Posts

Beriman di Padang yang Gersang

Oleh Charisto*

Membuat perencanaan dalam hidup ini adalah hal yang baik dan memampukan kita memahami pola-pola proses hidup untuk kita hadapi. Namun, itu bukan berarti semua perencanaan yang kita buat selalu berhasil dan apa yang kita sudah pandang baik, sesuai dengan kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan rencanakan selalu lebih sempurna, tak terselami, dan tidak akan pernah mampu kita takarkan dengan pengertian kita sendiri.

Jika ditengok kebelakang, sejak kecil, mungkin saat di bangku SD, aku mulai suka membuat perencanaan, baik itu tertulis ataupun tersirat dalam pikiran. Perencanaan-perencanaan yang aku buat mulai dari hal sederhana seperti kegiatan harian yang aku lakukan dan perencanaan ketika dewasa nanti mau menjadi seperti apa. Waktu itu semua tampak mudah dan jelas untuk dilakukan. Namun, waktu juga berjalan begitu cepat. Setelah melewati up and down, aku dihadapkan dengan kenyataan yang harus kuterima sekarang yaitu apa yang aku rencanakan sejak kecil telah gagal.

Sejak dulu aku merencanakan bisa memiliki usaha multidimensi dan menjadi komikus agar bisa menjadi berkat bagi sesama, tetapi rencana yang kubuat kurang realistis. Secara kapasitas, kemampuan, dan dana pun belum memadai, ditambah lagi aku terlilit utang karena kesalahan perhitungan. Semua ini bertumpuk membuatku jatuh dalam depresi dan berat sekali untuk memulai hidup untuk ke depannya.

Dalam masa-masa kelamku itu, aku mengingat kisah Yusuf dalam Alkitab. Mungkin pun pernah mengalami seperti Yusuf, ketika impian jauh berbeda dengan kenyataan. Yusuf mendapat mimpi akan seperti apa dia kelak, tetapi kenyataan yang terjadi bukan seperti dalam mimpinya. Yusuf justru mengalami berbagai pencobaan yang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dia mimpikan. Walaupun pada akhirnya kita tahu mimpi Yusuf tergenapi, tetapi saat-saat menghadapi pencobaan Yusuf mungkin bergumul sedemikian rupa beratnya, hanya saja perasaan yang Yusuf alami tidak dapat kita ketahui karena tidak tercatat dalam Alkitab.

Berat rasanya menjalani konsekuensi dari kegagalan yang kita alami, tetapi mari kita pandang Tuhan dari kisah Yusuf. Meskipun Yusuf harus dibuang saudaranya, dijual sebagai budak, dipenjara, dikhianati, bahkan difitnah, imannya justru menjadi kuat dan teruji ketika dia berjalan dan terus memegang teguh Tuhan dalam setiap masa yang dia lewati (Kejadian 37). Masa-masa sulit yang Yusuf jalani dengan setia mengantarnya menjadi orang yang memiliki kuasa di Mesir. Namun, bukan di sini akhir ceritanya. Yusuf dengan posisinya sebagai orang kepercayaan Firaun bisa saja membalaskan dendam atas kejahatan saudara-saudaranya, tetapi dia tidak melakukannya. Yusuf justru memberikan pengampunan dan memuliakan Allah (Kejadian 50).

Bila kita masuk dalam situasi sulit seperti Yusuf, mungkin ada di antara kita yang imannya malah hancur karena terpuruk dalam keadaan. Atau mungkin juga ketika keadaan baik-baik saja malah iman kita tidak bertumbuh karena merasa nyaman. Aku mendapati bahwa pertumbuhan iman tidak bergantung pada perencanaan kita, pada kegagalan atau keberhasilan perencanaan kita, tetapi kepada siapa kita beriman… dan apakah kita tetap memelihara iman kita kepada Tuhan itulah yang terpenting.

Beriman kepada Tuhan juga tidak menjamin kondisi kita terpulihkan dalam sekejap atau tiba-tiba mengalami mukjizat. Bahkan waktu pun tidak bisa menjadi batasan untuk memastikan  apa yang kita imani tergenapi. Namun, Tuhan adalah Tuhan, Dia alpha dan omega, Dia lebih tahu apa yang terbaik bagi kita dan tidak selamanya kita dibiarkan-Nya dalam keterpurukan.

Jika saat ini kita dalam kegagalan dan terpuruk, tetaplah beriman kepada Tuhan serta terus melekatkan diri dalam persekutuan atau hal-hal yang membangun iman kita. Aku pribadi juga masih terus berusaha memelihara iman sekalipun harus menghadapi konsekuensi dan mengupayakan bangkit dari kegagalan.

Berat dan rasanya mungkin ingin menyerah, tetapi penyertaan Tuhan terhadap Yusuf menjadi tanda bahwa Dia yang setia tidak akan meninggalkan kita. Perlu juga kita sadari pentingnya persekutuan, kelompok tumbuh bersama, dan peran kakak rohani yang menguatkan iman kita di kala kita di padang gersang. Mereka mungkin tidak bisa membantu seperti yang kita harapkan, tetapi dapat membuat kita terarah pada jalan Kristus sehingga kita tidak terperosok dan terkungkung dalam kesesakan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Nenek Lois di Belakang Layar

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang cenderung mudah memberikan sanjungan kepada mereka yang berdiri di atas panggung megah, mengenakan pakaian bagus, dan mendapat sorotan lampu. Namun, sangat sering kita melupakan orang-orang yang berdiri di belakang layar, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga untuk menyiapkan pertunjukan hebat tersebut.

Sebagai contoh, berapa banyak dari kita yang mengenal seorang penemu terkenal dengan segala pencapaiannya, tetapi tidak mengetahui siapa sosok ibu luar biasa yang menjadi kunci kesuksesannya? Setelah dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap kurang pintar oleh pihak sekolah, ibunya mengambil keputusan untuk membaktikan diri mengajari anak laki-lakinya itu. Singkat cerita, hari ini kita semua mengenal Thomas Alva Edison, sang penemu lampu pijar. Namun, bagaimana dengan ibunya?

Bagiku, pujian untuk Edison adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan, tetapi mengabaikan sosok ibu di belakangnya adalah penghinaan terhadap kerja keras dan kesetiaan.

Siapa dari kita yang telah membaca Kitab Suci dan tidak mengenal sosok Timotius? Reputasinya yang baik telah membuat banyak orang memberikan nama itu untuk anak-anak mereka. Dia adalah anak rohani rasul Paulus, sekaligus merupakan penerima pertama dari dua surat (1 dan 2 Timotius) dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita miliki. Bahkan terlepas dari ketidaksempurnaan semua manusia, termasuk Timotius, kurasa dia telah menjadi semacam role model bagi banyak anak muda Kristen. Namun, bagaimana dengan ibu dan neneknya, Eunike dan Lois?

Dalam tulisan ini, aku akan menyoroti Lois dan tidak akan berbicara terlalu banyak mengenai Eunike karena berbagai alasan. Salah satunya, karena aku melihat di lingkunganku, nama Eunike terdengar lebih populer ketimbang nama Lois. Bahkan bertahun-tahun yang lalu, ketika sedang menempuh pendidikan, aku pernah tinggal di sebuah rumah seorang anak kecil bernama Eunike yang mana di desanya itu terdapat banyak orang dengan nama yang sama.

Nama Lois hanya disebut satu kali di dalam Kitab Suci (2 Timotius 1:5). Mungkin ini yang menjadi alasan sebagian orang untuk tidak terlalu banyak membahas sosok ini. Padahal, kita seharusnya tidak lalai memerhatikan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus ketika dia menyebutkan nama wanita tua ini di dalam suratnya itu.

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1:5).

Dalam bagian itu, kita melihat sang rasul memberikan pujian kepada Timotius atas imannya yang tulus ikhlas. Namun, dia juga memberikan catatan tambahan yang tidak kalah pentingnya. Sebenarnya, apa yang dia tambahkan di sana merupakan alasan yang sangat kuat mengapa Timotius bisa menjadi manusia yang berkualitas. Tentu saja, iman dan karakter Timotius tidak jatuh dari langit. Allah bekerja sedemikian rupa menggunakan orang-orang dalam lingkungan Timotius untuk mempersiapkannya menjadi seorang prajurit-Nya.

Keluarga menjadi tempat vital yang akan membentuk seorang manusia. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang “berantakan” tidak mungkin menjadi manusia yang berguna. Apa yang kumaksud adalah pengaruh keluarga benar-benar sangat kuat dalam memengaruhi cara berpikir seseorang. Aku mempunyai seorang teman yang sangat angkuh. Aku sering terheran-heran dengan apa yang tiba-tiba bisa terlontar dari mulutnya. Dia sangat senang merendahkan orang lain, termasuk menghina ras dan tampilan fisik seseorang. Sekarang aku tahu alasannya, ternyata orang tuanya juga begitu. Sekali lagi, tidak semua kasus bisa seperti ini. Kita tahu, ada faktor-faktor lain yang juga dapat mengubah situasi. Namun kamu menangkap poinku, kan?

Timotius adalah produk dari Eunike dan Eunike adalah produk dari Lois. Nenek ini benar-benar sangat mengagumkan. Dia telah membentuk dua generasi yang telah menjadi tiang kokoh gereja mula-mula. Kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan oleh Eunike kepada anaknya, Timotius, adalah apa yang telah dia terima dari ibunya Lois.

Lois bukan hanya berhasil “mewariskan” imannya kepada Eunike, tetapi dia telah menjadikan Eunike seorang ibu sekaligus guru yang ulung. Tanpa bermaksud merendahkan, tetapi bukankah ada beberapa orang berprofesi guru yang tidak berhasil mendidik anaknya sendiri? Namun, Lois mendidik Eunike menjadi seorang pendidik yang menghasilkan pendidik muda baru bernama Timotius. Lois adalah wanita hebat di belakang layar kesuksesan Timotius.

Apresiasi yang diberikan Paulus kepada Lois bukanlah sesuatu yang main-main. Betapa signifikannya ketika dia mengatakan bahwa iman Timotius yang tulus ikhlas itu adalah iman yang pertama-tama hidup dalam diri Lois. Paulus tahu, harga yang telah dibayar oleh seorang Lois untuk mengajari generasi penerusnya. Paulus tahu, “manusia-manusia hebat” tidak dididik dalam satu malam. Diperlukan segunung kesabaran untuk mengajarkan kebenaran kepada orang lain. Dibutuhkan teladan yang bersungguh-sungguh untuk “memperkokoh” ajaran yang kita bagikan. Ingat, pada saat itu kekristenan menjadi hal yang tidak disukai oleh pemerintah Roma yang politeistik, dan di dalam kesulitan itulah Lois bekerja keras melawan arus kencang.

Kerja keras dan kesetiaan Lois seharusnya mengingatkan kita pada apa yang Kristus telah lakukan di atas salib-Nya. Sang Raja yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan Lois, Eunike, Timotius, engkau, dan aku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik (Secara Manusia) Tidak Terjadi

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Sedari bayi, aku telah bolak-balik menemui dokter dan mengunjungi rumah sakit untuk urusan kesehatan. Memang kondisi kesehatanku tak sebaik orang pada umumnya. Aku didiagnosa pneumonia dan asma… dan nyaris mati karena sudah membiru pada usia tiga bulan. Larut malam menjelang subuh, aku dibawa ke klinik mandiri dokter anak dan segera dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang ICU khusus anak.

Seperti yang diketahui, penyakit paru-paru yang diderita tidak dapat sembuh, hanya dapat dikontrol, dan segera harus ditangani jika batuk pilek, karena dapat berakibat fatal. Dari saat itu, aku sering bolak-balik dokter. Rumah sakit, ICU, ruang isolasi, sampai ruang rawat inap seolah menjadi rumah keduaku. Dokterku sebagai orang tua kedua, dan para perawat menjadi teman untuk ngobrol.

Menjelang akhir tahun 2019, aku didiagnosa diabetes oleh dokter penyakit dalamku. Memasuki tahun 2020, seperti yang diketahui, COVID-19 melanda seluruh dunia. Semenjak tahun 2020 sampai menjelang akhir 2023 aku tiga kali kena COVID-19 dan sempat kritis, didiagnosa gangguan irama jantung, dan asma serta pneumonia. Di samping itu, aku sempat kecelakaan motor dan adanya lateral meniscus tear yang sedang dalam tahap evaluasi dan menuju tahap bedah. Sederhananya, aku mengalami cedera pada tulang rawan lutut yang berupa luka atau robek pada area tersebut. Akibatnya, aku kesakitan dan kesulitan bergerak karena lututku bengkak dan kaku.

Omongan sekitar termasuk orang terdekat kerap kali mengatakan kalau kamu beriman pada Tuhan dan memiliki iman biji sesawi, kamu harus beriman bahwa kamu akan dilepaskan dari bedah dan semua diagnosa dokter yang telah berjalan sedari kamu kecil. Kamu tidak perlu rutin berobat ke dokter, kamu tidak perlu minum obat rutin, bahkan kamu tidak perlu bedah atas kecelakaan motor yang dialami. Sudah cukup banyak kesaksian dari orang-orang yang beriman dan mereka sembuh. Jadi kamu tidak perlu lagi berurusan dengan dokter, rumah sakit, obat, dan sederet hal lainnya yang menyangkut dengan medis.

Sebagai manusia, aku cukup down mendengar omongan orang yang masuk. Meskipun aku bisa saja tidak perlu mendengar omongan itu, tetapi omongan itu cukup mendominasi apa yang aku dengar, sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Meskipun aku tidak meminta pendapat mereka, justru mereka datang padaku dan memberi masukkan tentang iman menurut pandangan mereka. Sampai pada titik aku mau meninggalkan semua jalan dan panggilan Tuhan. Sampai pada satu titik, aku mempertanyakan kembali apa itu iman? Apa itu iman? Apakah iman itu meminta Tuhan menjawab keinginan sekaligus kebutuhan manusia? Bukankan iman itu kita sebagai manusia yang harus menyelaraskan keinginan dan mengikuti kehendak agung Tuhan?

Sulit bagiku untuk menemui rekan bertukar pikiran untuk topik mendasar yang filosofis seperti penderitaan, penyakit, dan iman. Aku meminta arahan Tuhan untuk menunjukkan pada siapa aku harus bertemu dan kapan harus menemuinya. Akhirnya aku menemui dosen konseling dan dosen Bahasa Ibrani di tempatku menempuh sekolah Alkitab. Pembahasan cukup panjang dengan sekian kali pertemuan dengan kedua dosenku.

Iman yang Tetap Maju Meskipun Hal Baik Tidak Terjadi

Tanpa janjian, kedua dosenku kembali bertanya padaku, coba sebutkan satu tokoh saja di Alkitab yang hidupnya baik-baik saja dan tidak pernah mengalami pencobaan? Aku terdiam, karena memang tidak ada satu tokoh dalam Alkitab yang hidupnya mulus dan tidak mengalami proses sepanjang hidupnya. Bahkan sebagian lagi prosesnya tidak ada ujungnya sampai yang bersangkutan pun mati. Ditambah dengan banyak kisah pribadi dari kedua dosenku yang diceritakan saat mengalami masa sulit dan proses dari Tuhan, dan sebagian memang tidak terjawab mengapa hal itu terjadi. Kesaksian-kesaksian yang penuh misteri itu menjadi sumber kekuatan bagi aku karena bukan aku satu-satunya yang mengalami ini.

Lalu, apakah iman itu? Iman yang benar adalah iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu (harapan, hal baik, doa) tidak terjadi, aku akan tetap maju dan berada di jalan Tuhan serta di panggilan Tuhan. Aku tidak akan mengumpat pada Tuhan. Dijawab atau tidak itu hak prerogatif Tuhan dan bukan milik kita sebagai manusia ciptaan.

Alkitab menulis tentang iman yang meskipun, walaupun, sekalipun itu terjadi dan kita sebagai umatnya untuk tetap bertahan dan maju.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3: 17-18).

Habakuk mengetahui bahwa keagungan dan kekuasaan Tuhan ini tidak berkurang karena manusia menghadapi cobaan yang sulit. Habakuk mengetahui bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kuat dan perkasa, dan jika kita berada dalam keadaan yang menyedihkan, itu karena kita pantas mendapatkannya.

Aku akan tetap memuji Engkau, dan bahkan bergembira karena Engkau.

Bersukacitalah karena TUHAN. Bersukacitalah karena Allah yang menyelamatkanku.

Dalam keadaan yang sunyi seperti yang baru saja digambarkannya, Habakuk tidak dapat menemukan kegembiraan pada pohon ara, pada tanaman merambat, atau pada ladang atau kawanan domba; namun Tuhan tidak berubah. Dia masih bisa bergembira karena TUHAN tidak berubah.

Habakuk tidak hanya mempraktikkan pemikiran positif dan menolak gagasan tentang pohon ara yang tandus dan kandang ternak yang kosong. Sebaliknya, dia melihat masalah-masalah tersebut sebagaimana adanya dan ingat bahwa Tuhan lebih besar dari semuanya.

Secara sempit dan dalam masa kini, doa Habakuk dapat diambil maknanya bagi kita semua. Pertama, dalam masa kesulitan. Saat seseorang mengalami masa-masa sulit dalam hidup, seperti kehilangan pekerjaan atau penyakit serius, sebagai pengingat untuk tetap mempercayai Tuhan dan menjaga semangat. Mereka bisa berkata, “Walaupun segala sesuatu tampak suram dan penuh penderitaan, aku akan bersukacita dalam Tuhan, karena Dia adalah kekuatanku.” Kedua, dalam proses pembelajaran. Ayat-ayat ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajar orang percaya tentang pentingnya bersyukur dalam segala situasi. Mereka dapat diajarkan untuk melihat berkat-berkat kecil dalam kehidupan mereka dan tetap bersyukur kepada Tuhan, bahkan ketika mereka menghadapi rintangan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Catatan Kebaikan Tuhan di Antara Jayapura dan Jakarta

Oleh Still Ricardo Peea 

Tanggal 15 Agustus lalu, dilakukan pembukaan dan pengutusan satu sekolah baru yang dibuka oleh yayasan yang menaungi pelayananku dan rekan-rekan di pedalaman Papua. Tidak seperti sekolah pada umumnya, sekolah ini dibuka khusus untuk siswa-siswi pedalaman Papua yang melanjutkan SMP dan SMA mereka. Yayasan memberi nama sekolah ini “Bukit Moria”.

Keterlibatanku bersama rekan guru dan para senior perawatku dalam persiapan keberangkatan para siswa ke sekolah baru, mendorongku untuk berefleksi. Penamaan “Bukit Moria” mengacu pada tempat di mana ketaatan Abraham akan perintah Allah diuji. Abraham diminta mengurbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-19). Allah melihat ketaatan Abraham dan pada akhirnya memberikan seekor domba jantan sebagai ganti Ishak. Inilah peristiwa yang menunjukan pemeliharaan atau providensia dan kesetiaan Tuhan akan janji-Nya.

Ketaatan, tindakan ini menginspirasiku. Aku melihat para misionari, guru, dokter, perawat, tenaga pengajar, tenaga kesehatan lain yang memberi diri untuk menjadi utusan-Nya. Mereka menjadi teladanku untuk mengabdi sebagai pelayan masyarakat. Pada awalnya, melayani di tanah Papua tak mudah kujalani meskipun keputusan ini sudah kupikirkan jauh sebelum aku mengambil studi keperawatan dan sekarang menjadi perawat. 

Saat aku merespons panggilan Tuhan untuk menjadi perawat, aku dipenuhi keraguan. Aku memikirkan bagaimana nanti rekan sekerja dan komunitas tempatku tinggal, keluargaku yang jauh di daerah asalku, juga kesehatanku yang tidak tahan daerah dingin dan berdebu. Aku harus menghadapi pasien dengan watak dan budaya yang berbeda, dan menangani masalah kesehatan mereka yang tidak darurat maupun darurat yang memerlukan penanganan segera dengan segala keterbatasan yang ada. Sebagai contoh, ada momen ketika listrik kami yang mengandalkan genset juga internet kami bermasalah selama lebih dari sebulan; salah satu kader kami terjatuh dari ketinggian saat bekerja; rekan guru kami ada yang jatuh sakit; kami harus menangani pasien darurat yang oleh tetangganya dipotong di bagian pipi dan rongga mulut, leher dan punggung tangannya. Aku dan seniorku harus tetap tenang dan menenangkan keluarga juga pasien, lalu segera menangani pasien ini. 

Pertolongan-Nya yang kurasakan adalah ketika Tuhan merangkulku dan seniorku di tengah situasi yang tidak baik-baik saja untuk tenang, di tengah jeritan keluarga yang menangis dan menyerukan doa atas apa yang terjadi pada sanak saudaranya. Kadang aku maupun seniorku memutar lagu atau musik instrumental untuk menenangkan pasien, juga mengingatkan lagi diriku sendiri akan apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam perjalanan hidupku. Menghitung kembali semua berkat Tuhan, perlahan menenangkanku yang masih baru dalam dunia pelayanan ini. Dukungan dari tim dokter dan perawat klinik, komunitas asrama, dan juga masyarakat yang memberikan semangat dan dorongan, menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memampukanku untuk setia.

Hari-hari sebagai perawat di pedalaman tidaklah mudah. Tapi aku selalu ingat bahwa Tuhan telah membawa kita keluar dari kegelapan kepada terang, membebaskan kita dari belenggu dan menyediakan keselamatan bagi umat-Nya. Inilah yang menjadi penguatan, dan meneguhkan harapanku dalam menjalankan tugasku untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Bukan hanya untuk mengobati dan membantu pemulihan, namun yang terpenting adalah mencegah dan meningkatkan status kesehatan mereka. Bersama tim pelayananku, kami merangkul mereka untuk lebih sadar akan kesehatan mereka. 

Kembali ke kisah pembukaan sekolah di atas, para dokter, senior-seniorku dan aku sendiri bertugas mendampingi para siswa dalam persiapan berangkat bersama guru-guru mereka. Karena kami perawat dari pedalaman yang mendampingi sekolah asal mereka, kami mengetahui bagaimana latar belakang juga masalah kesehatan mereka. Kami mengobservasi kondisi mereka selama masa persiapan dan adaptasi sebelum berangkat, memastikan mereka siap untuk melanjutkan studi mereka di tempat baru yang jauh berbeda dengan daerah asal mereka. Supaya di perjalanan tidak ada kendala kesehatan, kami pun harus ikut berangkat. Kami mengarungi lautan di atas kapal selama tujuh hari tujuh malam—dari kota Jayapura ke Jakarta. Kami singgah di beberapa kota seperti Manokwari, Biak, Sorong, Bau-Bau, Makassar, dan Surabaya selama perjalanan.

Durasi yang cukup lama di atas kapal kami lewatkan dengan bermain bersama, mendengarkan firman Tuhan, berdoa, bernyanyi, menari, dan bersukacita. Pengalaman ini menjadi rhema tersendiri bagiku, sukacita yang menguatkanku, dan perenunganku akan kebaikan Tuhan. Siswa-siswi dari pedalaman mengalami hidup yang jauh berbeda dari segala kemudahan ala orang-orang kota, namun Tuhan mengasihi dan memperhatikan mereka. Jika aku adalah mereka, tentu tak mudah untuk keluar dari zona nyaman dengan pergi ke tempat yang benar-benar baru.

Aku terdorong untuk menulis tulisan ini sejak aku naik ke atas kapal. Bukit Moria dan anak-anak yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengenyam pendidikan ibarat perjalanan Abraham yang dibawa Tuhan keluar dari tanah asalnya. Tuhan berinisiatif dan Dia mengenalkan diri-Nya karena kita tidak mampu, begitu juga dengan anak-anak ini yang dibawa untuk berproses dan mengenal-Nya lewat pembelajaran mereka di sekolah nantinya. Tuhan membawa mereka keluar, ke tempat yang terdapat akses lebih akan pengetahuan dan pengenalan akan Dia. 

Keterbatasan dan kesulitan yang ada tidaklah lebih besar dari pertolongan yang Tuhan sediakan. Tangan-Nya tak akan terlambat dan akan menyediakan. Ia turun tangan memberikan pertolongan lewat kehadiran siapapun yang bisa dipakai-Nya untuk menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang, yang rindu untuk mengenal dan dekat dengan pribadi-Nya. Pertolongan-Nya bisa hadir lewat aku dan kamu karena Dia setia. 

Perenungan singkatku di atas kapal laut ini hanyalah sedikit sekali dari samudera berkat yang Tuhan sediakan bagi kita. Buat kamu yang membaca tulisan ini, aku meminta bantuanmu untuk membawa siswa-siswi yang kudampingi, untuk anak-anak Tuhan di mana pun, calon pemimpin yang akan menjadi duta Kristus di masa depan yang sedang berjuang, di dalam pokok doa kita. Doakan agar hidup mereka dipimpin Roh Kudus yang setia, sehingga mereka senantiasa dibentuk meneladani dan menyerupai Kristus, dan memuliakan Bapa kita.

Terima kasih, Imik Neyung Perob! (Tuhan Memberkati).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menjumpai Tuhan Melalui Penyakit Kronis yang Kualami

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Tahun 2022 bukanlah tahun yang mudah untuk kulalui. Memasuki bulan Februari, aku positif COVID disertai asma dengan tiga penyakit penyerta lainnya, yaitu: asma, diabetes melitus tipe dua, dan takikardia (gangguan irama jantung) di tengah kuliah blok yang harus kuselesaikan.

Penyakit yang hadir secara sekaligus sungguh menyulitkanku beraktivitas. Jika kuliah kutinggalkan sejenak, maka sederet keterlambatan pastinya akan memunculkan masalah lebih lanjut. Tapi, tak berhenti sampai di situ, komentar dari orang-orang di sekitarku cukup memukulku. Ada yang berkata bahwa aku seperti dikutuk karena masih muda tapi sudah penyakitan seperti orang yang sudah berumur. Dosa apa yang sudah kulakukan sampai sakit seperti ini, dan banyak komentar lainnya. Barulah di hari ketujuh hasil PCR-ku negatif, tapi dokter tetap menambah obat selama lima hari ke depan supaya penyakit ini tidak merembet ke hal-hal lainnya.

Waktu pun terus berjalan. Obat-obatan yang kuminum disesuaikan kembali jenis dan dosisnya seturut keadaan fisiologi dan hasil penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Setelahnya, aku kembali dirujuk ke dokter spesialis jantung konsultan aritmia oleh dokter internis konsultan paruku. Adaptasi tubuhku atas obat-obatan yang dirombak cukup berdampak besar. Totalnya, aku dikontrol oleh tiga dokter spesialis.

Menjalani pengobatan sambil tetap memenuhi tuntutan kuliah membuatku kewalahan. Namun, pada akhirnya semuanya dapat kulalui dengan baik dan aku pun bisa hidup layaknya orang normal yang hidup tanpa penyakit dan obat rutin.

Pengalaman yang kualami sepanjang tahun itu membawaku merenung. Pada Perjanjian Lama, penyertaan Allah tampak begitu jelas bagi Samuel sehingga dia dapat berkata Eben-Haezer yang artinya “sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12).

Eben-haezer sebenarnya bukan berbicara tentang pertolongan Tuhan yang telah selesai. Eben-haezer berbicara tentang bagaimana pertolongan Tuhan yang telah dimulai pada masa lalu dan akan berlanjut terus. Hal ini penunjuk bahwa Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya, secara khusus untukku pribadi.

Mengalami sendiri penyertaan Tuhan

Meskipun sakit yang kualami waktu itu membuatku sungguh sulit, namun Tuhan setia menyertai dan memberiku pertolongan. Orang-orang yang mengetahui keadaanku memberi dukungan dana maupun nasihat agar aku tetap kuat untuk menjalani hidup yang ada. Aku sempat merasa terpuruk dan mempertanyakan kembali kehadiran serta keputusan Tuhan atas semua yang terjadi. Aku menjadi begitu sangat pendiam dan menarik diri dari lingkunganku. Namun, Tuhan yang mencariku lebih dulu. Dia mengutus orang-orang di sekitarku untuk datang menghampiriku dan memberiku dukungan moral dan moril. Di situlah aku menyadari penyertaan Tuhan yang tidak terlihat menjadi nyata seperti yang aku perlukan. Masa sakit dan masalah yang kualami membuktikan penyertaan Tuhan yang tidak pernah pudar dimakan oleh musim, baik musim panen maupun musim paceklik. Penyertaan Tuhan selalu baru setiap pagi, seperti yang ditulis oleh Ratapan 3:23, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”

Positif COVID disertai asma dengan dengan tiga penyakit penyerta bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih tetap bisa survive dan akhirnya sembuh, meskipun dilewati dengan tidak mudah. Anugerah Tuhan sungguh nyata buatku. Aku tetap diizinkan melanjutkan hidupku.

Melalui penyakit kronis yang kualami, aku menyadari bahwa Tuhan menginginkanku untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah pada keadaan. Secara manusia mungkin keadaan yang kualami terlampau berat, tapi dari situ aku seolah dituntun untuk menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu. Semuanya dapat kulalui dengan anugerah-Nya yang menyertaiku. Aku dituntun untuk menjadi seseorang yang kuat menghadapi tantangan demi tantangan, baik tantangan besar maupun tantangan kecil.

Tuhan menghendakiku untuk mampu menyelesaikan, mampu menghadapi segala persoalan hidup, dan Dia menjadikanku menang atas setiap tantangan yang ada.

Pertolongan yang Ajaib

Oleh Tamara Sitinjak, Jambi

Di suatu hari Minggu yang biasa, aku dan adikku pergi ke gereja. Ketika ibadah usai dan kami hendak pulang, aku merasa tidak enak hati karena hari itu orang tua kami tidak ikut mengantar kami pulang. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya.

Setiap kali pergi ke luar rumah, aku biasanya berdoa singkat, “Tuhan Yesus, berkati perjalanan kami selamat sampai di tujuan.” Mungkin karena rasa malas untuk pulang, hari itu aku lupa berdoa dan segeralah pergi.

Di perjalanan pulang, barulah kuingat kalau aku tadi tidak sempat berdoa. Kuberdoa dalam hati, memohon penyertaan Tuhan. Selang beberapa menit, aku dan adikku melihat ada dua orang yang membuntuti motor kami. Rasa takut menyergap, tapi kami berusaha tenang. Aku tidak meminta adikku untuk menarik gas lebih kencang, berharap bahwa mereka hanyalah pemotor biasa. Semenit, dua menit, sampai kira-kira 30 menit, dua orang itu tetap mengikuti kami dan tiba-tiba mendekati kami.

Dua orang itu berjenis kelamin laki-laki. Aku tidak ingat persis bagaimana penampakan fisik mereka, tetapi laki-laki yang di posisi belakang memegang sebuah pistol.

“Berhenti! Berhenti!” mereka berteriak pada kami sembari menodongkan pistol.

Kami benar-benar ketakutan dan sangat bingung. Apakah harus menuruti kata mereka dan berhenti, atau terus melaju. Karena takut, adikku mencoba untuk berhenti, tapi dari belakang kutarik gas motorku agar tetap melaju.

Jalanan yang kami lalui bukanlah jalanan perkotaan yang ramai. Kami sedang berkendara di jalanan antar desa yang rusak dan dikelilingi hutan. Kepanikan membuat motor yang kami kendarai nyaris celaka dan jatuh ke jurang. Kami tak tahu apa yang akan terjadi. Yang kami tahu hanya terus tancap gas sekencang mungkin, sembari berdoa dan mencari pertolongan.

Hingga akhirnya, kami menjumpai ada orang lain di jalan itu. Buru-buru kami meminta tolong dan mereka bersiap untuk menghadang dua orang yang mengejar kami.

Melihat kami yang telah bertemu dengan warga lain, dua pelaku itu segera tancap gas sehingga mereka pun lolos. Kami tak tahu apa motif dari dua orang yang mengejar kami itu, tapi kami sungguh lega dan bersyukur ketika akhirnya kami selamat meskipun dua pelaku itu berhasil melarikan diri.

Pengalaman hari itu sungguh tidak terlupakan buatku dan mengajariku satu hal tentang pertolongan Tuhan yang ajaib. Aku mungkin lupa berdoa, atau doa yang kuucapkan pun berisikan permohonan yang biasa-biasa saja, tetapi Tuhan selalu mendengar doa sesederhana apa pun dari anak-anak-Nya.

Hari itu aku melihat dan mengalami pertolongan Tuhan, bagaimana Dia meluputkan kami dari tindakan kejahatan yang besar kemungkinan akan mencelakai kami. Tuhan tidak hanya meloloskan kami dari dua penjahat itu, tapi juga mempertemukan kami dengan orang-orang baik yang bersedia menolong kami ketika kami sangat ketakutan.

Aku percaya segala yang terjadi pada kita bukanlah sekadar kebetulan, semua ada dalam kendali-Nya. Aku berkomitmen untuk selalu melibatkan Tuhan dalam segala hal melalui doa-doa yang kunaikkan, dan memohon agar Dia melayakkanku untuk menjadi anak-Nya yang setia.

Teman-teman apakah hari-hari ini kamu sedang berhenti berdoa?

Percayalah bahwa apa pun pergumulanmu Tuhan pasti menolong. Apa pun yang kamu khawatirkan, Tuhan sudah mengatur hidupmu dengan indah dan Dia akan memberikan pertolongan buatmu tepat pada waktu-Nya.

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Suka, Cinta, dan Penantian

“Kenapa kakak belum pacaran? Kan sudah dewasa, sudah tahu tujuan hidup, dan kayaknya kak juga udah siap. Nunggu apa coba?”

Dari Danny, Aku Belajar Mengasihi Tanpa Syarat

Oleh Nerissa Archangely, Tangerang

Adikku bernama Danny, usianya 25 tahun. Dia anak yang istimewa dengan retardasi mental, tapi satu yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat bicara, pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, atau kadang dipukul, dia tetap saja bisa tertawa. Rumah kami pun selalu ramai kalau ada Danny.

Namun, perubahan besar terjadi saat mamaku mendapat serangan stroke. Beliau lumpuh separuh badan dan sulit bicara. Kejadian itu terjadi di Februari 2020, beberapa hari sebelum Imlek. Papaku yang sangat syok dan depresi juga jadi sulit melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Danny yang biasanya mendapatkan perhatian dan asuhan penuh dari kedua orang tua pun jadi terlantar. Akhirnya, kami sekeluarga berembuk dan dengan berat hati kami menitipkan Danny di sebuah panti rehabilitasi Bethesda yang dikelola oleh Ps. Irwan Silaban, MARS (Manajemen RS) di Bogor. Namun belum genap satu bulan, kami dihubungi panti untuk menjemput Danny di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi (RSMM). Alasannya, Danny sudah empat hari lebih tidak makan. Dia mengalami perburukan gizi, badannya lemas. Saat itu dia diinfus dan dipasangi selang untuk mensuplai makanan ke dalam tubuhnya.

Berbekal info tersebut, aku dan suamiku pergi ke sana untuk melihat Danny secara langsung. Keadaan Danny rupanya lebih buruk dari gambaran kami. Danny terbaring lemas sulit bergerak, tidak bisa bicara. Tawanya kini berganti dengan erangan tertahan, terlebih ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Bahkan, didapati ada kerusakan fungsi liver. Kami putuskan untuk merawat Danny sementara di sini sampai fisiknya pulih. Saat itu, virus Covid-19 sudah menyebar di Indonesia dan RSMM pun sempat menerima pasien suspect corona. Hingga tanggal 10 April 2020, Danny diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena intake (kebutuhan gizi) dan fungsi organ vital lainnya sudah stabil.

Karena kondisi orang tua yang tidak memungkinkan lagi untuk merawat Danny, maka aku dan suamiku sepakat untuk merawat Danny di rumah kami. Sangat tidak mudah awalnya, karena kami memang bukan tenaga ahli seperti perawat khusus orang sakit atau homecare. Di tahun ketiga pernikahan kami, di saat kami mengharapkan adanya bayi di tengah keluarga kecil kami, kami seolah-olah mendapatkan ‘bayi besar’ yang setiap hari harus diberi susu, diganti popoknya, dimandikan, dijemur, dan sebagainya. Tapi, anugerah Tuhan tak pernah habis. Aku belajar banyak dari perawat di rumah sakit hingga aku bisa memasang selang NGT sendiri, memandikan di tempat tidur, membersihkan mulut dengan kasa, mengganti popok dengan benar, dan lainnya. Aku juga bersyukur suamiku siap sedia untuk membantu, walau memang awalnya kami jadi sering bertengkar karena selain kesulitan merawat Danny, kami juga khawatir terhadap kedua orang tua kami yang rapuh di tengah masa pandemi. Orangtuaku dirawat oleh adik lelakiku di Tangerang. Bukan hanya kami lelah secara fisik, namun kami juga dirundung oleh beban mental yang besar: khawatir akan kesehatan orang tua dan apakah adikku sanggup merawat mereka seorang diri. Bahkan ada masa-masa di mana aku merasa sangat tertekan hingga tak bisa melihat Allah dan rasanya ingin mati saja. Tapi, dengan segala cara yang ajaib, Tuhan tetap merengkuhku kembali.

Saat dirawat di RSMM itu memang ada indikasi pendarahan di otak Danny serta cedera lainnya, namun kami tak pernah menyangka bahwa bahu kanan Danny ternyata mengalami dislokasi dan open fracture. Hingga sekitar akhir April, kami perhatikan ada memar di bahu kanannya yang berujung pada pembengkakan dan sepsis (nanah yang sudah menginfeksi seluruh tubuh) pada 2 Mei 2020. Kami segera membawa Danny ke RS Medika BSD untuk mendapat penanganan pertama. Diperlukan ICU untuk operasi, tapi tak ada tempat tersedia di sana. Terpaksa kami harus menunggu 3 hari untuk mendapat rujukan. Tak hanya itu, kami juga dihadapkan dengan fakta lain. Danny sempat melalui rapid test Covid-19 dan CT-Scan paru-paru. Hasil CT-Scan menunjukan ground-glass opacification/opacity (GGO), sebuah indikasi kuat dari infeksi Covid-19. Kami menghubungi seluruh rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya, namun semuanya menolak karena alasan suspect infeksi Covid-19 dan kompleksnya kondisi Danny (ada open fracture bahu, sepsis, dan anak kebutuhan khusus). Pihak RS Medika menyarankan kami untuk membawa Danny langsung ke RSUP Fatmawati yang punya fasilitas lebih lengkap.

Tanggal 5 Mei 2020, akhirnya Danny dibawa ke IGD RSUP Fatmawati sendiri—tanpa ambulans—dan sungguh karena anugerah Tuhan, dia bisa mendapatkan ruang ICU besoknya. Sebelumnya, Danny membutuhkan darah karena sel darah putihnya semakin meningkat akibat infeksi. Ini membuat sel darah merahnya sangat kurang, sehingga sangat berisiko jika dia dioperasi tanpa ada transfusi darah. Awalnya kami ragu akan dapat donor dengan cepat, terlebih karena stok di PMI pusat pun kosong. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang enggan mendonorkan darah. Tetapi jalan Tuhan tidak pernah buntu. Lewat pesan broadcast di Twitter, Instagram dan WhatsApp grup serta dibantu oleh rekan-rekanku sewaktu di PMK POMITI dulu, akhirnya kami bisa mendapatkan donor yang diperlukan. Pihak RS membutuhkan minimal 3 orang sebagai pendonor tapi Tuhan yang Maha Pemurah menyediakan sampai 4 orang. Tuhan seolah ingin menyampaikan bahwa rencana-Nya untuk Danny masih belum usai.

Tuhan terlebih-lebih menyayangi Danny. Tuhan memanggil Danny pulang pada 8 Mei 2020 jam 7 pagi. Sekarang Danny tidak lagi merasakan sakit dan sesak. Danny bisa tertawa lagi bersama Bapa di Surga.

Pemakaman Danny sungguh sepi. Tiada musik, tiada karangan bunga, tiada arak-arakan, bahkan kami pun tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Tapi kami yakin Allah Bapa telah menyiapkan pesta meriah untuk kepulangannya. Mungkin dunia menolak Danny, tapi tangan Bapa terbuka lebar menyambut Danny.

Awalnya aku bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menjadikan Danny hadir di dunia ini? Mengapa Tuhan izinkan Danny ‘berbeda’?

Kini aku mengerti. Lewat Danny, Tuhan mengajariku untuk bisa mengasihi tanpa syarat, kepada siapa pun, sesulit apa pun situasinya. Hidup Danny walau singkat, memberiku kesan mendalam. Aku tak akan pernah lupa pelajaran hidup dari adikku yang istimewa ini.

Aku pribadi amat bersyukur atas setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Bahkan sampai saat ini pun aku merasa aku orang yang amat beruntung. Di tengah situasi yang luar biasa sulit, Tuhan yang penuh kuasa memberikan orang-orang yang luar biasa pula, yang dipakai-Nya untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya.

Suamiku, Indra, dia sosok yang sabar mendampingiku. Dia mendukungku di masa-masa terkelamku, tetap mengasihiku dalam kondisi apa pun. Sungguh aku amat beruntung dikasihi dan memilikinya sebagai teman hidupku.

Mertuaku sekeluarga, juga sangat luar biasa mendukung kami secara fisik maupun mental. Aku tahu dari mana kebaikan suamiku berasal. Papa dan mama mertuaku sungguh istimewa, betapa aku beruntung dan bersyukur bisa memanggil mereka ‘papa’ dan ‘mama’.

Keluarga kecilku di guru-guru sekolah Minggu GKY BSD, Laoshi Wiwi sebagai pembina dan secara khusus partner-ku di kelas 2 siang, kalian sungguh luar biasa. Sungguh ucapan terima kasihku rasanya tak cukup membalas setiap chat, telepon, dukungan dana, dan bahan pangan sehari-hari, serta setiap bentuk perhatian yang dicurahkan. Kehadiran mereka ibarat lilin-lilin kecil yang menerangi hatiku yang gelap dan lembab di tengah keterpurukan.

Juga kelompok kecilku sejak di PMK kampus. Meskipun kami hanya berlima, tapi berdampak besar. Meski kami berjauhan, tapi Tuhan selalu mendekatkan hati kami.

Bahkan, Tuhan juga memakai mereka yang belum percaya, dan juga orang-orang yang baru kukenal via media sosial, yang bermurah hati untuk membantu dari segi dana dan siap menjadi pendonor bagi Danny. Betapa Tuhan juga bermurah padaku dengan mengaruniakan seorang atasan yang peduli, penuh pengertian serta suportif terhadap kondisi yang aku alami, sehingga tanggung jawab pekerjaanku dilonggarkan ketika sedang merawat Danny.

Aku tahu kondisi Covid-19 tidak bisa dianggap remeh, tapi aku tahu Tuhan kita Yesus Kristus jauh lebih hebat daripada virus itu. Di atas segala-galanya, Dialah tabib segala tabib yang mampu menyelamatkan bukan hanya fisik, namun jiwa kita pun sanggup Dia selamatkan.

Ayub 1:21 berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.