Posts

Untukmu yang Sedang Melewati Lorong Gelap

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Lorong gelap.

Itulah istilah yang kusematkan pada suatu masa ketika jalan hidupku terasa kelam. Aku pernah mengalami depresi, hilang tujuan hidup, dan kesepian. Aku tahu aku tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, jadi kucoba untuk bercerita ke orang lain. Namun, saat itu bukannya dukungan yang kurasakan, malah penghakiman.

Kementrian Kesehatan mendefinisikan depresi sebagai sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati. Secara sederhana, depresi dapat dikatakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara pikir, dan cara bertindak.

Pengalamanku dengan depresi terjadi sebagai dampak dari mengalami penolakan yang berujung kekecewaan, kegagalan dalam karier yang memaksaku memulai perjalananku dari awal lagi, juga kesepian. Aku pernah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi buat hidupku. Aku harus jadi seperti teman-temanku yang pekerjaannya sudah lebih stabil. Soal hubungan pun aku mengatur diriku dengan ketat tanpa melihat sejauh mana kesiapan diriku. Ketika akhirnya aku terjatuh, mencari pertolongan dari orang lain terasa menakutkan karena aku takut respons mereka malah menambah rasa sakit di hati.

Sejak tahun 2022 aku bergumul dengan perasaan depresi ini, namun pelan-pelan Tuhan memberikan kedamaian hati. Dalam pekerjaanku sehari-hari di klinik perawatan pasien kanker, aku ditegur melalui cerita-cerita dari banyak pasien yang berobat. Mereka bertutur tentang beratnya perjuangan untuk bertahan dan tetap hidup. Ada seorang pasien yang bilang begini, “Aku tidak boleh nyerah, karena kehidupan yang diberikan kepadaku bukanlah kehidupan yang murah. Aku punya misi dan tugas yang belum selesai. Hidupku berharga.” Bukan hanya kata-kata itu saja yang membuatku tertegur, namun pasien itu juga mendonorkan kornea matanya! Salah satu tujuan hidupnya adalah dia ingin orang lain yang tidak bisa melihat dapat melihat indahnya dunia ini. Dengan mendonorkan korneanya, dia berharap walaupun nanti dia telah tiada, dia masih bisa menjadi berkat buat orang lain.

Cerita dan pertemuan dari orang-orang yang berjuang begitu hebat, yang tak cuma merasakan sakit di perasaannya, tapi juga di seluruh tubuh fisiknya menjadi cara Tuhan untuk membalut luka hatiku dan membuka pandanganku lebih luas. Adalah betul jika segala kepahitan hidup memaksaku masuk ke dalam lorong gelap yang panjang, tetapi imanku menolongku untuk tahu dan percaya bahwa lorong gelap itu tidak abadi. Di ujungnya, ada satu Sosok yang dalam terang-Nya menantiku untuk menikmati persekutuan erat dengan-Nya. Tuhan memberiku pemulihan meskipun semua masalah belum selesai. Saat ini aku telah bekerja kembali dan sesuai dengan janji-Nya, bila kemarin Tuhan menolongku, hari ini pun Dia akan menolong. 

Ada satu lagu yang liriknya menguatkanku.

Tuhan, Engkau memilihku
Sebelum ‘ku ada
Jemari-Mu yang menenunku
Serupa gambaran-Mu

Di saat “depresi”, pasti jalan yang kita lalui akan terasa seperti lorong gelap, namun lirik lagu itu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kelamnya hidup, Tuhan merencanakan hidup yang indah dan baik buat kita. Tuhanlah yang memilihku untuk tujuan yang mulia sebelumku lahir.

Sekarang aku tahu bahwa ketika setiap orang dapat jatuh dalam depresi, kita dapat menyerahkan hidup kepada Sang Pemilik Hidup. Inilah keputusanku di tahun ini. Aku belajar untuk melepaskan kehendakku dan belajar bahwa kecewa, kesepian, dan sakit hati mungkin akan kembali kurasakan di masa depan, namun Tuhanlah yang pasti mengobatinya. Kadang kita dihancurkan untuk dibentuk kembali oleh-Nya.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bersusah hati, aku berdoa agar Tuhan menolongmu dan memberimu damai sejahtera sebagaimana dulu Dia menolongku. Tuhanlah tempat yang tepat untuk kita datang dan menyerahkan semua beban kita.

God bless you!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jawaban buat Pertanyaan yang Menggantung di Pikiranmu

Pikiran kita sering mendikte kita, seperti yang terjadi ketika para murid Yesus terombang-ambing di tengah badai. Ketika mereka melihat Yesus berjalan di atas air, ketakutanlah mereka semua. Namun, Yesus berseru, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

Pikiran-pikiran buruk dalam diri kita tidaklah sepenuhnya mendefinisikan diri kita. Peganglah firman Tuhan dan temukan damai sejahtera di dalamnya.

Art space ini diterjemahkan dari @ymi_today dan didesain oleh @yelloizmello

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

“A Man Called Otto”, Film yang Mengajak Kita untuk Memperhatikan Sekitar Kita

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya
Sumber gambar: IMDB

A Man Called Otto adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor papan atas Tom Hanks. Film ini bercerita tentang seorang kakek bernama Otto yang merasa kehilangan warna dalam hidupnya setelah istrinya meninggal. Dia berubah menjadi seorang yang pemarah dan tertutup pada orang sekitarnya karena dia merasa tidak ada orang yang sebaik istrinya. Bergulat dengan kesepian dan rasa kosong, dia pun berniat mengakhiri hidup. Namun, takdir malah membawanya bertemu dengan tetangga baru yang cerewet dan peduli padanya. Melalui tetangga barunya itu, perlahan Otto kembali melihat warna dalam hidupnya.

Kesepian dan merasa hampa seperti yang dialami Otto, mungkin juga pernah kita alami. Ketika kita kehilangan seseorang, harta benda yang kita punya, kemampuan yang kita andalkan, atau hal-hal lain yang kita pegang erat akan membuat kita merasa kecewa dengan dunia. Rasanya seakan tak ada lagi yang bisa mengisi rasa kesepian dan kekosongan di hati kita.

Nilai-nilai dunia seringkali mengajar kita bahwa nilai diri dan kebahagiaan kita terletak pada sesuatu atau seseorang yang kita pegang erat. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Apa yang kita kagumi dan pegang erat, bisa saja mengecewakan, menyakiti, bahkan meninggalkan kita. Namun, satu hal yang aku sendiri telah merasakannya, bahwa yang kekal, kasih yang dapat mengisi kekosongan, yang tidak pernah mengecewakan, dan yang dapat mengusir kesepian hatiku adalah TUHAN. Mazmur 147:3 mengatakan, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka”, dan Mazmur 34:19 juga mengatakan, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Perasaan frustrasi yang dialami oleh Otto memang belum pernah aku rasakan, namun aku pernah merasakan kekecewaan, kekosongan, dan kesepian ketika aku memegang erat hal yang aku pikir bisa andalkan dan bukan mengandalkan Tuhan. Namun, ketika Tuhan menegur aku yang tidak mengandalkan Dia, aku menjadi sadar bahwa apa yang aku andalkan selama ini tidak benar. Setelah aku memutuskan untuk bertobat dan mengandalkan Dia, aku menemukan kepuasan di dalam-Nya. Perasaan negatif itu memang terkadang masih muncul, namun ketika aku berlari kembali kepada Tuhan, kepuasan di dalam Tuhan itu selalu dapat aku temukan dan dapat aku rasakan.

Salah satu di antara para tokoh Alkitab yang juga pernah mengalami perasaan ini adalah Ayub. Bayangkan betapa kecewanya Ayub melihat apa yang dia punya habis dengan cepat. Betapa kesepiannya dia tidak dihibur oleh istrinya dan teman-temannya. Dia tidak punya apa-apa lagi yang bisa diandalkannya, namun akhir kisah Ayub seperti yang kita tahu, dia tetap percaya kepada Tuhan dan tetap mengandalkan-Nya, hingga pada akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya.

Teman-teman, mungkin sekarang kita sama seperti Otto yang menutup diri dari dunia karena takut dikecewakan dan disakiti. Dalam kesempatan ini, aku mau mengajak kita untuk kembali datang dan mengandalkan Tuhan, Sang Kasih Sejati dan Penyembuh patah hati kita yang sesungguhnya dekat dengan kita (Mazmur 34:19). Mari kita perhatikan sekitar, siapa tahu tanpa kita sadari selama ini ada orang-orang yang benar-benar tulus mengasihi kita dan mengajak kita untuk melihat dan merasakan kasih Tuhan sehingga kita dapat dengan yakin menyerukan “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka dan TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Kemudian, tidak berhenti di titik ini, setelah kita sadar dan merasakan kasih-Nya yang begitu besar, aku mau mengajak kita untuk melakukan perintah-Nya yang tertulis dalam Yohanes 15:12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Seperti tetangga Otto, mari kita mengasihi dan memperhatikan orang-orang sekitar kita, terlebih untuk orang-orang seperti Otto yang rindu merasakan kasih sejati dari Tuhan yang sedang mencari hal yang dapat memberikan warna dalam hidupnya. Agar seseorang yang tadinya sudah menyerah terhadap dunia, dapat menemukan pengharapan baru di dalam Tuhan, sehingga ia dapat bergantung pada Sang Kasih Sejati yang tidak pernah mengecewakan.

Begini Rasanya Kesepian di Usia yang Masih Muda

Oleh Sandyakala Senandika

Di umurku yang masih di angka 20-an, kesepian adalah pil pahit yang harus kutelan setiap hari. Bukannya aku tak punya teman. Temanku banyak. Tetapi, fase kehidupan yang telah berubah turut mempengaruhi aspek relasiku dengan teman-temanku.

Izinkan kuceritakan sekelumit kisahku. Sebenarnya, kesepian bukanlah hal baru di hidupku. Aku lahir di luar pernikahan yang sah. Bisa dibilang, ayah ibuku tidak secara intensional menginginkan kelahiranku. Saat tumbuh dewasa pun lingkunganku tidak suportif. Orang tuaku bertengkar setiap hari hingga akhirnya berpisah rumah. Sebagai anak bungsu dengan tiga kakak tiri, relasiku pun tidak terlalu dekat dengan mereka, menjadikanku tidak banyak bicara di rumah. Hingga akhirnya saat aku lulus sekolah, aku memutuskan merantau sampai hari ini.

Saat kuceritakan keluhan ini ke teman-teman kantor, gereja, atau sahabatku sejak zaman bocah, respons mereka kurang lebih sama.

“Makanya, udah deh sekarang cepetan cari pacar…”
“Masa sih se-kesepian itu lu? IG lu aktif banget loh…”
“Ah, kamu mah pasti bisa hadepin ini. Kan kamu suka petualangan. Keluyuran sendiri juga fine kan?”

Tidak ada yang salah dengan semua respons itu. Benar aku perlu mendoakan dan mencari pasangan hidup. Benar pula aku aktif di media sosial, juga aku rutin melakukan perjalanan ke alam dan ikut beragam komunitas.

Namun, kesepian adalah sebuah perasaan yang seringkali hadirnya tidak dipengaruhi oleh keadaan luar. Aku sadar, setelah lulus kuliah, aku tak lagi bisa sebebas dulu. Teman-temanku pun sama. Kami punya kesibukan masing-masing yang membuat perjumpaan fisik semakin susah. Semua ini tidak bisa dielakkan. Jadi, meskipun aku bisa saja menjumpai temanku, tapi perjumpaan itu tidak bisa lama dan rutin. Semakin terobsesi mencari teman justru membuat rasa sepi semakin nyata… dan diliputi banyak teman pun bukan jaminan rasa kesepian itu akan lenyap. Les Carter berkata: “Kesepian adalah perasaan terpisah, terisolasi, atau berjarak dari relasi antar manusia. Kesepian adalah luka emosional, perasaan kosong, dan hasrat untuk dimengerti dan diterima oleh seseorang.” Kamu bisa tetap merasa sepi meskipun ada di tengah-tengah kerumunan yang seru.

Kesepian, masa muda, dan kata Alkitab

Studi yang dilakukan oleh BBC Loneliness Experiment di Inggris Raya menunjukkan fakta mencengangkan. Jika biasanya kesepian sering diidentikkan kepada warga lansia yang sudah tak bisa melakukan banyak hal, temuan riset ini malah memaparkan bahwa 40% responden yang mengaku kesepian ada di kelompok usia 16-24 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang para lansia yang ada di angka 27%.

Fakta ini begitu kontras. Bagaimana bisa seorang muda dengan akses koneksi Internet, keluwesan berjejaring secara daring, bisa merasa sepi?

Meskipun masa muda memang adalah waktu penuh kebebasan dan petualangan, tak dipungkiri banyak transisi terjadi di masa ini. Merantau, memulai kuliah, meraih pekerjaan baru, akan mencabut kita dari pertemanan yang dibangun selama masa-masa kita tumbuh besar.

Teman yang kita temukan pasca usia 25 akan berbeda taraf keakrabannya dengan mereka yang kita jumpai di dekade sebelumnya. Alasannya simpel: dengan teman lama kita melewati proses pertumbuhan dan banyak fase transisi—dari sekolah ke kuliah, remaja ke dewasa. Sedangkan pada teman yang kita jumpai di usia dewasa, tak banyak waktu dan proses yang kita lewati bersama. Umumnya kesempatan bersama itu sekadar hang-out atau urusan kerja saja sehingga ikatan emosional yang terbentuk tidak begitu kuat.

Jika kita membuka Alkitab, kita pun akan disuguhi oleh kisah tentang orang pilihan Tuhan yang mengalami kesepian. Ini membuktikan kesepian adalah perasaan manusiawi yang dialami oleh siapapun, bahkan nabi sekalipun.

Yeremia dalam Perjanjian Lama dipanggil Allah untuk menjalani panggilan yang berat—mewartakan firman Allah kepada bangsa yang bebal dan menyimpang. Kabar yang dibawa Yeremia pun bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penghakiman bahwa jika tidak ada pertobatan yang sungguh-sungguh, murka Allah akan datang. Maka, jelaslah bahwa Yeremia akan dibenci oleh bangsanya sendiri. Yeremia pun meratap, “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri” (Yer 15:10). Dalam kesukarannya itu, Allah pun melarangnya dari menikah dan memiliki keturunan (Yer 16:2). Dapat kita bayangkan akan beratnya pergumulan seorang Yeremia. Sendirian, pun dibenci oleh bangsanya sendiri.

Yeremia merupakan salah satu nabi yang tidak cuma menyampaikan nubuatannya, tapi juga mengalami itu. Pada tahun 586SM Yeremia masih hidup dan menyaksikan bagaimana Babel menyerbu Yehuda, menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Hukuman Tuhan berupa pembuangan Israel ke Babel pun tergenapi.

Menghadapi tugas berat itu, Yeremia sendiri sebenarnya bukanlah orang pemberani. Dia takut dan ada kalanya dia meragukan Allah. “Mengapa penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” (Yer 15:18), tetapi Allah berjanji menyertainya (ayat 20).

Sisi yang menarik dari kisah Yeremia ialah: dalam kesepiannya, dia mengutarakan segenap perasaannya pada Allah. Apa yang dia luapkan merupakan perasaan campur aduk. Satu sisi dia mengeluh, tapi dia tidak melupakan kebaikan Allah, lalu meratap lagi. Hingga akhirnya Yeremia tuntas menunaikan tugas panggilannya, semua itu karena dia selalu kembali pada Allah dan mengingat janji-Nya (Yer 32:17).

Kisah kesepian yang aku, mungkin juga kamu alami pastilah berbeda dengan jenis kesepian nabi Yeremia karena dimusuhi oleh seisi bangsa. Tetapi, kita bisa meraih banyak pelajaran dari perjalanan Yeremia. Betul, dia merasa kesepian, tetapi dia tidak pernah kehilangan sosok teman sejati, yakni Allah sendiri. Yeremia mampu, hidup, bertahan, dan bertumbuh karena Allah hadir bersamanya. Dalam Yeremia 15:19 terselip pesan bagi setiap kita yang merasa kesepian, tidak berguna, atau surut imannya, sebab di sana Allah sedang memberi tahu Yeremia untuk kembali pada-Nya karena Dialah yang akan memulihkan sukacita keselamatannya.

Kesepian memang tidak terelakkan karena kejatuhan manusia dalam dosa menghancurkan persekutuan kita dengan Allah. Namun, kabar baiknya adalah Allah tidak membiarkan keterpisahan itu. Dia hadir dalam rupa Kristus untuk memulihkan kembali relasi yang hilang dengan anak-anak-Nya.

Selagi kita masih hidup dalam tubuh fana ini, kita tak bisa seratus persen tak pernah merasa sepi. Namun, janji dan kebenaran firman Tuhan menguatkan kita dan memampukan kita untuk menghidupi hari-hari yang sepi dengan cara-cara kreatif. Bukan dalam kemurungan dan semakin mengisolasi diri, tetapi dengan semangat baru bahwa kita disertai Allah dan ke dalam dunia inilah kita diutus (Yoh 17:18).

Sepanjang tahun ini aku telah belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa sepiku, sebab kutahu dalam hidup manusia di dunia, kesepian adalah buah dari kejatuhan manusia yang tetap harus kita tanggung dan dalam upaya kita menanggung itu, ada jaminan bahwa Allah senantiasa melindungi kita (Yoh 17:15). Namun, ini tidak berarti kita membiarkan diri saja dalam kesepian. Sebagai ciptaan yang dikarunia hikmat, kita bisa mengubah kesepian ataupun perasaan negatif lainnya menjadi tindakan-tindakan aktif yang bisa mendatangkan hasil positif baik bagi diri kita sendiri, maupun lingkungan di sekitar kita.

Ketika rasa kesepian itu datang, aku menuliskannya dalam jurnal doaku dan mencari cara-cara kreatif untuk melalui hari-hariku setelahnya. Aku mulai bergabung dengan komunitas gereja lokal dekat tempat kerjaku, menginisiasi akun YouTube yang mendokumentasikan perjalanan-perjalanan rutinku, juga mengontak kembali teman-teman lama yang dahulu pernah akrab. Semua cara ini kendati tidak seratus persen mengeyahkan rasa sepi, berhasil menolongku melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda: dalam kesendirianku, aku tidak pernah sendirian.

Apakah Kesepian itu Dosa?

Oleh Neri Morris
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Loneliness A Sin?

Suatu hari aku berangkat kerja. Buku yang baru kuedit di malam sebelumnya muncul di pikiranku, aku berusaha memastikan lagi kalau apa yang kutulis di sana sudah benar secara biblikal. Jadi, kepada dua orang pendeta di ruanganku, aku mengajukan dua pertanyaan:

“Jika Taman Eden itu adalah representasi dari surga-”

“Iya, kah?” pendeta senior balik bertanya.

“Bukankah begitu?” jawabku.

“Apakah Taman Eden itu sungguh nyata?”

“Pertanyaan bagus, tapi mungkin ini lebih baik dijawab di sesi diskusi lain…dan untuk jawaban dari pertanyaan yang terakhir kuajukan, anggap saja Taman Eden itu nyata. Pertanyaanku ialah: jika Taman Eden sungguh nyata dan itu menjadi representasi dari surga, menjadi satu dengan Allah—apakah kesepian akan ada pula di surga karena itu ada di Taman Eden?”

Anak dari pendeta itu ikut menimpali, “Tidak, kesepian itu dosa.”

Aku terkejut, dan kutanya kembali, “Kok bisa?”

“Kesepian datang dari tempat di mana kamu mengalihkan pandanganmu dari Allah. Kamu tidak lagi bersandar pada-Nya,” jawab pendeta senior itu. “Pertanyaan sebenarnya adalah—apakah ada perbedaan antara menjadi sendiri dan merasa kesepian?” tambahnya lagi.

Pertanyaan ini membuatku berpikir.

Aku pernah menulis buku tentang masa lajang, dan di dalamnya aku meluangkan banyak waktu untuk bicara tentang kesepian, mengakui bahwa itu salah satu hal yang sering dialami oleh para lajang.

Tapi pemikiran baru yang menyatakan kesepian adalah dosa sungguh menggangguku. Aku bisa mengerti kenapa anak pendeta itu berkata demikian: apa pun yang menjauhkan kita dari Allah, yang menyebabkan kita meragukan Dia dan mencari kenyamanan di tempat lain, adalah dosa.

Tapi apakah merasa kesepian itu dosa? Atau, apakah dosa itu hanya berkaitan dengan apa yang kita lakukan untuk merespons kesepian itu? Dan, jika tidak baik bagi seorang pria atau wanita untuk sendiri, apakah dosa jika memang mereka memilih untuk hidup sendiri?

Kubukalah tab-tab di Google, dan kuketik, “Apakah kesepian itu dosa?”, dan kudapati kebanyakan artikel mengatakan kesepian bukanlah dosa. Aku sependapat dengan itu. Kesepian sejatinya adalah perasaan yang punya daya yang kuat. Kesepian adalah emosi yang bisa mendorong kita untuk mengambil aksi secara fisik. Kesepian itu tidak nyaman, menyakitkan, yang membuat kita melakukan sesuatu. Kupikir apa yang kita lakukanlah yang akan jadi titik penentunya.

Jika kesepian muncul dan menyelubungiku, aku punya banyak tempat untuk kupergi. Aku bisa pergi ke kafe, bioskop, rumah teman, nonton TV, dan sederet tempat lainnya. Di tempat-tempat itu aku akan menemukan sesuatu, seseorang, atau hal-hal lainnya yang bisa meringankan rasa sakit dari kesepian, dan untuk sementara waktu, aku tidak akan merasa sendirian.

Ada satu kata yang menjadi akar: sendirian.

Apakah kesepian dan menjadi sendiri itu dua hal berbeda?

Yesus sering memilih untuk sendiri. Dalam Matius 26:36-44, di malam sebelum penyaliban-Nya, Yesus pergi sendirian untuk berdoa, memohon pada Allah agar “kiranya cawan ini lalu daripada-Ku”. Ada pula momen-momen lain yang tertulis di Alkitab bahwa Yesus pergi untuk menyendiri, mencari pertolongan dan ketenangan dalam waktu-waktu teduh bersama Allah.

Tapi, apakah Yesus pernah merasa kesepian?

Mungkin tidak pada saat Dia melayani, tapi aku pikir satu momen ketika Dia merasakan pedihnya kesepian adalah ketika Dia tergantung di kayu salib, Allah memalingkan wajah-Nya. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru (Matius 27:45-46). Namun, meskipun dilanda kesepian hebat, Yesus tetap memenuhi kehendak Bapa.

“Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru. Di momen ini kita melihat Allah meninggalkan Yesus supaya kita tidak pernah lagi mengalami bagaimana pedihnya terpisah dari Allah.

Tapi sekarang, kita masih saja merasa kesepian.

Aku tinggal sendirian. Hari-hariku menyenangkan, tapi ada malam-malam ketika aku pulang setelah hari yang melelahkan dan aku hanya ingin ada seseorang duduk di sebelahku dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Hidup sendirian berarti aku tidak mungkin pulang ke rumah dan mendapati ada seseorang yang akan memperlakukanku demikian ketika aku membutuhkan penguatan.

Apa yang kulakukan dengan kesepianku di momen-momen seperti itu?

Jawabanku, apa yang kulakukan akan menentukan apakah kesepian itu dosa atau tidak.

Jika kamu memikirkan tentang kesepian, itu adalah perasaan yang sama dengan perasaan lainnya yang juga kita rasakan. Contohnya, “Apa yang aku lakukan dengan marah/cemburu/frustrasi/sedih/penolakan di saat perasaan itu terasa sungguh menusuk?” Bagaimana kamu menjawab pertanyaan itu akan menentukan apakah hasilnya dosa atau tidak.

Merasa marah pada dasarnya tidaklah buruk, Allah menunjukkan kemarahan-Nya dalam Alkitab pada beberapa momen. Marah versi Allah adalah marah yang benar, dan Dia pun menciptakan kita untuk dapat merasakan marah. Allah mengizinkan kita untuk merasa marah, sebagaimana Dia juga mengizinkan kita untuk merasakan kasih.

Intinya adalah, emosi apa pun yang kita rasakan dapat mendorong kita kepada Kristus, yang telah berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita (Ulangan 31:6, Ibrani 13:5). Apa yang kita lakukan dalam merespons emosi itulah yang menentukan apakah itu akan menjadi dosa atau tidak.

Ketika aku merasakan sejumput kesepian, aku melakukan sesuatu yang kusuka. Aku pergi ke teman-temanku atau menikmati alam. Opsi pergi ke alam menolongku terhubung dengan Allah dan mengingatkanku akan kebaikan dan kebesaran-Nya, bahwa aku tidak pernah sendirian. Allah hadir dalam rupa Roh, tapi juga dalam keindahan-keindahan yang Dia izinkan mengelilingiku.

Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk merespons perasaan kesepianmu?


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Sulit Tidur Mengingatkanku akan Kesetiaan Tuhan

3 minggu berkutat dengan insomnia membuatku bergumul. Aku baru bisa tidur pulas sekitar jam 3 atau 5 subuh meskipun aku sudah mendengar musik, membaca, atau melupakan kepenatan sepanjang hari yang kualami.

5 Hal yang Kupelajari dari Yesus Ketika Dia Ditinggalkan

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Kebanyakan orang tidak suka dengan kesendirian. Apalagi di masa-masa pembatasan sosial seperti sekarang ini, banyak dari kita membatasi aktivitas di rumah saja, bergumul dengan hidup kita masing-masing, dan mungkin relasi kita dengan kawan yang tadinya karib menjadi renggang. Itulah kesan yang aku alami. Ketiadaan pertemuan dan kesibukan di masa pandemi membuatku merasa kesepian.

Tidak boleh pergi berkerumun, dan aku pun sempat harus melakukan pekerjaan dari rumah saja. Biasanya aku melakukan koordinasi di luar kota selama tiga bulan sekali, dan mengikuti beberapa retret untuk penyegaran rohani namun selama tujuh bulan sudah semua itu tidak bisa terlaksana. Aku merindukan persekutuan dengan saudara-saudara seiman di mana kami dapat beribadah bersama-sama. Semua temanku mulai sibuk untuk mengadaptasikan diri dengan ritme baru, yakni bekerja di rumah saja. Kami menjadi jarang untuk berkomunikasi. Lantas aku pun bergumul dengan rasa bosan dan kesepian.

Pada suatu malam ketika aku berada di puncak kesepian, aku membaca salah satu bagian di Alkitab. Aku menemukan fakta bahwa Yesus pernah merasa ditinggalkan. Lebih tepatnya, Dia tahu bahwa Dirinya akan ditinggalkan.

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaian masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:32-33).

Perkataan Yesus ketika menjelang waktu penyaliban-Nya ini memberi penghiburan bagiku. Bagaimana Dia menjalani semua hukuman yang ditimpakan kepada-Nya, sendirian. Yesus sadar bahwa Dia akan ditinggalkan, fakta ini mengingatkanku pada situasi yang aku alami yang kesepian meski tidak dengan sengaja ‘ditinggalkan’ hanya terpisah karena keadaan.

Berikut 5 hal yang aku pelajari dari Yesus ketika Dia ditinggalkan:

1. Yesus tahu bahwa Dia akan ditinggalkan

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu dicerai-beraikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri” (Yohanes 16:32).

Yesus mengetahui bahwa murid-murid-Nya akan meninggalkan Dia. Yesus akan mengalami kesendirian. Tetapi, kendati Dia tahu bahwa murid-murid-Nya akan berlaku tidak setia terhadapnya, Dia tetap memilih berada bersama dengan mereka. Fakta ini sungguh menyentuhku. Betapa besar kasih Yesus terhadap para murid.

Dari hal ini, kita dapat belajar untuk mengasihi seseorang dengan tulus, meskipun mereka mungkin akan mengecewakan kita.

2. Yesus tahu bahwa meskipun Dia sendirian, Bapa menyertai-Nya

“Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku” (Yohanes 16:32b).

Kendati Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya akan meninggalkan Dia, tetapi Yesus sadar bahwa Allah Bapa tidak akan pernah meninggalkan-Nya seorang diri.

Yesus tahu siapa diri-Nya, bahwa Dia disertai Bapa. Penyertaan Bapalah yang membuat Kristus menghadapi masa-masa kelam-Nya. Yesus tidak mendasari keyakinan-Nya pada situasi atau keadaan, melainkan kepada kebenaran akan Bapa yang tak pernah meninggalkan-Nya.

Apa pun yang terjadi pada kita, mari kita terus mengingat hal ini:Bapa selalu menyertai kita.

3. Damai sejahtera hanya di dalam Yesus

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku” (Yohanes 16:33a).

Meskipun Yesus menghadapi kondisi kesepian dan ditinggalkan, tetapi Dia tetap menjanjikan bahwa di balik segala penderitaan itu tersedia damai sejahtera. Konsep dunia mungkin mengajarkan kita bahwa damai sejahtera hanya dapat diperoleh dalam keadaan yang baik dan menyenangkan saja, tetapi Kristus menawarkan damai sejahtera yang berbeda dari dunia. Suatu damai yang tak bergantung pada keadaan, suatu kedamaian yang memberi penghiburan bahkan di tengah penderitaan. Kita tidak bisa memperoleh kedamaian tersebut di luar Kristus (Yohanes 14:7).

4. Tidak menyangkal akan adanya penderitaan

“Dalam dunia kamu menderita penganiayaan…” Inilah hal yang unik dari mengikuti Yesus, tidak seperti ketika politikus menawarkan banyak janji ketika kita mendukung partainya, Yesus justru memberitahukan risiko ketika kita mengikut Dia: penderitaan (Matius 10:22).

Mungkin kita tidak tahu alasan di balik penderitaan yang kita alami. Mungkin kita menganggap Tuhan seolah tidak peduli, tetapi Dia sungguh peduli akan penderitaan kita hingga Dia memberi diri-Nya mengalami penderitaan di kayu salib agar kita mendapatkan pengampunan dan pemulihan.

Ketika kita merasa ditinggalkan, ingatlah bahwa Yesus juga pernah mengalaminya. Yesus telah menanggung hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada kita, hal ini menjadi penghiburan bagi setiap kita yang saat ini mengalami penderitaan.

5. Memilih untuk tetap taat

“…tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33b).

Ketaatan Yesus di kayu salib membuat Dia menang atas dunia ini. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati menyatakan bahwa Dia tidak berada di bawah kuasa dunia. Hal inilah yang membuat kita yakin untuk mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.

Dalam ketaatan-Nya bukan berarti Yesus tidak sedih sama sekali, pada kitab Injil yang lain setelah Yesus berkata demikian kepada para murid, Dia pergi untuk berdoa di taman Getsemani. “Hati-Ku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Matius 26:38). Yesus yang adalah Tuhan, mau mengakui kesedihan-Nya. Maka, penting bagi kita untuk tidak berpura-pura baik-baik saja. Mengakui kesedihan adalah merupakan proses ketaatan.

Lukas 22:44 lebih memperjelas rasa takut yang Yesus alami “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” Kita tahu, akhir dari kisah ini. Yesus taat hingga mati di kayu salib. Selain mau mengakui perasaan yang kita alami, kita juga perlu terus berdoa kepada Allah karena dari sanalah kita memperoleh kekuatan untuk taat.

Setelah menyadari kelima hal tersebut, aku menjadi dikuatkan untuk menjalani masa-masa kesepian karena bekerja dari rumah sendirian. Aku berdamai dengan keadaan meski Tuhan tidak mengubah situasi di sekitarku, tetapi Dia telah mengubah hatiku sehingga mampu melewatinya.

Semoga kelima hal yang kita pelajari tentang Yesus melalui penggalan ayat Alkitab di atas dapat memampukan kita menghadapi perasaan ketika ditinggalkan. Tidak ada pribadi yang dapat mengerti perasaan ini selain Yesus. Mari kita terus berpegang kepada setiap janji-Nya.

Tuhan Yesus berserta!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

4 Kebohongan yang Harus Dipatahkan Saat Kamu Merasa Kesepian

Pindah ke luar kota untuk studi atau bekerja, membiasakan diri kembali setelah putus dari pacar, beradu pendapat dengan anggota keluarga sendiri, atau karena alasan-alasan lain yang kita sendiri pun bingung—kita semua pernah merasakan kesepian.

Perasaan kesepian bisa hadir selama berhari-hari atau berminggu-minggu, dan dengan mudah kita pun jadi kecewa dan kesal. Selama masa-masa tersebut, kebohongan yang kita ketahui tentang kesepian bisa melumpuhkan kita, dan seringkali membuat kita semakin sulit dijangkau. Kita semakin larut dalam kesepian kita sendiri tanpa menyadari bahwa ada jalan keluar dari permasalahan kita.

Inilah beberapa kebohongan yang bisa kita patahkan:

Yesus Kawan yang Sejati bagi Kita yang Lemah

Oleh Riski Winner Lorenzo

Jarum jam terus berputar dan berdetak keras. Pandanganku gelap gulita. Malam yang sunyi sepi, pukul dua dini hari, dengan pikiran yang masih berkecamuk. Aku khawatir pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu kukhawatirkan. Pikiran-pikiran itu berhasil membuat tubuhku menjadi lelah, dan tubuh yang lelah juga berhasil mengundang sakit penyakit untuk datang. Kedatangan penyakit itu semakin menambah kekhawatiranku.

Ingin sekali aku menceritakan bebanku kepada orang-orang yang selama ini menjadi alat Tuhan untuk menolongku bertumbuh. Namun, sulit sekali rasanya bercerita karena untuk menyapa sahabat-sahabatku saja, aku merasa khawatir. Aku kesepian dan membutuhkan sahabat-sahabatku untuk mendengarkan ceritaku, namun pikiranku menahanku dan membuatku terjaga sepanjang malam.

Apakah kamu pernah mengalami kondisi seperti itu? Aku pernah mengalaminya.

Akhir-akhir ini aku sangat menikmati lagu himne berjudul “Yesus Kawan yang Sejati”. Ketika aku mendengar lagu ini sambil memejamkan mata, sepenggal liriknya membuat mataku terbuka dan bibirku tersenyum sambil mengingat masa-masa kekhawatiran yang kuceritakan di atas. Liriknya berkata:

“Yesus kawan yang setia, tidak ada tara-Nya. Ia tahu kelemahanmu; naikkan doa pada-Nya!”

Yesus kawan yang setia, tidak ada tara-Nya

Saat kita berpikir bahwa kesepian kita adalah kesepian yang paling berat di dunia, kita mungkin lupa bahwa Yesus juga pernah mengalami kesepian luar biasa dalam hidup-Nya. Saat Yesus berdoa di taman Getsemani, Ia menyatakan kesedihan-Nya kepada murid-murid-Nya dan meminta mereka untuk berjaga-jaga dengan Dia. Namun, para murid malah tertidur dan tidak mengindahkan isi hati Yesus (Matius 26:36-46). Saat Yesus ditangkap, murid-murid-Nya kabur meninggalkan Dia dan melarikan diri (Matius 26:-47-56). Saat Yesus terpaku di kayu salib, Ia bahkan sampai berkata “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). Yesus harus mengalami kesepian yang paling menyakitkan dan merasakan ditinggalkan oleh Bapa-Nya sendiri. Kitalah yang seharusnya ditinggalkan dan juga yang seharusnya mengatakan perkataan itu, namun Yesus yang malahan mengalami hal tersebut untuk kita.

Tidak ada satu pun manusia yang mampu mengerti betapa dalamnya kesepian yang dialami oleh Yesus. Jika dibandingkan dengan kesepian yang kita alami, rasanya tidak akan sanggup untuk kita mengatakan kesepian kita ini terlalu berat ketika kita melihat pada apa yang dialami oleh Yesus. Namun, sekalipun Yesus mengalami kesepian ‘kekal’ tersebut, Ia mengalaminya demi kita untuk tidak mengalami kesepian ‘kekal’ itu. Yesus mengalami ini semua sebagai bukti kasih-Nya yaitu dengan memberikan nyawa-Nya untuk sahabat-sahabat-Nya (Yohanes 15:13). Saat kita merasa tidak ada seorang pun yang menetap di dalam hidup kita, ada Yesus, Sang Sahabat Sejati, yang tidak akan pernah meninggalkan kita dan Ia bahkan mengerti bagaimana rasanya ada dalam kesepian. Ia tidak hanya mengerti kesepian kita, namun Ia juga mengalahkannya.

Ia tahu kelemahanmu; naikkan doa pada-Nya!

Saat kita berpikir bahwa pikiran kita yang berlebihan ini sulit untuk dikalahkan karena terlalu banyak kekhawatiran di dalamnya, kita mungkin lupa bahwa Yesus juga pernah mengalami hal itu. Kita mungkin berpikir bahwa begitu mudah untuk Yesus mengatakan, “jangan khawatir tentang hari esok” (Matius 6:34) tapi mungkin kita lupa bahwa Yesus adalah Allah sejati dan juga manusia sejati. Yesus tahu diri-Nya akan dihukum mati, dan pastinya, Ia tahu bahwa jalan menuju kematian-Nya itu penuh dengan siksaan yang mengerikan. Ia tahu siksaan fisik yang akan diterima-Nya, ketidaksetiaan murid-murid-Nya, bahkan harus mengalami kesepian ‘kekal’ tersebut di kayu salib. Yesus mengalami rasa gentar yang luar biasa bahkan sampai berkeringat darah (Lukas 22:44), namun Yesus tetap menghadapi-Nya sekalipun Ia tahu segala sesuatu yang akan Ia alami.

Setiap manusia pasti akan merasakan ketakutan yang luar biasa ketika ia mengetahui hal buruk akan menimpanya. Yesus turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya saja Ia tidak berbuat dosa seperti kita (Ibrani 4:15). Kristus pernah mengalami hal-hal yang lebih mengerikan, Ia mengalami pergumulan-pergumulan yang juga kita lalui. Ia mengerti setiap kelemahan kita, namun Ia juga telah mengalahkannya. Ia berdiri bersama kita bahkan saat kita harus melewati kesulitan-kesulitan dan titik-titik terendah dalam hidup kita.

Jika kita mulai mengalami pikiran yang berlebihan dan mulai merasakan kesepian yang mencekam, ingatlah kebenaran ini: Yesus Kristus adalah Raja Damai yang sanggup memberikan ketenangan pada pikiran kita yang penuh rasa cemas ini. Yesus Kristus juga adalah Sahabat Sejati yang selalu menetap di dalam hidup kita saat sahabat-sahabat kita di dunia ini tidak menetap bersama kita. Ia tidak akan membiarkan kita kehilangan harapan saat kita datang, berserah, dan berpegang teguh kepada-Nya.

Yesus kawan yang sejati bagi kita yang lemah.
Tiap hal boleh dibawa dalam doa pada-Nya.
O, betapa kita susah dan percuma berlelah,
Bila kurang pasrah diri dalam doa pada-Nya.
Jika oleh pencobaan kacau-balau hidupmu,
jangan kau berputus asa; pada Tuhan berseru!
Yesus Kawan yang setia, tidak ada tara-Nya.
Ia tahu kelemahanmu; naikkan doa pada-Nya!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Suka dan Luka Mengenal Diri Sendiri

Terluka secara emosi bukanlah proses yang menyenangkan, tetapi lewat cara inilah Tuhan membentuk dan menyingkapkan hal-hal baru tentang diriku sendiri.

4 Kebohongan yang Harus Dipatahkan Saat Kamu Merasa Kesepian

Karya seni ini dibuat oleh YMI.Today

Pindah ke luar kota untuk studi atau bekerja, membiasakan diri kembali setelah putus dari pacar, beradu pendapat dengan anggota keluarga sendiri, atau karena alasan-alasan lain yang kita sendiri pun bingung—kita semua pernah merasakan kesepian.

Perasaan kesepian bisa hadir selama berhari-hari atau berminggu-minggu, dan dengan mudah kita pun jadi kecewa dan kesal. Selama masa-masa tersebut, kebohongan yang kita ketahui tentang kesepian bisa melumpuhkan kita, dan seringkali membuat kita semakin sulit dijangkau. Kita semakin larut dalam kesepian kita sendiri tanpa menyadari bahwa ada jalan keluar dari permasalahan kita.

Inilah beberapa kebohongan yang bisa kita patahkan:

Kebohongan #1: Tidak ada gunanya menghubungi orang lain

Teman kita tak pernah membalas chat atau mengangkat telepon kita. Agenda ngopi bersama selalu batal dan batal. Apakah kita melakukan sesuatu yang membuat mereka kecewa? Haruskah kita berhenti menghubungi mereka? Seringkali, sikap menghindar atau apatis dari teman-teman kita bukanlah buah dari kesalahan kita sendiri.

Kita bisa mencoba lebih lugas dan dengan jujur bicara mengapa kita ingin tetap terhubung dengan mereka. Kita juga bisa berdoa agar Tuhan memimpin kita untuk berjumpa orang baru—meskipun kita mungkin tidak kenal dekat dengan orang tersebut.

Tuhan tahu kita semua mengalami masa-masa ketika kita sungguh butuh pertolongan orang lain (Galatia 6:2). Kita tak perlu merasa malu untuk menghubungi orang lain, karena dengan melakukannya, kita menghidupi rancangan Allah dalam hidup berkomunitas.

Kebohongan #2: Kamu berbeda, tidak cocok dengan mereka!

Rasanya sungguh tak nyaman ketika orang-orang di gereja bersikap seolah mereka ada di tempat yang berbeda. Kita mungkin bertemu dengan para mahasiswa, atau kelompok orang-orang yang sudah menikah. Lalu, kita mendapati sepertinya kita sangat sulit untuk ‘nyambung’ dengan mereka.

Berada dalam situasi seperti itu bisa membuat kita tawar hati, tapi Paulus mengingatkan bahwa sebagai anggota tubuh Kristus (1 Korintus 12:17), tahapan kehidupan yang berbeda yang kita jalani bisa memperlengkapi kita. Mungkin kita tidak nyambung dengan satu kelompok tertentu karena berbeda pengalaman, tapi kita tentu bisa menjadi berkat bagi kelompok lain. Pernahkah kamu mencari waktu untuk mengenal siapa seorang janda senior di gerejamu? Atau mengajak makan siang seorang mahasiswa yang super rajin sampai punya sedikit teman?

Seiring kita menginvestasikan waktu kita, kita juga bisa mendapati teman-teman baru dan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang tengah menjalani fase kehidupan yang sama dengan kita. Atau, bisa juga menjadi relawan di kegiatan yang kita bersemangat menjalaninya.

Kebohongan #3: Tidak ada yang mengerti pergumulanmu.

Tantangan yang kita hadapi bisa membuat kita merasa sendirian. Mungkin kita sedang menghadapi pencobaan yang rasanya mudah dihadapi oleh orang Kristen lainnya, putus dari pacar membuat kita menjadi getir terhadap relasi, atau kita bergumul dengan beban kerja yang terlalu banyak dan rekan sekerja kita tidak peduli.

Meskipun orang lain mungkin tak mengalami tantangan yang sama persis dengan kita, tetapi mereka bisa bersimpati dengan apa yang kita hadapi. Tuhan dapat memakai orang-orang seperti ini untuk menolong dan menguatkan kita.

Paulus juga mengingatkan kita bahwa saat kita menerima penghiburan dari Tuhan, kita pun “dimampukan untuk menghibur orang lain” (2 Korintus 1:4). Kesusahan yang kita alami akan memperlengkapi kita untuk suatu hari kelak kita menghibur orang lain yang juga mengalami pergumulan serupa.

Kebohongan #4: Bahkan Tuhan pun meninggalkanmu

Di masa yang amat sulit dan sendiri, amat mungkin jika kita merasa Tuhan tak mendengar seruan kita. Atau, jikalau pun Dia mendengar, Dia tidak menjawab.

Tapi, itu bukanlah kebenarannya. Kita tahu bahwa Kristus pernah amat menderita dan kesakitan (Yesaya 53:3). Kita dapat meraih penghiburan dengan mengetahui bahwa Yesus pun mengalami kesepian yang kita hadapi. Yesus tahu kesulitan dan tantangan kita, di saat orang lain tak mampu memahaminya.

Kita juga dapat mengingatkan diri kita bahwa tidak ada satu hal pun yang mampu memisahkan kita dari kasih Tuhan (Roma 8:38-39). Meskipun kesepian yang kita alami membuat kita tak berdaya, ingatlah Dia berjalan bersama kita. Bagaimana caranya kita menyadari penghiburan dan penyertaan-Nya?

Marilah kita mengakui bahwa kesepian itu memang sulit. Kita bisa meratap, tapi janganlah percaya kepada kebohongan-kebohongan yang kesepian coba berikan pada kita. Kendati langit di atas kita kelabu, ingatlah untuk terus berjuang dan berpegang pada kebenaran!

Menang Mengatasi Kesepian

Oleh Riski Winner Lorenzo, Jakarta

Aku bersyukur Tuhan membawaku menikmati kampus yang dipakai-Nya untuk menolongku bertumbuh dan aku percaya tidak ada satu pun yang kebetulan di muka bumi ini. Aku bersyukur Tuhan memberikan anggota tubuh Kristus yang giat menjangkau, bahkan menjangkauku sejak SMA. Aku bertemu dengan komunitas yang sangat menolongku. Aku dikelilingi oleh kakak-kakak rohani yang membimbingku agar setiap harinya aku berjuang untuk hidup kudus dan menjadi bagian dalam anggota tubuh Kristus yang menolong dan menguatkan satu dengan yang lain.

Namun, sesuatu yang berbeda terjadi ketika aku menapaki kehidupan perkuliahanku. Aku bertemu dengan banyak wajah baru dari berbagai latar belakang dan ideologi yang berbeda. Awalnya, aku merasa asyik karena lingkungan baru yang beragam ini memperkaya cara pandangku akan orang-orang di sekelilingku. Namun lama kelamaan, semua terasa asing dan mereka mulai menawariku untuk memiliki cara hidup yang melupakan Tuhan dan meninggalkan kekudusan. Tawaran tersebut semakin kuat, sehingga aku merasa ada di garis yang membatasi kedua pilihan yang kualami saat itu. Tawaran-tawaran yang membuatku harus menghancurkan keimananku seperti merokok, minum-minum, dan lainnya.

Aku ketakutan dan dilema sejadi-jadinya. Aku sangat membutuhkan anggota tubuh Kristus lain untuk menolongku di saat-saat ini, seperti yang mereka telah lakukan untukku di masa-masa sebelumnya. Aku membutuhkan saudara-saudara rohaniku yang lain yang selalu bersamaku di saat aku merasa terpuruk dan bergumul atas kehidupanku, tapi mereka semua menghilang. Dunia kampus membuat kami melupakan satu dengan yang lainnya sepertinya. Mereka memiliki kesibukan sendiri dan aku merasa tidak enak untuk menghubungi mereka duluan. Aku merasa pergumulanku terlalu remeh di hadapan mereka.

Semua perasaan berkumpul jadi satu: keinginan untuk ditolong namun aku ketakutan untuk meminta tolong. Keseharianku saat itu dipenuhi perasaan tertekan karena aku merasa tidak memiliki seorang pun yang bersama denganku. Aku menjadi sangat takut dan perasaan campur aduk ini membuatku semakin terjatuh pada kecemasan akan hal-hal yang seharusnya tidak perlu aku khawatirkan. Aku sangat kesepian bahkan sekalipun aku tahu aku memiliki keluarga, tetapi kedengarannya mereka bahkan tidak bisa mengerti aku.

Tetapi karena kasih karunia Tuhan yang berlimpah-limpah, pada hari Minggu saat aku bergereja, Tuhan menjawab semuanya. Ada satu lagu yang Tuhan pakai untuk menyentuhku yang berjudul ‘Yesus Kekuatan’. Di dalam lagu tersebut sepenggal liriknya menyatakan, “Kau yang pedulikan seluruh hidupku, walau lewati lembah aku tak ditinggalkan, Yesus kekuatan di hidupku.”

Aku menangis sejadi-jadinya saat menyanyikan lagu ini. Bahkan saat tidak ada seorang pun bersama denganku, aku lupa kalau aku punya Yesus, Sahabat yang sejati. Aku bahkan diingatkan, bukankah Yesus Kristus bahkan mengalami kesepian yang lebih parah jika dibandingkan dengan apa yang aku alami? Bukankah Dia bahkan ditinggalkan oleh murid-murid-Nya sepanjang jalan salib-Nya? Bukankah Kristus adalah Gembala yang sejati yang selalu besertaku sekalipun aku berada di lembah kekelaman (Mazmur 23:4)? Bagaimana bisa aku lupa akan hal ini? Tuhan menjawab segalanya tepat pada waktu-Nya dan aku tahu Tuhan bahkan memakai tetesan air mata untuk mengajariku memandang kepada-Nya.

Aku belajar bahwa Yesus Kristus bukan hanya selalu ada buatku dan mengerti kondisiku, namun Yesus Kristus bahkan sudah mengalahkan sesuatu yang kita sebut sebagai ‘kesepian’ lewat karya-Nya di kayu salib. Dia memberikan diri-Nya untuk menanggung dosa-dosa kita sehingga kita tidak mengalami ‘kesepian’ kekal. Bukankah hal ini, keindahan Kristus ini yang seharusnya kuingat? Kenapa aku bisa lupa?

Aku sangat belajar kalau relasiku tidak akan pernah membuatku puas, hanya Kristus yang sanggup. Sebaik apapun orang lain berusaha untuk mengerti aku, tidak akan ada yang seperti Yesus. Di saat aku berada pada titik hidup yang paling rendah, di saat semua orang meninggalkanku, hanya satu yang menetap yaitu Yesus Kristus.

Tuhan benar-benar menolongku mengatasi perasaanku. Lewat setiap firman-Nya yang hidup, Dia hadir menjawab pergumulanku. Bahkan lewat lagu, Dia juga berbicara. Dia menunjukkan betapa rapuhnya aku dan hanya Dia yang selalu ada di sana.

Sekarang aku terus menerus belajar untuk memandang pada Kristus. Terkadang perasaan kesepian itu bisa saja muncul, tapi Kristus selalu menang atas setiap kesepian yang datang kepadaku itu. Aku sadar saudara-saudara seimanku adalah orang-orang yang terbatas dan tidak bisa selalu bersama denganku, namun Kristus tidak terbatas dan Dia selalu ada di sana. Bahkan dari pergumulan ini, aku juga belajar untuk menceritakannya pada saudara seiman lain. Aku belajar untuk terbuka dan membuka diri untuk ditolong. Aku juga belajar untuk memberikan diriku dengan mengusahakan segala cara agar bisa menolong anggota tubuh Kristus lain yang saat ini mungkin sedang mengalami pergumulan. Aku belajar untuk mendengarkan mereka dan berdoa dengan mereka. Ini semua hanya karena Allah, yang mengambil rupa manusia, menjadi Sahabat untuk kita.

“Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:1-4 TB).

Baca Juga:

Mengupas Mitos Femininitas

Sebagai wanita, dari kecil kita akrab dengan teguran “Anak perempuan nggak boleh…” lalu beranjak remaja, “Eh kamu sudah gadis, nggak boleh….” Kita hidup dalam sebuah konstruksi realitas, apapun gender dan jenis kelamin kita