Posts

3 Hal untuk Kita Pikirkan Saat Kita Selalu Merasa Tidak Cukup Baik

Oleh Karen Kwek, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Do I Always Think I’m Not Good Enough?
Ilustrasi gambar oleh Barbara Jenjaroentham

“Aku sangat stress,” Anna menghela napas, merebahkan tubuhnya ke kursi di depanku. “Aku perlu berjuang sebaik mungkin di masa percobaan ini, tapi karena atasanku selalu mengkritikku, sepertinya aku tidak bisa melakukannya.”

Anna adalah temanku. Di usia 20-annya, tahun lalu dia mulai bekerja di bidang pendidikan. Dalam pekerjaannya, dia orang yang cakap dan sangat menolong murid-muridnya, jadi aku sedikit kaget ketika tahu kalau pekerjaannya tidak semulus yang kukira. “Mungkin masalah personal?” tanyaku. “Mungkin atasanmu adalah orang yang suka mencari-cari masalah?”

Anna menggeleng. “Tidak, dia memang bersikap keras ke staf baru lainnya. Dan, dia tidak mengizinkan kami berbuat kesalahan. Aku merasa seperti dihakimi setiap saat. Aku harus membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku bisa. Aku akan sangat kecewa kalau aku tidak lolos!”

Aku bisa mengerti Anna. Ketika menghadapi situasi yang menantang, aku cenderung khawatir kalau aku akan gagal. Jika aku menghadapi tantangan itu, aku berdoa dan melakukan yang terbaik, tapi tetap saja aku merasa khawatir. Dan, kalau ada seorang lain yang bisa melakukan itu dengan lebih baik, aku malah merasa senang karena aku bisa terhindar dari kesulitan itu. Tidak ada yang salah dengan sedikit meragukan diri sendiri bukan? Bukankah itu alami?

Memikirkan kembali makna “cukup baik”

Ilustrasi oleh Barbara Jenjaroentham (@barbsiegraphy)

Mudah untuk melihat mengapa Anna merasa tidak layak; tekanan eksternal dari pekerjaannya dan tuntutan dari atasannya itu sungguh nyata. Dalam kehidupan kita sebagai pelajar atau pekerja, kita biasanya dinilai berdasarkan kriteria dan standar tertentu. Kalau kita melakukan pekerjaan dengan baik itu artinya kita punya pengetahuan yang cukup dan kompeten, apa pun latar belakang kita. Di negaraku, Singapura, sistem pendidikan yang kompetitif membiasakan siswa-siswi untuk menilai dirinya dengan cara seperti ini sejak mereka masih kecil. Nilai pelajaran yang bagus seolah membuka pintu-pintu kesempatan lebih lebar atau dianggap bisa menyingkirkan tantangan. Seorang anak sering mendapat perkataan, “Kamu kurang baik” atau “Kamu tidak baik”. Kami jadi waspada terhadap setiap potensi kegagalan, yang akhirnya membawa kami pada meragukan diri sendiri sejak usia dini.

Kedua, jika berbicara tentang prestasi, budaya kami itu memiliki dua wajah. Di satu sisi, kami menghargai kesuksesan. Tapi, di sisi lainnya, kami mencurigai hal-hal yang berkaitan dengan mempromosikan diri. Kami diperingatkan untuk tidak melulu memikirkan kesuksesan, jadi kami belajar untuk tidak menonjolkan diri. “Aku tidak cukup baik,” sering terucap meski fakta menunjukkan yang sebaliknya. Itulah yang sering jadi reaksi spontan kita ketika diberi pujian atau pengakuan. Kami seolah percaya bahwa itulah cara yang sehat untuk menangkal kebanggaan diri atau kesombongan. Tapi, apakah itu benar?

Kita mungkin dibesarkan dengan pemahaman dan bias budaya tertentu, tapi Tuhan menantang orang Kristen untuk melihat dunia dari lensa yang baru, sebab sekarang kita adalah milik Kristus (Roma 12:2). Inilah beberapa alasan mengapa meragukan diri sendiri, atau ketakutan merasa diri tidak layak bukanlah cara yang tepat untuk orang Kristen merespons kesulitan atau lingkungan yang menuntut kompetisi.

1. Kita dinilai “cukup baik” oleh Allah, bukan dunia

Dunia tempat kita tinggal ini sering memberikan peringkat atau nilai-nilai hierarkis kepada karakter manusia yang secara objektif itu netral. Dalam perspektif Allah, perbedaan-perbedaan ini nyata namun sebenarnya setara. Contohnya, kaya dan miskin, tinggi dan pendek, cantik dan biasa saja, tua dan muda—karakter-karakter itu adalah titik-titik perbedaan pada skala horizontal yang secara moral adalah sama. Menjadi orang yang tinggi, kaya, muda, dan cantik tidak membuat seseorang menjadi lebih baik dari orang lain yang pendek, miskin, tua, dan biasa saja. Namun, dunia kita bersikukuh membuat perbedaan-perbedaan itu, dengan memberi imbalan lebih kepada beberapa karakter daripada yang lainnya. Sistem penilaian seperti itulah yang menimbulkan rasisme, seksisme, dan berbagai prasangka lain terhadap mereka yang sebenarnya hanya berbeda dari kita, bukan lebih buruk dari kita.

Di dalam suratnya, Yakobus mengingatkan orang-orang percaya bahwa Allah punya standar yang berbeda dan Dia mau supaya kita mengasihi semua orang (Yakobus 2:1-8), karena kita semua adalah pendosa, yang telah menerima anugerah di hadapan Allah. Karena itu, satu-satunya standar yang penting adalah Allah telah menilai kita “baik” karena Yesus telah mati untuk menyelamatkan kita.

2. Apa yang “cukup baik” menurut dunia itu tidak pasti

Masalah keduanya adalah ketika kita berpikir “cukup baik” saat meraih keberhasilan atau kesepakatan, pemikiran itu kandas saat kita menghadapi rintangan lainnya.

Beberapa minggu setelah obrolanku dengan Anna berlalu, dia memberitahuku kalau dia tidak termasuk di antara lima orang yang ditawari kontrak untuk lanjut bekerja. Dia merasa tersakiti dan kecewa. Dia merasa belum cukup baik, belum maksimal berkarya untuk tempatnya bekerja itu. “Kalau kamu lolos dan ditawari kontrak kerja, kamu akan merasa puas?” tanyaku. “Tentu,” dia menjawab dengan berminat sebelum akhirnya menambahkan, “Setidaknya… sampai babak penilaian selanjutnya…”

Apa yang baik menurut dunia itu bisa berubah-ubah. Kalau kita meletakkan harapan kita dengan menjadi “cukup baik” untuk dunia ini, kita akan selalu merasa terancam dengan orang lain yang “lebih baik”, atau menjadi subjek dari standar dan tren dunia yang berubah.

3. Mengatakan “Aku tidak cukup baik” itu bukan sungguh-sungguh ekspresi kerendah hati

Mungkin aku merasa sudah rendah hati ketika aku menolak suatu tantangan atau permintaan yang coba diberikan kepadaku karena kupikir aku tidak bisa sungguh-sungguh melakukannya. Tentu, ada batasan nyata, dan ada saat-saat ketika mengatakan tidak itu bukan melulu tentang bersikap rendah hati, tapi hanya sekadar belajar bijaksana tentang batasan-batasan itu, seperti ketika aku memutuskan untuk tidak bergabung dengan tim pendaki Gunung Everest, atau ketika aku memutuskan untuk tidak mengemudi karena aku sudah minum beberapa gelas anggur.

Tapi, jauh lebih sering, ketika aku berpikir tak cukup baik untuk melayani Tuhan sesuai dengan yang dibutuhkan, itu bukan karena aku benar-benar bersikap rendah hati, malah sebaliknya; itu karena aku mengandalkan usahaku sendiri daripada mengandalkan Tuhan dan apa yang bisa Dia lakukan melalui diriku atau tanpa diriku. Aku tidak melihat pada Tuhan, tetapi pada diriku sendiri. Dan melalui cara pandang dunia, aku jadi takut dan berpikir kalau dunia akan mengharapkan “lebih banyak” dariku.

Di saat itulah aku teringat tentang Musa di dalam Keluaran 3-4, bagaimana kesadaran diri Musa bahwa dia “tidak pandai bicara” membuatnya berkata pada Tuhan, “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kau-utus”. Tuhan murka kepada Musa, karena pemikiran bahwa dia “tidak cukup baik” itu berasal dari penghakiman manusia dan ketidakmampuan Musa untuk percaya Tuhan yang bekerja melalui kelemahannya. “Aku tidak cukup baik” adalah kerendahan hati yang salah, suatu bentuk kebanggaan diri.

Adakah cara yang lebih baik?

Ilustrasi oleh Barbara Jenjaroentham (@barbsiegraphy)

1. Sadari bahwa kita berharga di hadapan Tuhan lebih daripada sekadar nilai yang dunia berikan

Ketika kita dicobai untuk berpikir bahwa kita tidak cukup baik, penting untuk bertanya standar manakah yang kita gunakan. Roma 5:6-8 mengingatkan kita bahwa kita sesungguhnya tidak cukup baik—kita hanya pendosa yang jauh dari standar Allah, namun “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Itulah yang menunjukkan betapa bernilainya kita bagi Allah.

Orang-orang di sekolah atau tempat kerja kita mungkin saja menilai kita hanya berdasarkan penampilan, pengetahuan, atau kemampuan kita. Tapi, yang terpenting adalah penilaian Allah sendiri. Kita hanya perlu mempercayai penilaian Allah atas diri kita.

2. Bukan tentang “seberapa baik” tapi “seberapa mengasihi”

Jika kita mendapati diri kita kewalahan menghadapi tekanan untuk melakukan “yang terbaik”, mungkin pengejaran kita akan sesuatu (nilai, pekerjaan, gaya hidup, atau gengsi) menjadi lebih penting buat kita daripada mempercayai Allah untuk menempatkan kita di mana kita dapat melayani-Nya. Anna menyadari hal ini ketika dia mulai mencari pekerjaan lainnya. “Aku sangat terpukul karena harus melepaskan pekerjaanku, sampai akhirnya aku sadar kalau obsesiku untuk mempertahankan pekerjaan itu telah membuatku jadi orang yang sibuk, stres, penuh persaingan.”

Mungkin kita seharusnya tidak terlalu berfokus tentang “berhasil” atau “gagal”, tapi bergantung pada pertolongan Tuhan, supaya dalam keadaan kita, kita bisa menjadi seorang yang mengasihi orang lain. Dalam kata lain, aku sebagai orang percaya—mengasihi, bersukacita, mempunyai damai sejahtera, sabar, murah hati, baik, setia, lemah lembut, dapat menguasai diri—lebih penting buat Tuhan daripada aku ada di sekolah ini atau sekolah lain, satu pekerjaan atau lainnya.

Kerendahan hati yang sejati mengajari kita bahwa kita tidak akan selalu sukses di mata dunia ini, atau selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan, ini bukanlah masalah. Jika Tuhan mau sesuatu yang lain buat kita, maukah kita merendahkan hati untuk menerima bahwa Dia tahu yang terbaik?

3. Bukan tentang kita

Ilustrasi oleh Barbara Jenjaroentham (@barbsiegraphy)

Terakhir, Kristus datang untuk membebaskan kita dari belenggu diri kita sendiri. Tetap berpikir kalau “Aku tidak cukup baik”, atau selalu berandai-andai dapat mengalihkan fokus kita dari kekuatan dan tujuan Tuhan. Anna mengakui, setelah dia sadar bahwa selama ini dia tidak percaya Tuhan sepenuhnya, kemudian dia jadi merasa bersalah karena “mengecewakan Tuhan”. Ini adalah bentuk lainnya dari merasa tidak cukup baik! Penting untuk mengetahui bahwa kita telah menerima pengampunan penuh dari Kristus ketika kita mengakui dosa kita kepada Tuhan—Tuhan itu Mahabesar, dan karya Kristus di kayu salib itu cukup; itu bukan tentang kita.

Dalam bukunya yang berjudul The Freedom of Self-Forgetfulness, pendeta dan penulis Timothy Keller mengamati bahwa “Inti dari kerendahan hati menurut Injil adalah tidak lagi meninggikan atau merendahkan diri sendiri. Kerendahan hati yang sejati itu berarti tak lagi menghubungkan pengalaman kita, percakapan kita dengan diri sendiri. Saat tak lagi memikirkan tentang diri sendiri, aku bisa merasakan kelegaan dari menyangkal diri.”

Dan juga, aku belajar bahwa cara pandang kita yang benar adalah terletak di salib, pada Juruselamat kita. Seperti yang Rasul Paulus katakan:

“Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita” (Roma 12:3-6a).

Daripada prestasi, kemampuan, atau penerimaan dari dunia, Paulus berkata bahwa iman adalah ukuran yang seharusnya menjadi dasar kita berpikir tentang diri kita. Hal ini sangatlah penting, sebab iman tidak pernah berbicara tentang kita; itu adalah pemberian Allah, jadi tidak ada seorang pun yang bisa memegahkan diri. Paulus berkata bahwa di dalam Kristus kita semua berbeda karena kita diciptakan untuk saling melayani satu sama lain. Ayat ini sungguh nyata. Paulus berkata: Tuhan menciptakan kita dan menyelamatkan kita, dan kita sekarang adalah milik-Nya; ada pekerjaan Kerajaan-Nya yang harus diselesaikan, jadi marilah kita lakukan apa yang Tuhan sudah berikan pada kita, tanpa membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, atau mencoba menjadi sesuatu yang sebenarnya bukanlah kita.

Aku merasa gembira melihat bagaimana para penulis Perjanjian Baru pada akhirnya mengingat Musa bukan dari sisi kelemahannya saja, melainkan sebagai orang yang “kuat dalam ucapan dan tindakan” (Kisah Para Rasul 7:22) dan “setia di seluruh rumah Allah” (Ibrani 3:2), karena dia dengan setia melakukan seperti yang Tuhan minta. Apa yang dapat kita lihat dari transformasi Musa dalam Keluaran 2-3? Tuhan bekerja di dalam dan melaluinya, terlepas dari ketakutannya! Selalu berpikir kalau aku tidak cukup baik adalah kebiasaan yang sulit dilepaskan, tapi berdoalah supaya kebenaran Tuhan—bahwa hidup ini adalah tentang-Nya, dan Dia menolongku untuk mengasihi orang lain—menggerakkanku untuk tidak hanya memperhatikan diriku sendiri.

Apakah kamu cenderung merasa kurang baik? Maukah kamu membiarkan firman Tuhan menghibur, mendorong, dan menginspirasimu?

Baca Juga:

Tuhan Memakai Pengalaman Tidak Menyenangkanku untuk Memberkati Orang Lain

Tuhan memang tidak berjanji untuk menghilangkan rasa sakit yang datang dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang kita alami, tapi Dia berjanji untuk terus bekerja melalui diri kita yang berdosa.

5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Ketika Temanmu Mengalami Gangguan Kejiwaan

Oleh Karen Kwek, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Find Out Your Friend Has A Mental Illness

Aku dan Simone* adalah teman saat kuliah di Inggris bertahun-tahun yang lalu. Simone merupakan seorang yang pintar dan populer dengan selera humor yang sarkastik. Di samping itu, bila dilihat sekilas, Simone sepertinya adalah seorang wanita yang memiliki segalanya: dia punya iman Kristen yang kuat, teman-teman dekat, prestasi akademik yang gemilang, juga kesempatan besar untuk melanjutkan studi tentang musik di jenjang pasca-sarjana. Sebagai wakil dari Outdoor Activites Club di kampus kami, Simone selalu penuh dengan ide-ide ambisius untuk mengisi perjalanan akhir pekannya. Dia suka aktivitas menaklukkan puncak gunung, hiking melalui hutan, menyisiri pantai, atau mengikuti pertandingan mendayung di musim panas.

Namun, hal itu berubah ketika kami berada di tingkat akhir masa kuliah, ketika aku, Simone, dan dua perempuan Inggris lainnya tinggal bersama di sebuah apartemen yang dikhususkan bagi mahasiswa. Di situlah aku mulai melihat sisi lain dari seorang Simone. Kami semua tahu bahwa Simone memiliki kesulitan tidur, tetapi biasanya aku hanya bertemu dengannya di ruang makan atau saat pertemuan kelompok saja. Aku tidak pernah memperhatikan bahwa Simone adalah seorang yang cepat lelah dan penyendiri.

Suatu malam, kami sangat terkejut dan khawatir karena Simone mengunci dirinya di kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Tapi, keesokan harinya, Simone nampak baik-baik saja dan menjalani harinya seperti biasa. Kejadian serupa sempat terulang kembali beberapa kali. Namun, karena kami semua sedang menghadapi ujian yang cukup membuat stres, kupikir inilah alasan di balik perilaku Simone yang tidak biasa tersebut. Aku sering begadang untuk belajar bersama Simone, dan kami juga berdoa bersama saat dia merasa stres. Saat Minggu pagi, kami beribadah di gereja bersama-sama. Di musim panas tahun itu, akhirnya kami pun lulus dan melanjutkan studi kami ke program S-2 di universitas yang berbeda—Simone pergi ke Prancis, sedangkan aku ke Amerika Serikat.

Mungkin kamu jadi bertanya-tanya: bagaimana bisa kisah Simone ini dikatakan sebagai gangguan kejiwaan? Atau mungkin, seperti aku sebelumnya, kamu berpikir bahwa pengalaman Simone tersebut tidak cukup membuktikan bahwa dia pantas untuk mendapatkan label sebagai seorang yang memiliki gangguan kejiwaan.

Tapi, faktanya adalah isu tentang gangguan kejiwaan saat ini jauh lebih umum terjadi dibandingkan dengan apa yang kita pikirkan. Di negaraku (Singapura), sebuah studi pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa 1 dari 8 orang di Singapura menderita gangguan kejiwaan. Sedangkan di Amerika Serikat, pada tahun 2016 secara angka jumlahnya adalah 1 dari 6 orang, dengan prevalensi tertinggi (22,1%) di antara orang-orang muda (usia 18-25 tahun). Menurut data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2017 terdapat lebih dari 300 juta oarng, atau 4,4% dari populasi global menderita depresi.

Selain depresi dan kecemasan sebagai bentuk paling umum dari gangguan kejiwaan dalam skala global, banyak juga yang menderita kondisi mental yang kompleks, termasuk Autism Spectrum Disorder (AS), Attention Deficit and Hyperactivity (ADHD), dan epilepsi.

Aku tidak menuliskan ini berdasarkan pandangan menyeluruh dari seorang yang profesional di bidang kesehatan. Tetapi, aku menuliskannya dari sudut pandangku sebagai orang beriman yang tidak luput dari kekurangan, yang juga mengetahui kesulitan yang dialami oleh beberapa temanku. Sebagai seorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan, menurutku tidak ada perbedaan antara “kita” dan “mereka”.

Setiap kita pasti pernah mengalami pergumulan hidup yang sedikit banyak memberi dampak terhadap kesehatan kejiwaan kita; yang membedakannya hanya tingkatannya. Aku menceritakan kisah Simone di sini karena dialah yang pertama kali membantuku memahami situasi ini dengan lebih baik, serta mengajarkanku untuk bagaimana menjadi teman sekaligus saudari yang lebih baik dalam Kristus.

Jika kamu memiliki teman yang memiliki masalah kesehatan kejiwaan, inilah beberapa langkah yang bisa kamu ambil untuk membantunya.

1. Berempati dan dukung dia untuk meminta bantuan bila diperlukan

Jantung berdebar-debar, panik, mual, muntah, tangisan yang berlebihan, perilaku berisiko ekstrem, kekerasan, melukai diri sendiri—perilaku psikis dan fisik ini bisa jadi dipicu oleh stres, kecemasan berlebih, dan bentuk penyakit kejiwaan.

Temanmu mungkin saja sedang melalui proses penyesuaian diri yang sementara terhadap kehilangan atau trauma. Jika demikian, dengan kamu ada di sampingnya sebagai teman untuk berbicara dan berbagi, kamu dapat membantunya meringankan bebannya. Mungkin, memang inilah yang temanmu perlukan.

Namun, apabila masalahnya lebih serius atau kronis (terjadi berulang kali), sarankan dia untuk meminta bantuan dari seorang pendeta, konselor, atau dokter. Beberapa orang seringkali merasa malu untuk menceritakan tentang gejala yang mereka alami, seperti mendengar “suara-suara”, berhalusinasi, rasa ketakutan yang berlebihan atau paranoid, rasa ingin bunuh diri, atau pikiran seperti seorang pembunuh.

Kehadiranmu itu sangat penting karena biasanya ada sebuah stigma sosial yang sering disematkan kepada orang yang menderita gangguan kejiwaan, termasuk di dalam lingkungan orang Kristen sendiri. Orang yang mengalami kondisi gangguan kejiwaan merasa takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti. Oleh sebab itu, biasanya mereka dikucilkan dari relasi. Akibatnya, mereka tidak dapat menikmati relasi layaknya orang “normal”, baik itu di rumah, kantor, dan gereja. Mereka biasanya tidak dihiraukan saat bersenda gurau, dibiarkan dalam rasa malu, atau didiamkan saja, dan juga dianggap sebagai orang lain.

Jadi, apabila temanmu sudah terbuka kepadamu tentang kesehatan jiwanya, ketahuilah bahwa inilah tanda dia mempercayaimu. Sangat mungkin apabila selama ini dia merasa sendirian dan disalahpahami, atau mungkin dia merasakan hal ini di masa lalu.

Simone, temanku itu bertahan seorang diri dan menyimpan pergumulannya selama lebih dari 10 tahun sebelum masa-masa suram itu semakin sering terjadi dan dia berusaha mengakhiri hidupnya berulang kali. Pacarnya (yang sekarang telah menjadi suaminya) yakin bahwa ada sesuatu yang sangat salah, dan kemudian membawanya untuk mencari bantuan. Pada tahun 2015, dia didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Diagnosis ini membantu keluarga dan teman-teman Simone untuk sedikit lebih mengerti tentang apa yang Simone telah alami semenjak masa remaja.

2. Hindari menjejali temanmu dengan ayat-ayat Alkitab saat itu juga dan membuat asumsi tentang kondisi kejiwaannya

Meskipun Simone sudah didiagnosis dan kemungkinan besar dicap sebagai pasien gangguan kejiwaan oleh sebagian orang, bagiku dia tetaplah Simone yang selalu menjadi temanku. Dukungan ini sangat berarti bagi Simone.

Walaupun cap tersebut sebenarnya tidak mendefinisikan temanmu, cobalah mengerti sebanyak mungkin yang bisa kamu mengerti tentang isu kesehatan jiwa temanmu secara spesifik karena tidak semua kondisi itu sama. Mintalah temanmu untuk mendeskripsikan apa yang dia hadapi. Bacalah bacaan-bacaan yang relevan yang dipublikasikan oleh institusi-institusi yang mendukung tentang kesehatan kejiwaan.

Mitos yang paling menghancurkan adalah pernyataan yang berkata: hanya orang lemah yang memiliki gangguan kesehatan kejiwaan; masalah ini seharusnya bisa diselesaikan begitu saja; ini adalah hukuman yang pantas didapatkan oleh dia; imannya tidak cukup kuat sih; atau, orang yang dewasa secara rohani pasti tidak akan mengalami gangguan kejiwaan, atau pasti selalu bisa sembuh.

Gangguan kejiwaan biasanya disebabkan oleh faktor yang kompleks antara genetik, biologis, psikologis, dan lingkungan yang saling mempengaruhi. Dalam banyak kasus yang kronis, bahkan penyebabnya tidak diketahui. Gejala-gejala psikologis juga dapat terjadi secara tidak menentu, seolah-olah tubuh mengabaikan instruksi dari otak dan bekerja di luar kendali. Kamu harus peka. Ketika berbagi ayat-ayat Alkitab dengan temanmu yang sedang mengalami gangguan kejiwaan, jangan sampai itu sampai mengecilkan hati atau bahkan menyakitinya seakan-akan dia adalah seorang yang tidak taat atau tidak beriman!

Simone menderita gangguan bipolar, yaitu sebuah gangguan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur-unsur kimia yang berada di dalam otaknya. Ketika dia sedang ceria, pikirannya menjadi tidak stabil dan tidak realistis—“tidak teratur, terserak ke mana-mana”, begitulah dia menyebutnya. Yang lebih sering daripada itu adalah keputusasaannya. Selama masa-masa ini, Simone dapat mengingat bacaan-bacaan Alkitab tentang bersukacita dan menemukan pertolongan di dalam Tuhan. Tapi, semua itu terasa hampa. Simone tidak dapat merasakan emosi positif ataupun benar-benar berdoa selain memohon kepada Tuhan untuk mengakhiri hidupnya saja karena dia merasa sangat terkucilkan dari segalanya. Simone juga pernah tiba-tiba mengalami ketakutan yang membuatnya tidak berdaya, jantungnya berdegup kencang, sesak nafas, menangis, bahkan ketika dia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya.

3. Tawarkan persaudaraan dan harapan Kristiani

Kalau kamu berpikir seperti yang kupikirkan, kamu mungkin akan menimbang ulang untuk terlibat membantu temanmu. Bukan karena kamu tidak peduli, tetapi mungkin karena kamu khawatir akan membuat masalah menjadi semakin kacau. Namun, Simone meyakinkanku: “Menunjukkan kasih dan kepedulian tidak akan membuat keadaan jadi lebih buruk.”

Galatia 6:2 berkata: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Hukum Kristus adalah kasih kepada Tuhan dan sesama. Jadi, kita diajarkan bagaimana mengasihi sesama secara konkrit. Penanggung beban yang utama adalah Yesus Kristus sendiri, yang telah menanggung dosa-dosa kita dan mati supaya kita dapat hidup (Galatia 2:20).

Simone diberikan resep obat yang mengandung lithium untuk menyeimbangkan unsur-unsur kimia di otaknya. Simone juga diajarkan untuk tidak mengizinkan suara-suara negatif di pikirannya mengalahkan kebenaran bahwa sesungguhnya dia dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan. Namun, tetap saja Simone menemukan kesulitan untuk bersosialisasi saat dia tengah mengalami depresi dan khawatir apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan orang lain, ataupun tidak dapat berbagi kebahagiaan.

Namun, ketika Simone dapat menerima persaudaraan dari kami, dia menemukan dukungan yang besar di dalam cinta kasih, kepedulian, dan komunitas Kristen. Menjejalkan ayat-ayat Alkitab tanpa disertai hikmat sama saja seperti menghakimi dan tidak mengasihi sama sekali. Sebaliknya, firman Tuhan yang dibagikan dalam konteks kepedulian dan dipelajari bersama-sama dalam kelompok pendalaman Alkitab (PA) telah menjadi penyelamat Simone. Melalui hal ini, Simone diajarkan dan diingatkan bahwa di kekekalan nanti, dia tidak hanya disembuhkan, melainkan akan dibaharui.

Pada kenyataannya, kehancuran pikiran Simone sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kehancuran yang umum terjadi pada diri kita, para pendosa. Ketika Simone jatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam, harapan yang menolongku ternyata juga menolongnya; itu adalah suatu kepastian dari warisan yang takkan pernah mati, rusak, ataupun pudar, karena telah dimenangkan oleh Yesus (1 Petrus 1:3-7). Betapa berharganya pengertian bahwa pemberian ini disimpan di surga bagi setiap kita, dan bahwa kekuatan Tuhan menjaga kita melalui iman kita, bahkan ketika kesedihan yang kita alami saat ini sangat hebat! Ketika Yesus kembali, kepercayaan kita di dalam Dia terbukti semakin kuat karena kita telah menderita, dan ini akan semakin memuliakan Tuhan.

4. Perhatikan dirimu

Jika kamu adalah satu-satunya orang yang mendampingi temanmu, cobalah meminta beberapa teman yang dapat dipercaya untuk mendampinginya juga. Kamu sendiri perlu beristirahat secara fisik dan kamu juga perlu waktu untuk terus memperkuat relasimu dengan Tuhan. Ingatlah bahwa satu-satunya harapan temanmu adalah di dalam Tuhan, maka peranmu haruslah merefleksikan kasih-Nya dan membawa temanmu kepada-Nya. Jika kamu mencoba menjadi seorang yang memiliki jawaban atas segalanya atau membuat temanmu terlalu bergantung kepadamu, ini bukanlah solusi yang terbaik untuk jangka panjang.

5. Berdoalah untuk dan dengan temanmu

Terkadang Simone merasa terlalu sedih untuk berdoa. Tapi, dia tentu memiliki Roh Kudus bersamanya di saat-saat sulit sekalipun. Apakah kami berdoa supaya Tuhan menyembuhkan gangguan bipolarnya? Tentu saja! Tetapi, mungkin Tuhan tidak memilih untuk melakukannya saat ini juga, dan mungkin kita tidak akan mengerti alasan-Nya seumur hidup kita. Walaupun begitu, kami tahu bahwa Kristus telah memberikan arti hidup, tujuan hidup, dan harapan bagi Simone, bahkan ketika Simone hidup dengan gangguan kejiwaan. Dengan pengobatan dan dukungan dari teman-temannya, Simone kini dapat kembali pada pekerjaannya, yaitu menjadi seorang guru musik.

Hidup selalu penuh dengan suka dan duka bagi kita semua, namun yang pasti, kita sangat diberkati karena kita dapat mengimani dan mengatakan seperti yang Petrus tuliskan dalam suratnya di 1 Petrus 1:3-7:

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Apa Pemberian Terbaik yang Bisa Kamu Berikan pada Seseorang?

Menurutmu, apa pemberian terbaik yang bisa kamu berikan kepada seseorang?