Posts

Bukan Cuma Soal Nilai, Inilah yang Kupelajari dari Proses Skripsiku yang Panjang

Oleh Ellen Vanesa, Sukoharjo

Sejak aku kecil, ibuku selalu mengajariku untuk menjadi yang “terbaik” di antara yang terbaik. Aku diminta untuk mendapat nilai ulangan minimal 90, tidak boleh kurang. Kalau nilaiku lebih rendah dari teman-teman yang lain, aku pasti akan dimarahi hingga terkadang aku pun takut untuk pulang ke rumah.

Seiring waktu berjalan, prinsip yang diajarkan oleh ibuku itu tertanam kuat hingga aku tumbuh menjadi seorang pemudi. “Aku harus mendapat nilai 100 atau IPK 4,00!” aku menanamkan hal ini dalam hatiku. Di satu sisi, obsesi untuk mendapat nilai sempurna itu merupakan motivasi supaya aku melakukan sesuatu sebaik-baiknya. Tapi, di sisi lain, aku jadi seorang yang mudah putus asa ketika melihat orang lain lebih berhasil dariku.

Satu peristiwa yang menegurku

Saat aku kuliah di semester-semester awal, aku mendapatkan IPK yang cukup memuaskan, di atas 3,5. Ketika pengambilan Kartu Hasil Studi (KHS), di sana juga terdapat KHS temanku yang lain. Kalau KHS temanku yang kulihat itu nilainya lebih rendah dariku, aku akan tersenyum dan berpuas diri. Tapi, kalau yang kulihat adalah KHS dengan nilai yang lebih tinggi dari nilaiku, aku akan merasa kecewa dan iri serta bertanya-tanya, “Kenapa ya nilaiku tidak bisa lebih tinggi daripada dia?”

Ketika masa-masa mengerjakan skripsi berlangsung, banyak temanku yang sudah lebih dulu seminar dan ujian. Aku merasa depresi, tertekan, dan gagal karena apa yang kulakukan hasilnya tidak sesuai dengan harapanku. Nilai-nilai yang kuraih pada semester sebelumnya tidak cukup tinggi daripada teman-temanku yang lain, sehingga ujian skripsiku pun tertunda. Selain itu, aku pun masih harus menyelesaikan beberapa revisi di skripsiku.

Buat teman-temanku yang lain, apa yang kualami mungkin sudah biasa terjadi bagi mereka. Bahkan, ada teman-temanku yang nilai di KHSnya lebih rendah dariku tetapi mereka tetap bersyukur dan menerima hasil tersebut. Sedangkan aku, tidak ada satupun hal yang dapat kusyukuri. Yang kulakukan hanyalah mengeluh dan mengeluh.

Selama beberapa minggu aku pun terpuruk. Aku bertanya pada Tuhan, “Mengapa hal ini terjadi padaku, Tuhan?” Aku berusaha menyegarkan pikiranku. Aku coba bermain game, hangout, dan tidak memikirkan skripsiku. Tapi, semuanya itu tidak benar-benar menghiburku. Aku mungkin bisa tertawa, tapi pikiranku tetap tertuju kepada skripsiku.

Hingga suatu ketika, aku datang ke persekutuan remaja dan pemuda di salah satu gereja di kota Solo. Biasanya setiap hari Sabtu aku memang selalu mengikuti acara ini. Tapi, hari itu sesuatu yang besar terjadi kepadaku. Kakak pembinaku membahas renungan tentang “Jaminan Kemenangan” dengan berlandaskan ayat dari 1 Korintus 10:13 yang isinya berbunyi:

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikanmu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Aku merasa tertampar mendengar ayat ini. Pencobaan-pencobaan yang aku alami ini merupakan pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatanku, lalu mengapa aku harus takut? Mengapa aku harus depresi? Aku pun menangis. Aku sadar akan kesalahanku dan meminta ampun pada Tuhan dengan berdoa.

Dalam doaku, aku mengakui bahwa aku lebih sering mengeluh daripada bersyukur. Aku lebih sering mengandalkan diriku sendiri daripada Tuhan. Aku percaya bahwa masalah yang kualami saat ini Tuhan izinkan terjadi bukan untuk mencelakakanku, tetapi untuk membentuk diriku. Aku pun belajar untuk mengubah pola pikirku. Jika sebelumnya aku mengeluh, merasa lelah dengan segala revisi, dan kecewa karena ujian skripsiku yang lebih lama daripada teman-temanku, sekarang aku mau belajar memahami bahwa proses panjang ini diizinkan Tuhan supaya aku menghasilkan skripsi yang lebih baik dan belajar untuk lebih bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidupku. Sebelum aku menutup doaku, aku pun memohon kekuatan dan ketenangan dari Tuhan supaya aku bisa mempercayai-Nya seutuhnya.

Puji Tuhan, setelah berdoa, hatiku sungguh terasa plong dan pikiranku tenang. Di sinilah aku mulai bisa tersenyum kembali. Perlahan-lahan, aku mengumpulkan semangatku. Aku lebih tekun dan sabar untuk mencari setiap penyelesaian dari revisi-revisi yang dosenku ajukan. Skripsiku tidak tuntas dalam sekejap, tetapi puji Tuhan selama beberapa waktu, akhirnya skripsiku itu selesai. Saat ini skripsiku sudah mendapatkan “ACC” dari satu dosen pembimbingku. Aku masih butuh “ACC” dari satu dosen lainnya. Ketika revisi datang, aku sudah tidak lagi mengeluh. Malah, aku mengerjakan revisi-revisi itu dengan enjoy. Aku tidak lagi memandang skripsiku sebagai kegagalan, tetapi sebagai sarana untukku belajar bersyukur.

Tuhan mengizinkan masalah-masalah terjadi untuk memproses kita

Aku pernah menonton sebuah video motivasi di Youtube. Video itu bertutur bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri. Ada yang lulus kuliah di usia 22, ada pula yang di usia 25. Ada yang sehabis lulus langsung mendapat kerja, ada pula yang menganggur beberapa waktu. Ada yang sudah mendapat kerja, tapi dia tak bisa menikmati pekerjaannya.

Makna kehidupan ini tidak ditentukan dari cepat lambatnya seseorang dalam berproses. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk meraih kesuksesannya. Aku ingat kisah Thomas Alva Edison. Dia gagal sebanyak 999 kali sebelum akhirnya sukses menemukan penemuan bola lampu yang mengubah dunia. Aku merasa dikuatkan. Ya, aku percaya setiap orang punya waktunya sendiri. Tugasku adalah menikmati prosesnya dan tidak perlu iri atas pencapaian orang lain.

Aku percaya Tuhan akan memberikan jalan keluar atas permasalahan yang kita hadapi. Mungkin jalan keluar itu tidak berupa keadaan yang berubah 180 derajat. Tapi, seperti yang kualami, Tuhan bisa saja memakai hal-hal kecil untuk mengubah cara kita memandang suatu masalah. Lewat firman Tuhan di gereja, lewat video motivasi di YouTube, aku percaya itulah cara Tuhan menegur dan memberiku jalan keluar untuk tidak lagi memandang kegagalanku sebagai sebuah masalah yang begitu besar, melainkan sebagai sarana Tuhan membentuk diriku.

Tuhan bisa saja membuat perjalanan hidup kita selalu lancar. Tapi, melalui masalah yang terjadi, Tuhan ingin kita dibentuk menjadi pribadi yang lebih sabar, tekun, dan mampu memandang sesuatu dari sudut pandang-Nya.

Sekecil apapun masalah kita, bawalah itu ke dalam doa. Tuhan pasti mendengar dan menjawabnya sesuai waktu-Nya. Kiranya sharing dariku ini boleh menguatkan teman-teman untuk terus bersyukur dan percaya kepada Tuhan.

Baca Juga:

Ketika Aku Hampir Terjebak ke dalam Dosa Hawa Nafsu

Aku pernah membiarkan diriku berada dalam kondisi berduaan saja dengan lawan jenisku, hingga suatu ketika hal yang di luar ekspektasiku pun terjadi dan aku hampir saja terjerat ke dalam dosa hawa nafsu.