Posts

Merengkuh Teman Bernama Kegagalan

Kita mungkin pernah berada di posisi serba salah—dituntut ini itu, tapi malah gagal dan kita merasa berada di jalur yang salah. Namun, dari keadaan rumit inilah justru kita bisa mengenal siapa sumber kekuatan kita dan percaya segala sesuatu mendatangkan kebaikan 😇

Artspace ini didesign oleh Shania Vebyta Ananda dan diadaptasi dari artikel karya Tabita Davinia Utomo.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Berkat yang Kuterima dari Kegagalanku

Oleh Marion Sitanggang, Jakarta

Sejak SMP aku bercita-cita menjadi seorang Psikolog Anak. Profesi itu adalah dambaan bagiku karena aku bisa menolong para orang tua yang kesulitan menghadapi anak-anak mereka, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan psikis anak-anak yang berpengaruh terhadap masa depan mereka.

Supaya cita-cita ini terwujud, aku belajar sungguh-sungguh. Setelah lulus SMA, aku ikut seleksi di beberapa perguruan tinggi negeri, aku memilih jurusan Psikologi di setiap PTN yang kupilih. Tapi, beberapa kali ujian, semuanya gagal. Aku pun ngambek pada Tuhan. Setiap hari pertanyaan di kepalaku, “Kenapa gagal? Kenapa Tuhan kok gak kasih kesempatan itu? Tuhan kan tahu aku pengen banget, kan Tuhan juga sudah lihat usahaku yang hampir setiap hari lembur belajar? Kenapa?”

Larut dalam kecewa membuatku menyerah pada disiplin rohaniku. Aku berdoa seadanya, kalau ingat saja. Ke gereja kalau tidak sedang malas saja. Di pikiranku saat itu, terserah Tuhan saja, toh aku meminta juga Dia gak kasih.

Meski gagal masuk jurusan Psikologi, aku tetap kuliah tahun itu. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi di bawah Kementrian Perindustrian di jurusan Manajemen Bisnis. Jurusan ini kupilih ngasal saja. Yang penting saat ujian tidak ada materi fisika, jadi tentunya kupikir nanti saat kuliah tidak ada mata kuliah fisika.

Semester pertama aku kuliah tanpa semangat. Aku datang, duduk, diam, lalu pulang. Aku tidak belajar kala ujian, tidak ikut kegiatan. Aku tak peduli kuliahku benar atau tidak. Tapi, setelah ujian akhir semester pertama, IP-ku malah 3,67. Bukannya bersyukur, aku malah bertanya, “Kenapa Tuhan? Di saat aku berontak, Engkau malah memberiku sesuatu yang membuatku merasa bersalah sudah mengutuki keadaan. Tuhan, apa mau-Mu?”

Kebingungan itu mendorongku untuk mencoba berdamai dengan kenyataan. Mungkin aku memang tidak bisa kuliah di jurusan idamanku, tapi mungkin juga Tuhan ingin menunjukkan hal lain yang lebih baik. Saat itu, seniorku di kampus sering mengajakku untuk ikut persekutuan. Seniorku mengajakku bergabung dalam kelompok kecil dan aku bersedia.

Sepanjang masa-masa aku tergabung dalam persekutuan dan melayani di sana, aku tertampar oleh banyak sekali ayat-ayat Alkitab. Salah satunya dari Yesaya 55:8, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” Aku teringat bagaimana pedihnya hatiku ketika berhadapan dengan kegagalan. Di awal-awal kuliah aku masih sering menangis dan berandai jika saja aku kuliah di Psikologi. Apalagi setiap ada pengumuman masuk Perguruan Tinggi Negeri, kegagalan itu masih terbayang dan membuatku bertanya lagi pada Tuhan.

Namun seiring waktu, Tuhan nyatanya malah menyertaiku. Kisah hidupku tidak selesai ketika aku gagal, melainkan Tuhan melanjutkannya dengan penyertaan-Nya yang sempurna. Hari lewat hari aku diajar-Nya untuk berdamai dengan keadaan. Melalui doa, persekutuan, dan ibadah Minggu, pelan-pelan aku mengerti bahwa segala sesuatu pastilah terjadi dengan alasan. Aku membayangkan, jika seandainya aku sungguh mendapatkan apa yang aku mau, besar kemungkinan aku akan jadi orang yang serakah dengan segala keinginan dagingku hingga melupakan-Nya. Aku mungkin akan jadi orang yang sombong karena merasa berhasil dengan upayaku sendiri.

Tuhan sungguh baik, Dia menunjukkanku bahwa yang menjadikan hidupku baik bukanlah karena aku mendapatkan apa yang kuinginkan, melainkan karena Dia menyertaiku senantiasa. Hari-hariku melayani-Nya menjadi saat-saat penyembuhanku. Aku sadar Tuhanlah yang sepenuhnya berkuasa. Aku terlalu rakus mengejar mimpi tanpa peduli akan kehendak-Nya, tanpa melibatkan-Nya. Aku telah sombong, merencanakan segala yang baik tanpa sikap berserah.

Kisah yang awalnya gagal Tuhan rangkai dengan amat baik. Sekarang aku telah lulus dari studiku dan meraih IPK 3,74, lebih daripada yang kuminta. Sungguh Tuhan itu baik, teramat baik!

* * *

Kawanku, ceritaku ini adalah cerita tentang kekecewaanku dan bagaimana Tuhan bekerja seturut kehendak-Nya. Setiap tahun akan ada orang-orang yang gagal masuk PTN sepertiku. Aku tahu betapa sesaknya di hati, sampai kata-kata pun hilang dan hati hanya bisa bertanya, “Kenapa?”

Aku berdoa kiranya kamu yang masih bergumul dengan pedihnya kegagalan dapat bertahan melewati saat-saat tersulit sekalipun. Dan untuk kamu yang tahun ini akan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kiranya Tuhan beserta langkahmu.

Siapa pun kamu yang membaca tulisan ini, aku harap kiranya inilah yang jadi pengingat bagi kita semua: bahwa ketika keadaan tidak sesuai dengan rencana dan harapan kita, sekalipun kita sudah berusaha semampu kita atau bahkan lebih, pandanglah pada Yesus. Di tengah perasaan kecewa dan terpuruk, semoga kita bisa melembutkan hati, menerima keadaan, dan mencari Tuhan. Menangislah jika ingin menangis, marahlah jika ingin marah, tetapi jangan sampai menghambat dirimu untuk dituntun Tuhan.

Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh sampai tergeletak. Tangan-Nya selalu menopang. Dia selalu ada menunggu kita untuk datang kepada-Nya.

Tuhan memberkati dan menyertai kita setiap waktu.

3 Ayat Alkitab Ketika Kita Mengalami Kegagalan

Sobat muda, ada kalanya kita mengalami kegagalan. Mungkin dunia lebih menghargai kisah-kisah keberhasilan. Namun, kisah-kisah tentang kegagalan kita adalah sebuah kesempatan yang mengingatkan kita bahwa kita tetap dikasihi-Nya, meskipun kita telah gagalberulang kali. Tuhan adalah penopang bagi semua orang yang jatuh. Dan,Tuhan pun sanggup berkarya memulihkan luka-luka yang timbul dari kegagalan kita.

Pernahkah kamu gagal? Tentu kita semua pernah gagal. Namun, sudahkah kamu memberi dirimu untuk dipulihkan oleh-Nya? Setiap kisah kegagalan kita dapat menjadi kisah anugerah Allah.

Yuk mention temanmu dan berikanlah dorongan semangat kepada mereka hari ini.

Sharing: Kegagalan Apakah yang Pernah Membuatmu Terpuruk?

Kegagalan apakah yang pernah membuatmu terpuruk? Bagaimana kamu bangkit mengatasinya?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat menjadi inspirasi bagi sobat muda yang lainnya.

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.

Saat Aku Menjadikan Pelayananku Sebagai Pelarian

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Masa-masa kuliah adalah masa yang berharga sekaligus menyenangkan. Aku tahu kuliah itu hanya berlangsung sekitar delapan semester saja, jadi aku pun bertekad untuk menjadikan masa-masa kuliahku berkesan.

Di semester kedua, aku bergabung dengan pelayanan persekutuan doa di kampusku. Awalnya aku hanya datang sebagai simpatisan saja, tanpa ada niatan untuk terlibat menjadi pengurus. Tapi, karena aku selalu datang di tiap minggunya, tim pengurus menawarkanku untuk bergabung dengan tim pelayanan mereka. Aku tertarik dengan tawaran ini, dan singkat cerita setelah aku melewati seleksi wawancara, aku diterima sebagai tim pengurus inti.

Sejak saat itu, di samping kuliah, kegiatanku jadi bertambah banyak. Aku mengikuti persekutuan doa, komsel, fellowship, retret, dan seminar kerohanian yang wajib diikuti oleh tim pengurus. Kadang, aku juga diminta untuk melayani di persekutuan doa lain. Meskipun sibuk, tapi segudang aktivitas ini membuatku nyaman. Ada banyak teman-teman baru yang kudapat di persekutuan ini, dan kupikir tema-tema yang dibahas tiap minggunya pun menarik dan sangat cocok dengan kehidupanku sebagai mahasiswa.

Tapi, tanpa kusadari, pelayanan yang kulakukan ini membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab utamaku di kampus, yaitu menyelesaikan kuliah. Selama aku melayani sebagai tim pengurus, aku lebih mementingkan persekutuan dan kegiatan yang kelihatannya rohani dibandingkan dengan tugas-tugas kuliahku.

Acara persekutuan berlangsung sampai malam. Tak jarang saat pulang ke kos tubuhku sudah capek dan aku langsung tertidur tanpa menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Alhasil, nilai-nilai kuliahku banyak yang jelek. Saat teman-temanku menikmati liburan semesteran, aku malah harus kembali ke kampus untuk remedial atau bahkan mengulang mata kuliah yang gagal itu di semester depan.

Saat kuliahku tiba di semester tujuh, aku sempat merasa putus asa. Teman-temanku sudah menyelesaikan laporan akhir kuliah kerja lapangan mereka, aku malah seperti jalan di tempat. Aku butuh waktu sembilan bulan untuk menyelesaikannya, padahal temanku banyak yang sanggup menuntaskan laporan itu hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja.

Sampai di titik ini, aku mulai berpikir sepertinya ada yang salah dengan diriku. Namun, aku belum tahu apa dan tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut. Bukannya segera menyelesaikan kuliahku yang tertinggal dan belajar membagi waktu dengan bijak, aku malah meninggalkan kuliahku dan meluangkan sebagian besar waktuku untuk mengurusi persekutuan doa. Dalam pikiranku, lebih baik aku melayani Tuhan saja daripada aku stres karena kuliahku yang sulit.

Teguran yang mengubahkanku

Hingga suatu ketika, ada seorang pembicara berkhotbah di persekutuan doaku. Beliau mengatakan bahwa ada empat tingkatan prioritas dalam hidup mahasiswa yang sedang merantau untuk kuliah atas biaya orangtua. Prioritas pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah keluarga, yang ketiga adalah kuliah, dan yang keempat adalah pelayanan.

Aku tertegun mendengar khotbah ini. Aku mulai sadar di mana letak kesalahanku selama ini. Aku menempatkan pelayanan di posisi pertama seolah-olah inilah aktivitas yang membuat Tuhan berkenan padaku. Padahal, melayani Tuhan adalah aktivitas yang tidak terbatas pada lingkup organisasi saja. Aku bisa melayani dan memuliakan Tuhan di manapun, dan melalui berbagai cara. Bahkan, jika aku menekuni kuliahku dengan bertanggung jawab pun sebenarnya itu sudah merupakan sebuah pelayanan juga wujud komitmenku kepada Tuhan dan orangtuaku.

Kolose 3:23 mengatakan, “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”Ayat ini menamparku. “Kuliah adalah salah satu bentuk pelayanan kita kepada orangtua kita yang telah membiayai kita, dan itu juga dapat menyenangkan hati Tuhan. Maka tidak ada alasan untuk kita meninggalkan tugas dan tanggung jawab kita hanya karena alasan pelayanan,” tambah pembicara itu.

Dengan malu aku harus mengakui bahwa selama ini aku telah salah dalam memaknai pelayanan. Alih-alih menjadikan pelayananku di dalam tim pengurus sebagai ekspresi kasihku kepada Tuhan, aku malah menjadikan aktivitas ini sebagai pelarian dari kemalasanku mengikuti kuliah. Pelayananku bukanlah benar-benar ditujukan untuk melayani Tuhan, melainkan hanya melayani egoku saja. Aku seorang yang malas, dan aku menjadikan pelayanan sebagai tameng untuk menutupi kemalasanku.

Kesalahan pemahamanku terhadap pelayanan inilah yang membuatku mengkotak-kotakkan mana yang merupakan aktivitas rohani dan mana yang tidak. Aku menganggap kalau banyak beraktivitas di persekutuan adalah sesuatu yang rohani, sedangkan kuliah itu tidak. Padahal, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 dengan jelas mengatakan:

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Paulus tidak mengatakan bahwa untuk memuliakan Tuhan kita perlu melakukan aktivitas yang spektakuler. Tuhan bisa dimuliakan lewat banyak hal, bahkan lewat aktivitas terkecil yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita.

Hari itu, aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan. Aku menyesali motivasiku yang salah dalam melayani. Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan bijak. Setiap hari aku selalu meluangkan waktuku selama tiga jam untuk membaca buku dan mengerjakan skripsi, dan tak lupa aku juga selalu berdoa sebelum memulai aktivitasku.

Puji Tuhan, Dia memberkatiku dan pada bulan November lalu aku lulus dan diwisuda sebagai sarjana.

Lewat peristiwa ini, aku sadar bahwa pelayanan seharusnya bukanlah sebuah pelarian dari tanggung jawab utamaku. Kristus dimuliakan ketika aku mengerjakan tanggung jawab yang sudah Dia berikan padaku dengan hati yang bersungguh-sungguh.

Baca Juga:

Kamu Berharga di Mata Tuhan

Pernahkah kamu bertanya-tanya tentang apakah yang membuatmu begitu spesial buat Tuhan? Adakah waktu-waktu di mana kamu bertanya, “Apakah aku benar-benar berharga di mata Tuhan? Mengapa?”

Tuhan Mampu, Tapi Mengapa Dia Tidak Melakukannya?

Oleh Janessa Moreno, Tangerang

Sejak aku masih kecil, ayahku selalu mendukungku untuk terus berlatih bulutangkis. Jika bagi sebagian orang bulutangkis hanyalah sekadar olahraga, bagiku menjadi atlet bulutangkis adalah cita-citaku. Dengan dukungan ayahku dan pelatihku, saat kelas 6 SD aku memutuskan berhenti dari sekolah formal dan masuk ke dalam program beasiswa bulutangkis.

Masuk ke dalam program beasiswa bulutangkis membuat hidupku tak seperti remaja lainnya yang bisa bebas melakukan banyak hal. Selama masa pendidikanku, aku harus tinggal di asrama dan ada segudang peraturan yang harus dipatuhi. Aku harus menjaga asupan makananku, tidak boleh makan sembarang makanan. Lalu, aku pun tidak boleh pergi nongkrong sepulang sekolah, tidak boleh tidur larut malam, dan juga tidak boleh berpacaran. Semua peraturan ini dibuat supaya tiap peserta beasiswa kelak bisa menjadi atlet yang tangguh.

Latihan demi latihan menjadi keseharianku untuk menjadi atlet tangguh yang nantinya akan mewakili Indonesia di berbagai ajang olahraga internasional. Namun, saat masuk di sekolah bulutangkis, aku merasa prestasiku malah menurun. Padahal sebelumnya saat aku masih duduk di bangku SD dulu, aku sering meraih berbagai juara dalam perandingan bulutangkis. Akan tetapi, saat usiaku menginjak angka 13 tahun, aku malah jarang lolos ke tahapan final ataupun semifinal.

Namun, ada sebuah peristiwa yang membuat semangatku memuncak. Waktu itu pelatihku sempat mengatakan bahwa namaku diajukan untuk mewakili Indonesia dalam ajang pertandingan Singapore Open yang akan digelar di Singapura pada November 2017. Mendengar kabar ini, aku jadi begitu bersemangat. Setiap hari aku berdoa dan berlatih lebih dari porsi yang diberikan pelatih. Saat teman-temanku menggunakan waktu liburnya untuk bermain, aku tidak pernah libur. Semua waktuku kugunakan untuk berlatih dan terus berlatih.

Namun, betapa kecewanya aku ketika menjelang hari pertandingan yang mendekat, aku tidak melihat namaku tertulis sebagai wakil Indonesia yang akan berangkat ke Singapura. Pelatihku tidak memberiku alasan apapun di balik ini, namun menurutku ini terjadi karena selama ini tidak banyak prestasi yang kuraih.

Peristiwa ini sempat membuatku berpikir untuk berhenti dan keluar saja dari sekolah bulutangkis. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya pada Tuhan. “Tuhan, kenapa? Aku tahu Tuhan bisa meloloskan aku, tapi mengapa Tuhan tidak melakukan itu? Aku harus melakukan apa lagi supaya Tuhan mengabulkan doaku? Aku merasa upayaku sudah maksimal, namun mengapa sepertinya Tuhan tidak melihat upayaku itu?”

Malam itu aku menangis dan memohon supaya Tuhan berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Keesokan harinya, alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang kuajukan semalam, hati kecilku seolah balik bertanya kepadaku: “Selama ini apa doamu sungguh-sungguh dari hati? Apa kamu datang kepada Bapa hanya untuk meminta?”

Pertanyaan ini membuatku berpikir dan akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku tidak berdoa dengan sungguh-sungguh. Setiap kali berdoa, aku hanya berdoa dengan kalimat yang sama, yang penting aku sudah mengucapkan pergumulanku dan menaikkan permohonanku pada Tuhan. Aku tidak pernah bercerita tentang apa yang aku alami pada Tuhan, aku hanya fokus memohon apa yang kuinginkan. Fokusku untuk berdoa bukan lagi untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan, melainkan hanya sekadar memohon dan memohon saja. Tanpa kusadari, aku tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai Bapa, melainkan seperti seorang pembantu yang harus mengiyakan seluruh permintaanku.

Hari itu aku berdoa. Di dalam doa tersebut aku menceritakan segala keluh kesahku, memohon ampun atas segala dosa kesalahanku, dan memohon agar Dia memberiku hati yang mau menerima kenyataan ini. Saat itu aku merasakan ada kedamaian di hatiku. Mungkin, kegagalanku masuk ke Singapore Open bukan semata-mata karena aku kurang berusaha, melainkan Tuhan juga ingin aku berubah. Tuhan ingin aku memiliki relasi dengan-Nya, relasi yang erat antara seorang anak dengan Bapa.

Sejak saat itu, caraku berdoa pada Tuhan pun berubah. Aku tak lagi menjadikan doa sebagai sarana untuk sekadar meminta, melainkan sebagai sebuah kesempatan di mana aku bisa berbicara pada Tuhan dan mendengar apa kehendak-Nya melalui firman Tuhan yang kemudian kubaca.

Sekarang aku menjalani pendidikanku di sekolah bulutangkis dengan sukacita. Aku tidak lagi kecewa karena kegagalan itu, melainkan bersyukur karena aku bisa mengenal Bapa lebih dekat lagi.

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Baca Juga:

Saat Hidup Terasa Begitu Hambar

Sebagai seorang anak muda yang punya mimpi meletup-letup, rutinitas sehari-hari yang monoton membuat hidupku terasa begitu hambar dan membosankan. Hingga suatu ketika, melalui sebuah peristiwa Tuhan menyadarkanku untuk memaknai hidup dengan cara berbeda.

Satu Hal yang Kulupakan Ketika Semua Impianku Tidak Terwujud

Oleh Evant Christina, Jakarta

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah.

Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dalam keadaan tuli, saat memasuki masa-masa TK, kedua orangtuaku menyekolahkanku di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB). Di sana aku pernah diberi tugas untuk membuat buku harian oleh guruku. Setiap hari, sepulang sekolah aku menuliskan cerita-cerita, kemudian mengumpulkannya kepada guruku keesokan harinya. Bermula dari sekadar tugas, lama-kelamaan menulis menjadi kegemaranku, hingga aku pun bercita-cita kelak ingin menjadi seorang penulis.

Beberapa tahun setelahnya, kedua orangtuaku memindahkanku ke sebuah sekolah umum. Saat duduk di bangku SMP, aku melihat kalau ternyata teman-temanku punya cita-cita yang beragam. Ada yang ingin menjadi seorang dokter, pilot, perawat, pengusaha, juga cita-cita lainnya. Karena saat itu aku belum pernah mendengar ada seorang penyandang tunarungu yang menekuni profesi-profesi tersebut, aku jadi tertantang untuk memiliki cita-cita seperti mereka, profesi yang biasa dilakoni oleh orang-orang yang kondisi fisiknya sempurna. Waktu itu aku bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta, psikolog, desainer grafis, bahkan juga seorang chef.

Menjelang kelulusan SMA, aku bergumul tentang rencana mau melanjutkan kuliah ke mana. Aku berdoa pada Tuhan dan juga bertanya kepada orangtuaku tentang pilihan apa yang harus kuambil. Waktu itu orangtuaku menyarankan agar aku tidak memilih tempat kuliah dengan lokasi yang lokasinya jauh dari rumah. Saat itu aku berbicara jujur pada ibuku tentang cita-citaku dan rencana kuliah. Namun, jawaban ibuku membuatku kecewa.

“Wah kalau kamu menjadi pendeta rasanya mustahil sekali. Apakah kamu bisa? Kamu kan tuli. Bagaimana kalau sampai kamu salah dalam sharing atau ngomong yang tidak jelas malah membuat orang- orang tidak mengerti atau malah tertawa? Untuk psikologi rasanya kamu tidak akan bisa…bla bla bla…. Ibu juga takut dan khawatir jika terjadi sesuatu apa- apa dengan kamu selama kuliah nanti, nak.” Kemudian ibuku memberikan jawaban lain yang cukup panjang.

Ibuku tidak setuju dengan pilihan cita-cita yang kuinginkan sedangkan ayahku hanya diam saja seolah tidak peduli, sehingga sejak saat itu aku merasa segala impian yang kucita-citakan pun kandas. Kemudian ayahku menyarankanku untuk kuliah di jurusan Ilmu Komputer saja karena menurutnya prospek karier di jurusan ini bagus. Aku pun menuruti saran ayahku dan mengambil jurusan Teknik Informatika. Sepanjang waktu studiku selama empat tahun, aku berjuang dengan keras supaya bisa mendapatkan nilai yang baik dan juga lulus sebagai Sarjana. Namun, karena jurusan yang kuambil bukanlah jurusan yang benar-benar kuinginkan, semangatku dalam kuliah sering naik turun. Ketika semangatku turun, sebuah ayat dari Yeremia 29:11 selalu menjadi pengingat dan memberiku kekuatan. Ya, aku percaya bahwa Tuhan akan memberiku masa depan yang penuh harapan.

Setelah aku dinyatakan lulus sebagai seorang Sarjana, seperti para fresh graduate lainnya aku pun mencari informasi lowongan pekerjaan baik melalui media sosial ataupun informasi dari orang-orang. Lamaran sudah kumasukkan melalui berbagai situs penyedia jasa lowongan pekerjaan. Tetapi, semuanya nihil. Padahal setelah aku cermati, tidak ada yang salah dengan CV-ku. Lalu, aku juga tidak lupa dengan waktu teduh, selalu berdoa dan bekerja (ora et labora) serta memohon hikmat pada Tuhan supaya ada perusahaan yang mau menerima penyandang tunarungu. Selain itu, aku juga sering bertanya kepada teman- teman tentang informasi pekerjaan, sembari meminta saran dari mereka untuk mencoba kerja di kantor lama tempat aku magang dulu. Tetapi apalah dayaku ternyata hasilnya sama.

Satu bulan, dua bulan, hingga setahun berlalu tanpa ada kejelasan. Semua perusahaan yang meresponsku hanya memberikan harapan palsu. Ceritanya, setelah mengikuti interview untuk keempat kalinya di perusahaan yang berbeda, katanya aku akan dikabari lebih lanjut melalui e-mail. Tapi, sekian lama menanti, tak kunjung ada e-mail yang kuterima. Aku menjadi bingung, putus asa, dan juga berprasangka buruk. Apakah mungkin karena keadaan disabilitasku yang membuat perusahaan-perusahaan jadi tidak mau menerimaku bekerja? Atau, apakah karena posisi yang kuambil tidak sesuai dengan jurusan kuliahku dulu?

Sampai di titik ini aku merasa ini adalah momen terendahku sebagai seorang pencari kerja selama setahun. Aku merasa kecewa dan putus asa, bahkan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa bahwa semua yang telah kulakukan itu sia-sia sehingga akhirnya aku berhenti untuk mencari pekerjaan.

Sebuah pelajaran dari kegagalan dan impian yang kandas

Di balik momen-momen sulitku sebagai seorang pencari kerja, aku sadar bahwa aku tidak bisa hanya sekadar berpangku tangan. Bagaimanapun juga aku harus memiliki penghasilan sendiri. Aku mulai mencari cara-cara lain. Jika aku tidak bisa menemukan perusahaan yang bisa memberiku pekerjaan, maka aku bisa menciptakan pekerjaan untuk diriku sendiri. Sejak saat itu, aku mencoba memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan pulsa elektronik. Hasil dari jualan ini memang tidaklah seberapa, akan tetapi aku percaya bahwa ini adalah langkah terbaik untukku belajar memulai usaha dari nol.

Selain berjualan pulsa, aku juga membantu melanjutkan usaha bersama keluargaku di rumah. Walaupun aku tidak menyukai pekerjaan itu karena aku cukup kesulitan untuk berkomunikasi terhadap pembeli, tetapi aku coba menikmatinya sebagaimana mestinya saat mengingat betapa beratnya hidupku. Aku bersyukur karena keluargaku dan beberapa orang pembeli tersebut mengenalku dengan baik dan mereka akhirnya memahami keadaanku.

Sebelumnya itu, aku juga pernah berencana mencoba bisnis online yaitu mempromosikan sebuah produk melalui media sosial berdasarkan permintaan dari beberapa temanku. Tetapi, setelah aku berunding dengan ibuku tentang bisnis online ternyata tidak mendapat persetujuan dari ibuku dengan beberapa alasan yang membuatku kecewa. Padahal itu satu-satunya cara terbaik untuk mendapat penghasilan. Aku pun sedih, putus asa, dan tidak tahu harus berbuat apa setelah mendengar hal tersebut.

Ketika aku mengingat kembali momen-momen terendah dalam hidupku, kadang aku merasa kalau diriku itu bodoh dan kacau. Bahkan, dulu aku sempat bertanya kepada Tuhan: Mengapa aku selalu gagal? Apakah karena imanku kurang? Saat itu aku hanya berfokus pada kegagalan demi kegagalan. Aku berfokus pada impianku yang kandas hingga aku melupakan satu hal yang teramat penting: Tuhan tetap berlaku baik. Kasih setia-Nya tidak berkesudahan dan rahmat-Nya tak pernah habis (Ratapan 3:22).

Ada banyak hal dalam kehidupan ini yang sulit dimengerti, termasuk mengapa Dia mengizinkanku dilahirkan dalam keadaan tuli, mengalami banyak kegagalan, dan seolah membiarkan setiap impianku kandas. Tetapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti bahwa Tuhan itu baik bukan hanya karena dia memberikanku kesuksesan, tetapi karena Dia memang baik. Tuhan mengasihiku bukan hanya karena Dia memberiku berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Seperti Ayub yang mengakui kebesaran Tuhan, aku pun yakin bahwa karena Dia adalah Tuhan yang Mahabesar, maka tak ada sesuatupun yang mustahil bagi-Nya. “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Aku tidak menyesal karena telah gagal berkali-kali. Aku juga tidak menyesal karena impian-impian yang kudambakan sejak dahulu pada akhirnya tidak terwujud. Aku percaya bahwa hidupku itu ibarat pensil dan kertas. Aku bisa menuliskan banyak keinginanku di atas kertas itu. Tetapi, aku tidak boleh lupa bahwa Tuhan memiliki alat tulis yang lebih lengkap. Ketika ada keinginanku yang tidak baik, Dia bisa menghapusnya dan menuliskan yang lebih baik dan tentunya terbaik untukku.

Aku percaya bahwa pekerjaan sederhana yang aku kerjakan saat ini adalah kesempatan berharga yang Tuhan berikan kepadaku. Ketika aku melakukannya dengan setia dan bertanggung jawab, aku yakin bahwa kelak Tuhan akan memberiku tanggung jawab yang lebih besar.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”
(Roma 8:28).

Baca Juga:

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan.