pulih, sudah bisa menerima segala sesuatunya, dan ada dorongan dari dalam diriku untuk terus berelasi dengan mereka apa adanya.

Pengkhotbah berkata, untuk segala sesuatu ada waktunya. Konflik memang tidak terelakkan, tetapi tidak selamanya konflik itu perlu dipelihara. Jika kita memahami relasi sebagai karunia yang berharga dari Allah, tentu kita akan berupaya untuk melakukan rekonsiliasi.

Apa saja hal yang berubah?

Yang pertama tentu hatiku. Aku belajar menerima bahwa aku berkawan dengan orang-orang yang berbeda denganku. Tidak semua hal dalam relasi kami harus selalu sama. Aku belajar menghargai perbedaan karakter, sifat, bagaimana kami saling merespon satu sama lain, bahkan belajar juga untuk menerima kondisi terluka akibat kejujuran kami masing-masing.

Yang kedua adalah ekspektasiku. Awalnya aku berpikir bahwa teman-teman terdekatku harusnya yang lebih mengerti diriku, yang paling tahu aku maunya apa, dan lain sebagainya. Namun, konflik yang terjadi mengajariku bahwa ekspektasi pribadi dapat melukai diri sendiri. Aku tahu bahwa berekspektasi adalah hal yang wajar terjadi dalam setiap relasi. Hanya, pengenalan yang lebih mendalam terhadap teman-teman kita dapat membantu untuk mengatur tingkat ekspektasi tersebut.

Ketiga, cara pandangku ketika berelasi. Persahabatan adalah salah satu anugerah Tuhan yang Ia sediakan untuk menolongku menjalani kehidupan ini. Tidak kebetulan kami bertemu dalam persekutuan kampus, tidak kebetulan kami berada dalam sebuah pelayanan bersama, dan tidak kebetulan masih ada komunikasi yang terjalin hingga kini kami berada di jalur hidup masing-masing. Aku menemukan bahwa kasih adalah landasan utama dari setiap relasi pertemanan. Seperti yang tertulis dalam Amsal 17:17 yang berbunyi:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Kasih yang membuat suatu relasi pertemanan tetap bertahan. Kasih juga yang diajarkan oleh Yesus pada murid-murid-Nya:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yohanes 13:34).

Tentu tidak ada yang salah dengan momen bersenang-senang bersama teman. Akan tetapi, mengasihi mereka bukan berarti kondisi akan selalu baik-baik saja. Ada konsekuensi penderitaan yang harus kita terima ketika kita bergesekan karakter dan muncul konflik. Di kali kedua aku meninggalkan grup chat kami, aku sempat berpikir bahwa pertemanan kami akan kandas. Aku gagal mempertahankan relasi berharga yang sudah terjalin sejak kami kuliah. Rasanya sedih sekali memutuskan relasi pertemanan dengan orang-orang yang sebenarnya Tuhan anugerahkan untuk mengenal aku sangat dalam. Namun, Tuhan begitu baik kepada kami hingga akhirnya kami dapat berteman seperti biasa lagi. Tuhan menolongku untuk belajar dan berproses pelan-pelan mengenal mereka satu persatu secara lebih baik lagi. Ia juga yang membuat kami sama-sama tidak ‘mengusir’ satu sama lain, melainkan memberi kami kesempatan untuk makin bertumbuh dalam kedewasaan (Efesus 4:13).

Terakhir, aku juga belajar bahwa dalam pertemanan atau persahabatan dengan konteks relasi yang sangat dekat, kita tidak mungkin hanya berhadapan dengan sifat yang baik-baik saja. Semakin mengenal teman-teman kita, seiring dengan berjalannya waktu, kita pasti akan diperhadapkan dengan sifat-sifat buruk hingga keberdosaan masing-masing yang terlihat sedikit demi sedikit. Pilihan ada di tangan kita: mau tetap memperjuangkan relasi tersebut dan terus bertumbuh sama-sama, atau memilih untuk berada pada relasi yang hambar dan dibiarkan begitu saja?

Baca Juga:

Berdamai dengan Keluarga, Mengampuni Masa Lalu

Alih-alih sebagai komunitas yang merangkul, terkadang keluarga jadi tempat di mana kita menyaksikan luka dan kesedihan.

Yuk ikuti cerita Meista tentang bagaimana dia mampu berdamai dengan keluarganya di artikel kedua dari seri Lika-liku dalam Relasi.

Berdamai dengan Keluarga, Mengampuni Masa Lalu

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Keinginan untuk kabur dari rumah. Berseteru. Berteriak. Berkonflik.

Hal-hal di atas sering sekali terjadi ketika aku berseteru dengan orang tuaku, khususnya di masa-masa pandemi ini. Masalah demi masalah seperti silih berganti tak kunjung habis hingga membuatku lelah berada di rumah. Sayangnya, keberadaan virus COVID-19 ini justru membuatku harus berada di rumah.

Ada satu momen berkonflik di mana aku mengakui kepahitan masa laluku terhadap mereka. Aku tumbuh besar dalam didikan yang cukup dikekang. Di masa-masa sekolah, aku mengalami cukup banyak pembatasan dalam mengikuti aktivitas-aktivitas yang kusenangi. Alasannya adalah mereka khawatir aku terserang penyakit asma—yang memang kumiliki sejak kecil—dan khawatir akan bahaya yang menyerangku di luar rumah (misal: penjahat, penculikan, dan lain-lain).

Memasuki masa perkuliahan hingga bekerja, pembatasan itu memang sudah semakin longgar. Namun, satu hal yang masih membuatku risih adalah ketika aku masih sering ditanya, “Belum pulang?” ketika aku memang masih di kampus atau kantor karena urusan tertentu hingga jam 8 malam lewat. Aku paham bahwa mereka peduli dan khawatir dengan keberadaanku. Namun, kekhawatiran mereka justru membuatku jadi khawatir juga. Bagiku, ini jenis kekhawatiran yang akhirnya tidak sehat karena aku jadi merasa terkekang dan tidak bisa belajar menjaga diriku sendiri.

Berkali-kali aku memaksa diriku sendiri untuk mengerti realita ini. Berkali-kali aku mengajarkan diriku untuk bersyukur bahwa aku masih memiliki orang tua yang lengkap. Berkali-kali aku mengingatkan diriku sendiri bahwa banyak teman-temanku yang rindu bisa bersama dengan kedua orang tua mereka (beberapa dari mereka ada yang mengalami broken-home, ada yang ditinggal selamanya karena maut, bahkan ada pula yang sedari kecil tidak tahu siapa orang tua kandungnya). Aku terus mendoktrin diriku sendiri untuk selalu bersyukur, bersyukur, bersyukur.

Namun, upayaku untuk memahami realita ternyata tidak semudah itu, terlebih ketika kembali diperhadapkan dengan kekhawatiran orang tua padaku. Seberapapun kuatnya usaha diriku untuk bersyukur, tapi aku tidak bisa. Kekhawatiran mereka yang berlebihan sungguh membuat aku makin merasa terkekang bahkan hingga dewasa.

Februari 2021, adalah momen di mana aku mencapai titik lelah dan jenuh luar biasa akibat hal tersebut. Berawal dari aku yang kesal dengan mereka lantaran ditanya, “Masih di kantor?”, “Sudah jalan pulang?” ketika jam di kantor menunjukkan pukul 8 malam dan aku masih menyantap semangkuk mi ayam karena aku lapar. Dalam emosiku saat itu, muncullah pikiran-pikiran negatif yang sebenarnya tidak esensial: apakah aku harus memberitahu mereka kalau aku lagi makan mi ayam? Kenapa sih jam segini udah ditanyain? Harus update banget setiap detik ya? Mau sampe kapan sih dikekang kayak gini terus?

Akhirnya aku pulang dengan rasa kesal dan memutuskan untuk lebih banyak diam. Menjadi ciri khas dari diriku bahwa jika aku diam, berarti aku sedang kesal luar biasa—mengingat biasanya sehari-hari aku lebih banyak ceria dan bercanda. Aku masih tidak mau bicara dengan siapapun di rumah karena masih kesal, hingga keesokan harinya.

Momen rekonsiliasi

Menyadari bahwa sikap diamku tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, akhirnya aku ungkapkan secara jujur apa yang kurasakan pada mereka. Singkat cerita, ternyata kami malah terlibat adu mulut. Emosi masing-masing pribadi pun tak tertahankan lagi. Hingga aku tiba pada detik di mana aku mengeluarkan satu kata makian—yang sebenarnya diperuntukkan untuk memaki diriku sendiri yang merasa gagal jadi seorang anak—namun ternyata kata itu melukai hati mereka. Konflik pun makin memuncak. Orang tuaku marah-marah, dan aku berteriak saking muaknya. Sungguh sebuah keadaan yang sama sekali tidak diinginkan olehku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya hidup terlalu berat dan aku berharap saat itu lebih baik aku tak sadarkan diri saja saking tidak kuatnya menghadapi situasi tersebut. Dalam keadaan kalut, aku hanya bisa berdoa; meminta tolong pada Tuhan dan menanyakan apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa berserah pada keadaan.

Apa yang selanjutnya terjadi?

Setelah kami menenangkan diri masing-masing sekitar kurang lebih 20 menit, ayahku membuka percakapan dengan lebih tenang. Ayah dan ibuku meminta maaf padaku karena mereka terlalu mengekang aku sewaktu kecil. Mereka juga meminta maaf karena sering khawatir berlebihan ketika aku berada terpisah dengan mereka. Di situ aku pun meminta maaf karena telah berkata kasar dan menyinggung hati mereka. Setelah itu, kami berdoa bersama meminta pertolongan dan penyertaan Tuhan di dalam keluarga kami saat menjalani kehidupan hari demi hari.

Kisah ini adalah salah satu dari sekian banyak kisah perseteruan lainnya di mana aku belajar untuk mengampuni masa lalu, khususnya bersama orang tuaku. Apakah setelah konflik ini semuanya selalu baik-baik saja? Tentu tidak. Relasi dalam keluarga kami masih terus diuji dan ditempa. Namun, aku percaya bahwa kita semua mengalami pertumbuhan karakter melalui relasi dalam keluarga; sebesar apapun konflik yang pernah muncul, dan seberapa sakitnya penderitaan yang kami rasakan di dalamnya. Di sini aku mengingat lagi apa yang Tuhan katakan di dalam Keluaran 20:12, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”

Apakah mudah? Tidak. Aku mengakui pada Tuhan bahwa aku tak sanggup menjalankan Firman-Nya yang ini, terlebih ketika berada di masa-masa sulit. Namun, ketidaksanggupan itu bukan menjadi alasanku untuk tidak taat. Jika aku bersandar pada pengertian dan kekuatanku sendiri sebagai manusia, tentu aku tidak mampu untuk mengasihi mereka. Naluriku yang berdosa ialah membantah dan membangkang terhadap mereka. Tetapi, satu hal yang menarik bagi kita orang Kristen ialah: kita mampu mengasihi orang lain karena Allah telah lebih dulu mengasihi kita. Pada akhirnya, aku memang butuh Tuhan untuk bisa mengasihi kedua orang tuaku apa adanya, dan di situasi apapun.

Kasih itulah yang mendorongku untuk jujur dan terbuka kepada mereka. Tapi, untuk melakukannya memang butuh keberanian dan penuh risiko. Memberi pengampunan pun membutuhkan kebesaran hati. Hal-hal ini tentu tidak bisa kulakukan sendiri dengan kemampuan manusiawiku. Butuh Tangan Yang Lebih Besar yang sanggup memberiku keberanian untuk jujur, terbuka, mengampuni, serta mengasihi keluargaku dalam relasi yang penuh lika-liku.

Mungkin konteks ceritaku berbeda dengan apa yang teman-teman alami. Mungkin banyak dari kita yang bahkan tidak bisa lagi melihat kedua orang tua secara utuh—atau bahkan tidak sama sekali. Kita tentu punya pergumulan yang berbeda satu sama lain di dalam keluarga. Namun, aku yakin satu hal yang pasti: siapapun yang Tuhan tempatkan menjadi keluarga kita adalah anugerah terbaik dari-Nya. Jaga relasi itu. Minta tolong pada Allah untuk diberikan keberanian menghadapi konflik yang muncul, dan minta juga pada-Nya supaya kita dimampukan untuk menjaga relasi dengan keluarga kita. Kita juga bisa berdoa pada Tuhan agar diberi kemampuan untuk mengampuni masa lalu bersama keluarga yang mungkin telah membelenggu dan membuat kita sulit untuk melangkah maju ke depan.

Ada satu lagu tentang doa yang sering aku dengar dan nyanyikan ketika tengah bergumul dalam persoalan keluarga. Judulnya “Doa Mengubah Segala Sesuatu”. Ketika aku sulit berdoa karena bingung dan pusing dengan situasi konflik yang terjadi, kadang aku hanya mendengarkan lagu ini dan menyanyikannya dalam hati sebagai doa pribadi:

Saat keadaan sek’lilingku ada di luar kemampuanku
Ku berdiam diri mencari-Mu
Doa mengubah segala sesuatu
Saat kenyataan di depanku mengecewakan perasaanku
Ku menutup mata memandang-Mu
S’bab doa mengubah segala sesuatu

Doa orang benar bila didoakan dengan yakin besar kuasanya
Dan tiap doa yang lahir dari iman berkuasa menyelamatkan

S’perti mata air di tangan-Mu mengalir ke manapun Kau mau
Tiada yang mustahil di mata-Mu
Doa mengubah segala sesuatu

Baca Juga:

Self-love yang Selfless untuk Mengasihi Sesama

Self-love artinya mencintai diri sendiri, tetapi bukan berarti memenuhi diri dengan segala keinginan. Mengapa self-love penting? Bukankah kita diminta untuk mengasihi orang lain?

Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari seri Lika-liku dalam Relasi yang ditulis oleh Meista.

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Oleh Leah Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Quit My Job In The Midst Of The Pandemic

Di akhir tahun kemarin aku meninggalkan pekerjaanku sebagai guru yang sudah kutekuni selama 15 tahun—sebuah pekerjaan yang memberiku keseimbangan di tengah tuntutan antara kerja dan keluarga.

Dua tahun ke belakang, aku putus asa dan kelelahan karena kelas-kelas yang kuampu tidak berjalan dengan baik. Meskipun aku sering berdoa agar dikuatkan dan aku merasakan sukacita membangun relasi dengan murid-muridku dan menolong mereka belajar dan bertumbuh setiap hari, bekerja dengan bos yang suka mengkritik dan minim empati sungguh menghancurkan semangatku. Ditambah lagi lingkungan kerjaku yang toksik. Aku sangat takut jika membuat kesalahan, hingga kala malam aku pun susah tidur dan sesak nafas.

Ketika akhirnya pandemi datang dan lockdown diberlakukan, aku merasa lebih lega bisa bekerja di rumah, jauh dari lingkungan yang toksik. Namun, ketika sekolah kembali dibuka, aku takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi semua tuntutan kerjaku.

Suatu hari, ketika aku sedang sendiri di kamar mandi, kutanya Tuhan apakah aku sebaiknya keluar dari pekerjaan ini. Hatiku berbeban berat dan aku sangat ingin keluar, tapi aku tak mau jika alasanku keluar adalah karena ketakutanku dan rasa putus asaku.

Tuhan menjawab doaku. Dari Juli sampai September, aku mengalami gejolak emosi, mulai dari dibentak-bentak bosku hanya karena hal sepele, yang kemudian merembet ke hal lain. Ini saatnya, kubilang pada diriku sendiri; ini tandanya. Ini waktu untuk keluar. Jadi, dengan nasihat dari teman gerejaku dulu yang menjadi direktur HR, aku mendapat keberanian untuk mengakhiri relasiku dengan bosku di bulan September.

Menghadapi masa depan yang tak pasti

Namun, keluar kerja tidak sebebas apa yang kupikirkan dulu. Kekhawatiran mulai masuk. Aku tidak punya rencana cadangan dan tak tahu berapa lama uangku akan cukup. Masa depanku terasa suram.

Tuhan mengingatkanku dengan firman-Nya, “Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8). “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (Yesaya 43:18-19).

Setelah keluar kerja, aku membuat diriku sibuk dengan melakukan riset online dan membaca banyak buku, berharap mendapatkan pekerjaan di bidang pengembangan belajar tapi dalam lingkup korporat. Passion-ku adalah desain dan mengajar, jadi kupikir aku bisa mencari pekerjaan di dua bidang ini.

Tapi, berpindah bidang kerja terkhusus di masa pandemi ini susah. Aku kewalahan bagaimana belajar membuat cover-letter dan memperbaiki resume-ku, merapikan profil LinkedIn, belajar bagaimana lolos wawancara, dan lain sebagainya. Aku baru bisa tidur larut malam karena selalu khawatir akan masa depan.

Janji Allah yang memberi penghiburan

Suatu malam aku bermimpi. Aku sedang menyetir dan tersesat. Aku sangat takut hingga aku berseru pada Tuhan, memohon agar dia menolongku. Tak disangka, Tuhan hadir! Tapi, dia tidak menggantikan posisiku mengemudi. Dia hanya duduk di sampingku dan mulai mengajakku mengobrol. Anehnya rasa takutku hilang dan aku bisa mengemudi dengan tenang. Meskipun aku masih tersesat, aku tidak lagi takut karena Tuhan di sampingku. Aku tidak sendiri. Dia ada bersamaku dan aku tahu aku akan kembali ke jalan yang benar.

Meskipun itu cuma mimpi, aku merasa kembali hidup dan bersemangat saat kuceritakan kembali mimpiku ke suami dan anakku. Melalui mimpi, Allah berjanji tidak akan meninggalkanku.

Aku mulai membaca lebih banyak buku-buku Kristen dan mendengarkan khotbah untuk mengingatkanku akan siapa diriku di dalam Kristus–bahwa aku adalah anak yang disayang-Nya. Tuhan menampakkan kehadiran-Nya dalam cara yang berbeda. Dia memberiku teman-teman yang menguatkanku. Dia memberiku ketekunan untuk tetap mencari kerja, meskipun aku tidak menerima respons apa pun dari email-email yang kukirim. Aku tahu Tuhan berkarya sekalipun aku tidak melihat apa yang sedang terjadi.

Mengalami pemeliharaan Allah

Sebelum aku keluar di bulan November, aku mendaftar ke Design Education Summit yang diselenggarakan pada Februari. Di acara ini, aku menemukan sebuah organisasi yang membuatku tertarik untuk bergabung sebagai relawan fasilitator. Direktur dari organisasi itu malah menanyaiku apakah aku tertarik untuk bergabung di bidang manajerial di mana tugasku adalah mendesain program untuk anak-anak. Aku tertarik lalu mendaftar.

Prosedur setelahnya adalah aku melalui dua wawancara yang berjalan sangat lancar. Namun, di malam setelah wawancara keduaku, direktur memberi tahu bahwa organisasi itu tidak bisa mendapatkan dana hibah dari pemerintah sebelum Februari. Tanpa dana hibah itu, aku tidak bisa mendapatkan gaji yang sesuai dengan keinginanku. Tapi, tidak ada jalan lain bagiku jika aku harus menunggu sampai Februari karena di November adalah bulan terakhirku bekerja.

Aku merasa hancur. Aku pikir inilah pintu yang Tuhan telah bukakan buatku. Teman gerejaku menasihatiku untuk berdoa agar dana hibah itu bisa turun lebih cepat. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan saat itu selain menunggu dan berdoa. Lewat khotbah yang kutonton online, Tuhan menegaskan kembali janji penyertaan-Nya. Yang kuperlukan adalah meletakkan kepercayaanku pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam segala hal yang kulakukan.

Sekitar seminggu setelahnya, sang direktur menjadwalkan sesi Zoom denganku. Pekerjaan yang dia tawarkan tidak sesuai harapanku karena aku akan mendapatkan potongan gaji yang lumayan besar. Aku dilema antara menerima tawaran kerja dengan gaji kecil atau berusaha lagi bernegosiasi hingga menemukan titik sepakat.

Esoknya aku bertemu kembali dengan direktur. Aku teringat kisah tentang bangsa Israel ketika mereka di padang gurun–bagaimana Allah mengubah arah angin yang menyebabkan burung-burung puyuh terbang di atas kemah-kemah (Keluaran 16:12-13; Mazmur 105:40). Tuhan tentu menyediakan apa pun yang orang-orang butuhkan, sekalipun itu di tengah padang gurun, dan Dia pun tentu dapat melakukan yang sama untukku.

Temanku juga menyemangatiku untuk memilih jalan setapak yang membutuhkan iman untuk melangkah di atasnya. Dua jam sebelum pertemuanku, aku membaca kisah Daud dan Goliat. Meskipun Daud berperawakan kecil dan cuma bersenjata umban batu, dia meletakkan imannya pada Allah.

Momen-momen ini mengingatkanku akan kesetiaan-Nya dan bagaimana Dia telah menyertaiku di sepanjang perjalanan yang kulalui. ‘

Dengan berani aku pun mengikuti meeting final dengan direktur itu. Tawaran yang dia berikan sesuai dengan harapanku. Aku bahkan tidak perlu meminta! Dia berkata kalau pemerintah telah melonggarkan dana hibah tersebut selama enam bulan, sehingga itu memungkinkan bagi mereka untuk merekrutku. Aku menerima tawaran itu dengan damai di hati, meyakini bahwa Tuhanlah yang telah membawaku tiba sampai ke titik ini.

Tuhan telah mengajariku banyak hal dalam perjalanan ini. Dia menunjukkanku bahwa Dia hadir secara nyata dan mengasihiku dengan sungguh. Dia memberikan anugerah-Nya di dalam kelemahanku.

Aku harap kisahku bisa menguatkan orang-orang yang mengalami pergumulan yang sama sepertiku. Seperti Amsal 3:5-6 berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Kisahmu mungkin akan berbeda dari kisahku, tapi satu jaminan yang selalu dapat kita pegang: ketika kita bersandar pada Allah, kita bisa percaya bahwa Dia setia dan Dia selalu menyediakan. Dialah Bapa kita, dan kitalah anak-anak-Nya.

Baca Juga:

Menikmati Bumi Pemberian Allah Bersama Makhluk Lain

Kita perlu menyadari kembali bahwa penduduk yang hidup di bumi bukan hanya manusia, pun pemilik bumi juga bukan manusia. Tetapi kenyataannya, sebagian manusia suka “mendadak lupa” atau justru sengaja mengabaikan keberadaan penduduk bumi lainnya.

Merawat Hati yang Kecewa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Pertemuan Zoom jadi aktivitas yang biasa kulakukan selama pandemi. Dari sekian banyak Zoom yang telah kuikuti, ada satu sesi yang memberikan kesan di hati. Izinkan kuceritakan sekelumitnya pada tulisan ini.

Di pertemuan Zoom yang diisi dengan sesi sharing, Tabita, kawanku yang baru saja memulai kehidupan berumah tangga mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dan kegiatan di keseharian selama pandemi. Dia membuka sesi sharing ini dengan bertutur bagaimana dia menghadapi hari-hari berat ketika ayahnya dipanggil pulang ke Surga, hubungannya yang sedang tidak harmonis dengan Eunike, adiknya, juga rencana pernikahannya yang seharusnya diadakan di awal tahun harus ditunda.

Tabitha yang tinggal di Semarang bingung dan kalut ketika mendapat kabar kepergian sang ayah. Di satu sisi dia ingin sesegera mungkin pergi menemui ayahnya, tapi suasananya hatinya campur aduk. Kabar duka yang datang pagi-pagi itu sungguh membuat pikirannya kusut.

Bapak kenapa pergi di saat pandemi Covid-19 merebak ke segala penjuru? Pandemi telah membatasi ruang gerak dan membuat khawatir melakukan perjalanan jauh. Tapi, aku harus pulang. Pulang bertemu Bapak meski hanya akan menjumpainya tertidur kaku. Aku mau protes tapi gimana ya, Kak? Memikirkan semua itu, membuatku hanya bisa menangis seharian.

Suara Tabita tersekat di tenggorokan. Sesaat ia diam, mengambil tisu, dan menghapus air mata yang turun dari matanya. Teman–teman yang ada di ruang Zoom pun tak ada yang berani menyela hingga Tabitha melanjutkan ceritanya.

Aku bingung, haruskah berjalan sendiri–sendiri ataukah mengajak Eunike pulang bersama ke Medan? Kepergian Bapak yang tiba–tiba, membuatku kembali berpikir untuk menyudahi perseteruan antara aku dan Eunike. Sudah terlalu lama sikap dingin dan tak acuh kami bangun untuk membentengi diri kami masing–masing. Tak ada yang mau mengalah dan mencoba mendobrak benteng itu. Aku hanya ingin seperti orang–orang di sekitarku, Kak. Kenapa mereka bisa menikmati hari–hari mereka dengan saudaranya, dan aku tidak?

Perseteruan Tabitha dan Eunike berawal dari salah paham yang tak diselesaikan sehingga berkembang menjadi “permusuhan” yang membuat keduanya tak nyaman satu dengan yang lain. Eunike cemburu pada kakaknya yang selalu mendapat pujian dari orang di rumah karena selalu memberi kabar “baik–baik saja dan tampak senang” meski tinggal jauh dari rumah, kuliah di Semarang. Dalam benak Eunike, hidup merantau itu menyenangkan, tak merepotkan keluarga. Ia tak tahu, Tabitha sebenarnya menghadapi banyak tantangan dan melewati berbagai rintangan untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu agar dapat meringankan beban orang tuanya dengan mencari pekerjaan.

Memulihkan relasi yang retak dengan adiknya menjadi pr besar bagi Tabitha, tapi dia tahu bahwa pengampunan bukanlah hal yang mustahil. “Aku selalu berdoa kak. Pun selalu ingat akan firman Tuhan tentang kasih dan pengampunan. Ternyata, Tuhan itu bekerja ketika kita mau membuka diri,” tuturnya.

Setelah berpikir panjang dia memutuskan untuk mengalah. Dia mulai membuka diri dan mengajak sang adik bicara dari hati ke hati. Jika seandainya keduanya bertahan dengan pikiran sendiri-sendiri, tentu tidak akan ada perubahan sedikit pun. Perbincangan ringan di perjalanan pulang ke rumah di Medan, pelan–pelan merekatkan kembali ingatan pada kebersamaan yang selama ini dibuat menjauh dari kehidupan mereka.

“Aku selalu berdoa, Kak,” ucapan Tabita ini bukanlah ungkapan klise ketika kita menghadapi persoalan. Kita seharusnya tidak pernah lelah untuk berdoa. Setidaknya, jika permintaan kita tidak diluluskan Tuhan, Dia pasti mengubahkan hidup kita. Keadaan yang kita hadapi mungkin tidak berubah, tetapi doa akan lebih dahulu mengubah orang yang berdoa. Sikap hati kita, cara kita memandang keadaan sanggup Tuhan ubahkan kala kita datang pada-Nya. Efesus 3:20 berkata, “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” Ketika kita berdoa, kita akan melihat perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.

Satu hal lain yang kupelajari dari kisah singkat Tabita ialah berdoa saja tidak cukup untuk merawat hati yang sedang kecewa. Tidaklah mudah untuk melepaskan pengampunan ketika kita sendiri masih memagari diri dengan ego. Singkirkanlah dahulu perasaan egois dan izinkan Tuhan mengisi hati kita. Tuhan Yesus mengingatkan kita dalam Markus 11:25, “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seorang, suapaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”

Menutup sharing dari Tabita, memang ada yang hilang ketika Tabita dan Eunike memulai perdamaian, tetapi ada berkat baru yang Tuhan berikan: kelegaan. Di depan jasad sang ayah, hati mereka berdua luluh. Segala rasa yang selama ini ditahan-tahan, tumpah dalam curhatan panjang hingga mengalirlah kata ‘maaf’ dan ‘sayang’ yang sudah lama tak diungkapkan. Hubungan mereka sejak hari itu mengalami pemulihan yang luar biasa sehingga mereka bisa menikmati hal–hal yang selama ini “hilang”.

Ternyata, semua yang terjadi di kehidupan ini, ada hikmahnya. Tuhan sudah mengatur dengan baik agar kita bisa menjalaninya dengan hati yang lapang meski ada riak – riak dan air mata, percaya saja Tuhan pasti beri yang terbaik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Studi Alkitab, Yuk!

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri.

Menghadapi Konflik dengan Cara yang Sehat

Kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Amy Domingo (@amy_domingo).

Bayangkan hidup tanpa adanya konflik, perbedaan pendapat, dan rasa sakit. Atau bayangkanlah jika salah satunya muncul, kita dapat menghapuskannya dan sepakat untuk tidak sepakat. Betapa bahagia dan menyenangkannya hidup kita!

Sayangnya, karena kita semua adalah makhluk berdosa dan hidup dalam dunia yang kelam, konflik pasti akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun konflik selalu membuat hati tidak nyaman, ia dapat membantu kita tumbuh dan menjadi dewasa seperti Kristus jika kita menghadapinya dengan cara yang sehat dan alkitabiah.

Jadi, bagaimana kita dapat merespon konflik tanpa menjelek-jelekkan, memusuhi, atau bersikap pasif-agresif?

Sesulit kedengarannya, kita seharusnya merespon dengan kasih, yang berarti tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5). Firman Allah juga mengingatkan kita untuk menjadi ramah, murah hati, sabar terhadap satu sama lain dan saling mengampuni (Kolose 3:13).

Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan dan hindari ketika konflik terjadi:

Terkadang lebih mudah untuk menghindar daripada menatap muka mereka yang pernah menyakiti kita. Akibatnya, kita menjauh dari kehidupan mereka dan emosi kita mudah tersulut secara pribadi.

Meskipun sebenarnya tak masalah mengambil waktu sejenak untuk memulihkan luka kita, berlarut-larut dalam kemarahan yang tak terselesaikan ataupun memilih untuk tidak mengampuni dapat merugikan kita. Akibatnya, kita mengikis hubungan yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Kejadian apa pun yang menimpa kita, Firman Allah mengatakan pengampunan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Mungkin sulit (dan hampir tak adil) untuk mengampuni orang yang melukai kita, namun kita harus mengampuni seperti Kristus telah mengampuni kita terlebih dahulu (Efesus 4:32). Dan jika kita melukai seseorang, carilah mereka untuk meminta pengampunan (Matius 5:23-24).

Luka yang mereka tanamkan pada kita sangat dalam. Kemarahan dan kesedihan dalam diri kita meningkat tiap kali mengingat insiden tersebut. Dan sekarang mereka mencoba berbicara dengan kita? Beraninya! Acuhkan saja mereka, biar tahu rasa!

Stonewalling atau mengacuhkan dan menolak berkomunikasi dengan seseorang dapat memberikan kita ilusi sebagai pemegang kontrol. Namun, hal ini tidak meredakan kemarahan dalam hati kita, maupun membiarkan orang lain menjelaskan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk minta maaf.

Jika berbicara dengan mereka dalam suasana panasnya konflik sangat sulit, kita dapat dengan sopan memberitahu mereka bahwa kita sedang tidak mood untuk membahas konflik ini sekarang. Namun pastikan pada mereka bahwa kamu akan meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini ketika kamu siap. Bagaimana pun, Firman Allah berkata jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah (Amsal 15:1). Jadi akan lebih bijak bagimu untuk membiarkan amarahmu reda terlebih dahulu sebelum berekonsialisasi.

Masalah lain biasanya datang ketika kita bersikukuh mempertahankan kehendak kita; kita tak bersedia mendengarkan pendapat orang lain.

Memaksakan kehendak kita dalam konflik merupakan hal yang sangat buruk. Kita melalaikan orang lain, seakan akan apa yang mereka katakan tak pantas untuk kita pertimbangkan.

Untuk menghindari perilaku seperti ini, kita dapat merefleksikan mengapa kita begitu kukuh untuk melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak kita. Apakah itu ego kita? Roma 12:16 memerintahkan kita untuk sehati dan sepikir dalam hidup bersama dan jangan menganggap diri kita pandai. Kita dapat meminta Tuhan untuk menyingkirkan ego kita dan memberikan kita kerendahan hati yang dibutuhkan untuk menangani masalah dengan rahmat.

Kita mungkin tak sengaja bercanda melewati batas dan menyinggung seorang teman dekat atau teman kerja. Kita berharap mereka dapat menganggap hal tersebut sebagai candaan belaka, namun ternyata mereka mengonfrontasikan hal tersebut sebagai masalah dan kita menjadi defensif. “Itu hanya candaan, tidak perlulah marah karena hal itu,” gerutu kita.

Meskipun dalam hati kita tahu kita salah, kita membuat berbagai alasan untuk menyelamatkan harga diri kita dan malah menuduh mereka terlalu serius.

Memang tidak mengenakkan ditegur jika kita berbuat salah, namun Amsal 28:13 memberanikan kita untuk mengakui dosa kita untuk memperoleh belas kasihan. Misalnya, mencoba melihat dari perspektif mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan meminta maaf.

Kita tak dapat mempercayai apa yang baru saja mereka katakan pada kita. “Betapa tidak sopannya mereka menuduh kita melakukan hal-hal seperti itu!” pikir kita. Maka dari itu, kita mencaci-maki balik mereka, balik menggunakan kata-kata yang pedas, dengki nan jahat, memberikan mereka mencicipi pahitnya pembalasan.

Kedagingan kita mungkin merasa bahagia untuk beberapa waktu, namun kedengkian yang kita keluarkan dapat memicu argumen panas atau menjadi racun bagi relasi kita dengan mereka.

Amsal 18:21 mengatakan hidup dan mati dikuasai lidah, dan meski kadang mencaci maki sangat mudah dilakukan di tengah konflik, kita dapat berdoa meminta Tuhan menuntun lidah kita dan kita untuk berbicara dengan anggun (dan bukan dengki) saat kita marah.

Oh wow. Seseorang baru saja melakukan sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak bisa dibenarkan terhadap kita, dan kita terguncang dalam syok, kemarahan dan pengkhianatan. Dan sekarang kita sangat ingin memberitahu yang lain mengenai apa yang terjadi.

Meskipun tidak baik untuk menumpuk perasaan kesal kita, dan mengomel membantu kita menjernihkan pikiran, mari kita lebih berhati-hati dengan perkataan yang keluar dari mulut kita agar kita tidak menyesali perkataan kita di kemudian hari.

Amsal 19:20 memberanikan kita untuk mendengarkan nasihat yang bijak (Amsal 19:20), maka mari bagikan situasi kita (ketika kita sudah tenang dan berefleksi atas situasinya) dengan sekelompok teman dekat yang kita percaya. Hal ini memungkinkan masalah kita untuk tak terdengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui kita secara baik dan juga melindungi reputasi orang lain.

Sebuah perdebatan hebat telah mengungkit kesalahan masa lalu satu sama lain, demi menjadi pemenang. “Ingatkah kamu terakhir kali kamu lakukan ini dan itu?” teriakmu.

Melemparkan kesalahan satu sama lain, khususnya untuk melawan mereka, dapat membuat kita merasa superior—untuk sementara. Namun seringkali, kita berakhir menyesali perkataan kita. Saat itu, semuanya sudah terlalu terlambat dan kita tak dapat menariknya kembali.

Mari ingat bahwa kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5), dan kehancuran hanyalah seujung lidah, karena “lidah adalah api…. Ia mengambil tempat di anggota-anggota tubuh” (Yakobus 3:6). Daripada mencari-cari kesalahan masa lalu, kita dapat mencoba menutup mulut kita dan tidak menjadi hambar, berkata dengan rahmat (Kolose 4:6).

“Hai Anon, tak bisa kupercaya kamu mengatakan…..,” dalam momen kemarahan, kita mengetik dan mengunggah pesan kemarahan dalam sosial media untuk mempermalukan orang yang telah menyakiti kita. Dan sekarang, kita menunggu balasan-balasan penuh simpati datang kepada kita.

Ah, pembalasan dendam yang indah! Kedagingan kita mungkin merasa senang selama beberapa waktu atas mengungkapkan kejahatan seseorang yang telah menyakiti kita, namun siapa yang tahu kalau hal ini akan berakibat pada relasi yang tak dapat diperbaiki!

Seperti yang 1 Korintus 13:5 ingatkan kita, kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:5). Jadi, daripada secara terbuka mempermalukan orang yang telah menyakiti kita, mengapa tidak melakukannya dengan menuliskannya di buku harian, atau bahkan menuliskan surat mengenai apa yang kalian pikirkan terhadap mereka (yang dapat kita sobek setelahnya) jika hal ini dapat melepaskan amarah kita?

Perkataan tak berperasaan mereka telah melukai kita, tapi daripada berkata jujur dengan mereka, kita memutuskan untuk bersikap pasif agresif. “Kamu harusnnya tahu bagaimana perasaanku,” ketika ditanya bagaimana perasaan kita.

Kita berpikir mereka seharusnya tahu bagaimana perasaan kita. Bagaimana pun, merekalah yang mengejek kita! Tapi kebanyakan orang tidak dapat membaca pikiran kita. Dan mengirimkan pesan penuh teka-teki atau bermain mind games berpotensi untuk membawa lebih banyak kesalahpahaman bahkan menimbulkan kebencian atas satu sama lain.

Amsal 24:26 mengatakan perkataan yang tepat adalah tanda persahabatan. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita memberitahu mereka secara jujur (namun bijaksana) mengenai bagaimana mereka melukai kita, daripada berharap mungkin mereka dapat membaca pikiran kita dan mengetahui apa yang mengganggu kita.

Tentu saja, memang lebih mudah untuk membaca mengenai bagaimana menyelesaikan masalah daripada benar-benar menyelesaikannya.

Namun, untungnya kita tidak perlu bergantung pada kekuatan kita sendiri. Tuhan akan memberikan kita hikmat (Yakobus 1:5) untuk menangani situasi ini, dan jika kita terluka, mintalah pada-Nya untuk memulihkan kita. Kita juga dapat meminta Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa konflik bukan selalu situasi “aku melawan mereka”, namun dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan masalah bersama, dan menghasilkan relasi yang lebih kuat.

Jadi, di lain kali kamu menemukan dirimu menghadapi suatu masalah untuk diselesaikan, janganlah bereaksi dengan meledak-ledak, namun pertimbangkan bagaimana merespons situasi ini dengan cara Tuhan!