Posts

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dengan Berhenti, Maka Kamu Bisa Berjalan

Oleh Bintang Lony Vera, Jakarta

Ai holan ho do sasude di ngolunghi
(Hanya kamu segalanya dalam hidupku)

Tung so hubaen hita marimba hasian
(Tidak ada perbedaan di antara kita)

Botoonmu ma sude na lao di ho
(Kau akan tahu semua dilakukan hanya untukmu)

Dang parduli au manang na songon diape ho
(Aku tidak peduli seperti apa dirimu, itulah cintaku)

Reff: Hupasahat ma tu ho ngolunghi, dang mangolu au molo soada ho
(Reff: Kuserahkan cintaku kepadamu, aku tak bisa hidup tanpamu)

Lirik di atas adalah sebuah lagu berbahasa Batak yang belakangan ini sering kudengar. Lagu itu dipopulerkan oleh Nirwana Trio dan telah kumasukkan ke dalam daftar putar lagu-lagu favoritku. Selain aku jadi bisa belajar bahasa Batak, suara yang lembut dipadu dengan iringan musik yang apik membuat lagu ini selalu enak didengar. Dan, liriknya juga mengusikku. Kukirimkan lagu ini kepada kekasihku kala itu. Menurutku, setiap kata-kata dalam baitnya mewakili perasaanku.

Tapi, di balik romantisnya kisah cinta seperti yang tertuang dari lirik lagu itu, aku menyadari kalau aku mengasihi dia (kekasihku) lebih daripada aku mengasihi siapapun. Hampir seluruh waktu kupakai untuk memikirkan dia dan juga relasi kami. Aku selalu semangat untuk membaca pesan dari dia, yang cuma bisa memberi kabar di waktu-waktu tertentu saja. Dia tinggal jauh dariku, dan kesehariannya di atas kapal membuatnya tidak selalu terhubung dengan akses internet. Ketika dia tidak sedang melaut, aku sering menyusun rencana tentang kami mau pergi ke mana dan mau melakukan apa.

Ketika kami dapat saling bertukar kabar, rasa senang memenuhi hatiku. Hingga tanpa kusadari, aku melupakan hal-hal dan orang-orang lain yang Tuhan telah berikan untukku jaga dan perhatikan. Tuhan menegurku, tapi aku bergeming. Aku amat mengasihi dia lebih dari siapapun, termasuk Tuhan sendiri. Tanpa kusadari, aku sedang menipu diriku sendiri saat aku mulai mengatur rencana pernikahan kami agar terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan. Padahal jauh di dasar hatiku, aku hanya ingin bersamanya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu hidupku bersama dirinya.

Hingga tiba di bulan Februari lalu, Tuhan menjawab “tidak” atas doa kami agar hidup bersama.

Aku sangat kecewa karena kehilangan seseorang yang begitu aku kasihi. Kurang lebih empat tahun kami telah menjalin kasih dan berdoa kiranya Tuhan berkenan agar kami dapat sampai pada jenjang pernikahan.

Kandasnya relasi kami meninggalkanku dalam kondisi hancur hati. Aku sangat berduka.

Tetapi, syukur kepada Allah. Dalam momen duka pun, Dia bekerja. Bertepatan dengan perayaan ulang tahun Perkantas ke-50, aku membaca kalimat pada leaflet undangan ibadah yang dibagikan oleh pengurus divisi alumni: It is the stop that make you move.

Kalimat itu menohokku. Perpisahan yang terjadi mungkin jadi cara Tuhan untuk memulihkanku dari perasaan cinta dan kasih yang salah. Pesan itu juga membuatku menyadari bahwa Tuhan sedang meraih kami (terkhusus aku) untuk kembali pada-Nya. Tuhan tidak sedang mengoyak kami, tetapi Dia menjagai kami. Kisah cinta kami perlu berakhir untuk menolong aku yang terlalu mengasihinya, agar kami tetap dapat meneruskan perjalanan hidup–hidup yang memuji dan memuliakan Allah, di mana Dia sebagai pusat hidup dan satu-satunya Pribadi yang layak mendapatkan seluruh cinta kita.

Dalam bukunya yang berjudul Struggles, Craig Groeschel menulis:

“Mengapa mendahulukan orang lain atau hal lain daripada Allah itu salah? Jiwa kita diciptakan untuk mengenal Allah, mengasihi Dia, menyembah Dia, dan menjalani keidupan bersama Dia. Inilah pentingnya harus menjaga kasih dan jiwa kita serta mendahulukan-Nya. Kapan saja kita membiarkan jiwa kita terobsesi dengan apa saja selain Allah, kita takkan pernah puas. Jika Anda tahu obsesi Anda mengganggu hubungan-hubungan yang terpenting dengan sesama dan Allah, sudah saatnya bertindak. Allah tidak mau kita memiliki ilah yang lain, apapun bentuknya, di hadapan-Nya. Allah merindukan kita mengenal Dia, menikmati hadirat-Nya dan kebaikan-Nya, hidup dalam kasih-Nya”.

Ketika Dia mengizinkan relasi kami usai, aku mulai memahami bahwa ini adalah bentuk kasih-Nya kepadaku, kepada kami.

Seharusnya lirik lagu di awal tulisan ini adalah kata-kata dalam doaku yang kusampaikan kepada-Nya.

Seharusnya aku lebih mencintai Dia yang telah menganugerahkan cinta di antara kami.

Sekarang tidak ada lagi penyesalan. Aku merasa diberkati dengan relasi kami. Meskipun tidak sampai kepada pernikahan, tetapi sampai kepada pemahaman bahwa Dia sangat mencintai kami dan rindu agar kami pun mencintai diri-Nya.

Allah yang telah mempertemukan kami empat tahun yang lalu juga akan menolong kami dalam menempuh perjalanan kami masing-masing ke depan. Terpujilah Tuhan.

Baca Juga:

4 Langkah untuk Mendoakan Temanmu

Doa adalah disiplin rohani sepanjang waktu. Sangat penting untuk berdoa dalam komunitas, agar kita bisa saling mendukung satu sama lain sepanjang waktu.

5 Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat

“Kamu yakin ia adalah calon istri yang tepat?”⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Pertanyaan itu mungkin sering dilontarkan ketika kita berbicara tentang pasangan hidup. Jawabannya? Tak semua orang dengan mantap menjawab yakin, atau bahkan malah bergeming sembari menggelengkan kepala. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Memilih pasangan hidup adalah pilihan yang sulit dan membutuhkan komitmen untuk sama-sama bertumbuh dan mengenal. Teruntuk para pria, inilah lima hal sederhana yang bisa kamu cermati dalam diri pasanganmu untuk menguji, apakah si dia memang yang tepat untukmu. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Hal-hal apa lagikah yang menurutmu bisa menunjukkan seseorang tepat menjadi pendamping hidupmu?

Artspace ini diadaptasi dari artikel Alex Tee berjudul “Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat”.

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Ketika aku mengingat kembali memori masa-masa dahulu, aku bertanya-tanya, mengapa ya aku mendoakan dan memilih dia? Padahal dia kan bukan orang yang romantis.

Tapi, di sinilah cerita tentang bagaimana Tuhan membentuk dan mengubahkan pikiranku dimulai. Dan inilah yang ingin kuceritakan kepadamu.

Di masa-masa awal kami menjalin relasi pacaran, aku sering marah kepadanya. Aku mengharapkan dia menjadi sesosok pria yang romantis. Aku ingin dia seperti pria-pria lain yang aku lihat di postingan media sosial temanku. “Kenapa sih kamu tidak bisa jadi pria yang romantis?” tanyaku padanya. Pertanyaan ini tidak hanya sekali kuajukan, tapi berkali-kali. Dia tidak marah atau menjawabku agar aku mencari pria lain saja. Tidak pernah dia mengatakan itu. Tetapi, setiap pertanyaanku itu selalu dijawab dengan satu pertanyaan yang sama: “Apakah ukuran romantis seperti itu?” Dan perdebatan pun hampir selalu terjadi di masa-masa ini.

Meski demikian, Tuhan menguatkan dan memberkati relasi kami. Setelah kurang lebih tiga tahun berpacaran, saat ini kami diperhadapkan dengan pergumulan yang cukup berat. Kami harus berpisah kota dan melakukan long distance relationship (LDR). Aku sedang bergumul untuk memilih melanjutkan studi, sedangkan dia sangat menikmati pekerjaannya saat ini di kota yang berbeda. Ketika berdiskusi soal ini, rasanya tidak ada titik temu dan kupikir LDR akan tetap kami jalani selama beberapa tahun ke depan.

Di titik ini, sejujurnya ada banyak alasan bagi kami masing-masing untuk menyerah. Ada alasan kuat bagi kami untuk pergi dan mengerjakan impian kami masing-masing tanpa memedulikan satu sama lain. Tapi, yang dia laukan adalah dia mengajakku untuk terus setia bergumul di hadapan Tuhan, punya waktu setiap minggunya untuk mengevaluasi perenungan kami bersama Tuhan. Lambat laun, ketika aku melihat upaya-upaya yang dilakukannya untuk mempertahankan relasi ini, aku tersadar bahwa inilah hal yang sesungguhnya romantis buatku.

Aku sungguh bersyukur pada Tuhan. Di saat relasi kami terhalang jarak, Tuhan menolong kami untuk terus menguatkan di dalam doa. Aku belajar bahwa definisi romantis tak melulu sesuatu yang bersifat mesra dan mengasyikkan seperti dalam cerita-cerita roman atau seperti yang ada dalam bayanganku di awal-awal kami menjalin relasi.

Aku tidak sedang memuji pasanganku atas apa yang telah dia lakukan, tetapi aku memuji Tuhan yang telah mempertemukan dan memberi kami kesempatan menikmati waktu bersama. Memuji Tuhan menolongku untuk melihat bahwa hal yang romantis yang kuperlu adalah ketika dia membawaku datang kepada Tuhan. Ada naik turun yang kami alami, tetapi karena kami menyadari Siapa yang berkarya dalam relasi ini, itulah yang menolong kami untuk bangkit dan berjuang kembali.

“Sering kami tak mengerti, jalan-jalan-Mu Tuhan bagai di belantara yang kelam,
Tanpa seribu tanya, namun tetap percaya jejak-Mu Tuhan sungguh sempurna.”

Sepenggal lirik lagu itu sering kami nyanyikan, terutama dalam masa-masa berat yang sedang kami alami saat ini. Yang meneguhkan kami adalah bahwa jejak-Nya sungguh sempurna. Tuhan menyertai perjalanan relasi kami hingga kepada saat ini.

Kami memuji Tuhan yang menciptakan perempuan dan laki-laki.

Kami memuji Tuhan yang memberikan keromantisan di dalam-Nya.

Kami memuji Tuhan yang setia memimpin kami di dalam berbagai persoalan yang terjadi dalam relasi ini.

Tulisan ini kutulis untuk mengingatkanku juga kuharap bisa memberkati setiap orang yang membacanya. Ketika kita berelasi bersama seseorang yang istimewa, doronglah dia untuk sama-sama membangun relasi yang “romantis”, yang membawa kita datang kepada Tuhan.

Baca Juga:

Kekurangan Fisik Membuatku Minder, Tapi Tuhan Memandangku Berharga

Aku lahir dengan kondisi di mana langit-langit dalam rongga mulutku terbuka sehingga ketika aku berbicara, suaraku tidak jelas. Teman-temanku pernah mengejekku. Ejekan itu melukai dan membekas di hatiku.

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Our Love Story Went Wrong

“Di mana kamu mendapatkan sukacita terbesarmu?”

Aku berhenti sejenak, mengingat apa yang membuatku tersenyum, apa yang membuatku bertahan menjalani keseharianku, dan apa yang paling membawa kebahagiaan untukku.

“Kurasa aku mendapatkan sukacita terbesarku . . . dalam dirimu,” Ucapku dengan lembut.

“Aku juga.”

***

Inilah bagian dari kisah cinta kita di mana kita tersenyum sambil menatap satu sama lain dengan malu-malu, menggenggam tangan dan merangkul satu sama lain dalam cinta—cinta yang penuh dengan kebahagiaan, romantis, dan terasa seperti melayang-layang.

Bagian cerita inilah yang membuat kita sadar bahwa kita sedang menghidupi kisah-kisah cinta yang diceritakan dalam dongeng, lagu, buku, dan film. Kisah cinta yang disajikan pada kita dengan segala kalimat, lirik, dan adegannya, hingga tanpa sadar kita telah membeli sesuatu yang sama berkali-kali.

Namun, justru pada bagian inilah kisah cinta kita berjalan ke arah yang keliru. Sebab, kisah cinta yang sejati tidaklah seperti itu, dan kisah cinta yang sedang kita jalani sekarang tidak akan bertahan selamanya.

***

Aku sedang menjalani hubungan dengan tunanganku, David, selama 2 tahun. Dan hari demi hari, aku semakin jatuh cinta dengannya.

Namun selalu ada bahaya ketika aku mencintainya dengan sangat. Cinta itu dapat membuatku mencintainya lebih dari cinta pertama dan terbaikku: Tuhan.

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku mendapati diriku melewati batas itu: ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengannya dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Tapi mengapa itu seperti hal yang buruk? Apa yang salah dengan lebih mencintai calon suamiku daripada Tuhan?

Itu sangat berbahaya. Hal itu menarikku dari menyembah Tuhan kepada memberhalakan seorang manusia biasa yang penuh kelemahan dan kekurangan (Roma 1:25). Terkadang aku mendapati diriku sangat mencintainya hingga aku lupa bahwa dia hanyalah manusia. Dan walaupun dia berusaha sebaik mungkin untuk mencintaiku dengan benar, dia terkadang gagal—akupun juga. Dan saat itulah kita merasa kecewa, tersakiti, dan marah pada pasangan kita.

Itu adalah dosa. Hal itu melanggar perintah pertama Tuhan pada kita: bahwa kita tidak menyembah allah lain di hadapan-Nya (Keluaran 20:3). Berhala bukan hanya patung kayu kecil atau sebuah altar di dalam rumah yang kita sembah, melainkan hal yang bertakhta di kehidupanku. Berhala adalah hal yang kucintai, dambakan dan hargai lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini.

Dan itulah hal yang mendukakan Tuhan. Tuhan bersedih ketika aku pergi menjauh dari-Nya menuju pelukan kekasih lain, sebuah karunia yang Tuhan sendiri berikan padaku, tapi yang telah kubelokkan dan kusalahgunakan untuk keegoisanku. Mengkhianati Tuhan juga menyakitiku dalam cara-cara yang tidak dapat kumengerti secara kognitif, namun kurasakan secara spiritual, ketika rohku berduka bersama dengan Roh Kudus.

Berkali-kali aku diperlihatkan pada konsekuensi dari mencintai pasanganku lebih daripada Tuhan. Namun konsekuensi ini ditujukan untuk menuntunku pada pertobatan dan untuk mendisiplinkanku untuk kebaikanku (Ibrani 12:5-11). Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh temanku: “Tuhan tidak memberikanmu seseorang untuk melihat dia mengambil tempat-Nya di hidupmu.”

Mengasihi tunanganku lebih dari Bapa seringkali menuntun pada rasa sakit dan hubungan yang merenggang. Karena ketika aku meninggikannya hingga dia menjadi tuhan dalam hidupku—sosok yang kupercaya dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhanku, yang mencintai dan mengerti diriku tanpa syarat, dan yang selalu ada denganku dalam segala kondisi, baik secara fisik maupun emosional—aku mendapati dirinya gagal memenuhi semua itu. Seharusnya hal ini tidak mengherankan, tapi aku tidak dapat menahan diriku dari perasaan kecewa, bahkan seperti merasa ditipu. Dan semua itu karena aku mempercayai kebohongan yang kubuat sendiri.

Lalu bagaimana caranya kita mengasihi pasangan kita tanpa memberhalakan mereka?

Momen ketika kami mengaku bahwa kami mendapatkan sukacita terbesar dalam pelukan satu sama lain merupakan pengalaman yang pahit namun manis—pahit karena kami tahu bahwa cinta kami dapat dengan mudah berubah menjadi berhala jika kami tidak berhati-hati; namun manis, karena kita telah menemukan orang yang jiwa kita kasihi dan yang dengannya kita akan disatukan (Kidung Agung 3:4, Kejadian 2:1-24).

Momen itu merupakan pengingat bahwa cinta romantis seperti itu, sama dengan cinta lainnya, hanyalah bayang-bayang dari Cinta terbesar yang pernah ada: cinta yang diwujudkan di kayu salib melalui Anak Allah, yang menanggung dosa-dosa kita dan mati bagi kita

Aku belajar bahwa satu-satunya cara untuk mencintai David dengan benar, dan juga satu-satunya cara David untuk mencintaiku dengan benar, adalah dengan mencintai Tuhan dengan benar (1 Yohanes 4:19). Hal ini berarti menanyakan pada diri kita siapa Tuhan bagi kita; dan jika Tuhan adalah Tuhan kita, kita meresponinya dengan menjalani hidup yang menyembah Allah dengan sepenuhnya.

Hal ini berarti menyatakan Tuhan sebagai Raja dari hati kita, dengan mengutamakan pertumbuhan relasi kita dengan Cinta pertama kita, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tidak hanya ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, atau ketika kita menghabiskan waktu dengan keluarga kita, tapi juga di saat-saat kita sedang sendiri.
Hubungan yang berpusat pada Kristus didasari oleh komitmen, kebergantungan dan keintiman. Ini artinya dengan sadar memiliih untuk mencintai Tuhan di atas pasangan kita, bersandar hanya pada Kristus sebagai batu penjuru, dan mendekat pada-Nya tiap hari, dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari.

Semenjak kami menyadari bahwa kami perlu menempatkan Tuhan di atas satu sama lain, kami telah menyediakan waktu untuk berdoa, mengucap syukur, dan merenungkan Firman-Nya bersama-sama ketika kami bertemu. Kami juga memulai kebiasaan mendoakan satu sama lain tiap hari, menanyakan hal yang ingin didoakan, dan menguatkan satu sama lain melalui Firman.

Pada akhirnya, kisah cinta kita adalah tentang mengalami apa yang pemazmur alami ketika dia menulis: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” dan bahwa “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah” (Mazmur 16:2, 11). Ini berarti menghargai Tuhan sebagai hartaku yang paling berharga, dan menikmati-Nya sebagai kenikmatan terbesarku (Matius 6:21). Inilah caranya kami menjalani kisah cinta kami dengan benar: dengan menemukan sukacita terbesar kami yang hanya ada di dalam Dia seorang, bersama-sama.

Baca Juga:

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

mengapa-aku-berada-dalam-friend-zone-selama-15-tahun

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Spent 15 Years In The “Friend Zone”

15 tahun. Ya, selama itulah aku dan suamiku, Jonathan, berteman sebelum kami akhirnya menikah. Mungkin kamu akan menganggap kami sebagai contoh nyata dari kata-kata bijak, “Hubungan yang terbaik berawal dari pertemanan”.

Kalau kamu berpikir aku adalah seorang yang sangat kaku atau penganut setia dari buku tentang berpacaran yang paling populer di zamanku, “I Kissed Dating Goodbye” karangan Joshua Harris—yang mendorong para pasangan untuk pacaran hanya jika siap untuk menikah—mungkin kamu akan kecewa. Kenyataannya, Jonathan adalah pacarku yang kelima (dan itu belum termasuk gebetan-gebetanku yang lain).

Namun, aku adalah pacar kedua Jonathan, dan ketika dia “menembakku”, dia cukup yakin bahwa aku adalah orang yang ingin dia nikahi. Dia memiliki kepercayaan diri itu karena dia telah cukup lama mengenalku, di mana sepanjang masa itu kami telah melewatkan berbagai masa perang dingin, teleponan hingga larut malam, dan saling berbagi begitu banyak kartu ucapan. Aku baru sadar setelah menikah bahwa aku punya sebuah kotak sepatu yang penuh kartu ucapan yang pernah diberikannya.

Izinkan aku untuk menceritakan kisah kami dari awal.

Jonathan dan aku pertama kali bertemu dalam sebuah kelompok pemuda setelah aku lulus Sekolah Minggu. Pada usia 15 tahun, kami menjadi teman baik dan memimpin sebuah kelompok kecil bersama-sama. Selama dua tahun berikutnya kami mulai menganut pandangan kami masing-masing tentang hubungan dengan lawan jenis. Jonathan memutuskan untuk tidak berpacaran sampai dia selesai menyelesaikan Wajib Militer (sekitar usia 19 tahun), sedangkan aku memutuskan untuk berpacaran sesegera mungkin.

Waktu itu, prinsip kencanku sederhana: berkencanlah sampai kamu menemukan “orang yang tepat”. Jadi itulah yang aku lakukan. Satu demi satu kegagalan dalam hubungan aku alami selama beberapa tahun, sampai aku menjadi meragukan prinsipku. Aku juga menjadi ragu apakah nanti aku akan menikah.

Di sisi lain, Jonathan terus memegang komitmennya untuk tetap menunggu—bahkan hingga dia lulus kuliah dan menjalani tahun-tahun yang berat sebagai penyelam di Angkatan Laut. Ketika akhirnya dia mulai berpacaran, dia melakukannya dengan berhati-hati dan penuh komitmen, dengan sebuah harapan untuk dapat menikahi pacarnya saat itu.

Beberapa tahun kemudian, dia menceritakan kepada anak-anak muda tentang alasannya mengapa dia menunggu hingga usia 21 sebelum dia mulai berpacaran: Dia ingin mendedikasikan masa-masa muda terbaiknya untuk Tuhan dan untuk pelayanan di mana Tuhan menempatkannya. Dia terinspirasi oleh Pengkhotbah 12:1, yang berkata, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”

Dia juga mempunyai alasan-alasan lainnya—menurutnya akan sulit untuk menjalin sebuah hubungan ketika dia ada dalam Angkatan Laut, dan dia juga belum siap secara finansial untuk menikah saat itu. Namun alasan utamanya tetap single adalah agar dia dapat fokus untuk melayani Tuhan.

Ketika teman dekat kami tahu bahwa kami akhirnya akan menikah, dengan bercanda mereka mengatakan bahwa aku telah membiarkan suamiku berada dalam “friend-zone” (“zona-teman”) selama 15 tahun. Aku tidak setuju dan mengatakan pada mereka, justru yang terjadi adalah sebaliknya! Suamiku telah membiarkanku ada dalam zona ini selama 15 tahun karena dia ingin menggunakan masa mudanya untuk melayani sepenuh hati dalam pelayanan kaum muda. Dan aku senang karena dia melakukannya.

15 tahun itu memberikan kami waktu untuk saling mengenal sifat-sifat aneh yang kami miliki, untuk belajar arti di balik setiap kernyitan alis, dan untuk memahami apa yang menjadi pendorong semangat bagi masing-masing kami. Dan karena kita memiliki banyak teman bersama, kami sangat senang karena ada banyak teman yang mau membantu persiapan pernikahan kami, dan kini juga membantu menjaga bayi kami! Waktu pertemanan yang panjang telah membuat kehidupanku setelah pernikahan menjadi jauh lebih baik.

Jangan salah, kami masih memiliki perbedaan-perbedaan yang harus kami hadapi. Namun memiliki seseorang yang tahu betul apa yang kamu rasakan hanya dari sekali memandang, menurutku itu adalah hasil dari sebuah fondasi yang telah teruji—pertemanan.

Baca Juga:

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

“And they live happily ever after.”
Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku

Mengapa Aku Masih Single?

mengapa-aku-masih-single

Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.

Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.

Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”

Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”

Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.

Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.

Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?

Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.

Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.

Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.

Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?

Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.

Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.

Baca Juga:

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.