Posts

Kutemui Tuhan di Lorong Rumah Sakit

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Sudah 24 jam lebih Frans, adikku, tak sadarkan diri. Hantaman benda tumpul yang sangat keras ke kepalanya, membuat tengkoraknya retak. Hasil CT Scan semalam menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala yang membuat dirinya kehilangan kesadaran dan terus kejang-kejang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat ke tempat tidur agar posisinya terjaga dan tangannya tak mencabuti peralatan medis yang dipasang di kepala juga badannya. Tak hanya itu, dari mata kanannya yang terluka dan bengkak, masih mengalir darah segar yang membasahi perban yang melindunginya. Hematoma. Istilah asing yang kubaca pada salah satu berkas pemeriksaan yang tergeletak di meja di ujung tempat tidurnya. Operasi adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, dokter bedah saraf yang dijadwalkan untuk melakukan operasi pukul 08.00 belum tampak batang hidungnya di rumah sakit. Bahkan, sudah dua kali suster jaga di ICU/ICCU yang bolak-balik kutanyai memberi tahu perubahan jadwal operasi. 

“Pukul 10.00, Mbak!”

“Operasi dijadwalkan ulang pukul 12.00. Dokter masih melakukan operasi besar di rumah sakit yang lain.”

Sekarang sudah pukul 14.00. Pikiranku digelayuti perbincangan dengan dokter anestesi dan dokter jaga yang kutangkap ketika aku dipanggil ke ruang ICU/ICCU untuk menemui mereka. “Golden hour! Kita berkejaran dengan waktu. Peluang (hidup) pasien 40:60.“ Aku pun mengingat pesan dari pamanku yang dokter internis agar sabar mengikuti prosedur medis serta mendengar dan mengikuti setiap petunjuk dokter dengan baik ketika aku mengadu tentang jadwal operasi yang berubah-ubah saat dirinya menelepon tadi. “Sabar ya, Mbak. Kita tunggu dokter bedah.” Tepukan dokter anestesi di bahuku mengantarkan pikiranku kembali ke ruangan yang dingin dan beraroma obat itu. Ketika orang-orang menikmati tahun baru dengan berkumpul di rumah, aku memulainya di ruangan ini.

Pukul 15.00 lengking suara perawat terdengar dari ruang ICU/ICCU. “Keluarga Bapak Frans!!” Tak menunggu dipanggil dua kali, aku berlari ke depan pintu dan menampakkan muka di depan kotak kecil agar langsung dilihat suster ketika slotnya digeser.

“Saya, Suster.”

“Keluarga Bapak Frans? Dokter bedah mau bertemu, Mbak.”

Aku langsung mengenali dokternya dari seragam loreng yang melekat di badannya. Lengan bajunya dilipat hingga siku sehingga menonjolkan lengannya. Rhiza. Mataku menangkap satu kata yang disulam dengan benang hitam tebal di dada kanannya. Dia seorang dokter ahli bedah saraf terbaik di kota ini yang bertugas tetap di rumah sakit militer. Aku sedang menebak-nebak usianya tak jauh dari angka 40 ketika matanya terangkat dari berkas-berkas pasien yang dipegangnya dan melirik ke arahku, “Tindakan jam lima ya, Mbak.” Dokter Rhiza lalu menjelaskan prosedur dan proses operasi dari persiapan hingga nanti jika selesai, serta rencana selanjutnya untuk pasien. “Urgensi saat ini adalah nyawa pasien… bla… bla… bla…” Jawaban yang kuterima ketika rentetan pertanyaan seputar luka-luka serius lainnya yang perlu diperiksa, mengalir begitu saja dari mulutku. Dokter menggenggam tanganku kuat-kuat. “Doa yang kuat ya, Mbak. Saya dan tim hanyalah alat-Nya yang akan berupaya maksimal.”

Operasi hari itu selesai pukul 21.00. Frans didorong kembali ke ruang ICU/ICCU untuk pemulihan setelah sebongkah darah beku dikeluarkan dari kepalanya. Bagian tempurung kepalanya yang retak pun harus dipotong karena tak bisa lagi melindungi isi kepala. Di hari keempat, dirinya sudah sadar. Namun, dokter memberikan sedikit obat tidur agar dirinya beristirahat karena trauma dari pukulan itu membuatnya sangat kesakitan. Di hari ketujuh, Frans pindah ke kamar perawatan dan meninggalkan rumah sakit di hari keenam belas. Seminggu sekali, kami datang menemui dokter Rhiza untuk kontrol dan bersua dokter mata untuk perawatan dan operasi matanya.

Carilah TUHAN selama Ia berkenan untuk ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! (Yesaya 55:6).

Seringkali, kita mendadak berdoa khusyuk ketika sedang menghadapi masalah yang berat. Lalu berdoa sekadarnya (bila tak ingin disebut tak lagi berdoa) ketika hidup terasa nyaman dan aman. Dilihat dari sisi siapa? Dirimu ataukah diri-Nya?

Apa yang Tuhan berikan dan tunjukkan ketika kita berdoa?

Damai Sejahtera

Ada banyak sekali omongan yang terdengar di ruang IGD, juga berbagai pembicaraan tentang kondisi Frans yang secara mata duniawi di ujung tanduk. Membawanya pergi jauh untuk menjangkau rumah sakit dengan peralatan dan pelayanan yang lebih baik hanya buang waktu saja. “Tidak usah capek-capek dan mengeluarkan biaya besar. Baru berjalan sebentar, kalian akan putar balik. Pulang (meninggal).”

Orang yang berdoa tidak terbebas dari masalah, ringan bahkan berat sekalipun. Tapi, di tengah-tengah goncangan itu, ada damai sejahtera. Rasa aman di dalam Tuhan. Rasa yang membuat hati tetap teguh dan tenang untuk mengambil keputusan-keputusan penting di saat genting.

Kekuatan

Ketidaknyamanan membuat pertumbuhan. Seorang atlet tidak mendadak bisa ikut kejuaraan tanpa melewati proses latihan. Kekuatan fisiknya terlatih lewat latihan yang dilakukan secara teratur. Sedang mentalnya, terlatih ketika mengikuti ujian lewat pertandingan. Kadang di saat latihan dan  pertandingan, ada saja yang lecet. Tapi dia harus bertahan jika ingin mencapai tujuannya. Kehidupan kerohanian pun begitu. Iman diuji bukan ketika keadaan sedang aman dan nyaman. Iman diuji lewat berbagai masalah yang Tuhan ijinkan terjadi untuk melatih pertumbuhan iman. Kekuatan untuk bertahan itu didapatkan dengan tertanam dalam-dalam pada hadirat-Nya. 

Pada waktu tunggu yang tak menentu di ruang tunggu ICU/ICCU itu, Tuhan berikan kekuatan lewat doa, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan keluarga/kerabat yang datang berkunjung. Kekuatan itu pun datang ketika berjalan dari ruang tunggu ICU/ICCU ke farmasi atau ke ruang radiologi, di toilet dan ruang lainnya dengan mulut dan hati tak berhenti untuk worship (menyembah) dan berdoa. Tuhan Maha Hadir. Dia hadir dan selalu ada kapanpun kita ingin berbincang dengan-Nya, di manapun! Termasuk di lorong-lorong rumah sakit.

Berserah Tapi Tidak Menyerah

Frans adalah pasien yang menjadi pusat perhatian sejak masuk ICU/ICCU. Di jam besuk ketika dokter bedah saraf belum datang, seorang kerabat dari salah satu pasien sekamarnya mendekati ranjang Frans. Melihat kondisinya, dia menceritakan kondisi kakaknya yang persis seperti itu setahun sebelumnya. “Dia hanya bertahan sehari, Mbak. Lewat.”

Masih berani berharap dalam situasi seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku yang sempat emosi ketika pertama kali melihat kondisi adikku, diingatkan oleh abangku untuk melepaskan pengampunan pada orang yang telah berbuat jahat, yang tidak bertanggung jawab. Tidak mudah, tapi itu yang Tuhan kehendaki agar kami bisa fokus pada proses kesembuhan Frans.

Di titik itu, aku sudah tak bisa menangis. Aku berserah. Tuhan yang pegang kendali atas kehidupan ini. Tuhan tahu yang terbaik dan Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang baik, apa pun itu! Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.

Bagaimana kehidupan doamu saat ini?

Tidak ada orang yang ujug-ujug akrab tanpa ada yang sengaja memulai komunikasi dan ditanggapi oleh lawan bicaranya. Berdoa juga begitu. Kebiasaan berdoa harus dengan sengaja diaktifkan dan dibangun. Bagaimana mau mengenal Tuhan dengan dekat jika kita tidak pernah ‘ngobrol dengan-Nya?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Belajar Mempercayai Tuhan Lebih Daripada Aku Mempercayai Nilai Tabunganku

Oleh Mikaila Bisson
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Trust God with Your Finance

Sepanjang hidupku, aku sudah dilatih untuk mengelola uang dengan baik. Saat sekolah, orang tuaku memulainya dengan membuatkanku rekening bank, dan setiap uang yang kuperoleh dari pekerjaan sambilan akan langsung masuk ke sana.

“Kamu menabung untuk keadaan darurat,” kata mereka—yang tentu saja tidak masuk akal bagiku saat itu. Namun, sekarang ceritanya telah berbeda.

Beberapa bulan lalu, pergelangan kakiku patah saat bermain outdoor game bersama teman-temanku. Akibatnya, aku harus dioperasi dan proses pemulihan yang cukup panjang harus kujalani. Kecelakaan itu tidak pernah kurencanakan, tapi ketika itu terjadi aku harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Barulah sekarang aku paham mengapa menabung untuk dana darurat itu penting. Ketika aku belajar mempercayakan keuanganku kepada Tuhan, rasanya cara pandangku tentang keuangan berubah menjadi lebih baik karena aku melihatnya dari tempat yang tepat.

Dalam Amsal 3:5, kita diperintahkan untuk, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

Mempercayai itu sulit, terutama untuk sesuatu yang begitu nyata dan penting seperti uang. Bagaimana kita bisa mempercayakan cicilan rumah, mobil, dan kesehatan kita kepada seseorang yang tidak dapat kita lihat? Bagaimana bisa, jika kita seorang Kristen, mempercayakan keuangan kita pada Tuhan, tapi tetap menabung dan menyiapkan uang untuk hal-hal tak terduga?

Ketika aku harus membayar biaya pengobatan dari kecelakaan yang tak kurencanakan, aku takut dan sedih. Namun, barulah ketika aku pelan-pelan mencerna semua perasaan itu, aku jadi lebih memahami apa artinya mempercayakan keuanganku kepada Tuhan.

Meskipun Alkitab tidak memberikan pedoman khusus tentang bagaimana menyusun anggaran bulanan atau portofolio keuangan kita, Alkitab memberikan bimbingan pada bagaimana kita harus bersikap terhadap uang, terkhusus pada perasaan takut akan kehilangannya.

Mempercayai Tuhan dengan keuangan kita seperti… percaya Dia menyediakan untuk kita–tak melulu uang.

Reaksi pertamaku ketika melihat tagihan tak terduga adalah takut. Lupakan fakta bahwa aku baru sembuh dari patah tulang, aku menangis karena tagihannya mahal. Asuransiku tidak sepenuhnya meng-cover tagihan, dan aku khawatir aku tidak akan pernah mendapatkan kembali tabungan yang telah kukumpulkan dengan susah payah.

Namun, Yesus berkata dalam Matius 6:25-26,

“… Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.”

Burung-burung pun Tuhan pelihara, tentulah Dia juga memelihara kita.

Tuhanlah yang memampukanku mengumpulkan tabungan untuk kecelakaan ini—bahkan ketika aku kesulitan meraihnya di masa itu. Tuhan juga merawatku dengan cara lain. Dia membantuku menemukan konselor di kotaku yang baru beberapa minggu sebelum aku putus dengan pacarku, memberiku para sahabat yang menolongku melewati masa-masa sulit, dan segala sesuatu lainnya.

Saat aku belajar mengenal karakter-Nya, Tuhan juga menunjukkanku cara pemeliharaan-Nya. Semua ini menunjukkanku bahwa Tuhan menginginkan yang terbaik bagiku dan rencana-Nya lebih besar daripada yang kutahu. Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya terus-menerus. Ketika iman percayaku memudar pada masa-masa tertentu, mengingat bagaimana Dia memeliharaku menolongku untuk tetap kuat. Dia memegang kendali dan selalu layak dipercaya.

Mempercayakan keuangan kita kepada Tuhan ibarat… menemukan sukacita di tengah kekhawatiran

Namun sesungguhnya, aku masih khawatir meskipun aku tahu Tuhan telah menjanjikan bahwa Dia pasti memelihara. Aku tetaplah manusia. Ketakutanku terkadang begitu melemahkan, sehingga aku harus mencari pertolongan pada konselorku, teman yang kupercaya, atau orang tuaku. Sementara itu, berkali-kali aku menangis karena takut akan masa depan, aku juga menangis meratap.

Aku selalu diberitahu bahwa tidak apa-apa berduka atas kehilangan, dan bagiku, kehilangan tabungan adalah kerugian yang sangat besar. Tapi Yesus berkata dalam Mazmur 34:18, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Sementara aku berduka karena kehilangan tabunganku, Tuhan dekat denganku.

Dia bekerja untuk menunjukkanku seluruh hal-hal berbeda yang dapat membawa sukacita padaku: keluarga yang akan merawatku saat aku membutuhkan mereka, seorang dokter yang membuat jadwal operasiku lebih cepat dari yang diharapkan, dan tubuh sehat yang memungkinkanku pulih dengan cepat.

Tabunganku memang penting bagiku, tapi yang lebih penting adalah cara Tuhan yang sederhana namun sangat penting bekerja untuk kebaikanku—dan membantuku menemukan sukacita!—tepat di depan mataku.

Seiring aku terus berupaya memperbaiki kondisi keuanganku, mempercayai Tuhan masihla menjadi hal yang sulit. Tetapi, ketika aku memahami dan mengenali sumber perasaan takutku dan bagaimana Alkitab menolongku memprosesnya, kekhawatiranku akan kehilangan uang pun memudar.

Ketika dulu aku mengandalkan diriku sendiri supaya hidup berkecukupan, sekarang aku telah meraih pandangan baru yang memampukanku untuk lebih mempercayai pemeliharaan Tuhan buatku, meskipun cara-Nya tidak selalu seperti yang kuharapkan.

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ditulis oleh Matthew Job Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Surviving Traumatic Brain Injury: From “Why Me” To “Why Not Me?”

Yeremia 29:11 berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sebagian besar orang Kristen mungkin pernah mendengar ayat Alkitab yang terkenal ini. Seperti yang mungkin pernah kita dengar, mengetahui dan mengalami merupakan dua hal yang berbeda. Jika suatu hal tidak dialami secara pribadi, ayat ini hanya akan menjadi kepercayaan yang abstrak.

Pencobaan

“Karena bukan dari debu timbul bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan.” (Ayub 5:6)

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Kala itu, aku sedang bertanding di babak semifinal pertandingan Judo—sedekat itulah aku dengan medali emas pertamaku—ketika aku mendarat dalam posisi yang salah saat menerima pukulan lawan. Kejadian ini membuatku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Akibat cedera itu, aku mengalami koma selama 2 bulan. Cedera otak itu turut menyebabkan kerusakan otot-ototku. Aku tidak mampu menjalankan aktivitas apapun. Aku memperoleh asupan gizi lewat infus (untuk minum) dan selang (untuk makan). Pasca koma, otot-ototku terlalu lemah untuk menahan kepala atau badanku pada posisi tegak. Berbicara dan bergerak adalah hal yang mustahil untuk kulakukan. Dalam sekejap mata, hidupku hancur berantakan.

Perjalananku untuk pulih dan kembali ke kehidupan normal dipenuhi dengan hambatan. Pada masa-masa awal, proses pemulihan fungsi-fungsi tubuhku bagaikan mimpi buruk. Aku tidak bisa berbicara maupun bergerak. Aku takut untuk bangun setiap pagi karena kondisi tubuhku yang rusak.

Satu tahun kemudian, aku kembali ke sekolah menengahku yang lama dengan kursi roda, yang membuatku menghadapi semakin banyak kesulitan. Selain harus menghadiri sesi terapi rawat jalan setiap minggunya, aku kesulitan untuk fokus dan mengikuti pelajaran karena stamina mental yang terbatas dan proses berpikir yang lambat. Saat itulah aku menyadari kerusakan yang ditimbulkan cedera otak pada sisi kognitifku.

Aku tidak lagi dapat mengejar ketertinggalan dari teman-temanku di sekolah sekalipun aku sudah mengurangi beberapa mata pelajaran. Aku hanya mengambil lima mata pelajaran, sementara teman-teman sekelasku mengambil sembilan. Dari kegagalan yang berulang kali terjadi saat ujian, terbukti bahwa aku bukan lagi peraih prestasi seperti dulu.
Pindah ke politeknik, aku tidak hanya terus bergumul di bidang akademik—aku juga harus berjuang agar bisa berbaur dengan baik. Proses berpikir yang lambat membuatku terus bersikap canggung. Sekalipun orang-orang di sekitarku menghiburku, aku tetap merasa sendirian dan mulai membenci diriku sendiri.

Kesulitan yang kualami membuatku mempertanyakan maksud Tuhan yang mengizinkan malapetaka ini menimpaku. Kalau rencana Tuhan dalam hidupku memang untuk memberikan damai sejahtera dan masa depan yang berpengharapan, aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan tidak menghentikan terjadinya kecelakaan itu.

“Apa aku telah berbuat dosa besar yang membuatku pantas dihukum seberat ini? Kenapa Dia masih membiarkanku hidup di sini untuk menderita? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja pada hari itu? Kenapa aku?” Itu adalah sederet pertanyaan yang menyeretku masuk dalam keputusasaan. Pada satu titik, aku bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Pencobaan yang kualami terlalu menyesakkan. Manusiawi jika aku memilih untuk menyerah.

Memahami “mengapa”

“Hidup dan kasih setia Kau karuniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.” (Ayub 10:12)

Ketidakpercayaanku akan rencana Tuhan yang sempurna tidak membuat-Nya berhenti mengasihiku. Melalui keluarga, guru, teman, mentor, dan bahkan orang yang tidak kukenal, Tuhan memberikan kekuatan, semangat, dan mukjizat yang memampukanku melewati masa-masa sulit itu. Saat aku menengok ke belakang, aku menyadari penyertaan-Nya dalam hidupku: hanya kasih karunia-Nya yang dapat menjaga dan memberiku kekuatan untuk memikul salibku.

Sekalipun sempat mengalami kegagalan saat kembali ke sekolah menengah, aku berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di politeknik berkat dukungan dari guru-guruku.

Dalam masa pemulihan, aku diperkenalkan pada pengobatan alternatif seperti akupuntur, terapi berenang, dan meditasi. Ditambah dengan olahraga yang intens setiap harinya, akhirnya setelah dua tahun aku bisa kembali berjalan. Bahkan, aku dapat menyelesaikan pertandingan lari jarak jauh, termasuk perlombaan maraton 10 kilometer di tahun 2016.

Walaupun diperhadapkan pada kenyataan bahwa aku tidak akan mampu bkerja di bidang pendidikan atau industri, aku diterima bekerja sebagai asisten terapis untuk terapi musik di sebuah panti jompo Kristen yang mau mempekerjakan dan memberi dukungan tanpa pamrih untukku.

Pekerjaanku membuatku berkembang, baik dalam pemulihanku maupun kompetensiku sebagai seorang profesional. Kompleks panti jompo yang besar mengharuskanku banyak menggerakkan kaki dan memberiku banyak kesempatan untuk latihan berjalan. Dengan bangga kukatakan bahwa kecepatan berjalanku sudah bertambah!

Aku tertantang untuk memikirkan cara supaya tugas yang diberikan kepadaku bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Jam klinik harian bersama para penghuni panti jompo juga membantuku mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Disiplin untuk mengerjakan semua kewajiban seperti persiapan, pelaksanaan, dan pembersihan untuk sesi individu maupun kelompok memberiku kesempatan untuk melatih kemampuan manajemen waktu. Terlepas dari keterampilan kerjaku yang bertambah baik, aku mulai mengerti sebagian kecil dari alasan mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami kejadian yang mengerikan itu.

Mengalami maksud penebusan Tuhan

Di tempat kerja, hari-hariku dilalui dengan berinteraksi dengan mereka yang sudah memasuki usia senja. Aku berjalan bersama mereka yang telah—entah secara perlahan maupun tiba-tiba—kehilangan kendali atas hidup mereka. Oleh karena itu, mereka hanya bisa bergantung pada orang-orang di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi mereka mencerminkan masa laluku.

Melalui musik, aku dapat membawa sukacita dan penghiburan bagi orang-orang yang mirip denganku. Tentu saja, kesakitan dan penderitaanku tidak dapat dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan. Tetapi aku percaya, Tuhan mengizinkanku merasakan kehilangan pengharapan dan ketidakberdayaan supaya aku bisa lebih berempati kepada para penghuni panti jompo ini.

Dengan empati yang aku miliki, aku menjadi lebih sabar dan peka dalam menjalani keseharianku bersama mereka. Aku bersikeras untuk terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka, sekalipun ada dari mereka yang sulit ditangani atau tidak responsif. Aku tahu betul bagaimana rasanya kesepian, dan inilah yang menggerakkanku untuk menjangkau dan mengunjungi penghuni panti setiap hari sekalipun saat itu bukan jadwal tugasku.

Tentu, dedikasiku padapekerjaan membuatku merasa lelah di ujung hari. Namun, aku bersukacita karena aku pulang ke rumah tanpa membawa penyesalan. Aku kagum akan kasih Tuhan untukku, karena melalui keadaan hidupku yang unik, yang dulu pernah kulalui, aku bisa memaknai pekerjaanku dan menemukan sukacitaku berlipat ganda.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami apa maksud Tuhan untuk hidupku. Tuhan tahu bahwa aku akan menderita, tetapi Dia memberiku kekuatan yang cukup untuk bertahan dari kecelakaan cedera otak dan mempersiapkanku untuk melakukan pekerjaan yang indah ini. Dengan kasih karunia Allah, aku berhasil membalikkan pencobaan terberatku menjadi hal terbaik yang mungkin dapat terjadi kepadaku.

Setelah mengalami kebenaran dan indahnya janji Tuhan, aku bisa memiliki harapan akan masa depanku. Jika saja dulu aku memutuskan untuk menyerah, aku tidak akan bisa melihat karya-Nya di hidupku dan menikmati perjalanan bersama Tuhan hari ini. Pertanyaan terbesarku “Mengapa aku?” sudah berganti menjadi “Mengapa bukan aku?”, dan hal ini dapat terjadi karena aku telah bertekun dalam penderitaanku yang bersifat sementara.

Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah, tapi sama seperti Ia menyertai orang Israel selama masa pengasingan, Ia juga berjanji tidak akan pernah meninggalkan atau membuang kita di tengah pencobaan dan penderitaan yang kita alami.

Rencana Tuhan kadangkala melibatkan rasa sakit dan penderitaan, namun Dia berjanji akan menyertai kita melewati semua itu (Yesaya 41:10). Apapun yang kamu sedang alami saat ini, aku mengajakmu untuk tetap bertahan. Sebab, saat kamu “membiarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang”, kamu akan menjadi “sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Pengharapan bahwa kita akan disempurnakan di dalam Dia akan memberikan kita pengharapan untuk masa depan kita. Amin.

Artikel ini diterjemahkan oleh Stephanie Yudith

Baca Juga:

Jangan Sekadar Mengeluh!

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat.”

Tetap Beriman di Tengah Kecelakaan

Oleh Christina, Yogyakarta

Jumat, 6 April 2018. Hari itu aku berjanji untuk menemui temanku di Surabaya. Dari Yogyakarta, aku berangkat menaiki Kereta Api Sancaka dan duduk di gerbong ekonomi 1 yang posisinya kira-kira empat gerbong di belakang lokomotif. Tepat pukul 16:40 kereta bertolak menuju Surabaya.

Aku sengaja memilih naik kereta api karena kupikir inilah transportasi yang paling aman. Tidak seperti bus yang kadang ugal-ugalan, naik kereta api terasa lebih tenang. Lajunya konstan, tinggal duduk lalu sampai di tujuan.

Sekitar jam setengah enam, kereta sudah melewati daerah kota Solo. Aku tidak tahu posisi kereta tepatnya berada di mana karena aku menghabiskan waktu dengan membaca buku. Hingga tiba-tiba kereta bergetar hebat. “Brakk!” Benturan keras terjadi. Semua penumpang kaget. Kira-kira tiga kali benturan itu terjadi, dan di benturan ketiga seluruh lampu di gerbong mati. Kereta berhenti total. Suasana gelap gulita, para penumpang panik dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kereta Sancaka yang aku tumpangi baru saja mengalami kecelakaan. Kereta menghantam sebuah truk pengangkut beton di sebuah perlintasan tanpa palang pintu. Lokomotif terguling dan tiga gerbong di belakangnya anjlok ke luar dari rel. Kurang lebih satu jam kami menanti dalam kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa karena cuaca di luar hujan deras dan kereta berhenti di tengah-tengah proyek pembangunan jalan tol. Tidak ada pemukiman warga sama sekali di dekat rel.

Aku tertunduk di kursiku dan hanya bisa berdoa, “Tuhan, semoga hujan ini segera berhenti.”

Tidak lama kemudian, seorang penumpang mendapatkan kabar bahwa sang masinis kereta gugur dalam kecelakaan ini. Beliau berusaha mengerem laju kereta sebisa mungkin, namun kecelakaan tetap tidak bisa dihindari. Aparat kepolisian mulai berdatangan untuk mengevakuasi kru kereta api dan penumpang yang terluka. Puji Tuhan hujan sudah berhenti.

Seorang polisi memintaku untuk keluar dari gerbong. Tapi, aku takut. Dari pintu kereta hingga menyentuh tanah terpaut jarak yang tinggi. Akhirnya polisi itu memanggil rekannya dan menggendongku supaya aku bisa keluar dari gerbong.

Aku bersama para penumpang lainnya berjalan melewati tanah berlumpur. Pikiranku serasa kosong. Aku masih tidak percaya kalau kereta yang kutumpangi itu mengalami kecelakaan, padahal di awal perjalanan aku yakin bahwa kereta adalah transportasi yang paling aman.

Warga desa menawarkan bantuan kepada para penumpang. Mereka membawa mobil pikap dan mengantarkan penumpang yang terburu-buru ke terminal terdekat supaya bisa segera melanjutkan perjalanan ke Surabaya naik bus. Bersama belasan penumpang lain, aku ikut naik pikap itu dan berharap supaya aku bisa segera tiba di Surabaya.

Hatiku sedikit lega saat tiba di dalam bus. Setidaknya aku aman dan bisa istirahat sebentar, pikirku. Namun, anggapanku salah. Masih syok atas kecelakaan yang baru saja terjadi, supir bus mengemudi dengan ugal-ugalan. Beberapa kali dia mengerem mendadak dan nyaris menabrak kendaraan lain.

Aku kembali tertunduk dan berdoa, sementara para penumpang kereta yang sekarang satu bus denganku berusaha menegur supir supaya lebih berhati-hati mengemudi. Tapi, teguran itu tidak digubris hingga akhirnya sekitar jam 12 malam, bus menabrak bus lain yang berada di depannya. Kepanikan pun melanda, lututku lemas. Penumpang lain ada yang mengamuk kepada sopir dan ada juga yang menangis.

Singkat cerita, semua penumpang kemudian diangkut menggunakan bus lain dari perusahaan bus yang sama. Jam dua dini hari aku tiba di Surabaya. Aku sungguh bersyukur karena Tuhan memberiku kesempatan untuk tiba di tujuan dengan selamat.

Dua kecelakaan yang terjadi dalam kurang dari enam jam bukanlah peristiwa yang aku harapkan. Itu adalah peristiwa yang tidak terduga, tidak terkendali, tidak terbayangkan, dan tidak pernah terjadi sebelumnya kepadaku. Tatkala kecelakaan itu terjadi, aku merasa begitu takut, apalagi aku bepergian seorang diri. Namun, satu yang kulakukan kala itu adalah berdoa. Dengan berdoa, Allah menguatkan imanku, sebagaimana Pemazmur yang mengatakan:

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah” (Mazmur 62:2-3).

Ya, kecelakaan atau musibah apapun bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan ini. Tidak ada jaminan bahwa hidup kita akan selalu mulus dan selalu terluput dari marabahaya. Namun, alih-alih membiarkan rasa takut akan musibah itu menguasai kita, kita bisa bersandar penuh kepada Allah yang di dalam Kristus telah memberikan janji penyertaan-Nya setiap waktu.

“Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Baca Juga:

Ini Caraku Memberitakan Injil

Aku tidak setuju dengan cara penginjilan yang diharapkan oleh pendetaku. Kupikir cara itu bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh orang Kristen untuk memberitakan Injil.